Share

07. Pembayaran yang Setimpal

“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?”

Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya.

Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan.

Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya.

Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar.

“Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah dengan susah payah menetralkan hatinya saat mendengar ejekan yang dilontarkan Thalia.

Ditatapnya gadis itu saat berbalik tanpa kata dan melangkah menuju toilet.

Mau diilihat dari sudut manapun, gadis itu bertubuh mungil, jika disandingkan dengannya. Hal itu justru membuat Jose semakin takut akan kebersamaan mereka. Dia takut jika tubuhnya yang berbalut otot di mana-mana malah meremukkan tulang-tulang istri mungilnya itu.

“Tidak perlu membeli kembali dariku.” Kata-kata Carlo Teracena saat Jose menjenguknya di rumah sakit seminggu yang lalu bergema kembali di benaknya. Saat itu, dia hendak membeli kembali sebagian saham perusahaan ibunya yang dimiliki oleh Carlo. Tetapi, lelaki tua itu dengan mudah memberikannya begitu saja padanya.

“Dulu aku membeli ini hanya untuk membantu ibumu, saat perusahaannya sedang krisis. Ibumu tidak rela jika sampai saham perusahaannya harus jatuh ke tangan orang yang tak dikenalnya. Jadi, aku membelinya. Dan sekarang, memang sudah waktunya perusahaan itu kembali ke tanganmu.”

Meskipun benaknya mengulang kembali kilasan kejadian seminggu silam, tatapan Jose masih tak bisa terlepas dari diri Thalia hingga akhirnya punggung itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Selain tubuh yang tergolong mungil, yang tingginya hanya sebatas lehernya saja, gadis itu juga masih ingusan, jika usia mereka turut diperbandingkan. Perbedaan usia 8 tahun di antara mereka itu terlalu jauh untuk seorang Jose.

Bibirnya juga bahkan terasa kaku saat dia menciumnya di upacara pernikahan tadi. Jose menghela napasnya. Dia sendiri pun bukan pria yang berpengalaman dalam hal wanita, apalagi ranjang. Seluruh hidupnya selama ini dia curahkan untuk mempertahankan apa yang memang seharusnya menjadi miliknya. Tidak ada waktu memikirkan wanita dan berkencan.

“Ambillah itu,” kata Carlo dengan jemarinya menunjuk amplop cokelat di atas nakas.

Waktu itu, Jose mengambilnya dan menatap lamat-lamat pada pria tua itu. Rasa haru menyelubunginya hingga suaranya terdengar serak. Setidaknya salah satu dari permintaan ibunya sudah bisa dia wujudkan. “Terima kasih. Ibuku pasti sangat bahagia memiliki sahabat seperti Anda.”

“Iya, aku tau.” Pria tua itu terdiam beberapa detik lamanya. Jose melihatnya dan merasa ada sesuatu yang hendak dia katakan, yang sedang dipikirkannya. Jadi, Jose menunggu dengan sabar.

“Nak,” ujar Carlo lagi. Jose pun menatapanya dengan hangat.

“Ada satu hal yang ingin kuminta padamu.”

“Apa itu? Jika aku bisa, pasti akan kuberikan.”

“Tentu kau bisa. Dan aku yakin kau mampu untuk menjaga putri bungsuku, Thalia.”

Bagai disambar petir di siang bolong, Jose terhenyak mendengarnya. “Maksud Anda ‘menjaga’?”

“Jaga dia, dengan menjadi suaminya,” jawab Carlo lemah.

“Su- suami? Anda jangan bercanda, Sir. Saya bukan pria yang diidamkan para wanita untuk dijadikan suami. Diri saya ini terlalu awut-awutan. Tidak bisa saya berlemah lembut pada wanita. Apalagi putri Anda yang seperti batu giok yang terpahat halus itu. Jika saya menikah dengannya, bisa-bisa dia remuk redam, kemudian hancur berkeping-keping,” jawab Jose dengan benaknya sendiri dipenuhi bayangan ngeri.

Di sepanjang waktu luangnya selama ini, jika pria lain mengisinya dengan hasrat terhadap wanita, dia selalu mengisinya dengan hasrat untuk menjatuhkan lawannya agar tergeletak tak berdaya di hadapannya. Dengan mencapai itu semua, tubuhnya sudah merasakan kepuasan dalam melampiaskan amarah yang tak bisa dia artikan. Tak ada lagi tempat untuk memikirkan gairah biologis seorang pria pada wanita.

Dan semua susunan tubuhnya itu kini porak poranda saat Carlo Teracena menyisipkan sebuah permintaan halus padanya untuk menikahi Thalia.

 “Kau bisa, Nak. Aku percaya padamu. Jaga dia, lindungi dia. Anggaplah itu sebagai pembayaran yang setimpal dengan saham yang telah kujaga selama ini,” jawab Carlo lagi.

Jose kehabisan kata-katanya. Sepasang mata pak tua yang terbaring lemah di hadapannya ini memancarkan tekad sekuat baja. Jose tak mampu menolak lagi.

Carlo Teracena menepuk lembut punggung tangannya sebagai ucapan terima kasih.

Anehnya, sekalipun Jose merasa Thalia belum tentu mau menerimanya sebagai seorang suami, Jose merasakan sekuntum bunga yang teronggok membeku di suatu dasar hatinya ikut merekah. Semua itu terjadi hanya dengan membayangkan sosok Thalia yang kini sah menjadi istrinya.

Sial! Jose mulai memaki dirinya sendiri karena membayangkan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami pada istrinya di malam pengantin mereka. Diteguknya vodka yang telah dia ambil beberapa saat lalu. Setelah itu, dia membuka kancing kemejanya, melepasnya, serta membuangnya secara asal.

Selembar kemeja itu terlempar hingga ke depan pintu kamar mandi. Di detik yang sama, pintu itu terbuka dan gadis yang membuat fantasinya mulai aktif, muncul dari balik sana.

Tatapan mereka saling beradu untuk beberapa saat lamanya. Gadis itu memutuskannya terlebih dahulu, tetapi hanya untuk menjelajahi otot demi otot yang tercetak jelas di tubuhnya. Ada sepercik keterkejutan di kedua mata indah Thalia. Mungkin karena keberadaan tato di sekujur tubuh Jose yang baru diketahuinya sekarang.

 “Kau masih belum mengganti gaunmu itu?” tanya Jose tanpa kelembutan sedikitpun. Pertanyaannya itu juga dimaksudkannya untuk mengalihkan tatapan Thalia dari otot dan tato-tato di tubuhnya. Dia sedikit tidak nyaman ditatap seperti itu karena cara gadis itu memandangnya, seolah tubuhnya itu ... mengerikan. Dirinya yang mengerikan.

“Aku tak bisa membuka resletingnya,” kata Thalia setelah dia berhenti memandangi tato dan otot di tubuh Jose, serta menetralkan wajahnya. Dari wajahnya terlihat bahwa Thalia harus menelan sedikit harga dirinya hanya untuk mengucapkan kalimat tadi.

Jose pun melunakkan suaranya. “Ke sinilah.”

Suara lembut Jose membuat Thalia terkesima. Ragu-ragu dia melangkah menuju suami di atas kertasnya itu.

“Berbaliklah!”

Thalia berbalik setelah sekali lagi menancapkan tatapan menghunus pada Jose, meski tak setajam sebelumnya.

Jose melihat rambut panjang bergelombang Thalia yang berwarna cokelat gelap sedikit terkibas akibat gerakan memutarnya. Aroma shampoo gadis itu tercium, membuatnya terbuai. Jika dipikirkan, warna rambut itu sama dengan warna rambut ibunya. Sangat berkilau dan cokelat. Ingin dia meraih rambut itu dan menghirup aromanya lebih lekat. Tapi, tidak dia lakukan.

Dengan kaku dan hati-hati, disampirkan rambut panjang Thalia ke pundak sebelah kanan. Punggung yang begitu ramping, mulus dan halus terpampang di sana. Bayangan diri Thalia tanpa sehelai benang pun mulai menguasai benaknya.

Shit!

Jose menggelengkan kepalanya menepis bayangan erotis itu. Dia pun mulai memegang ujung zipper gaun Thalia. Tak diduganya, wanita itu seakan terkejut saat kulit mereka bersentuhan. Kenapa dia? Jijikkah padanya?

Jose menurunkan zipper itu hingga sampai di ujungnya. Pemandangan punggung dan pinggang Thalia semakin menggodanya. Apalagi saat tatapannya merayap naik melewati punggung gadis itu, sempat terlihat olehnya dua asset sang istri yang tambun. Gaun itu sudah terbuka tapi gadis itu tidak segera menyangga bagian dada gaunnya. Apa gadis itu sengaja menggodanya?

“Ehm … Sudah!” seru Jose kaku.

Thalia baru tersadar dan memegangi gaunnya. Bukannya berterima kasih, gadis itu menatap tajam lagi padanya seakan dia baru melakukan perbuatan tercela.

Jose hendak bertanya kenapa sikapnya malah begitu, tapi akhirnya gadis itu berlalu menuju kamar mandi.

Tinggallah Jose yang masih menatap pintu kamar mandinya, yang akhirnya menutup dengan cepat. Di tengah kesendiriannya, hanya jakun pria itu yang bergerak untuk menelan salivanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status