Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya.
Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan.
Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya.
Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar.
“Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah dengan susah payah menetralkan hatinya saat mendengar ejekan yang dilontarkan Thalia.
Ditatapnya gadis itu saat berbalik tanpa kata dan melangkah menuju toilet.
Mau diilihat dari sudut manapun, gadis itu bertubuh mungil, jika disandingkan dengannya. Hal itu justru membuat Jose semakin takut akan kebersamaan mereka. Dia takut jika tubuhnya yang berbalut otot di mana-mana malah meremukkan tulang-tulang istri mungilnya itu.
“Tidak perlu membeli kembali dariku.” Kata-kata Carlo Teracena saat Jose menjenguknya di rumah sakit seminggu yang lalu bergema kembali di benaknya. Saat itu, dia hendak membeli kembali sebagian saham perusahaan ibunya yang dimiliki oleh Carlo. Tetapi, lelaki tua itu dengan mudah memberikannya begitu saja padanya.
“Dulu aku membeli ini hanya untuk membantu ibumu, saat perusahaannya sedang krisis. Ibumu tidak rela jika sampai saham perusahaannya harus jatuh ke tangan orang yang tak dikenalnya. Jadi, aku membelinya. Dan sekarang, memang sudah waktunya perusahaan itu kembali ke tanganmu.”
Meskipun benaknya mengulang kembali kilasan kejadian seminggu silam, tatapan Jose masih tak bisa terlepas dari diri Thalia hingga akhirnya punggung itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Selain tubuh yang tergolong mungil, yang tingginya hanya sebatas lehernya saja, gadis itu juga masih ingusan, jika usia mereka turut diperbandingkan. Perbedaan usia 8 tahun di antara mereka itu terlalu jauh untuk seorang Jose.
Bibirnya juga bahkan terasa kaku saat dia menciumnya di upacara pernikahan tadi. Jose menghela napasnya. Dia sendiri pun bukan pria yang berpengalaman dalam hal wanita, apalagi ranjang. Seluruh hidupnya selama ini dia curahkan untuk mempertahankan apa yang memang seharusnya menjadi miliknya. Tidak ada waktu memikirkan wanita dan berkencan.
“Ambillah itu,” kata Carlo dengan jemarinya menunjuk amplop cokelat di atas nakas.
Waktu itu, Jose mengambilnya dan menatap lamat-lamat pada pria tua itu. Rasa haru menyelubunginya hingga suaranya terdengar serak. Setidaknya salah satu dari permintaan ibunya sudah bisa dia wujudkan. “Terima kasih. Ibuku pasti sangat bahagia memiliki sahabat seperti Anda.”
“Iya, aku tau.” Pria tua itu terdiam beberapa detik lamanya. Jose melihatnya dan merasa ada sesuatu yang hendak dia katakan, yang sedang dipikirkannya. Jadi, Jose menunggu dengan sabar.
“Nak,” ujar Carlo lagi. Jose pun menatapanya dengan hangat.
“Ada satu hal yang ingin kuminta padamu.”
“Apa itu? Jika aku bisa, pasti akan kuberikan.”
“Tentu kau bisa. Dan aku yakin kau mampu untuk menjaga putri bungsuku, Thalia.”
Bagai disambar petir di siang bolong, Jose terhenyak mendengarnya. “Maksud Anda ‘menjaga’?”
“Jaga dia, dengan menjadi suaminya,” jawab Carlo lemah.
“Su- suami? Anda jangan bercanda, Sir. Saya bukan pria yang diidamkan para wanita untuk dijadikan suami. Diri saya ini terlalu awut-awutan. Tidak bisa saya berlemah lembut pada wanita. Apalagi putri Anda yang seperti batu giok yang terpahat halus itu. Jika saya menikah dengannya, bisa-bisa dia remuk redam, kemudian hancur berkeping-keping,” jawab Jose dengan benaknya sendiri dipenuhi bayangan ngeri.
Di sepanjang waktu luangnya selama ini, jika pria lain mengisinya dengan hasrat terhadap wanita, dia selalu mengisinya dengan hasrat untuk menjatuhkan lawannya agar tergeletak tak berdaya di hadapannya. Dengan mencapai itu semua, tubuhnya sudah merasakan kepuasan dalam melampiaskan amarah yang tak bisa dia artikan. Tak ada lagi tempat untuk memikirkan gairah biologis seorang pria pada wanita.
Dan semua susunan tubuhnya itu kini porak poranda saat Carlo Teracena menyisipkan sebuah permintaan halus padanya untuk menikahi Thalia.
“Kau bisa, Nak. Aku percaya padamu. Jaga dia, lindungi dia. Anggaplah itu sebagai pembayaran yang setimpal dengan saham yang telah kujaga selama ini,” jawab Carlo lagi.
Jose kehabisan kata-katanya. Sepasang mata pak tua yang terbaring lemah di hadapannya ini memancarkan tekad sekuat baja. Jose tak mampu menolak lagi.
Carlo Teracena menepuk lembut punggung tangannya sebagai ucapan terima kasih.
Anehnya, sekalipun Jose merasa Thalia belum tentu mau menerimanya sebagai seorang suami, Jose merasakan sekuntum bunga yang teronggok membeku di suatu dasar hatinya ikut merekah. Semua itu terjadi hanya dengan membayangkan sosok Thalia yang kini sah menjadi istrinya.
Sial! Jose mulai memaki dirinya sendiri karena membayangkan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami pada istrinya di malam pengantin mereka. Diteguknya vodka yang telah dia ambil beberapa saat lalu. Setelah itu, dia membuka kancing kemejanya, melepasnya, serta membuangnya secara asal.
Selembar kemeja itu terlempar hingga ke depan pintu kamar mandi. Di detik yang sama, pintu itu terbuka dan gadis yang membuat fantasinya mulai aktif, muncul dari balik sana.
Tatapan mereka saling beradu untuk beberapa saat lamanya. Gadis itu memutuskannya terlebih dahulu, tetapi hanya untuk menjelajahi otot demi otot yang tercetak jelas di tubuhnya. Ada sepercik keterkejutan di kedua mata indah Thalia. Mungkin karena keberadaan tato di sekujur tubuh Jose yang baru diketahuinya sekarang.
“Kau masih belum mengganti gaunmu itu?” tanya Jose tanpa kelembutan sedikitpun. Pertanyaannya itu juga dimaksudkannya untuk mengalihkan tatapan Thalia dari otot dan tato-tato di tubuhnya. Dia sedikit tidak nyaman ditatap seperti itu karena cara gadis itu memandangnya, seolah tubuhnya itu ... mengerikan. Dirinya yang mengerikan.
“Aku tak bisa membuka resletingnya,” kata Thalia setelah dia berhenti memandangi tato dan otot di tubuh Jose, serta menetralkan wajahnya. Dari wajahnya terlihat bahwa Thalia harus menelan sedikit harga dirinya hanya untuk mengucapkan kalimat tadi.
Jose pun melunakkan suaranya. “Ke sinilah.”
Suara lembut Jose membuat Thalia terkesima. Ragu-ragu dia melangkah menuju suami di atas kertasnya itu.
“Berbaliklah!”
Thalia berbalik setelah sekali lagi menancapkan tatapan menghunus pada Jose, meski tak setajam sebelumnya.
Jose melihat rambut panjang bergelombang Thalia yang berwarna cokelat gelap sedikit terkibas akibat gerakan memutarnya. Aroma shampoo gadis itu tercium, membuatnya terbuai. Jika dipikirkan, warna rambut itu sama dengan warna rambut ibunya. Sangat berkilau dan cokelat. Ingin dia meraih rambut itu dan menghirup aromanya lebih lekat. Tapi, tidak dia lakukan.
Dengan kaku dan hati-hati, disampirkan rambut panjang Thalia ke pundak sebelah kanan. Punggung yang begitu ramping, mulus dan halus terpampang di sana. Bayangan diri Thalia tanpa sehelai benang pun mulai menguasai benaknya.
Shit!
Jose menggelengkan kepalanya menepis bayangan erotis itu. Dia pun mulai memegang ujung zipper gaun Thalia. Tak diduganya, wanita itu seakan terkejut saat kulit mereka bersentuhan. Kenapa dia? Jijikkah padanya?
Jose menurunkan zipper itu hingga sampai di ujungnya. Pemandangan punggung dan pinggang Thalia semakin menggodanya. Apalagi saat tatapannya merayap naik melewati punggung gadis itu, sempat terlihat olehnya dua asset sang istri yang tambun. Gaun itu sudah terbuka tapi gadis itu tidak segera menyangga bagian dada gaunnya. Apa gadis itu sengaja menggodanya?
“Ehm … Sudah!” seru Jose kaku.
Thalia baru tersadar dan memegangi gaunnya. Bukannya berterima kasih, gadis itu menatap tajam lagi padanya seakan dia baru melakukan perbuatan tercela.
Jose hendak bertanya kenapa sikapnya malah begitu, tapi akhirnya gadis itu berlalu menuju kamar mandi.
Tinggallah Jose yang masih menatap pintu kamar mandinya, yang akhirnya menutup dengan cepat. Di tengah kesendiriannya, hanya jakun pria itu yang bergerak untuk menelan salivanya.
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung
Dalam diam yang menahan amarah, Jose melajukan pick up bututnya menuju ke danau tempat dia pernah mengajak Thalia untuk berbicara. Setibanya di sana, ketenangan dan keindahan danau itu sedikit banyak meluluhkan amarahnya. Dia mengeluarkan rokok dan membakarnya. Dihisapnya seraya berusaha mengenyahkan pikiran tentang Thalia. Namun, gadis manis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat itu tak bisa dia enyahkan dalam pikirannya. Bertahun-tahun lalu, Jose sering memerhatikan Thalia saat gadis itu masih bersekolah. Dia mengamati gadis itu dari dalam mobilnya. Senyumnya, kibaran rambut panjangnya, serta langkah riangnya hampir menjadi sarapannya setiap pagi. Dan setelah Thalia melewati jalanan di blok perumahannya dan menaiki bis, Jose baru beranjak juga dari sana. Kini, gadis itu menjadi istrinya. Sebagai ekspresi kebahagiaannya yang tak terkira, Jose ingin selalu mengantarkan ke mana pun istrinya itu pergi. Namun, sepertinya itu hanya keinginan sepihaknya sa