“Mas maunya apa? Saya tidak berduaan dengan Murti seperti yang Mas pikirkan, apa Mas gak lihat ada satu lagi wanita bersama kami!” ucap Pak Dodi dengan nada penuh penekanan. “Saya juga gak punya hubungan apa apa sama dia seperti Mas berhubungan dengan mantan istri saya itu!” sindirnya. Pak Dodi tetap memanggil suamiku dengan sebutan Mas padahal dirinya lebih tua. “Pak Dodi, maaf. Sebaiknya bapak pulang sekarang, nanti saya akan ganti rugi untuk mobil Bapak.” Ucapku mencoba menenangkan Pak Dodi yang terlihat mulai emosi. “Tunggu, Mur! Suami kamu ini perlu di kasih pelajaran biar dia sadar kalo perbuatan dia sama kamu itu jauh lebih hina, berhubungan dengan seorang janda yang usianya bahkan lebih cocok menjadi tantenya, menelantarkan istri sahnya, saya rasa otaknya dia sudah gak berfungsi dengan normal.” Sungut Pak Dodi kesal. “Saya tunggu kamu di rumah!” Mas Galih menunjuk wajahku dengan tatapan tajamnya, lalu masuk ke mobil dan membanting pintu dengan begitu keras. Kemudian berlal
Sampai di rumah orang tuaku, Ibu dan Bapak sedang duduk bersantai di teras. Aku gugup bukan main, apa alasan yang akan ku utarakan nanti pada mereka. Ibu terlihat mendongakkan kepala, memastikan siapa yang berada di dalam mobil bersama menantunya. Aku turun dari mobil lebih dulu, sambil mengulas senyum pada kedua orang tuaku. Lalu Kak Nita membuka bagasi mobil, aku segera mengambil barang barangku disana. Ibu bangkit dari duduknya menghampiriku, kedua alisnya nyaris tertaut karna melihatku banyak membawa barang. “Assalamu’alaikum, Pak, Bu.” Sapaku pada orang yang telah membesarkanku. “Wa’alaikumsalam.” Jawab Ibu dan Bapak kompak. “Loh, kamu mau kemana, Nak?” Tanya Ibu heran seraya mengerutkan kening. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, aku terlebih dulu menyalami dan memeluk mereka bergantian. Entah kenapa seolah sudah lama sekali tidak pulang kesini, padahal sering, setiap pulang sekolah terkadang aku singgah dulu ke rumah orang tuaku. “Ada apa ini?” Tanya Bapak penasaran. “Oh
“Assalamu’alaikum..” ucap Kak Rian dan Kak Nita.“Wa’alaikumsalam, tumben kesini barengan, kamu udah pulang kerja?” Tanya Ibu saat Kak Rian mencium tangannya.“Tadi abis nganterin Alea sama Alan langsung kesini, Bu.” Jawab Kakak Iparku.Kak Rian langsung menatapku dengan tatapan tajam, sementara Kak Nita tersenyum nyengir sambil melirikku.“Rian mau bicara sama Murti, Bu.” Ucap pria tampan dengan hidung mancung, tinggi sekitar seratus delapan puluhan, berkulit putih dan berbadan kekar, dialah Abangku, yang biasa ku panggil Kak Rian.“Oh, ya udah yuk masuk!” Ajak Ibu.Kami duduk melingkar di sofa ruang tamu.“Oh, kamu udah datang?” Tanya Bapak yang tiba tiba muncul lalu duduk di kursi single.“Bapak yang nyuruh Kak Rian kesini?” Tanyaku basa basi.“Bukan, aku kesini karna Nita tadi bilang abis jemput kamu dari rumahnya Galih, terus nganterin ke rumah Ibu.” Ketus Kak Rian.Aku tertunduk lesu, pasti Kak Nita sudah menceritakan semuanya pada Kak Rian. Dia pasti marah besar. Eh, tapi kata
Keesokan hari. Kak Sumi tidak masuk hari ini karena anaknya sedang sakit, jadinya aku membatalkan niatku untuk bertanya apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menggugat cerai sekaligus memintanya untuk menemaniku ke pengadilan agama. Setelah selesai bekerja, aku pulang berjalan kaki ke rumah Ibuku karena jaraknya memang dekat. “Mur, mau saya antar?” Seorang pria menurunkan kaca mobilnya, berhenti di sampingku, membuatku yang sedang melamun tersadar. “Ah, gak usah, lima langkah lagi juga nyampe, Pak Dod.” Tolakku pada Pak Dodi yang juga akan pulang. “Oh, iya. Ya Udah, hati hati, Mur!” ucap Pak Dodi, kemudian berlalu pergi. aku menengar sayup sayup bisikan tetangga yang berkomentar tentang aku dan Pak Dodi. “Bisa jadi dia diusir sama suaminya karena menggatal sama laki lain.” “Iya, aku kemarin liat dia bawa koper banyak, kayaknya mereka udah pisah.” “Dia kan emang perempuan gak bener, dulu suka sekali gonta ganti pacar.” “Kasian ih, suaminya itu. Padahal, udah ganteng, kaya, a
“Mur, ada apa?” Tanya Kak Yuni yang bingung dengan sikap ketusku pada sekretaris Mas Galih. “Nanti aku ceritain.” Bisikku pada Kak Yuni. “Terserah kamu!” ucapku sinis pada wanita yang bernama Lisa itu. Dia kemudian duduk kembali di samping suamiku seperti saat aku datang tadi. Aku mengerutkan dahi, rasanya tak wajar seorang sekretaris secemas itu pada lelaki yang bahkan istrinya berada di depannya. “Kamu ngapain duduk disitu lagi?” Aku mendekatinya lalu menolak bahunya agar dia berdiri. “Saya hanya menjaga Pak Galih sesuai perintah Bu Retno.” Ucapnya. Sepertinya kesabaranku sudah habis, gadis ini sangat ngeyel. Sama sekali tak ada rasa segannya padaku. Apa dia mau terang terangan mengakui bahwa berselingkuh juga dengan suamiku? “Saya ini istrinya, kamu hanya sekretarisnya! Awas!” bentakku lagi. Dia pun berdiri lalu berpindah ke sofa dengan wajah kesal, menatapku dengan tatapan tajam. Seketika hilang wajah kalemnya yang tadi ia suguhkan padaku, kini berubah seperti wajah elang
Aku dan Kak Yuni keluar dari rumah sakit dengan perasaan campur aduk. “Mur, gak abis pikir Kakak. Si Galih maen perempuan gak cuma satu!” ucapnya frustasi sambil memijat dahi.“Kenapa gak cerai aja sih, Mur!” Ucapnya lagi.“Aku juga lagi usahain Kak,” jawabku.“Gak bisa didiemin ini, Mur! Harus diomongin sama keluarga. Kecuali kamu memang mau terus menjalani rumah tanggamu yang hancur ini.”“Tapi Kak…”Belum siap aku menjelaskan Kak Yuni kembali nyerocos.“Jangan pikirkan pandangan publik sama kamu, hanya karena kalian dipandang sebagai pasangan yang harmonis lalu berat untuk mengambil tindakan. Ingat, artis aja banyak yang cerai tiba-tiba padahal kita liatnya mereka anteng ayem aja rumah tangganya. Keadaan sebenarnya gak ada yang tau, Mur! Bisa jadi perlahan-lahan bakalan terungkap semua kelakuan suamimu itu.”“Bapak sama Ibu udah pada tau, Kak,” ucapku lirih.“Bagus lah,” Kak Yuni mendesah lega.“Kebusukan yang disembunyikan gimana pun bakalan tercium juga baunya,” sambungnya.Kami
“Siluman Kunti?” ucapku dengan suara pelan.“Siapa kamu bilang?” Kak Yuni tampak mengerutkan dahi mendengar ucapanku.“Sssttt.. diam Kak, jangan terlalu mencolok, jangan sampe dia ngeliat kita disini!”“Dia ngapain disini?” Aku hanya mengedikkan bahu, sebagai jawaban dari pertanyaan Kak Yuni.“Eh, dia cuman beli minuman abis itu pergi,” ujar Kak Yuni terus memperhatikan wanita tua yang menjadi simpanan suamiku itu.“Mobil siapa itu, kayaknya gak asing,” selidikku.Jiwa kepo kami pun meronta saat melihat Winda memasuki sebuah mobil mewah. Di saat Mas Galih terbaring sakit, dia malah pergi dengan orang lain.“Gimana kalo kita ikutin?” ajak Kak Yuni.“Ah gak usah lah, bukan urusan kita, Kak,” ucapku malas.“Oh, ya udah. Kalo gitu kita pulang.” Kak Yuni berdiri hendak membayar pesanan kami ke kasir.Aku lebih dulu menunggunya di parkiran dan duduk diatas motor.“Mobilnya mirip punya Pak Dodi, tapi gak mungkinlah Pak Dodi pergi sama dia, lagian mobil kayak gitu banyak yang punya,” ucapku m
“Tadi malem kayaknya saya liat mobil Bapak di restoran Ayam Gemulai.”“Oh, ah.. masa?” Pak Dodi terlihat gugup dan berkali-kali membenarkan posisi duduknya.“Mungkin saya salah lihat.” Aku tak meneruskan rasa penasaranku karena tak ingin membuatnya merasa tak nyaman.Aku turun dari mobilnya setelah mengucapkan terima kasih. Setelah mobil Pak Dodi melaju, aku berjalan kaki pulang ke rumah Ibu.“Untuk apa aku ingin tau soal itu, bukan urusanku juga!” aku memperingati diriku untuk tidak kepo.“Mur, mampir sini! Kok sering pulang ke rumah Ibu, emang Galih kemana?” Bu Ratna, tetangga julid yang kemarin mencibirku berlagak sok ramah.“Mas Galih lagi dinas ke luar kota, Bu.” Aku menjawab seadanya.“Ooh.. denger-denger kamu bawa barang banyak kayak orang mau pindahan, emang Galih berapa lama dinas ke luar kotanya?” seakan ingin mengorek informasi tentangku, Bu Ratna tak segan melontarkan pertanyaannya kembali.“Maaf, Bu. Saya permisi dulu, nanti ditungguin Ibu.” Aku berkilah, karena jika aku