Share

06. Into The Stately House

Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana.

Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka.

Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan.

“Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau.

Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan tangan Jose yang mantap di pinggang belakangnya menyadarkannya. Tetapi tanpa sadar, Thalia menepisnya. Dia benci semua sandiwara Jose ini.

Mereka akhirnya tiba di lantai 3. Tangan kokoh Jose membukakan pintu kamar. Thalia melangkah masuk dengan perlahan sembari melayangkan pandangannya ke sekeliling. Dia terus masuk hingga tiba di ranjang mereka, yang bertaburan mawar berbentuk hati. Thalia berdecak kesal dalam hatinya melihat hiasan konyol itu. Pernikahan mereka tanpa cinta, untuk apa dihias-hias seperti itu?

“Mulai detik ini, inilah kamar kita. Kamarku, dan kamarmu.” Suara Jose menggelegar rendah dan renyah. Pria itu berdiri di samping ranjang, menjulang tinggi, sedang melepas jasnya kemudian melepas kancing-kancing yang ada di ujung lengan panjang kemeja putihnya. Namun, tatapannya masih tajam dan terarah hanya pada Thalia. Mungkin, pria itu masih marah dengan tepisan tangan Thalia tadi.

Thalia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencoba mengabaikan tatapan tajam Jose padanya. Suasana di dalam kamar sangat kontras dengan nuansa di seluruh penjuru rumah. Jika rumah secara keseluruhan berdinding putih dengan seluruh perabot yang juga berwarna putih, krem, atau gold, maka nuansa kamar didominasi warna cokelat muda dan gelap, serta abu-abu dan hitam.

‘Sangat maskulin,’ pikir Thalia. ‘Atau malah monoton dan suram, seperti pernikahannya yang akan menjadi suram? Entahlah!’

Setelah selesai mengedarkan pandangannya, tatapan Thalia kembali terpaku pada tatapan Jose yang menelisiknya tajam. Napas Thalia kembali tercekat di tenggorokan. Kenapa pria yang baru dinikahinya itu menatapnya setajam itu? Apakah dia sudah hendak menerkamnya?

Tidak! Tidak! Dia tidak akan memberikan diri seutuhnya pada pria itu. Jose boleh memilikinya di atas kertas, tapi tidak di atas ranjang. Thalia bersumpah dia takkan menyerahkan tubuhnya pada pria itu.

“Di ruangan kecil itu berisikan semua barang-barangmu. Sedangkan lemari yang di sini berisikan pakaian dan semua barangku.” Suara rendah nan gersang itu terdengar lagi, menyentak kesadaran Thalia sekali lagi.

Secercah kelegaan dirasakan Thalia karena pria itu hanya menunjukkan tempat pakaiannya, bukan menyuruhnya melayani nafsunya. Namun, dia tetap waspada saat menuju walk in closet yang ditunjuk jose. Pria berbadan besar itu bisa menerkamnya kapan saja.

Sesampainya di sana, Thalia cukup terpukau karena ada banyak sekali pakaian perempuan di sana. Dari gaun tidur yang selembut sutera, sampai gaun pesta yang terlihat begitu elegan. Thalia seakan tak percaya melihatnya. Semua ini untuknya? Siapa yang menyiapkannya?

“Ini semua … untukku?” tak tahan dia untuk berdiam mulut.

“Iya. Kenapa? Kurang?” Tatapan Jose yang menatapnya dari tempat yang lebih tinggi membuat keangkuhan pria itu semakin menjadi-jadi.

Keingintahuan Thalia sirna seketika. Yang ada tinggallah amarah Thalia kembali membara. “Kau pikir dengan kau memberi semua ini aku akan terkesan?”

Jose menatapnya tajam mendengar pertanyaan Thalia yang begitu sinis. “Aku bukan hendak membuatmu tekesan. Aku hanya hendak menjaga agar kau tidak merasa kekurangan.”

“Aku tidak pernah kekurangan. Apalagi kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?”

Entah mengapa, amarah Thalia membuat lidahnya menjadi lebih tajam dari pisau, padahal dia sendiri tidak tahu dengan tepat sejarah hidup Jose. Yang dia tahu hanyalah sebatas yang didengarnya dari orang-orang.

Tanpa dia mengerti, ucapannya itu sangat menusuk hati Jose. Rahang pria itu sampai berkedut cepat serta tatapannya langsung menggelap bagai awan hitam menaungi dirinya.

Karena memang benar, Jose Antonio, anak tiri di keluarga baru Berbardo tidak diperlakukan secara layak. Dia bahkan terpaksa harus kehilangan ibunya dengan cara yang menyedihkan. Ketika ayahnya ingin menikahi Milly, ibunya Fernando, ibunya Jose pun diceraikan dan diusir dari rumah mereka.

Jose yang masih kanak-kanak ingin mengikuti ibunya.  Tetapi sang ibu menyuruhnya untuk tetap tinggal di samping ayahnya. Biar bagaimanapun, rumah dan perusahaan mereka yang di tangan ayahnya adalah warisan keluarga ibunya. Dan ibunya tidak ingin Jose kehilangan semua hak itu jika dia ikut pergi dari rumah mereka. Dengan terpaksa, Jose tetap bertahan di rumah ini, meskipun muak menyaksikan kelakuan ayahnya dengan keluarga baru yang tak tahu malu itu.

Kebencian dan sakit hatinya kini tertayang jelas dalam manik matanya. Akan tetapi, pria itu dengan cepat menyembunyikan semuanya dari sana.

“Gantilah pakaianmu, sebentar lagi kita makan malam.” Suaranya bergetar rendah dan serak, seakan sesuatu menyangkut di tenggorokannya. Dan tatapannya pun kini tak terbaca.

Melihat itu semua, entah kenapa Thalia mulai menyesali ucapannya yang begitu kasar pada Jose.

Akan tetapi, tembok di antara mereka sudah terlanjur terbentang lebar dan kokoh. Penyesalan kecil Thalia tidak akan mampu mengguncang tembok itu, apalagi sampai meruntuhkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status