Thalia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. Dalam balutan gaun pengantin putih dengan kilau0 berlengan panjang, dengan kerah yang mencapai leher, dia merasa tak percaya bahwa dirinya bisa terlihat memukau. Terlebih lagi riasan wajah yang dipolesnya hanyalah riasan sederhana, yang biasa dia gunakan sehari-hari.
Rasanya masih sulit dipercaya, baru seminggu yang lalu dia bertemu dengan Jose, kini dia akan menikah dengan pria itu. Dan yang membuat pernikahan ini mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu hanyalah karena mereka menyelenggarkannya dalam kesederhanaan.
"Kau pastilah pengantin tercantik di Bacalar, Thalia," ucap Ramona, salah satu sahabat karibnya semasa sekolah, selain Gabriella dan Alodia, berbisik di telinganya.
Tatapan mereka saling bertaut di dalam cermin namun Thalia tersenyum sendu pada sahabatnya itu.
"Untuk apa jadi pengantin tercantik jika pernikahan ini tidak pernah kuinginkan. Apalagi dia yang akan menjadi suamiku. Dia salah satu yang kubenci." Lirih suara Thalia, penuh dengan kesedihan.
Kedua tangan Ramona merangkul bahu Thalia dan dia membesarkan hati sahabatnya itu. "Jangan berpikir begitu. Ini hari bahagiamu. You are the princess today. Soal cinta, cinta akan datang perlahan."
Thalia terhenyak pada pernyataan Ramona. Benarkah? Ah, rasanya tidak mungkin. Hatinya saja sudah menghitam dan pahit karena jejak pengkhianatan Fernando. Rasanya tidak ada seorangpun yang bisa membuat cinta kembali bersemi di hatinya lagi. Apalagi seorang Jose Antonio yang begitu kasar dan menyebalkan.
Bagaimana mungkin dia bisa mencintai pria menyebalkan seperti itu?
Thalia menggeleng pelan, namun Ramona segera membesarkan hatinya. "Sudah, tidak usah dipikirkan. Ini hari bahagiamu. Pikirkan saja Pap-mu. Ayo! Semua sudah menunggu."
Mereka melangkah keluar dan mendapati sang ayah sudah siap dengan jas hitamnya. Ayahnya terlihat tampan dan gagah, andai dia tidak duduk di kursi roda. Dokter tidak memperbolehkan sang ayah merasa kelelahan, jadi dia diharuskan duduk di kursi roda.
Senyum bahagia yang mengembang di wajah ayahnya-lah yang membuat Thalia kuat untuk melangkah dan bersiap menyusuri langkah kakinya menuju altar, menuju Jose.
Lagu Ave Maria berkumandang memenuhi gedung gereja. Semua tamu undangan yang hanya berjumlah tiga puluh orang, bangkit berdiri menyambut kedatangan Thalia, sang pengantin, yang akan melewati lorong tengah deretan bangku-bangku gereja.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati Thalia. Dia kalut, dia juga takut. Tapi kakinya harus tetap melangkah maju, menghampiri Jose, dengan pikiran penuh pertanyaan utama, kenapa pria itu bersedia menikahinya?
Masih dalam alunan lagu Ave Maria, ditatapnya wajah Jose yang berdiri kaku di depan altar, menanti tibanya dirinya di sana mencoba mencari jawaban di sana. Pria itu juga sedang menatapnya teramat dalam, dengan raut suram dan serius seperti biasanya.
Jika mau jujur, Thalia sadar wajah itu teramat tampan. Gurat-gurat maskulinitas tercetak jelas di sana. Alis yang tebal dan menukik tajam. Sepasang mata yang terbingkai dalam hingga menampilkan kesan teguh dan keras. Hidung yang mancung serta bibir tipisnya yang, yeah sexy, yang dikerumuni kumis-kumis pendek yang terlihat liar.
Ya, Jose Antonio memang seperti itu. Dia tampan. Dia gagah. Namun, dia juga kasar. Dia juga liar. Dan pria dengan segala pesonanya yang saling bertentangan itu akan menjadi suaminya sebentar lagi. Fakta itu membuatnya gelisah luar dalam. Terlebih lagi, pernyataan Jose dan pap-nya yang saling bertentangan semakin bercokol di benaknya. Itu semua terasa sangat mengganggu.
Dan saat jarak mereka semakin dekat, pria itu seakan mampu membaca pikirannya. Tatapan yang terhunus pada Thalia semakin tajam dan mengikat. Thalia seakan tenggelam ke dalam palung laut saat balas menatap Jose.
Tapi kemudian, tiba-tiba sekilas senyum miring yang samar dengan sebelah alisnya terangkat teraut di wajah pria itu, seolah menayangkan lagi setiap percakapan mereka di pinggir danau. Apa Jose sedang mengolok-oloknya?
Kesal, Thalia sengaja memutuskan adu pandang mereka, dan memilih menatap ke arah lain, hingga dia tiba tepat di depan Jose.
Jemari lemah ayahnya-lah yang akhirnya membuyarkan semua pemikiran Thalia saat sang ayah mulai menggenggam tangannya dan menyerahkannya ke dalam genggaman Jose Antonio.
Telapak tangan yang besar dan terasa kasar milik Jose Antonio itu langsung menggenggam tangannya dengan erat. Thalia merasa dirinya bagaikan diserahkan ke dalam genggaman pria itu.
Akankah dia bahagia dalam pernikahan ini? Akankah Jose sungguh mencintainya? Ataukah semua ini hanya permainan belaka? Apa sebenarnya yang membuat pria itu mau menikahinya?
“Silakan mengucapkan sumpah pernikahan kalian ,” ucap pastor O’Henry pada akhirnya.
Jose menghadap padanya dan menggenggam erat kedua tangannya. Tatapannya berpindah dari tangan mereka yang telah saling menggenggam menuju sepasang mata kecokelatan Thalia.
Lagi-lagi, tatapan Jose yang dalam seakan menjerumuskannya ke dalam jurang penuh tanya. Kemudian, pria itu mengalunkan sumpah pernikahannya dengan suara serak yang terdengar tajam, seakan ada ribuan jarum menusuk di pita suaranya.
“Aku, Jose Antonio Berbardo, mengambil engkau, Thalia Teracena, menjadi istriku, untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Tuhan, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Dari sudut matanya, dapat Thalia lihat ayahnya mengusap air mata yang menetes di pipi keriputnya itu.
Thalia memberanikan diri menatap wajah Jose yang sudah mengucapkan janji pernikahan.
‘Tuluskah? Sungguhankah?’ tanya Thalia dalam hatinya. Mau dipikirkan dari segi manapun, logikanya menjawab 'tidak mungkin tulus' karena mereka bahkan tidak saling mengenal.
Thalia pun tanpa sadar mengucapkan janji pernikahannya dengan lancar karena sudah dihapalkannya, janji mencintai Jose Antonio dengan sepenuh hati, susah maupun senang, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit.
Mampukah dia memenuhi janjinya ini? Thalia menelan salivanya. Hatinya meragu.
Selesai dengan semua janji pernikahan mereka, Jose Antonio menyematkan cincin yang berkilauan dengan permata di tengahnya ke jari manis Thalia. Begitupun sebaliknya. Wajahnya masih datar, seakan mereka melakukan hal sehari-hari yang tidak bermakna.
Thalia menghela napasnya. Entah kenapa dia merasa kesal. Tapi, jika pria itu tersenyum pun Thalia pasti akan menganggap Jose mengejeknya. Dan itu akan lebih mengesalkan lagi.
Jose kemudian membuka tirai putih transparan yang menutupi wajah cantik Thalia. Kedua matanya yang kelam tampak menyelami kedalaman mata Thalia. Wajah itu mendekat dan kemudian, bibirnya mendarat di kening Thalia, lalu turun untuk mengecup lembut bibirnya.
Sentuhan bibirnya di bibir Thalia meletupkan aliran listrik ke tubuh Thalia, membuatnya tersengat. Rasa berdesir dalam hatinya, yang dikiranya telah mati oleh pengkhianatan Fernando, kini bergetar lagi oleh kecupan Jose.
Tidak, tidak! Jangan! Dia lebih memilih membiarkan pernikahan ini tetap tanpa cinta. Karena dia tidak akan membuka hatinya untuk siapapun! Apalagi kepada seorang Jose Antonio!
“And now, I pronounce you husband and wife.” Suara pastor O’Henry bergema bagaikan titah raja yang sudah final dan tak terbantahkan.
Gemuruh tepuk tangan terdengar membahana di sekeliling gereja. Semua bersuka cita pada resminya Thalia dan Jose menjadi pasangan suami istri. Senyum Thalia pun mengembang kikuk untuk menutupi berbagai rasa yang bergejolak saling menentang di dalam hati.
Setelahnya, Thalia mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Jose Antonio yang ternyata sedang menatapnya juga dengan tatapan tajam yangmana kedua alisnya sampai saling bertaut. Tatapannya seperti mengandung sejuta kemenangan dan juga ancaman. Apa sebenarnya rencana licik pria ini dengan memperistrinya?
Tak tahan dengan semua pemikiran itu, dialihkannya pandangannya pada sang ayah. Senyum bahagia dan mata berkaca-kaca yang terpampang di wajah ayahnya dengan mudah menyurutkan segala risau hati yang dirasanya.
Biarlah dia menikah dengan seorang Jose Antonio, sekalipun dia tak mengerti apa alasan Jose menikahinya. Yang terpenting adalah ayahnya bahagia. Itu sudah cukup menghibur hatinya.
Dengan menggenggam semua harapan itu di hatinya, Thalia kembali memantapkan hati untuk berani menatap Jose tepat di manik matanya.
Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana. Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka. Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan. “Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau. Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k