Share

EGOIS

"Murti, aku sa..sayang sama kamu," ucap Mas Galih terbata karena sedikit rasa bersalahnya mulai muncul.

"Apa? Coba katakan sekali lagi Mas, aku kurang jelas tadi, apa kamu bilang? Sayang?" Aku menyeringai sambil meletakkan telapak tanganku disebelah telingaku.

Sikap dinginku ternyata membuat Mas Galih semakin gugup, karena selama ini Aku selalu bersikap lemah lembut dan menurut dengannya.

"Iya, aku sayang sama kamu, tapi aku juga sayang sama Winda." tuturnya.

"Ooh.. Jadi namanya Winda.” Aku menyeringai.

“Egois kamu Mas, sangat-sangat egois! Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak selingkuh Mas!" kecamku.

Mas Galih menelan ludah kasar, ia bingung bagaimana menjawabnya dan menghadapi sikapku yang seperti ini, istrinya tidak seperti biasanya, mungkin itu yang sedang ia pikirkan sekarang, aku sudah berani menjawab dan melawan ucapannya dengan suara lantang.

“Kenapa diam? Jawab dong! Aku sudah tau kamu menjalin hubungan dengan dia sejak sebelum kita menikah, tapi aku yakin kamu akan berubah setelah kita menikah, aku pertahankan sekuat tenaga rumah tangga ini dan lebih memilih kamu, padahal banyak diluaran sana yang mengincar cintaku, Mas! Kamu tau itu kan? Tapi kenapa kamu masih melanjutkan hubungan kamu sama perempuan itu sampai sekarang?!” Aku sedikit berteriak meluapkan segala keluh kesahku, emosiku memuncak sudah.

Nafasku terengah setelah mengucapkan kata-kata itu, bulir bening dari mataku seketika menetes. Segera ku usap pipiku yang mulai basah, aku tidak ingin terlihat lemah lagi di depan Mas Galih.

“Mur.. aku harus bagaimana?” lirihnya.

“Tinggalkan dia! Mudah kan?” Sinisku.

“Aku gak bisa Mur, saat aku bersama dia, aku menjadi lebih bahagia, hatiku tenang, aku gak ngerti kenapa perasaanku seperti ini, Mur.” Ungkapnya.

Aku menggeram, rahangku mengeras, tanganku mengepal, sekuat tenaga aku menahan amarah. Kata-kata Mas Galih barusan menusuk jantungku, begitu sakit untuk didengar. Namun aku tetap menahan agar air mataku tidak tumpah lagi.

“Astaghfirullah…” ucapku pelan sambil mengusap dadaku yang sesak lalu menunduk sekejap menarik nafas perlahan agar aku sedikit merasa tenang.

“Kamu mengatakan hal itu mikir gak gimana perasaan aku? Jadi maksud kamu aku gak buat kamu bahagia? Hati kamu gak tenang saat bersamaku? Gitu?” ucapku dengan suara sedikit serak.

“Gak gitu Mur, aku cuman ngerasa beda aja, dia memang lebih tua dari aku, aku seperti lebih disayangi, kamu tau sendiri ibuku seperti apa, gak pernah peduli samaku sejak aku kecil, Mur,” Mas Galih mencoba berkilah.

“Cukup Mas, aku muak dengar omongan kamu! Sekarang kamu pilih, ceraikan aku atau tinggalkan dia!” Aku lalu pergi ke kamar membanting pintu sekeras mungkin. Andai saja pintu itu adalah Mas Galih, Aku tidak akan memberinya ampun.

Aku sekuat tenaga untuk tidak menangis. Air mataku sangat mahal untuk menangisinya.

“Pasti perempuan tua itu sangat senang melihat aku dan Mas Galih berseteru hebat.” Gumamku.

***

Keesokan harinya, Aku bersikap untuk lebih cuek kepada Mas Galih, aku sengaja tidak memasak, tidak membersihkan rumah dan tidak mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya seperti biasa yang aku lakukan setiap hari. Semua ku biarkan begitu saja, lalu pergi bekerja.

Sementara Mas Galih juga sedang bersiap berangkat ke kantor, kami tidak saling menyapa atau berbicara satu sama lain sejak kemarin, Mas Galih juga tidur sofa tidak berani mengetuk pintu kamar untuk sekedar meminta bantal atau selimut.

Mas Galih juga belum memutuskan akan memilih siapa. Sepertinya ia ingin keadaan berjalan seperti ini saja tanpa memikirkan perasaanku kedepannya.

 Ku lajukan motor dengan kencang sehingga mengeluarkan suara motor yang begitu keras. Sengaja ku lakukan agar Mas Galih sadar.

Lantas, apakah dia bisa memilih salah satu pilihan yang ku berikan? Dia masih tidak memikirkan itu, membiarkan semuanya berjalan seperti biasanya saja. Karena dia tidak ingin kehilangan keduanya.

Biasanya setiap pagi, Aku selalu menyiapkan sarapan dan secangkir kopi panas untuk Mas Galih, bangun pagi membereskan cucian dan membersihkan rumah, menyiapkan pakaian untuknya ke kantor, namun hari ini Aku bersikap tak peduli.

["Hati-hati sayang, jangan ngebut-ngebut bawa motornya, jangan lupa sarapan ya!"] aku membaca pesan darinya saat tiba di sekolah.

["Sayang, hari ini kita jadi ke Mall kan?"] masuk pula sebuah pesan dari Winda. Aku memang sudah menyadap aplikasi hijau milik Mas Galih sehingga aku tahu apa yang mereka bicarakan. Mas Galih tidak menyadari itu.

Mas Galih langsung membalasnya hanya dalam hitungan detik.

["Tentu sayang, setelah aku pulang dari kantor, aku jemput kamu ya,"]

Aku jijik membaca chattingan mereka. Lalu ku abaikan semuanya. Aku akan menjalani aktivitas seperti biasanya.

***

Aku adalah seorang operator di sebuah Sekolah Dasar, pekerjaanku mengelola administrasi sekolah, gajinya tidak besar, aku hanya ingin mengisi waktu luang saja dari pada menganggur.

Meskipun aku seorang sarjana komputer, namun aku tidak ingin bekerja di sebuah perusahaan yang mungkin gajinya lebih besar. Bukan karena aku tidak butuh uang, hanya saja uang yang diberikan Mas Galih selama ini, setiap bulan sudah lebih dari cukup bagiku.

Sekolah tempat ku bekerja hanya sepuluh menit berjalan kaki dari rumah orang tuaku. Itulah salah satu alasan agar aku bisa leluasa pulang dan beristirahat ke rumah Ibu sembari menunggu suamiku menjemput atau terkadang aku mengendarai motor sendiri. Ayah mertuaku bahkan sudah menawariku jabatan di perusahaannya jika aku ingin bekerja, namun aku menolak.

Sedangkan Mas Galih adalah anak dari pemilik perusahaan kelapa sawit terbesar di kota ini yaitu PT. Adyatama Agro Jaya. Ia menjabat sebagai direktur produksi. Jabatan itu ia emban sesuai perintah sang Ayah, Baroto Adyatama, sekaligus orang terkaya di kota ini.

Namun keluarganya bukan seperti orang kaya di sinetron yang selalu menyombong dan menginginkan menantu yang sepadan, orang tua Mas Galih membebaskan anaknya untuk memilih jodoh sendiri mau itu orang kaya atau bahkan miskin, mereka tidak mempermasalahkannya. Karena sejatinya, Baroto sendiri juga terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Ia membangun perusahaan ini sendiri dari Nol.

Aku adalah gadis dari keluarga biasa saja, pekerjaan orang tuaku hanya seorang petani. Mempunyai sebuah kebun yang sering ditanam berbagai buah atau rempah. Dari hasil bertani itulah orang tuaku bisa menyekolahkan kedua anaknya, Kak Rian dan Aku, sampai menjadi seorang sarjana.

Awalnya Ayah, menentang hubunganku dengan Mas Galih. Karena merasa minder dengan keluarganya yang kaya raya, namun entah bagaimana akhirnya beliau merestui pernikahan kami berdua. Lalu Kak Rian, diberi jabatan oleh Pak Baroto sebagai Mandor di perusahaannya. Kak Rian memilih itu karena ia tidak ingin jabatan tinggi, takut tidak bisa bertanggung jawab. Namun Pak Baroto berjanji kelak akan menaikkan jabatannya maupun gajinya.

Dan tentunya keluarga kami berdua sampai saat ini tidak mengetahui perbuatan Mas Galih terhadapku. Karena sejatinya kami selalu terlihat seperti pasangan yang selalu mesra dan bahagia di depan semua orang.

Aku memang pandai menyembunyikan kesakitanku, sedangkan Mas Galih memang tidak punya perasaan, ia bersikap seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

Namun sesabar apapun seseorang pasti lama kelamaan tidak tahan juga, Aku mulai ingin membuka suara tentang prahara dalam rumah tanggaku ini dengan seorang yang bisa ku percayai. Aku ingin mencurahkan isi hatiku, setidaknya ada orang yang mendengarkan keluh kesahku.

Aku menatap layar ponselku dengan tatapan kosong, tiba tiba aku berubah kembali menjadi Murti yang lemah. Apalagi saat membaca pesan dari Mas Galih.

Jujur, sebenarnya aku tidak bisa bersikap acuh begini, karena aku tahu Mas Galih tidak becus, ia pasti keluar dengan pakaian yang kusut, tidak memikirkan sarapan, tidak peduli dengan penampilannya jika Aku tidak mengurusnya.

Namun perbuatan Mas Galih juga tidak bisa begitu saja ku maafkan kecuali dia meninggalkan selingkuhannya itu. Aku ingin Mas Galih hanya milikku, tidak ingin cintanya terbagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status