Dengan malas aku membukakan pintu kamar yang digedor begitu keras oleh Mas Galih.
Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Seketika aku memegangi pipiku yang memanas oleh tamparan yang begitu keras. Ku sentuh sudut bibirku yang perih, ternyata ada sedikit darah.“Oh, demi siluman tua itu kamu bahkan tega menampar aku!” ucapku dengan nada dingin dan suara sedikit serak.“Aku gak bermaksud kasar sama kamu, tapi kamu udah bener bener keterlaluan, Murti!” bentaknya.“Yang keterlaluan itu kamu, Mas! Kamu bisa ngaca gak?” balasku dengan suara sedikit meninggi.“Apa salahku, Mur?” tanyanya lemah. Sepertinya Mas Galih benar benar kehilangan akal dan pikiran.“Hahahahaha…” aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan konyol Mas Galih.Bagaimana bisa dia bertanya apa salah dirinya? Apa dia sudah tidak waras?“Kamu, ikut aku!” tiba tiba Mas Galih menarik lenganku dengan kasar.“Mau kemana, Mas!” ucapku lalu menepis tangannya. Aku mengusap lenganku yang tergambar bentuk jari jari Mas Galih.“Kamu harus minta maaf sama Winda!” perintahnya.Lagi lagi aku tertawa, entah aku pun sudah mulai gila saat ini. Terasa begitu menggelitik, kenapa aku harus minta maaf pada siluman kunti itu. Aku sungguh tak mengerti dengan jalan pikirannya Mas Galih saat ini.“Kenapa aku harus minta maaf! Aku gak salah apa apa!” tolakku dengan tegas.Dada Mas Galih naik turun, napasnya terengah, rahangnya mengeras, menandakan dia sedang sangat emosi.“Kamu berselingkuh, lalu menghamilinya, membawanya pulang ke rumah, bersikap romantis padanya di depanku, sedangkan denganku, kamu tidak pernah bersikap manis. Terlebih lagi, aku sama sekali belum kamu sentuh! Apa masih kurang untuk menjelaskan apa kesalahanmu? Aku ini istrimu atau bukan?!” aku berteriak meluapkan segala isi hatiku.Mas galih masih terpaku menatapku dengan sorot matanya yang tajam, seperti kehabisan kata untuk menjawab perkataanku.“Kamu juga sudah berani berbuat kasar padaku. Yang katanya berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tapi nyatanya?” aku tersenyum kecut menatap mata pria yang telah mengucap kabul setahun lalu di hadapan Ayahku.Kini matanya mulai berkaca kaca, entah dia sadar akan kesalahannya atau ada hal lain yang dia pikirkan. Sungguh saat ini Mas Galih sama sekali tidak bisa ditebak.“Dan lucunya, kamu menyuruhku untuk minta maaf pada perempuan itu, sedangkan kamu tidak pernah mengucapkan kata maaf sekali pun padaku, Mas! Sadar kamu!!!” hardikku sambil mengguncang kedua bahu kekarnya.“Tapi aku sudah memberimu banyak uang, aku pastikan kamu gak pernah kekurangan apapun, apa itu masih kurang?” Mas Galih balas memegang kedua bahuku, menatapku dengan tatapan elang.“Kalau kamu menganggap pernikahan ini bisa diselesaikan dengan uang, lebih baik kita cerai saja! Aku akan kembalikan semua uang yang kamu kasih ke aku, aku bukan wanita yang gila harta meskipun aku terlahir dari keluarga miskin!” ucapku penuh penekanan.“Udah aku bilang, aku gak mau cerai!” dia semakin mengeratkan cengkramannya di bahuku, aku memekik kesakitan.“Lepasin! Aku bukan perempuan bodoh dan lemah yang bisa kau sakiti seenaknya!” ucapku lalu menepis tangan Mas Galih dari bahuku.“Apa susahnya untuk bercerai? Kamu gak pernah anggap aku istri, untuk apa kamu menikahiku, Mas?” kali ini air mataku luruh tak bisa lagi ku bendung.“Aku masih butuh kamu, Murti! kalau kamu ceraikan aku, aku akan bunuh diri!” ancamnya lagi.“Silahkan! Aku sudah tak takut dengan ancamanmu itu!” aku kembali masuk ke kamar dan membanting pintu cukup keras.Menangis sejadinya di dalam kamar, meluapkan segala sesak yang sedari tadi ku tahan. Meskipun aku berusaha untuk kuat, tetap saja aku hanyalah wanita biasa, hatiku mudah rapuh.Terdengar suara mobil Mas Galih meninggalkan rumah. Mungkin dia akan menemui calon Ibu dari anaknya itu.“Kenapa dia harus menikahiku kalau tidak ingin menganggapku sebagai istrinya!” isakku.Aku terbayang kembali saat kami berpacaran dulu, tiga tahun bukan waktu yang sebentar, meskipun aku sering berganti ganti pacar, tapi akhirnya aku jatuhkan hatiku untuk yang terakhir pada Mas Galih.Kami menjalin hubungan yang sehat, dia tidak pernah macam macam denganku, hanya sekedar memegang tangan dan mengecup kening, itupun saat hari ulang tahunku saja. Dia seperti teman, Ayah, dan Abang bagiku. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Aku mempercayainya karena aku pikir dia pria baik baik yang tak ingin merusak martabatku sebagai seorang wanita.Namun menjelang pernikahan kami, dia mulai berubah, dan aku mengetahui dirinya sedang menjalin hubungan dengan wanita lain yang merupakan seorang janda.Dulu aku menganggap hal itu sebagai cobaan sebelum pernikahan, aku tak pernah menganggapnya serius, apalagi wanita itu hanya seorang janda dan usianya lebih tua dibandingkan Mas Galih.Aku pun mengabaikan hal itu dan menikah dengan Mas Galih dengan harapan wanita tua itu akan menjauhi suamiku, dan Mas Galih akan menjadi suami yang baik untukku.Tapi semua itu hanya mimpi, aku merasa setahun menikah sudah cukup untukku mengungkap semuanya. Mau sampai kapan lagi aku bertahan, apalagi aku belum pernah di sentuh olehnya. Jujur, aku sangat ingin memiliki anak.Setiap kali aku merayunya untuk berhubungan suami istri, Mas Galih selalu beralasan, bahkan sering pulang larut malam. Aku bertahan karena aku memang tulus mencintainya, tapi ternyata cintaku membuat aku menjadi buta dan bodoh.“Lebih baik besok aku tinggalkan rumah ini.” Putusku.Aku duduk berhadapan dengan cermin meja rias. Menatap wajah dan tubuh ini. Memperhatikan setiap lekuk dari ujung kepala hingga ujung kaki, mencari celah dimana letak kurangnya diriku, sehingga pria yang ku sebut suami tak mau menyentuhku.“Apa yang kurang dariku? Orang orang bilang wajahku cantik, bahkan dulu banyak lelaki yang mengejar cintaku.” Ucapku pada cermin.“Meskipun aku gadis kampung, tapi aku tidak merasa bersikap kampungan, apa aku pernah membuat Mas Galih malu?” tanyaku seorang diri.Aku kembali mengingat wajah dan tubuh siluman kunti itu, tubuhnya yang sedikit lebih berisi dari padaku, bibirnya yang sensual, wajahnya mulus, rambutnya panjang, ku akui buah dada dan bokongnya memang montok. Sama sekali tak terlihat seperti seorang janda.Wanita itu merawat tubuhnya dengan sangat baik. Tapi sayangnya, dia menggunakan kecantikannya untuk merusak rumah tangga orang.“Apa karna badanku yang kurus, dan buah dadaku yang tak seberapa ini, membuat Mas Galih tak berselera denganku?” tanyaku lagi pada cermin dihadapanku sambil memegang kedua buah dadaku.Sempat terlintas dalam otak bejatku untuk kembali seperti gadis dulu, dimana pakaianku yang terlalu terbuka sehingga menampakkan belahan dada, atau pakaian yang super ketat sehingga memperlihatkan bentuk lekuk tubuhku dengan sempurna?Aku mengurut dahi yang semakin berdenyut. Seketika teringat dengan nasehat Kak Dea kemarin, namun setan terus menggodaku untuk berpenampilan seksi saja dan tak usah memperbaiki diri.“Sholat istikhoroh! Aku belum mempelajarinya.” Gumamku.Malam ini ku putuskan untuk mempelajari tentang sholat istikhoroh, begitu banyak yang ingin ku tanyakan pada Tuhan, haruskah aku bertahan, haruskah aku pulang kepada orang tuaku, manakah jalan yang harus ku tempuh?Keesokan harinya, di sekolah. “Sudahlah Ti, ceraikan saja suamimu itu, gugat dia! untuk apa bertahan kalau dia saja tidak mau berubah!” tegas Kak Sumi, guru mata pelajaran seni.Aku melotot kaget mendengar ucapan wanita bertubuh gempal yang memecahkan keheningan di ruang guru.“Ka..kakak tau dari mana?” ucapku gugup seraya menoleh ke Kak Dea.Namun Dea juga berekspresi kaget, ia mengangkat kedua bahunya, menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak membongkar rahasia itu.“Maaf kalau kalian berdua kaget, aku gak sengaja mendengar percakapan kalian berdua kemarin, aku sedang duduk di meja piket depan, tiba-tiba mendengar Murti menangis, tapi aku gak berani masuk, sekali lagi maaf.” Ucap kak Sumi.Aku dan Kak Dea menarik nafas panjang, pasrah, karena rahasiaku telah di dengar orang lain.“Aku gak bisa Kak, berat banget rasanya ninggalin dia,” ucapku lemah. “Kakak tolong jangan cerita ke siapa-siapa ya,” pintaku lagi.“Kita perempuan jangan mau diinjak, harus tegas! Ambil keputusa
Siang itu, Aku, Pak Dodi dan Kak Sumi pergi bareng untuk ngebakso, naik mobil milik Pak Dodi.“Kita mau makan bakso dimana, Pak Dod?” tanyaku.“Oh, tenang, ada langganan saya, recomended banget deh ini baksonya enak, ada mie ayam juga. Menu lainnya juga banyak.” Ucap pak Dodi sambil fokus menyetir.“Bapak mentang mentang duda, bebas banget ya kesana kemari sama ciwi ciwi cakep.” Celetuk kak Sumi.Pak Dodi seketika menoleh ke Kak Sumi yang duduk di sampingnya.“Siapa?” tanya Pak Dodi.“Ya kita kita ini.” Kak Sumi menunjuk dirinya dan menoleh ke belakang menunjuk diriku.“Kalian mah bukan ciwi ciwi, sudah bersuami semua, gak level deh! Hahaha.” Kami bersenda gurau selama perjalanan.Sekitar dua puluh lima menit kami sampai di warung bakso yang di maksud Pak Dodi. Tempatnya cukup mewah, juga banyak spot untuk berfoto, ditambah pemandangan sawah di dekatnya, juga terdapat sungai kecil yang airnya sangat jernih.Membuat suasana sejuk dan asri. Tak heran warung bakso ini ramai pengunjung. S
Melihat kami tertawa dan bercanda ria, membuat Mas Galih gerah. Kembali dia mendatangi kami saat kami tengah asyik menyantap makanan. “Pulang sekarang!” Pria yang masih berstatus suamiku itu menarik lenganku dengan kasar, sehingga aku tertarik untuk berdiri. “Apaan sih, sakit!” pekikku sambil menepis tangannya. “Pantes aja kamu gak peduli lagi sama keadaan rumah tangga kita, di tambah lagi kamu sudah berani melawan, ternyata ini alasannya!” Hardik Mas Galih sambil menatap sinis pada Pak Dodi. Pak Dodi memutar bola mata, jengah dengan ucapan Mas Galih yang tak masuk akal. “Hah,” aku setengah tertawa mendengar ucapan Mas Galih, sungguh tak sadar diri. Orang orang mulai memperhatikan kami dengan raut wajah heran. “Jangan buat keributan disini! Please!” Aku memohon dengan menekan suara. Seakan tak peduli dengan permintaanku, Mas Galih menatap penuh emosi kepada Pak Dodi. Pria berbadan berbaju olahraga itu menarik napas kasar lalu berdiri seakan menerima tantangan dari suamiku. “M
“Mas maunya apa? Saya tidak berduaan dengan Murti seperti yang Mas pikirkan, apa Mas gak lihat ada satu lagi wanita bersama kami!” ucap Pak Dodi dengan nada penuh penekanan. “Saya juga gak punya hubungan apa apa sama dia seperti Mas berhubungan dengan mantan istri saya itu!” sindirnya. Pak Dodi tetap memanggil suamiku dengan sebutan Mas padahal dirinya lebih tua. “Pak Dodi, maaf. Sebaiknya bapak pulang sekarang, nanti saya akan ganti rugi untuk mobil Bapak.” Ucapku mencoba menenangkan Pak Dodi yang terlihat mulai emosi. “Tunggu, Mur! Suami kamu ini perlu di kasih pelajaran biar dia sadar kalo perbuatan dia sama kamu itu jauh lebih hina, berhubungan dengan seorang janda yang usianya bahkan lebih cocok menjadi tantenya, menelantarkan istri sahnya, saya rasa otaknya dia sudah gak berfungsi dengan normal.” Sungut Pak Dodi kesal. “Saya tunggu kamu di rumah!” Mas Galih menunjuk wajahku dengan tatapan tajamnya, lalu masuk ke mobil dan membanting pintu dengan begitu keras. Kemudian berlal
Sampai di rumah orang tuaku, Ibu dan Bapak sedang duduk bersantai di teras. Aku gugup bukan main, apa alasan yang akan ku utarakan nanti pada mereka. Ibu terlihat mendongakkan kepala, memastikan siapa yang berada di dalam mobil bersama menantunya. Aku turun dari mobil lebih dulu, sambil mengulas senyum pada kedua orang tuaku. Lalu Kak Nita membuka bagasi mobil, aku segera mengambil barang barangku disana. Ibu bangkit dari duduknya menghampiriku, kedua alisnya nyaris tertaut karna melihatku banyak membawa barang. “Assalamu’alaikum, Pak, Bu.” Sapaku pada orang yang telah membesarkanku. “Wa’alaikumsalam.” Jawab Ibu dan Bapak kompak. “Loh, kamu mau kemana, Nak?” Tanya Ibu heran seraya mengerutkan kening. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, aku terlebih dulu menyalami dan memeluk mereka bergantian. Entah kenapa seolah sudah lama sekali tidak pulang kesini, padahal sering, setiap pulang sekolah terkadang aku singgah dulu ke rumah orang tuaku. “Ada apa ini?” Tanya Bapak penasaran. “Oh
“Assalamu’alaikum..” ucap Kak Rian dan Kak Nita.“Wa’alaikumsalam, tumben kesini barengan, kamu udah pulang kerja?” Tanya Ibu saat Kak Rian mencium tangannya.“Tadi abis nganterin Alea sama Alan langsung kesini, Bu.” Jawab Kakak Iparku.Kak Rian langsung menatapku dengan tatapan tajam, sementara Kak Nita tersenyum nyengir sambil melirikku.“Rian mau bicara sama Murti, Bu.” Ucap pria tampan dengan hidung mancung, tinggi sekitar seratus delapan puluhan, berkulit putih dan berbadan kekar, dialah Abangku, yang biasa ku panggil Kak Rian.“Oh, ya udah yuk masuk!” Ajak Ibu.Kami duduk melingkar di sofa ruang tamu.“Oh, kamu udah datang?” Tanya Bapak yang tiba tiba muncul lalu duduk di kursi single.“Bapak yang nyuruh Kak Rian kesini?” Tanyaku basa basi.“Bukan, aku kesini karna Nita tadi bilang abis jemput kamu dari rumahnya Galih, terus nganterin ke rumah Ibu.” Ketus Kak Rian.Aku tertunduk lesu, pasti Kak Nita sudah menceritakan semuanya pada Kak Rian. Dia pasti marah besar. Eh, tapi kata
Keesokan hari. Kak Sumi tidak masuk hari ini karena anaknya sedang sakit, jadinya aku membatalkan niatku untuk bertanya apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menggugat cerai sekaligus memintanya untuk menemaniku ke pengadilan agama. Setelah selesai bekerja, aku pulang berjalan kaki ke rumah Ibuku karena jaraknya memang dekat. “Mur, mau saya antar?” Seorang pria menurunkan kaca mobilnya, berhenti di sampingku, membuatku yang sedang melamun tersadar. “Ah, gak usah, lima langkah lagi juga nyampe, Pak Dod.” Tolakku pada Pak Dodi yang juga akan pulang. “Oh, iya. Ya Udah, hati hati, Mur!” ucap Pak Dodi, kemudian berlalu pergi. aku menengar sayup sayup bisikan tetangga yang berkomentar tentang aku dan Pak Dodi. “Bisa jadi dia diusir sama suaminya karena menggatal sama laki lain.” “Iya, aku kemarin liat dia bawa koper banyak, kayaknya mereka udah pisah.” “Dia kan emang perempuan gak bener, dulu suka sekali gonta ganti pacar.” “Kasian ih, suaminya itu. Padahal, udah ganteng, kaya, a
“Mur, ada apa?” Tanya Kak Yuni yang bingung dengan sikap ketusku pada sekretaris Mas Galih. “Nanti aku ceritain.” Bisikku pada Kak Yuni. “Terserah kamu!” ucapku sinis pada wanita yang bernama Lisa itu. Dia kemudian duduk kembali di samping suamiku seperti saat aku datang tadi. Aku mengerutkan dahi, rasanya tak wajar seorang sekretaris secemas itu pada lelaki yang bahkan istrinya berada di depannya. “Kamu ngapain duduk disitu lagi?” Aku mendekatinya lalu menolak bahunya agar dia berdiri. “Saya hanya menjaga Pak Galih sesuai perintah Bu Retno.” Ucapnya. Sepertinya kesabaranku sudah habis, gadis ini sangat ngeyel. Sama sekali tak ada rasa segannya padaku. Apa dia mau terang terangan mengakui bahwa berselingkuh juga dengan suamiku? “Saya ini istrinya, kamu hanya sekretarisnya! Awas!” bentakku lagi. Dia pun berdiri lalu berpindah ke sofa dengan wajah kesal, menatapku dengan tatapan tajam. Seketika hilang wajah kalemnya yang tadi ia suguhkan padaku, kini berubah seperti wajah elang