“Ngomong-ngomong ... ada hubungan apa kau dengan Jose?” tanya kakaknya, Camila, ketika Thalia telah tiba di ruang rawat ayahnya dan mengeluarkan seluruh pasta buatannya.
Ayahnya masih tertidur, kata Camila tadi, Pap baru saja selesai minum obat.
Bagaikan bunga salju di tengah gurun pasir, pertanyaan Camilla itu begitu mengherankan Thalia.
Jose? Thalia berpikir keras. Kenapa lagi-lagi nama itu disangkut pautkan padanya?
“Maksudmu ... Jose Antonio, kakak tirinya si peselingkuh itu?” Sejak dia mengetahui perselingkuhan Fernando, Thalia merasa tak sudi menyebut nama itu lagi. Jadilah dia menggantinya dengan sebutan ‘si peselingkuh’.
Thalia melihat Camilla mengangguk mengiyakan. Kini Thalia yang mengernyit semakin dalam, semakin heran. “Kenapa dia?”
“Dia barusan datang ke sini,” jelas Camilla sambil mengunyah daging ayam yang telah diolah menjadi potongan yang lembut.
“Dia datang? Ke sini?” Thalia semakin heran. Ada apa pria itu datang kemari? “Maksudmu menjenguk Pap?”
Camilla mengangguk, kemudian Thalia melanjutkan lagi dengan benak yang dipenuhi tanda tanya, “Apa yang dia lakukan?”
“Dia berbicara dengan Pap.”
“Berbicara?” Keheranan Thalia semakin menjadi-jadi. Dia tidak tahu jika ayahnya mengenal Jose sedemikian baiknya hingga mereka bisa berbincang, terlebih di saat sedang sakit begini.
“Iya. Dia datang saat Pap habis disuntik obat. Setelah itu, dia minta diizinkan bicara dengan Pap, empat mata,” bisik Camilla semakin menggebu, penuh teka-teki.
“Dan kau mengizinkannya?”
“Iya. Awalnya aku ragu. Tapi Pap tidak keberatan. Malahan, Pap memintaku keluar sebentar. Jadi, ya, aku keluar. Dan aku tidak tau apa yang mereka bicarakan.”
Rasa penasaran Thalia semakin membuncah. Terlebih lagi, setelah berpikir keras, tidak ada satu pun topik yang bisa dia hubungkan antara Jose dan ayahnya. Selama ini, ayahnya tidak pernah berbicara satu hal pun tentang Jose. Bahkan menyebut nama pria itu saja tidak pernah. Jadi, di benak Thalia, ayahnya dan Jose tidak saling mengenal, apalagi saling berhubungan.
“Lalu, setelah itu?” Thalia mendesak Camilla bercerita dengan lengkap.
“Mereka hanya bicara selama 10 menit saja. Setelah itu dia pulang. Dan yang lebih mengejutkan, Pap berpesan padaku, jika kau datang, dia minta dibangunkan. Ada yang ingin Pap bicarakan denganmu.”
Thalia semakin heran. Hal apakah yang telah dibicarakan Jose pada ayahnya yang juga berhubungan dengannya?
Tepat saat itu, kedua kelopak mata ayahnya membuka perlahan. “Thalia? Kau sudah datang?” tanya suara ayahnya yang terdengar serak, lemah, dan seakan tanpa tenaga.
“Iya, Pap. Aku di sini. Bagaimana keadaan Pap?”
“Pap baik. Tidak perlu kau cemaskan,” sahutnya sambil menatap sekujur wajah Thalia hingga ke sudut-sudutnya. Thalia membalas dengan senyuman hangat dan menangkup tangan ayahnya seraya menepuk-nepuk pelan.
“Thalia,” panggil ayahnya lagi. Setelah Thalia mengiyakan, sang ayah berkata lagi, “Pap punya permintaan. Sebelum Pap dipanggil Tuhan, Pap ingin kamu menikah.”
Thalia menggigit bibirnya merasa tidak nyaman dengan permintaan ayahnya itu. Menikah? Dengan siapa? Fernando sudah meninggalkannya. Dengan siapa dia akan menikah?
“Nak ...,” panggil ayahnya lagi sembari menggenggam tangan Thalia. Ditepuknya lemah tangan itu.
“Tapi, Pap. Aku belum punya kekasih lagi. Pap kan tau, aku dan Fernando sudah putus.” Hanya menjelaskan seperti itu saja, hati Thalia kembali berdenyut ngilu.
“Pap tau. Pap juga tidak terlalu menyukai Fernando. Tapi, ada satu pria yang mau memperistrimu. Dan Pap sangat tau kualitasnya. Pap tau dia baik, dia bertanggung jawab, dan dia tipe setia, juga pria sejati.”
Thalia mendengarkan semua ucapan pelan ayahnya tetapi hatinya semakin tidak nyaman dalam setiap terkaannya. Siapa yang dimaksud ayahnya? Apakah ayahnya bermaksud menjodohkannya dengan pria yang tak dikenalnya? Mana mungkin dia bisa menikah dengan pria yang tak dikenalnya sama sekali. “Maksud Pap siapa?”
“Dia ... Jose Antonio.”
“Apa? Jose?” Thalia terkejut dan suaranya tertindih seruan suara Camilla yang menanyakan hal yang sama.
“Apa Pap tidak salah? Jose? Dia kan kakak tirinya Fernando?” cecar Camilla yang memang memiliki tabiat meletup-letup.
“Iya. Pap tau. Tapi, Pap juga tau kualitasnya. Dia pria bertanggung jawab. Jika Pap menyerahkanmu kepadanya, Pap bisa tenang.”
Thalia bingung dengan apa yang diucapkan ayahnya. Di saat para ayah lain di seluruh Bacalar akan melarang anak gadis mereka berkencan dengan Jose, ayahnya malah mengatakan akan merasa tenang jika dia menikah dengan Jose? Apa Pap sudah pikun atau bagaimana?
“Pap, lebih baik Pap istirahat lagi. Nanti saat Pap sudah membaik, baru kita bicarakan lagi, ya,” ujar Thalia pada akhirnya, berusaha menghindar dari tuntutan ayahnya.
Tapi, entah apa yang merasukinya, kali ini ayahnya sangat keras kepala. “Thalia, tolonglah. Pap ingin kamu menikah dengan Jose, jika tidak, Pap tidak mau operasi pemasangan ring.”
“Mana bisa begitu, Pap?” seru Camilla pada ayahnya. “Maksudku, aku bisa memahami keinginan Pap untuk menikahkan Thalia dengan pria baik dan bertanggung jawab. Tapi, Jose? Kenapa harus pria itu, Pap? Jose kakaknya Fernando. Dan Sergio kenal dia semasa sekolah. Dia saja dua kali tidak naik kelas, Pap. Dan dia anak paling nakal di sekolah dulu. Sampai sekarang pun reputasinya masih separah preman jalanan. Aduuh, kalau Pap tau kelakuannya, Pap takkan menyebutnya pria sejati ataupun bertanggung jawab. Dia itu masih sering memukul orang sampai babak belur, Pap.”
Protes Camilla yang begitu panjang dan cepat, dijawab dengan tegas oleh ayahnya, meskipun suara itu terdengar lemah. Tapi Thalia tahu, ada keinginan tak terbantahkan di dalam nada suara ayahnya itu.
“Pap tau, Camilla. Pap tau segala sepak terjangnya. Tapi Pap juga mengenal dia dengan baik. Pap sangat kenal ibunya. Jati diri Jose jauh lebih berharga dari apa yang dia tampilkan di permukaan. Jadi, kau yakinlah dengan penilaian Pap. Jika kau menikah dengannya, kau akan bahagia. Biarkan dia yang menjadi suamimu, maka kau akan bahagia. Kau akan dicintai seumur hidupmu. Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain cinta, Thalia.
Kau bisa meraih seluruh dunia dan merasa bangga dengan karier dan karyamu, tapi jika kau hidup tanpa hadirnya cinta, semua itu akan terasa hambar.”
Thalia memandangi ayahnya yang sangat keras kepala kali ini. Dia tahu apa yang ayahnya katakan tadi benar adanya. Tapi, dia tetap tidak mengerti, kenapa ayahnya begitu mengagungkan seorang Jose Antonio? Apa tidak salah? Tidak adakah pria lain? Dia akan rela menikah tanpa cinta dengan pria manapun, asalkan … jangan makhluk itu!
Sekali lagi, Thalia hanya mampu mencoba menghindari pembahasan ini. Dia berkata, “Iya, Pap. Apa yang Pap bilang tadi benar. Tapi, kenapa harus Jose, Pap? Beri aku waktu untuk mencari belahan jiwaku sendiri, Pap. Atau jika Pap ada calon lain, tolong nikahkan aku dengan calon lainnya saja, Pap. Aku bersedia, kok. Asalkan jangan Jose Antonio.”
“Pap tidak punya banyak waktu, Thalia. Minggu depan, Pap sudah harus dioperasi. Jika menunggumu mencari sendiri, mau berapa lama? Dan Pap tidak memiliki calon lain yang kualitasnya sebagus Jose, Sayang.”
“Yang benar saja, Pap. Jose?”
“Kalau kau meragukan penilaian Pap, ya, silakan. Pap tidak akan menjalani operasi. Pap juga akan menolak obat-obatan dan segala macam perawatan mulai detik ini,” ancam ayahnya, yang langsung membuat Thalia kelabakan.
“Pap, jangan begituuuu...,” tangis Thalia berhamburan.
“Jadi bagaimana? Kau terima atau tolak?” desak ayahnya dengan napas mulai menderu dan dadanya terlihat kesulitan menarik napas panjang.
“Thalia?” Camilla menatap adiknya meminta Thalia untuk mengalah dulu saat itu. Entah siapa yang harus dia bela. Dia sendiri tidak setuju dengan pilihan ayahnya. Tapi, dia juga takut terjadi sesuatu pada ayah mereka.
Melihat kekeraskepalaan ayahnya, ditambah kondisinya yang mulai terbatuk-batuk karena Thalia tak kunjung mau menjawab, gadis berambut panjang bergelombang itu akhirnya menjawab, “Iya, Pap. Iya! Aku akan menikah dengan Jose!”
Ucapan ayahnya bahwa seorang Jose Antonio ingin menikahinya terus bergaung di kepalanya. Hampir semalaman Thalia tidak bisa tidur, meski kedua matanya terpejam. Karena itulah, di pagi hari ini, Thalia bangun cepat agar bisa bersiap dan mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang menggedor-gedor benaknya itu. Thalia menunggu makhluk bernama Jose Antonio itu di depan gerbang rumah lelaki itu. Rumah yang besar, megah, dan mewah itu memiliki halaman yang sangat luas. Jarak antara pagar gerbang dan pintu rumahnya sekitar 25 meter. Dan, di bawah terik matahari yang semakin memanas, Thalia menunggu dengan bermondar mandir tak karuan. Sesekali dia mengintip dari celah pagar, adakah tanda-tanda kemunculan Jose. Sudah sepuluh menit berlalu dan Jose Antonio masih belum kelihatan batang hidungnya. Petugas satpam sudah menawarkannya untuk masuk, tapi Thalia tidak mau. Thalia masih menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Akhirnya pintu gerbang terbuk
Thalia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. Dalam balutan gaun pengantin putih dengan kilau0 berlengan panjang, dengan kerah yang mencapai leher, dia merasa tak percaya bahwa dirinya bisa terlihat memukau. Terlebih lagi riasan wajah yang dipolesnya hanyalah riasan sederhana, yang biasa dia gunakan sehari-hari. Rasanya masih sulit dipercaya, baru seminggu yang lalu dia bertemu dengan Jose, kini dia akan menikah dengan pria itu. Dan yang membuat pernikahan ini mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu hanyalah karena mereka menyelenggarkannya dalam kesederhanaan. "Kau pastilah pengantin tercantik di Bacalar, Thalia," ucap Ramona, salah satu sahabat karibnya semasa sekolah, selain Gabriella dan Alodia, berbisik di telinganya. Tatapan mereka saling bertaut di dalam cermin namun Thalia tersenyum sendu pada sahabatnya itu. "Untuk apa jadi pengantin tercantik jika pernikahan ini tidak pernah kuinginkan. Apalagi dia yang akan menjadi suamiku. Dia sa
Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana. Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka. Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan. “Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau. Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal