‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri.
Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya.
Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan.
Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose.
Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona?
Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pria kasar, pria urakan, dan pria angkuh yang menjijikkan, yang mencuri ciuman pertamanya dengan cara pemaksaan.
“Selamat malam, Jose. Ini kubawakan makan malam kalian.” Samar-samar, Thalia mendengar pintu dibuka dan suara wanita tua berkata pada Jose.
“Iya. Terima kasih, Silvana,” jawab Jose. Thalia cukup terkejut karena suami di atas kertasnya ternyata cukup sopan. Setidaknya, pria itu mampu mengucapkan ‘terima kasih’.
“Mana pengantinmu?” tanya suara itu lagi.
Dan sedetik kemudian, terdengar panggilan dari Jose, “Thalia!”
Thalia cepat-cepat melepas gaun pengantinnya dan menggantinya dengan pakaian tidur.
Untungnya, dari sekian banyak baju tidur super seksi yang tergantung di walk in closet-nya, yang diambil Thalia adalah yang cukup sopan. Bermodelkan tali tipis di pundak dan rok yang jatuh sampai di lututnya, baju itu tidak terlalu seksi, tapi juga bukan yang sangat tertutup. Bagian dada gaun tidurnya itu bermodelkan V yang menampakkan belahan dadanya dengan jelas. Sial! Tapi, ini masih lebih baik daripada memakai lingerie yang transparan dengan tali yang hanya di tengah-tengah bokongnya.
Thalia keluar dari kamar mandi dengan perlahan. Rambut panjangnya dia gerai dan ditatanya agar berada di bagian depan tubuhnya, agar mampu menyamarkan belahan dadanya yang terlihat.
“Thalia! Kesinilah!” Panggilan Jose terdengar lebih menuntut.
Thalia pun menghampirinya dengan langkah terpaksa. Biar bagaimanapun, dia ingin menunjukkan kepada suami di atas kertasnya bahwa dia tidak mudah dikuasai. Akan tetapi, saat tiba di hadapan Jose, amarah yang tadi tercetak jelas di wajah pria itu sudah tak terlihat lagi.
Pandai sekali dia menyembunyikannya!
“Ini Thalia,” katanya pada wanita paruh baya yang ada di hadapannya. Wanita itu mengenakan pakaian pelayan dan berdiri membawa nampan dorong. Jose kemudian menoleh pada Thalia. “Dan Thalia, ini Mrs. Silvana, kepala pelayan di sini.”
Diperkenalkan kepada pelayan dengan cara yang sangat santun membuat Thalia tak punya pilihan lain selain menanggapi perkenalan yang dijabarkan sang suami dengan elegan. Thalia datang mendekat dan Mrs. Silvana mengangguk ramah dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. “Selamat datang, Nona Muda. Ini sedikit masakan istimewa saya untuk Nona dan Tuan Muda nikmati.”
Thalia mengiyakan dan tersenyum akan penyambutan wanita itu. Setelahnya, Mrs. Silvana undur diri dan tinggallah dirinya berduaan kembali dengan Jose.
Suami di atas kertanya itu dengan cekatan menarik kursi dan duduk. Pria itu mengulurkan tangannya menunjuk kursi di depannya. Dan dengan nada perintah dia berkata, “Duduklah, dan makan!”
Serta merta, rasa kesal Thalia kembali. Dia duduk seraya menatap tajam Jose.
Seakan tatapannya tak berpengaruh apapun, suami di atas kertasnya itu mulai makan, tanpa menunggunya ataupun mengambilkan makanan untuknya.
Jose makan dengan lahap dan cepat, seakan diri Thalia tidak ada di sana. Dan saat Thalia baru setengah menyelesaikan makanannya, pria itu sudah selesai.
Pria itu mulai mengelap mulutnya dengan serbet. Tapi, caranya mengelap pun asal-asalan.
Selesai mengelap mulutnya, Jose duduk bersandar, sebelah tangannya dia letakkan di sandaran kursi sebelahnya, kemudian dengan terang-terangan mengamati Thalia makan.
Yang benar saja? Siapa yang tahan makan dengan dilihatin seperti itu?
Karena kesal, Thalia pun membalas sikap Jose. Gadis itu sengaja makan dengan perlahan dan elegan. Mulutnya dia pastikan tak terbuka seinci pun saat mengunyah. Sedikit saja saus hendak tercecer dari sudut bibirnya, Thalia segera mengelapnya dengan anggun. Kemudian setelahnya, dia mengangkat dagunya agar tak terlihat menunduk.
Tetapi, tatapannya enggan berlabuh di wajah Jose. Dia juga tak memedulikan tatapan suami di atas kertasnya yang seakan menunggunya merayap bagai siput.
‘Biar saja!’ pikirnya. ‘Rasakan!’
Setelah beberapa saat berlalu, Thalia mengira Jose akan menghardiknya untuk makan dengan cepat. Nyatanya, pria itu tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun. Yang dilakukannya hanyalah duduk dan menatapnya lekat-lekat.
Thalia semakin menjauhkan tatapan matanya. Dan saat itulah pandangannya malah terarah pada ruang tidur mereka, ranjang pengantin mereka.
Ranjang itu membuat Thalia tiba-tiba teringat dia harus membuat perjanjian dengan suami di atas kertasnya. Pernikahan mereka yang hanyalah di atas kertas, tentu saja harus diimbangi dengan perjanjian jelas di antara mereka.
Jangan sampai pria itu benar-benar merasa dia adalah miliknya dan dengan santainya menjadikannya seorang budak nafsu belaka. No! Thalia takkan membiarkan itu terjadi!
“Aku baru teringat ada satu hal yang ingin kubicarakan,” kata Thalia sembari mengelap mulutnya dengan serbet. Tentunya dia melakukannya dengan sangat anggun, bukan asal-asalan seperti Jose tadi.
“Katakanlah.” Dengan tatapan yang masih terus menelisiknya, Jose mengubah posisi tubuhnya. Kini dia mencondongkan tubuhnya pada Thalia. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja dan tatapannya lurus ke manik matanya.
Thalia semakin merasa gelisah dan terintimidasi saat ditatap seperti itu. Tapi dia berusaha keras agar keinginannya terucapkan dengan benar.
“Seperti yang kau ketahui, kita menikah bukan karena cinta.” Thalia memulainya seakan sedang berpidato.
“Pernikahan ini ada karena permintaan ayahku. Jadi, aku ingin kau tau bahwa pernikahan kita ini hanyalah pernikahan di atas kertas.”
“Jadi maksudmu?” Terlihat wajah Jose merengut tak suka. Dia kembali duduk dengan bersandar meski tatapannya tetap melekat di wajah Thalia.
“Secara hukum kita memang suami istri. Tapi, aku tidak ingin kita melakoni itu secara sungguhan dalam kehidupan kita. Jadi, meskipun status kita adalah suami istri, aku tidak akan melarangmu jika kau memiliki kekasih di luar sana.”
“Huh! Terdengar menarik!” jawab Jose, dengan wajah datar.
“Bagus!” Thalia mulai bersemangat mendapati tanggapan positif dari suami di atas kertasnya. Dia kemudian melanjutkan, “Tapi, aku juga memintamu untuk menjaga batasan-batasanmu terhadapku. Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati.”
“Apa maksudmu? To the point saja!”
“Ya … misalnya, kau mungkin saja mempunyai kekasih atau wanita yang ingin kau kejar cintanya. Kita bisa membuat perjanjian sehingga aku tidak akan melarangmu ataupun menghalangimu berkencan dengan wanita lain.”
Jose malah tertawa. “Kau tau, Nona? Berkencan tidak pernah menjadi daftar teratas dalam list hidupku. Tidak juga di nomor ke sekian. Malahan mungkin tidak masuk dalam daftarku. Jadi, andaipun kau mengizinkanku untuk mengencani wanita yang kusukai di luar sana, aku tidak memiliki wanita yang kusukai. Jadi, kau tenang saja!”
Thalia mengernyit mendengarnya. Untuk beberapa saat dia menatap Jose seraya mencerna ucapan pria itu. Setelahnya, Thalia terperangah dan berseru sembari menutup mulutnya dengan tangan. “Kau … gay?”
“Apa?!” seru Jose benar-benar terkejut kata itu bisa disematkan padanya.
“Kau tidak tertarik pada wanita, kan? Kau gay!” seru Thalia ngotot.
“Siapa bilang aku tidak tertarik pada wanita?!”
“Lho, tadi kau bilang sendiri!”
Jose mengacak-acak rambut pendeknya dengan gaya frustrasi. “Maksudku, aku tidak pernah memikirkan tentang berkencan. Ada atau tidak berkencan dalam hidupku, ada ataupun tidak ada wanita, aku sudah nyaman dengan diriku sendiri.”
“Oh, kalau begitu kau asexsual? Pria tanpa keinginan seksual.” Thalia semakin terkaget-kaget akan hipotesisnya sendiri.
“Hei…!” Jose mulai kehilangan kesabarannya. Dia berdiri dan menopang tubuhnya dengan kedua tangan terpaku pada meja makan. Tubuhnya dicondongkan ke arah THalia. Tatapannya masih setajam elang dan Thalia seakan terlempar ke ruang angkasa yang hampa udara.
"Jangan membuat kesimpulan sendiri tentangku!" desisnya tajam.
"Aku hanya menyimpulkan berdasarkan ucapanmu!" elak Thalia.
“Jangan!" seru Jose lagi dengan wajah yang bertambah marah dan seram.
“Pokoknya kau tenang saja, aku tidak akan mengkhianati pernikahan ini dengan mengencani wanita lain. Karena apa? Karena aku tidak memikirkan cinta, wanita, ataupun ranjang. Itu semua bukan hal nomor satu dalam hidupku.”Jose menjauh dan Thalia mulai bernapas normal kembali. Tapi, dia segera menyadari tujuannya belum tercapai.
“Tunggu! Kita belum sepakat!”
Jose berbalik dan menatap tajam istrinya itu. “Sepakat akan apa? Apa sebenarnya keinginanmu? Cepat katakan! Aku tidak suka hal yang bertele-tele!”
“Baiklah!” kata Thalia menahan napasnya, meskipun dia mulai ketakutan melihat amarah yang menguar dari raut Jose. “Keinginanku sederhana saja. Kau tidak boleh menyentuhku seperti seorang suami menyentuh istrinya!”
“Maksudmu aku tidak boleh menidurimu?”
“Yes!”
Jose terdiam sejenak dan hanya memandanginya lekat-lekat. Ada sedikit penyesalan akan ucapannya tadi pada Thalia, karena sekarang malah memagari dirinya sendiri. Tapi, semua sudah terlanjur. Dia pun tak bisa mengelaknya lagi.
“Sudah kubilang, urusan ranjang bukan obsesiku. Hanya saja ….” Jose menahan ucapannya. Dia masih berharap bisa membalik keadaan ini. Walaupun tidak banyak.
“Hanya saja apa?” Thalia menjadi penasaran sekaligus tegang.
Jose pun melanjutkan, “Segala sesuatu dariku tidak ada yang gratis. Apa imbalan yang akan kau berikan agar aku tidak menidurimu?” Kedua tangannya berkacak pinggang.
“Aku tidak akan mengganggu hidupmu. Tidak akan ikut campur akan segala urusanmu.” Thalia mengucapkan itu semua dengan gaya diplomatis. Dia meninggikan dagunya agar Jose tak meremehkannya.
Tapi Jose lagi-lagi malah terkekeh sombong. “Aku tidak peduli kau mencampuri urusanku atau tidak. Aku pun tidak merasa kau akan berani dan sanggup mencampuri urusan hidupku. Lagipula, kalau pun kau bisa, aku tidak keberatan.“
“Lalu apa maumu? Bagaimana jika aku membalasnya dengan memasak setiap hari untukmu?” Selesai mengucapkan ini, benak Thalia mengutuki dirinya sendiri. Dia hanya bisa memasak sup, untuk apa berlagak menawarkan masakannya?
“Hmm … aku tidak terlalu tertarik. Aku sudah memiliki Mrs. Silvana yang seperti chef di hotel bintang lima,” ujar Jose yang diam-diam membuat Thalia lega. Tapi hanya sejenak. Saat dia bicara lagi, Thalia kembali waspada.
“Begini saja. Aku beri kau syarat yang sangat sangat mudah," ucap Jose santai. Masalahnya, Thalia menangkap percikan binar licik di sepasang mata tajam suami di atas kertasnya itu.
"Apa syarat mudahmu itu?"
Benar saja, Jose tersenyum samar, tapi jelas dia terlihat menang. "Aku berjanji tidak akan menidurimu tetapi … kita … tetap … tidur … satu ranjang ... setiap hari.”
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung
Dalam diam yang menahan amarah, Jose melajukan pick up bututnya menuju ke danau tempat dia pernah mengajak Thalia untuk berbicara. Setibanya di sana, ketenangan dan keindahan danau itu sedikit banyak meluluhkan amarahnya. Dia mengeluarkan rokok dan membakarnya. Dihisapnya seraya berusaha mengenyahkan pikiran tentang Thalia. Namun, gadis manis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat itu tak bisa dia enyahkan dalam pikirannya. Bertahun-tahun lalu, Jose sering memerhatikan Thalia saat gadis itu masih bersekolah. Dia mengamati gadis itu dari dalam mobilnya. Senyumnya, kibaran rambut panjangnya, serta langkah riangnya hampir menjadi sarapannya setiap pagi. Dan setelah Thalia melewati jalanan di blok perumahannya dan menaiki bis, Jose baru beranjak juga dari sana. Kini, gadis itu menjadi istrinya. Sebagai ekspresi kebahagiaannya yang tak terkira, Jose ingin selalu mengantarkan ke mana pun istrinya itu pergi. Namun, sepertinya itu hanya keinginan sepihaknya sa
“Hati-hati, Pap. Pap belum boleh terlalu lelah. Jadi, Pap istirahat saja di kamar ya, Pap?” tanya Thalia yang juga diiyakan oleh Camilla. Sore itu mereka telah kembali ke rumah. Ayahnya sudah diperbolehkan pulang. “Aku bosan di kamar saja. Lebih baik aku beristirahat di ruang duduk. Aku bisa sambil menonton televisi dan bisa melihat cucu-cucuku bermain. Begitu lebih baik. Melihat kelakuan mereka dan mendengar suara mereka membuatku merasa tetap berada di dunia ini. Jika kau mengurungku di kamar, aku akan merasa berada di penjara!” jawab ayahnya dengan suara ketus. Camilla dan Thalia jadi berpandangan, kemudian mereka mengangguk. Biar bagaimana pun ayah mereka sedang sakit. Sudah sepantasnya segala keinginannya didengarkan dan dikabulkan. “Baiklah, Pap. Akan kuatur supaya sofa di sana bisa nyaman untuk pap tiduri,” ujar Camila lagi sambil merangkul ayahnya dan menuntunnya ke ruang duduk. Dengan segera, Thalia mengatur sofa di sana agar terasa n