Keesokan harinya, di sekolah.
“Sudahlah Ti, ceraikan saja suamimu itu, gugat dia! untuk apa bertahan kalau dia saja tidak mau berubah!” tegas Kak Sumi, guru mata pelajaran seni.
Aku melotot kaget mendengar ucapan wanita bertubuh gempal yang memecahkan keheningan di ruang guru.
“Ka..kakak tau dari mana?” ucapku gugup seraya menoleh ke Kak Dea.
Namun Dea juga berekspresi kaget, ia mengangkat kedua bahunya, menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak membongkar rahasia itu.
“Maaf kalau kalian berdua kaget, aku gak sengaja mendengar percakapan kalian berdua kemarin, aku sedang duduk di meja piket depan, tiba-tiba mendengar Murti menangis, tapi aku gak berani masuk, sekali lagi maaf.” Ucap kak Sumi.
Aku dan Kak Dea menarik nafas panjang, pasrah, karena rahasiaku telah di dengar orang lain.
“Aku gak bisa Kak, berat banget rasanya ninggalin dia,” ucapku lemah. “Kakak tolong jangan cerita ke siapa-siapa ya,” pintaku lagi.
“Kita perempuan jangan mau diinjak, harus tegas! Ambil keputusan segera mungkin, kalau kamu gak mau terus-terusan menderita sama kelakuannya!” ucap kak Sumi dengan nada kesal.
“Tenang, aku bisa kok jaga rahasia!” lanjutnya.
Aku hanya terdiam, dan kembali fokus ke komputerku dan berpura-pura mengerjakan sesuatu.
“Biaya cerai gak mahal, Kakak sudah pernah menemani sepupu untuk menggugat suaminya yang juga tukang selingkuh,” sambungnya.
Aku hanya menoleh sekejap lalu menarik nafas pelan, tak ingin menanggapi ucapan dan saran dari Kak Sumi karena dia tidak tahu perasaanku dan kejadian yang seperti apa.
“Memangnya berapa biayanya Kak?” Kak Dea mulai angkat suara.
“Cuma enam ratus ribu rupiah, datang langsung ke Pengadilan Agama. Gak mahal kan? Prosesnya juga gak ribet kok,” Kak Sumi yang seperti kompor meleduk terus mendukungku agar segera menceraikan suamiku yang tengah selingkuh.
Aku masih menatap layar kompter, pikiranku kalut. Sudah setahun menikah, tapi aku terus bertahan dengan sikap Mas Galih, dan aku masih belum juga bertindak sesuatu.
“Biar Murti sendiri yang memutuskan, dia juga masih bimbang kak, kita doakan saja semoga Murti menemukan jalan terbaiknya,” ujar Kak Dea menimpali.
Keadaan di ruang guru kemudian senyap, hanya ada kami bertiga saat itu. Dan juga persoalan tentang Mas Galih yang selingkuh saat ini, hanya diketahui oleh Kak Dea dan Kak Sumi, mereka berdua sudah seperti kakak bagiku. Aku berharap Kak Sumi bisa menyimpan rahasia ini.
“Satu sisi aku juga ingin bercerai, aku berpikir untuk apa pernikahan ini kupertahankan kalau aku tidak bahagia. Tapi disisi lain, aku masih cinta sama Mas Galih dan juga dia tidak mau bercerai denganku, jadi aku saat ini seperti terbelenggu, Kak.” Ucapku memecah keheningan, karena sejak tadi kami bertiga hanya diam, sibuk dengan pikiran masing masing.
“Kamu sudah coba sholat istikharah ?” Tanya Kak Dea.
Aku mengangguk lemah, malam tadi aku mempelajarinya dan langsung mempraktekkannya. Aku berdoa dan banyak meminta pada Tuhan, Kak Dea bilang luapkan semua keluh kesah kita saat berdoa, karena Allah maha mendengar.
“Ajarin aku, Kak De!” pintaku.
Kak Dea hanya mengangguk sambil melemparkan senyum kepadaku. Aku menyadari bahwa diriku terlalu jauh dari sang pencipta, sehingga mungkin saja hal ini adalah sebuah ujian untukku agar lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta.
Karena selama ini aku tidak pernah melakukan kewajiban sebagai hamba, sholat yang masih sering bolong, pakaian yang masih sering terbuka dan masih banyak lagi hal lain yang aku langgar dalam agama, maka dari itu aku butuh seseorang yang mampu membimbing ke jalan yang benar.
“Assalamu’alaikum… loh, ada apa ini kok senyap banget.” Pak Dodi seorang guru mata pelajaran Penjaskes masuk ke ruang guru dan mengejutkan kami bertiga yang tengah terhanyut oleh kisah ku.
Tak ada seorang pun yang menjawab, hanya ekspresi Kak Sumi yang mengelus dada dengan mata sedikit melotot karena terkejut dengan suara Pak Dodi yang menggelegar memecahkan suasana hening ruangan saat itu.
Kak Dea yang sibuk dengan materi ajarnya, hanya tersenyum geli. Sementara aku masih tetap termenung menatap layar komputer yang sebenarnya tidak sedang mengerjakan apa-apa.
“Kalian nyeritain saya ya?” Kembali Pak Dodi nyeletuk karena tidak ada yang menanggapinya.
“Jangan seuzon, Pak.” Ucap Kak Dea sambil tersenyum melihat tingkah Pak Dodi.
“Jadi kenapa pas saya masuk kalian langsung diam?” Matanya melirik ke kanan dan ke kiri mengamati Kak Dea dan Kak Sumi.
“Kegeeran Bapak, kami memang sejak tadi sudah diam tanpa kata,” ujar Kak Sumi sambil bercermin memeriksa alisnya.
“Sungguh situasi yang amat langka, tiga wanita terdiam tanpa bergosip di sebuah ruangan,” Pak Dodi bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya, ia memang dikenal sebagai guru yang ceria dan penuh canda.
Satu-satunya orang yang tidak tertarik dengan gurauan Pak Dodi saat itu adalah aku, yang tetap diam tak berekspresi, apalagi menanggapi.
Pak Dodi yang menyadari hal itu lalu memberikan kode ke Kak Sumi dengan menaikkan alisnya dua kali lalu memiringkan bibirnya kearahku bermaksud menanyakan ada apa denganku yang biasanya ramah tapi hari ini ia temukan wajahku murung. Aku tahu hal itu karena sesekali mengintip dari balik layar komputer.
Kak Sumi hanya mengangkat kedua bahunya berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi dengan seorang operator sekolah yang berbadan mungil ini.
“Eh.. ngomong-ngomong pulang sekolah nanti ngebakso yuk!” ajak Pak Dodi.
“Saya gak bisa Pak, siang nanti mengajar tahsin di TPA,” sahut Kak Dea.
“Kalau Bu Sumi, gimana?” tanya Pak Dodi lagi.
“Saya sih oke, tapi masak cuma kita berdua, apa kata dunia?” Selorohnya sambil merapikan lipstik. Guru seni yang satu ini memang sangat suka bersolek merias diri.
“Gak dong, kita ajak yang lainnya. Kamu gimana Mur?” Pak Dodi melirik kepadaku sambil menaik-turunkan kedua alisnya lalu tersenyum menampilkan giginya yang tersusun rapi.
Aku masih terdiam, tidak fokus pada perkataan Pak Dodi sehingga aku belum menjawab ajakannya.
“Mur..! Murtii..!” panggil Kak Sumi.
“Eh.. iya Kak Sum, ada apa?”
“Pak Dodi nanya sama kamu, dari tadi emang kamu gak denger apa yang kita omongin?” Kak Sumi menghentikan polesan bedak ke wajahnya demi melihat ekspresiku.
“Hahaha, maaf Pak Dod, saya tadi lagi fokus banget ngerjain laporan ini, Bapak tanya apa tadi?” kilahku.
“Mau gak kamu ikut kita ngebakso selepas pulang sekolah nanti, itung-itung buat ilangin stres,” ajaknya.
“Emmm… tapi saya…” ucapku ragu, aku masih trauma dengan yang namanya kafe.
“Udah hayuk, nanti yang lain juga ikutan kok, saya yang traktir deh, khusus buat kamu doang tapi,” Pak Dodi mencoba menghiburku.
“Waahh curang ! kenapa Murti sendiri yang ditraktir, saya gak, Pak?” protes Kak Sumi.
Pak Dodi hanya berdecak lalu mengedipkan matanya kepada wanita beralis tebal itu, memberi kode kocak bahwa hal itu hanya untuk menghiburku yang tengah murung. Meski ia tidak tahu menahu apa masalah yang kini tengah aku hadapi.
“Hari ini hanya khusus untuk Murti, supaya dia semakin semangat mengerjakan laporan,” Pak Dodi nyengir, membuatku akhirnya ikut tersenyum melihat tingkahnya.
“Terima kasih ya, Pak.” Ucapku.
Siang itu, Aku, Pak Dodi dan Kak Sumi pergi bareng untuk ngebakso, naik mobil milik Pak Dodi.“Kita mau makan bakso dimana, Pak Dod?” tanyaku.“Oh, tenang, ada langganan saya, recomended banget deh ini baksonya enak, ada mie ayam juga. Menu lainnya juga banyak.” Ucap pak Dodi sambil fokus menyetir.“Bapak mentang mentang duda, bebas banget ya kesana kemari sama ciwi ciwi cakep.” Celetuk kak Sumi.Pak Dodi seketika menoleh ke Kak Sumi yang duduk di sampingnya.“Siapa?” tanya Pak Dodi.“Ya kita kita ini.” Kak Sumi menunjuk dirinya dan menoleh ke belakang menunjuk diriku.“Kalian mah bukan ciwi ciwi, sudah bersuami semua, gak level deh! Hahaha.” Kami bersenda gurau selama perjalanan.Sekitar dua puluh lima menit kami sampai di warung bakso yang di maksud Pak Dodi. Tempatnya cukup mewah, juga banyak spot untuk berfoto, ditambah pemandangan sawah di dekatnya, juga terdapat sungai kecil yang airnya sangat jernih.Membuat suasana sejuk dan asri. Tak heran warung bakso ini ramai pengunjung. S
Melihat kami tertawa dan bercanda ria, membuat Mas Galih gerah. Kembali dia mendatangi kami saat kami tengah asyik menyantap makanan. “Pulang sekarang!” Pria yang masih berstatus suamiku itu menarik lenganku dengan kasar, sehingga aku tertarik untuk berdiri. “Apaan sih, sakit!” pekikku sambil menepis tangannya. “Pantes aja kamu gak peduli lagi sama keadaan rumah tangga kita, di tambah lagi kamu sudah berani melawan, ternyata ini alasannya!” Hardik Mas Galih sambil menatap sinis pada Pak Dodi. Pak Dodi memutar bola mata, jengah dengan ucapan Mas Galih yang tak masuk akal. “Hah,” aku setengah tertawa mendengar ucapan Mas Galih, sungguh tak sadar diri. Orang orang mulai memperhatikan kami dengan raut wajah heran. “Jangan buat keributan disini! Please!” Aku memohon dengan menekan suara. Seakan tak peduli dengan permintaanku, Mas Galih menatap penuh emosi kepada Pak Dodi. Pria berbadan berbaju olahraga itu menarik napas kasar lalu berdiri seakan menerima tantangan dari suamiku. “M
“Mas maunya apa? Saya tidak berduaan dengan Murti seperti yang Mas pikirkan, apa Mas gak lihat ada satu lagi wanita bersama kami!” ucap Pak Dodi dengan nada penuh penekanan. “Saya juga gak punya hubungan apa apa sama dia seperti Mas berhubungan dengan mantan istri saya itu!” sindirnya. Pak Dodi tetap memanggil suamiku dengan sebutan Mas padahal dirinya lebih tua. “Pak Dodi, maaf. Sebaiknya bapak pulang sekarang, nanti saya akan ganti rugi untuk mobil Bapak.” Ucapku mencoba menenangkan Pak Dodi yang terlihat mulai emosi. “Tunggu, Mur! Suami kamu ini perlu di kasih pelajaran biar dia sadar kalo perbuatan dia sama kamu itu jauh lebih hina, berhubungan dengan seorang janda yang usianya bahkan lebih cocok menjadi tantenya, menelantarkan istri sahnya, saya rasa otaknya dia sudah gak berfungsi dengan normal.” Sungut Pak Dodi kesal. “Saya tunggu kamu di rumah!” Mas Galih menunjuk wajahku dengan tatapan tajamnya, lalu masuk ke mobil dan membanting pintu dengan begitu keras. Kemudian berlal
Sampai di rumah orang tuaku, Ibu dan Bapak sedang duduk bersantai di teras. Aku gugup bukan main, apa alasan yang akan ku utarakan nanti pada mereka. Ibu terlihat mendongakkan kepala, memastikan siapa yang berada di dalam mobil bersama menantunya. Aku turun dari mobil lebih dulu, sambil mengulas senyum pada kedua orang tuaku. Lalu Kak Nita membuka bagasi mobil, aku segera mengambil barang barangku disana. Ibu bangkit dari duduknya menghampiriku, kedua alisnya nyaris tertaut karna melihatku banyak membawa barang. “Assalamu’alaikum, Pak, Bu.” Sapaku pada orang yang telah membesarkanku. “Wa’alaikumsalam.” Jawab Ibu dan Bapak kompak. “Loh, kamu mau kemana, Nak?” Tanya Ibu heran seraya mengerutkan kening. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, aku terlebih dulu menyalami dan memeluk mereka bergantian. Entah kenapa seolah sudah lama sekali tidak pulang kesini, padahal sering, setiap pulang sekolah terkadang aku singgah dulu ke rumah orang tuaku. “Ada apa ini?” Tanya Bapak penasaran. “Oh
“Assalamu’alaikum..” ucap Kak Rian dan Kak Nita.“Wa’alaikumsalam, tumben kesini barengan, kamu udah pulang kerja?” Tanya Ibu saat Kak Rian mencium tangannya.“Tadi abis nganterin Alea sama Alan langsung kesini, Bu.” Jawab Kakak Iparku.Kak Rian langsung menatapku dengan tatapan tajam, sementara Kak Nita tersenyum nyengir sambil melirikku.“Rian mau bicara sama Murti, Bu.” Ucap pria tampan dengan hidung mancung, tinggi sekitar seratus delapan puluhan, berkulit putih dan berbadan kekar, dialah Abangku, yang biasa ku panggil Kak Rian.“Oh, ya udah yuk masuk!” Ajak Ibu.Kami duduk melingkar di sofa ruang tamu.“Oh, kamu udah datang?” Tanya Bapak yang tiba tiba muncul lalu duduk di kursi single.“Bapak yang nyuruh Kak Rian kesini?” Tanyaku basa basi.“Bukan, aku kesini karna Nita tadi bilang abis jemput kamu dari rumahnya Galih, terus nganterin ke rumah Ibu.” Ketus Kak Rian.Aku tertunduk lesu, pasti Kak Nita sudah menceritakan semuanya pada Kak Rian. Dia pasti marah besar. Eh, tapi kata
Keesokan hari. Kak Sumi tidak masuk hari ini karena anaknya sedang sakit, jadinya aku membatalkan niatku untuk bertanya apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menggugat cerai sekaligus memintanya untuk menemaniku ke pengadilan agama. Setelah selesai bekerja, aku pulang berjalan kaki ke rumah Ibuku karena jaraknya memang dekat. “Mur, mau saya antar?” Seorang pria menurunkan kaca mobilnya, berhenti di sampingku, membuatku yang sedang melamun tersadar. “Ah, gak usah, lima langkah lagi juga nyampe, Pak Dod.” Tolakku pada Pak Dodi yang juga akan pulang. “Oh, iya. Ya Udah, hati hati, Mur!” ucap Pak Dodi, kemudian berlalu pergi. aku menengar sayup sayup bisikan tetangga yang berkomentar tentang aku dan Pak Dodi. “Bisa jadi dia diusir sama suaminya karena menggatal sama laki lain.” “Iya, aku kemarin liat dia bawa koper banyak, kayaknya mereka udah pisah.” “Dia kan emang perempuan gak bener, dulu suka sekali gonta ganti pacar.” “Kasian ih, suaminya itu. Padahal, udah ganteng, kaya, a
“Mur, ada apa?” Tanya Kak Yuni yang bingung dengan sikap ketusku pada sekretaris Mas Galih. “Nanti aku ceritain.” Bisikku pada Kak Yuni. “Terserah kamu!” ucapku sinis pada wanita yang bernama Lisa itu. Dia kemudian duduk kembali di samping suamiku seperti saat aku datang tadi. Aku mengerutkan dahi, rasanya tak wajar seorang sekretaris secemas itu pada lelaki yang bahkan istrinya berada di depannya. “Kamu ngapain duduk disitu lagi?” Aku mendekatinya lalu menolak bahunya agar dia berdiri. “Saya hanya menjaga Pak Galih sesuai perintah Bu Retno.” Ucapnya. Sepertinya kesabaranku sudah habis, gadis ini sangat ngeyel. Sama sekali tak ada rasa segannya padaku. Apa dia mau terang terangan mengakui bahwa berselingkuh juga dengan suamiku? “Saya ini istrinya, kamu hanya sekretarisnya! Awas!” bentakku lagi. Dia pun berdiri lalu berpindah ke sofa dengan wajah kesal, menatapku dengan tatapan tajam. Seketika hilang wajah kalemnya yang tadi ia suguhkan padaku, kini berubah seperti wajah elang
Aku dan Kak Yuni keluar dari rumah sakit dengan perasaan campur aduk. “Mur, gak abis pikir Kakak. Si Galih maen perempuan gak cuma satu!” ucapnya frustasi sambil memijat dahi.“Kenapa gak cerai aja sih, Mur!” Ucapnya lagi.“Aku juga lagi usahain Kak,” jawabku.“Gak bisa didiemin ini, Mur! Harus diomongin sama keluarga. Kecuali kamu memang mau terus menjalani rumah tanggamu yang hancur ini.”“Tapi Kak…”Belum siap aku menjelaskan Kak Yuni kembali nyerocos.“Jangan pikirkan pandangan publik sama kamu, hanya karena kalian dipandang sebagai pasangan yang harmonis lalu berat untuk mengambil tindakan. Ingat, artis aja banyak yang cerai tiba-tiba padahal kita liatnya mereka anteng ayem aja rumah tangganya. Keadaan sebenarnya gak ada yang tau, Mur! Bisa jadi perlahan-lahan bakalan terungkap semua kelakuan suamimu itu.”“Bapak sama Ibu udah pada tau, Kak,” ucapku lirih.“Bagus lah,” Kak Yuni mendesah lega.“Kebusukan yang disembunyikan gimana pun bakalan tercium juga baunya,” sambungnya.Kami