Siang itu, sepulang kerja, Aku langsung berbaring di kamar, aku ingin bermalas-malasan, tidak ingin mengurus rumah seperti biasanya, barang-barang Mas Galih aku biarkan berserakan. Rumah juga ku biarkan kotor.
Dulu Mas Galih pernah bilang ingin mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, namun aku menolak karena berpikir aku masih bisa mengerjakan semuanya sendiri.
Saat ini aku merasa lega telah mencurahkan isi hatiku kepada orang yang ku percayai. Mulai saat ini aku memutuskan akan belajar merubah diri menjadi lebih baik.
“Huhft… pasti mereka lagi berduaan di Mall sekarang.” Aku menghembuskan napas berat. Rasanya tidak ada lagi rasa peduliku pada Mas Galih, meski sebenarnya masih ada rasa cemburu yang membara.
Aku yakin, dia akan memainkan perannya dengan baik sehingga tidak banyak orang tahu perbuatannya kepadaku. Aku coba melihat aplikasi chat Mas Galih yang sudah ku sadap, namun tak ada percapakan apapun setelah tadi pagi.
“Apa mungkin dia udah tau kalau aku sadap.” Gumamku.
[Mur, kamu di rumah?] Tiba tiba Mas Galih mengirimkan pesan padaku.
Aku sengaja tak membalasnya, hanya membacanya saja. Buat apa dia menanyakan keberadaanku? Aku sudah tahu dia sedang berduaan di Mall dengan perempuan tua itu, untuk apa dia memastikan aku ada dimana.
[Kalau kamu sudah pulang, tolong buatkan makan siang!] Perintahnya.
Aku mengernyit,”Kenapa dia tiba tiba minta dimasakin, apa dia gak jadi pergi sama tuh siluman tua?” gumamku.
[Males!] Balasku singkat.
[Aku sebentar lagi sampai di rumah, aku lapar!] Balasnya lagi.
Padahal aku sudah mencoba untuk tidak peduli, tapi tubuh ini beranjak dari kasur lalu bergerak ke dapur, menuruti perintah hatiku untuk memasak makan siang sesuai yang diminta suamiku. Bagaimana pun dia masih suamiku, setidaknya aku mulai berubah diri menjadi lebih baik.
Dengan berat hati aku memasak sop ayam dengan sambal kecap, memanfaatkan bahan yang masih ada di kulkas, tentunya menu itu yang termudah dan tercepat.
“Gak tau diri, udah pergi ke Mall sama selingkuhan, malah minta buatkan makan siang,” aku mengdengus kesal, namun tetap saja aku menyajikan makanan untuk Mas Galih.
Setelah selesai menyajikan makanan, aku ingin segera kembali ke kamar untuk melanjutkan bermalas malasan, tapi tiba tiba terdengar suara mobil Mas Galih memasuki halaman rumah.
Aku mengintip dari tirai jendela, terlihat Mas Galih membukakan pintu penumpang depan, lalu keluarlah wanita yang kemarin aku pergoki bersamanya di Kafe Gemilang.
“Gila ya, malah bawa perempuan tua itu ke rumah!” kesalku.
Aku lalu membuka pintu dengan perasaan marah, Mas Galih benar benar tak berniat untuk memperbaiki rumah tangganya bersamaku.
“Eh, Mur! Kamu udah masak kan?” tanya Mas Galih tanpa beban, saat melihatku membuka pintu.
Wanita bernama Winda itu malah tersenyum manis kepadaku, benar benar tak tahu malu, membuatku semakin jijik.
“Ngapain kamu bawa pulang perempuan tua ini?!” hardikku.
“Jaga mulutmu ya, Mur! Dia ini sedang sakit!” Balas Mas Galih membentakku.
Kemudian Winda dengan manjanya bergelayut di lengan suamiku, memasang wajah memelas, lalu Mas Galih menuntunnya masuk ke dalam rumah, tak menghiraukan ku sama sekali.
“Ayo kita makan dulu, kamu harus banyak istirahat, ke Mall nya lain kali aja ya.” Ucap Mas Galih lembut sambil menggeser kursi meja makan.
Secara reflek, sudut bibirku terangkat, jijik sekali mendengar kata kata Mas Galih, dia bahkan tak pernah semanis itu padaku.
“Kamu apa apaan, Mas. Bawa perempuan ini ke rumah?” tanyaku dengan sikap dingin.
“Winda lagi sakit, tadinya kita mau jalan ke Mall, tapi dia muntah muntah dan lemas.” Jelas Mas Galih.
‘Sumpah, sama sekali aku gak peduli sekalipun perempuan tua ini mati.’ Batinku.
“Kalau sakit ya bawa ke rumah sakit, bukan ke rumahku, Mas!” bentakku.
“Rumahmu?” Mas Galih menatapku tajam.
“Ya, kamu lupa telah menghadiahkan rumah ini untukku saat pernikahan kita?” ucapku.
“Anggap saja itu bualanku, sekarang kamu gak berhak atas rumah ini.” Ucap Mas Galih dengan entengnya.
Aku melihat sudut bibir wanita berbadan montok itu tersenyum mengejek. Seperti tersirat dari matanya bahwa dia lah pemenangnya.
“Hahah, baiklah. Aku turuti permainan kalian!” aku tertawa sambil bertepuk tangan. Sekalipun suatu saat kami bercerai, aku tak pernah berniat menuntut hak milik rumah ini.
“Sudah, kamu makan aja dulu, jangan hiraukan dia!” Ucap Mas Galih pada selingkuhannya.
“Kenapa gak bilang kalau makanannya untuk kekasih tua mu ini?” tanyaku sinis.
Mas Galih tak menjawab hanya menatapku tajam. Aku heran, kenapa dia yang emosian padahal seharusnya aku yang marah.
“Hmm.. kalau tau si perempuan tua ini yang akan memakan masakanku, sudah pasti akan aku bumbui dengan sedikit sianida.” Ucapku sambil memainkan kuku ku.
“Tutup mulutmu, Murti!” hardik Mas Galih, ia memukul meja cukup keras, sehingga kekasihnya itu terkejut dan menumpahkan kuah sop yang hendak ia masukkan ke mulut.
Aku tersenyum puas melihat Mas Galih marah, baru digertak seperti itu saja sudah sangat emosi. Aku sadar, cinta Mas Galih pada siluman kunti itu sudah sangat berlebihan.
“Jangan di makan lagi, Sayang. Biar aku pesankan makanan aja ya.” Mas Galih menyingkirkan piring makanan yang sedang Winda nikmati.
“Terlambat, lebih baik kamu bawa dia ke rumah sakit sekarang kalau masih mau nyawanya terselamatkan!” ucapku dingin, mataku menyorot Mas Galih penuh ancaman.
“Kamu memang perempuan gila! Berarti kamu berniat ingin meracuni aku?!” bentaknya.
Mas Galih dan Winda tampak sangat panik. Perempuan tua itu segera menenggak segelas air putih dengan rakusnya.
Aku hanya memanyunkan bibir sambil mengangkat kedua bahuku, lalu melongos pergi ke kamar.
“Kamu ada ngerasa aneh, atau sakit perut atau apa gitu?” tanya Mas Galih panik.
“Gak ada.” Lirih siluman kunti itu.
Aku mendengarnya karena jarak kamar dan meja makan tak begitu jauh.
“Mas, bawa aku pulang, aku gak mau disini. Aku takut.” Rengeknya seperti anak kecil.
“Tapi kalau kamu di rumah sendirian, aku lebih khawatir. Kamu kan sedang mengandung anak kita.” Ucap Mas Galih yang membuat sekujur tubuhku gemetar.
Tanganku mengepal, napasku bergemuruh hebat. Ternyata siluman kunti itu sedang mengandung anaknya Mas Galih. Bendungan air mataku siap luruh, namun ku tahan. Begitu sesak, tapi aku harus kuat.
“Benar benar keterlaluan!!!” gumamku emosi.
Mas Galih bahkan tak pernah menyentuhku, selama setahun menikah, aku benar benar belum di beri nafkah batin. Bagaimana bisa dia menghamili wanita yang belum sah menjadi istrinya dengan sikap sesantai itu.
Sejenak aku kehilangan akal untuk menghadapi kelakuan suamiku, padahal aku sudah berusaha keras untuk bersikap dingin dan cuek layaknya wanita kuat, namun tetap saja hatiku sakit tak terkira.
“Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang, aku takut anak kita kenapa kenapa.” Ucap Mas Galih.
“Gak usah Mas, aku gak mau ke rumah sakit, aku mau pulang aja, kamu urus saja istri kamu itu!” sentak Winda sambil terisak.
Aku mendengar siluman itu menuju pintu keluar.
“Sayang, tunggu aku di rumah, aku akan selesaikan urusanku dengan Murti!” suara Mas Galih terdengar sedikit berteriak.
Sepertinya dia tidak mengantar siluman kunti itu untuk pulang. Aku merebahkan tubuhku untuk menetralkan degup jantung yang tadi tak beraturan.
“Keluar kamu, Murti!!!” teriak Mas Galih sambil menggedor pintu kamar dengan kasar.
Dengan malas aku membukakan pintu kamar yang digedor begitu keras oleh Mas Galih. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Seketika aku memegangi pipiku yang memanas oleh tamparan yang begitu keras. Ku sentuh sudut bibirku yang perih, ternyata ada sedikit darah. “Oh, demi siluman tua itu kamu bahkan tega menampar aku!” ucapku dengan nada dingin dan suara sedikit serak. “Aku gak bermaksud kasar sama kamu, tapi kamu udah bener bener keterlaluan, Murti!” bentaknya. “Yang keterlaluan itu kamu, Mas! Kamu bisa ngaca gak?” balasku dengan suara sedikit meninggi. “Apa salahku, Mur?” tanyanya lemah. Sepertinya Mas Galih benar benar kehilangan akal dan pikiran. “Hahahahaha…” aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan konyol Mas Galih. Bagaimana bisa dia bertanya apa salah dirinya? Apa dia sudah tidak waras? “Kamu, ikut aku!” tiba tiba Mas Galih menarik lenganku dengan kasar. “Mau kemana, Mas!” ucapku lalu menepis tangannya. Aku mengusap lenganku yang tergambar bentuk jari jari Mas Gali
Keesokan harinya, di sekolah. “Sudahlah Ti, ceraikan saja suamimu itu, gugat dia! untuk apa bertahan kalau dia saja tidak mau berubah!” tegas Kak Sumi, guru mata pelajaran seni.Aku melotot kaget mendengar ucapan wanita bertubuh gempal yang memecahkan keheningan di ruang guru.“Ka..kakak tau dari mana?” ucapku gugup seraya menoleh ke Kak Dea.Namun Dea juga berekspresi kaget, ia mengangkat kedua bahunya, menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak membongkar rahasia itu.“Maaf kalau kalian berdua kaget, aku gak sengaja mendengar percakapan kalian berdua kemarin, aku sedang duduk di meja piket depan, tiba-tiba mendengar Murti menangis, tapi aku gak berani masuk, sekali lagi maaf.” Ucap kak Sumi.Aku dan Kak Dea menarik nafas panjang, pasrah, karena rahasiaku telah di dengar orang lain.“Aku gak bisa Kak, berat banget rasanya ninggalin dia,” ucapku lemah. “Kakak tolong jangan cerita ke siapa-siapa ya,” pintaku lagi.“Kita perempuan jangan mau diinjak, harus tegas! Ambil keputusa
Siang itu, Aku, Pak Dodi dan Kak Sumi pergi bareng untuk ngebakso, naik mobil milik Pak Dodi.“Kita mau makan bakso dimana, Pak Dod?” tanyaku.“Oh, tenang, ada langganan saya, recomended banget deh ini baksonya enak, ada mie ayam juga. Menu lainnya juga banyak.” Ucap pak Dodi sambil fokus menyetir.“Bapak mentang mentang duda, bebas banget ya kesana kemari sama ciwi ciwi cakep.” Celetuk kak Sumi.Pak Dodi seketika menoleh ke Kak Sumi yang duduk di sampingnya.“Siapa?” tanya Pak Dodi.“Ya kita kita ini.” Kak Sumi menunjuk dirinya dan menoleh ke belakang menunjuk diriku.“Kalian mah bukan ciwi ciwi, sudah bersuami semua, gak level deh! Hahaha.” Kami bersenda gurau selama perjalanan.Sekitar dua puluh lima menit kami sampai di warung bakso yang di maksud Pak Dodi. Tempatnya cukup mewah, juga banyak spot untuk berfoto, ditambah pemandangan sawah di dekatnya, juga terdapat sungai kecil yang airnya sangat jernih.Membuat suasana sejuk dan asri. Tak heran warung bakso ini ramai pengunjung. S
Melihat kami tertawa dan bercanda ria, membuat Mas Galih gerah. Kembali dia mendatangi kami saat kami tengah asyik menyantap makanan. “Pulang sekarang!” Pria yang masih berstatus suamiku itu menarik lenganku dengan kasar, sehingga aku tertarik untuk berdiri. “Apaan sih, sakit!” pekikku sambil menepis tangannya. “Pantes aja kamu gak peduli lagi sama keadaan rumah tangga kita, di tambah lagi kamu sudah berani melawan, ternyata ini alasannya!” Hardik Mas Galih sambil menatap sinis pada Pak Dodi. Pak Dodi memutar bola mata, jengah dengan ucapan Mas Galih yang tak masuk akal. “Hah,” aku setengah tertawa mendengar ucapan Mas Galih, sungguh tak sadar diri. Orang orang mulai memperhatikan kami dengan raut wajah heran. “Jangan buat keributan disini! Please!” Aku memohon dengan menekan suara. Seakan tak peduli dengan permintaanku, Mas Galih menatap penuh emosi kepada Pak Dodi. Pria berbadan berbaju olahraga itu menarik napas kasar lalu berdiri seakan menerima tantangan dari suamiku. “M
“Mas maunya apa? Saya tidak berduaan dengan Murti seperti yang Mas pikirkan, apa Mas gak lihat ada satu lagi wanita bersama kami!” ucap Pak Dodi dengan nada penuh penekanan. “Saya juga gak punya hubungan apa apa sama dia seperti Mas berhubungan dengan mantan istri saya itu!” sindirnya. Pak Dodi tetap memanggil suamiku dengan sebutan Mas padahal dirinya lebih tua. “Pak Dodi, maaf. Sebaiknya bapak pulang sekarang, nanti saya akan ganti rugi untuk mobil Bapak.” Ucapku mencoba menenangkan Pak Dodi yang terlihat mulai emosi. “Tunggu, Mur! Suami kamu ini perlu di kasih pelajaran biar dia sadar kalo perbuatan dia sama kamu itu jauh lebih hina, berhubungan dengan seorang janda yang usianya bahkan lebih cocok menjadi tantenya, menelantarkan istri sahnya, saya rasa otaknya dia sudah gak berfungsi dengan normal.” Sungut Pak Dodi kesal. “Saya tunggu kamu di rumah!” Mas Galih menunjuk wajahku dengan tatapan tajamnya, lalu masuk ke mobil dan membanting pintu dengan begitu keras. Kemudian berlal
Sampai di rumah orang tuaku, Ibu dan Bapak sedang duduk bersantai di teras. Aku gugup bukan main, apa alasan yang akan ku utarakan nanti pada mereka. Ibu terlihat mendongakkan kepala, memastikan siapa yang berada di dalam mobil bersama menantunya. Aku turun dari mobil lebih dulu, sambil mengulas senyum pada kedua orang tuaku. Lalu Kak Nita membuka bagasi mobil, aku segera mengambil barang barangku disana. Ibu bangkit dari duduknya menghampiriku, kedua alisnya nyaris tertaut karna melihatku banyak membawa barang. “Assalamu’alaikum, Pak, Bu.” Sapaku pada orang yang telah membesarkanku. “Wa’alaikumsalam.” Jawab Ibu dan Bapak kompak. “Loh, kamu mau kemana, Nak?” Tanya Ibu heran seraya mengerutkan kening. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, aku terlebih dulu menyalami dan memeluk mereka bergantian. Entah kenapa seolah sudah lama sekali tidak pulang kesini, padahal sering, setiap pulang sekolah terkadang aku singgah dulu ke rumah orang tuaku. “Ada apa ini?” Tanya Bapak penasaran. “Oh
“Assalamu’alaikum..” ucap Kak Rian dan Kak Nita.“Wa’alaikumsalam, tumben kesini barengan, kamu udah pulang kerja?” Tanya Ibu saat Kak Rian mencium tangannya.“Tadi abis nganterin Alea sama Alan langsung kesini, Bu.” Jawab Kakak Iparku.Kak Rian langsung menatapku dengan tatapan tajam, sementara Kak Nita tersenyum nyengir sambil melirikku.“Rian mau bicara sama Murti, Bu.” Ucap pria tampan dengan hidung mancung, tinggi sekitar seratus delapan puluhan, berkulit putih dan berbadan kekar, dialah Abangku, yang biasa ku panggil Kak Rian.“Oh, ya udah yuk masuk!” Ajak Ibu.Kami duduk melingkar di sofa ruang tamu.“Oh, kamu udah datang?” Tanya Bapak yang tiba tiba muncul lalu duduk di kursi single.“Bapak yang nyuruh Kak Rian kesini?” Tanyaku basa basi.“Bukan, aku kesini karna Nita tadi bilang abis jemput kamu dari rumahnya Galih, terus nganterin ke rumah Ibu.” Ketus Kak Rian.Aku tertunduk lesu, pasti Kak Nita sudah menceritakan semuanya pada Kak Rian. Dia pasti marah besar. Eh, tapi kata
Keesokan hari. Kak Sumi tidak masuk hari ini karena anaknya sedang sakit, jadinya aku membatalkan niatku untuk bertanya apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menggugat cerai sekaligus memintanya untuk menemaniku ke pengadilan agama. Setelah selesai bekerja, aku pulang berjalan kaki ke rumah Ibuku karena jaraknya memang dekat. “Mur, mau saya antar?” Seorang pria menurunkan kaca mobilnya, berhenti di sampingku, membuatku yang sedang melamun tersadar. “Ah, gak usah, lima langkah lagi juga nyampe, Pak Dod.” Tolakku pada Pak Dodi yang juga akan pulang. “Oh, iya. Ya Udah, hati hati, Mur!” ucap Pak Dodi, kemudian berlalu pergi. aku menengar sayup sayup bisikan tetangga yang berkomentar tentang aku dan Pak Dodi. “Bisa jadi dia diusir sama suaminya karena menggatal sama laki lain.” “Iya, aku kemarin liat dia bawa koper banyak, kayaknya mereka udah pisah.” “Dia kan emang perempuan gak bener, dulu suka sekali gonta ganti pacar.” “Kasian ih, suaminya itu. Padahal, udah ganteng, kaya, a