Tak terasa air mataku menetes.
“Mur, kamu nangis?” Kak Dea mengernyit memperhatikan wajahku secara dekat. Kak Dea adalah seorang guru mata pelajaran Agama Islam, ia pernah mondok di pesantren.“Eh.. ngg.. enggak Kak, cuma perih aja mataku karena kelamaan natap komputer ini,” Aku nyengir menutupi kesedihanku.Mereka menganggapku sebagai wanita yang ceria. Tapi hari ini aku merasa Kak Dea menyadari kalau dari raut wajahku terukir beban masalah.“Kamu pikir kakak baru kenal kamu kemarin sore?” lirik mata Kak Dea menatapku sinis.“Hehehe… apa sih Kak,” Aku cengar-cengir mulai salah tingkah.“Kenapa? Cerita sama Kakak, siapa tau lega, atau siapa tau Kakak bisa kasih solusi, ya kan?” tawarnya.Aku mulai berpikir, kenapa sangat kebetulan sekali ketika aku ingin mencari seseorang untuk teman curhat, tiba-tiba Kak Dea datang menawarkan diri untuk menjadi pendengarnya. Tak ingin basa-basi terlalu banyak, Aku langsung menghampiri beliau yang tengah sibuk membaca buku pelajaran.“Kak, sebenarnya aku memang mau curhat, kayaknya kakak orang yang tepat deh,” ucapku pelan sambil menggoda Kak Dea.Kak Dea melirik dengan tatapan tajam, “tadi sok gak ada masalah, pakai ngeles segala mata perih gara-gara kelamaan natap komputer, kamu kira Kakak anak kecil bisa dikibulin?” ketusnya.“Hahaha.. jangan marah dong, aku tadi sedikit ragu, Kak. Dan aku malu menceritkan masalahku ini, tapi aku yakin Kak Dea orang yang tepat dan bisa ku percaya,” Ucapku serius.“Ya udah duduk sini, kamu ada masalah apa?” Tanyanya dengan suara lembut meneduhkan hati.Aku menarik napas panjang, bingung ingin memulai kisahku dari mana. Aku memandang langi langit ruangan, melirik keatas seolah ingin melihat alisku yang tidak kelihatan, sambil berpikir.“Mur…” panggil Kak Dea.“Mas Galih kak,” lirihku.Kak Dea hanya mengangguk, sembari menunggu kelanjutan dari kata-kata dariku.“Dia selingkuh, Kak.” Ucapku sedikit bergetar kemudian menunduk.Ada rasa malu mengungkapkan bahwa suamiku yang dikenal baik dimata orang-orang ternyata berselingkuh. Aku kemudian menarik napas kasar, terasa sedikit lega setelah mengutarakan hal itu pada seseorang yang ku percayai.“Gak mungkin, emang kamu udah buktikan sendiri?” tanya Kak Dea sedikit tak percaya namun alisnya bertaut menatap tegas padaku.“Udah kak, kemarin aku pergoki dia bersama wanita itu di sebuah kafe, aku datang bersama sepupuku, Kak Yuni.” Terangku.“Hah? Serius kamu Mur? Jadi bener dia….” Kak Dea menghentikan ucapannya takut ada yang mendengar, karena suaranya sedikit keras akibat terkejut.“Iya kak, dan aku bingung sekarang, dia gak mau menceraikan aku dan juga gak mau meninggalkan wanita itu,” lirihku.“Egois banget ya, gini aja deh, coba tanya dia, apa dia mau terus-terusan selingkuh atau mau menikahi wanita itu saja agar tidak terjadi zina,” saran Kak Dea.“Hah? Kok malah kakak menyarankan dia untuk menikahi selingkuhannya,” Aku menggertak sedikit kecewa dengan saran Kak Dea.“Nah.. ini, Kakak hanya ingin tau jawabanmu jika keputusannya dia akan berpoligami, apakah kamu terima atau gak.” imbuhnya.“Ya jelas gak dong Kak, aku gak mau dimadu!” tegasku.“Maka dari itu Galih harus memilih salah satunya, Mur! Kecuali, dia ingin memiliki keduanya dengan cara berpoligami saja, jangan selingkuh, gitu maksud kakak.”“Tapi aku gak mau Kak, selingkuh saja dia sudah mengabaikanku apalagi nanti dia beristri dua, sekarang saja dia sudah tidak adil padaku, Kak!” ucapku dengan suara sedikit pelan.Melihat ekspresiku, Kak Dea terlihat merasa iba, kemudian beliau menepuk-nepuk tanganku yang bertandang diatas mejanya.“Kakak tau gimana rasa sakitnya di khianati, apalagi dengan orang yang sangat kita cintai, meskipun Kakak belum pernah mengalaminya, dan Nauzubillah jangan sampai itu terjadi sama Kakak. Tapi Kakak sudah membayangkan menjadi dirimu, hati kakak juga terasa perih, dada Kakak sesak.” Butir kristal mulai menggenang dimata Kak Dea.Aku tertunduk, sesekali mengusap air mata yang menetes di pipiku.“Sudah-sudah, gini aja Mur. Kamu harus bertindak tegas, jangan bersikap lemah di depannya, kalau dia memang bener-bener gak mau ninggalin tuh perempuan, sebaiknya tegaskan bahwa kamu dan suamimu harus bercerai saat itu juga, karena kamu tidak menerima jika nantinya Galih berpoligami, kemudian jika dia menolak untuk menceraikanmu, kamu harus tegaskan kembali bahwa dia harus segera meninggalkan selingkuhannya, kalau tetap dia keras kepala, masalah ini harus sampai kepada kedua belah pihak keluarga, kamu gak bisa hadapin sendirian Mur.” Saran Kak Dea panjang lebar.“Jujur, sebenarnya aku masih cinta banget sama Mas Galih, Kak. Aku juga gak mau bercerai dari dia, tapi aku juga gak mau dimadu.” Cicitku.“Lantas, kau mau terus-terusan sakit hati sepanjang hayatmu?” tegas Kak Dea.“Gak kak,” lirihku lagi.“Bingung ya, Kakak juga bingung sama kamu, kamu tuh kurang tegas sama keputusan juga sama perasaan, kamu sholat istikhoroh deh sana! Minta petunjuk sama Allah!” seru Kak Dea.“Sholat istikhoroh? Sholat apa itu kak?” Aku mengerutkan dahi.“Serius kamu gak tau?”“Serius, Kak. Sholat lima waktu aja aku sering bolong, konon lagi sholat apa itu,” kekehku.“Astahgfirullah, Mur… coba deh kamu perbaiki dulu sholat kamu, mungkin cobaan ini Allah kasih ke kamu karena Dia ingin kamu mendekatkan diri kepadaNya. Perbaiki ibadah kamu sama Allah, karena Dialah yang mengatur hidup kita, Dialah tempat kita mengadu, do’a kita akan dikabulkan jika kamu benar-benar memohon dan meminta,” nasehat Kak Dea.Aku tertegun mendengar ucapan Kak Dea, selama ini aku tidak pernah mendapat nasehat tentang agama, diriku memang minim ilmu agama. Lantas aku mulai menyadari, betapa selama hidupku ini, aku begitu jauh dari Allah, sholat sering bolong, hanya sholat marghrib saja yang aku tunaikan, itupun kalau aku sedang tidak malas.Ditambah lagi masa laluku yang kelam, sampai warga kampung sering bergosip tentang diriku yang sering bergonta ganti pasangan. Pakaian yang seksi, riasan wajah yang menor, seperti wanita tak benar saja. Tapi saat itu, pacarku yang paling lama adalah Mas Galih. Aku juga tak pernah berselingkuh, hanya setia pada satu pasangan saja.Semua terbayang dalam benakku, aku lalu menangis sejadinya, menggenggam tangan Kak Dea dengan tubuhku yang terguncang akibat tangisku yang hebat, namun tak bersuara karena takut terdengar oleh orang lain. Aku menyadari semua kesalahanku di masa lalu.Saat ini guru-guru yang lain sedang mengajar, hanya Kak Dea yang mempunyai jam kosong sebab beliau hanya guru mata pelajaran, bukan wali kelas.“Kak Dea, tolong bimbing aku, ajarin aku untuk jadi lebih baik, bantu aku agar lebih mendekatkan diri kepada Allah,” ucapku dengan suara bergetar.Kak Dea mengusap air mataku, ia tak menyangka responku akan seperti ini.“Pasti Mur, Kakak akan bantu kamu asal kamu bersungguh-sungguh,” sambil mengangguk dan menggenggam tanganku.“Makasi kak, syukurlah aku bertemu dengan Kakak. Aku gak salah memilih teman curhat,” tak hentinya aku mengusap pipiku yang semakin basah.Kak Dea mengangguk, tersenyum manis padaku.“Ya udah bereskan dulu wajah kamu tuh, bentar lagi jam istirahat, pasti yang lain kepo kalau liat keadaan kamu kayak gini, ya kan?”“Baik, Kak.” Lalu aku pergi ke toilet untuk membasuh wajahku yang sedikit sembab.Saat ini, Kak Dea adalah seorang yang sangat ku percayai sebagai teman curhat sekaligus penasehat agama bagiku.Siang itu, sepulang kerja, Aku langsung berbaring di kamar, aku ingin bermalas-malasan, tidak ingin mengurus rumah seperti biasanya, barang-barang Mas Galih aku biarkan berserakan. Rumah juga ku biarkan kotor. Dulu Mas Galih pernah bilang ingin mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, namun aku menolak karena berpikir aku masih bisa mengerjakan semuanya sendiri. Saat ini aku merasa lega telah mencurahkan isi hatiku kepada orang yang ku percayai. Mulai saat ini aku memutuskan akan belajar merubah diri menjadi lebih baik. “Huhft… pasti mereka lagi berduaan di Mall sekarang.” Aku menghembuskan napas berat. Rasanya tidak ada lagi rasa peduliku pada Mas Galih, meski sebenarnya masih ada rasa cemburu yang membara. Aku yakin, dia akan memainkan perannya dengan baik sehingga tidak banyak orang tahu perbuatannya kepadaku. Aku coba melihat aplikasi chat Mas Galih yang sudah ku sadap, namun tak ada percapakan apapun setelah tadi pagi. “Apa mungkin dia udah tau kalau aku sadap.” Gumamku.
Dengan malas aku membukakan pintu kamar yang digedor begitu keras oleh Mas Galih. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Seketika aku memegangi pipiku yang memanas oleh tamparan yang begitu keras. Ku sentuh sudut bibirku yang perih, ternyata ada sedikit darah. “Oh, demi siluman tua itu kamu bahkan tega menampar aku!” ucapku dengan nada dingin dan suara sedikit serak. “Aku gak bermaksud kasar sama kamu, tapi kamu udah bener bener keterlaluan, Murti!” bentaknya. “Yang keterlaluan itu kamu, Mas! Kamu bisa ngaca gak?” balasku dengan suara sedikit meninggi. “Apa salahku, Mur?” tanyanya lemah. Sepertinya Mas Galih benar benar kehilangan akal dan pikiran. “Hahahahaha…” aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan konyol Mas Galih. Bagaimana bisa dia bertanya apa salah dirinya? Apa dia sudah tidak waras? “Kamu, ikut aku!” tiba tiba Mas Galih menarik lenganku dengan kasar. “Mau kemana, Mas!” ucapku lalu menepis tangannya. Aku mengusap lenganku yang tergambar bentuk jari jari Mas Gali
Keesokan harinya, di sekolah. “Sudahlah Ti, ceraikan saja suamimu itu, gugat dia! untuk apa bertahan kalau dia saja tidak mau berubah!” tegas Kak Sumi, guru mata pelajaran seni.Aku melotot kaget mendengar ucapan wanita bertubuh gempal yang memecahkan keheningan di ruang guru.“Ka..kakak tau dari mana?” ucapku gugup seraya menoleh ke Kak Dea.Namun Dea juga berekspresi kaget, ia mengangkat kedua bahunya, menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak membongkar rahasia itu.“Maaf kalau kalian berdua kaget, aku gak sengaja mendengar percakapan kalian berdua kemarin, aku sedang duduk di meja piket depan, tiba-tiba mendengar Murti menangis, tapi aku gak berani masuk, sekali lagi maaf.” Ucap kak Sumi.Aku dan Kak Dea menarik nafas panjang, pasrah, karena rahasiaku telah di dengar orang lain.“Aku gak bisa Kak, berat banget rasanya ninggalin dia,” ucapku lemah. “Kakak tolong jangan cerita ke siapa-siapa ya,” pintaku lagi.“Kita perempuan jangan mau diinjak, harus tegas! Ambil keputusa
Siang itu, Aku, Pak Dodi dan Kak Sumi pergi bareng untuk ngebakso, naik mobil milik Pak Dodi.“Kita mau makan bakso dimana, Pak Dod?” tanyaku.“Oh, tenang, ada langganan saya, recomended banget deh ini baksonya enak, ada mie ayam juga. Menu lainnya juga banyak.” Ucap pak Dodi sambil fokus menyetir.“Bapak mentang mentang duda, bebas banget ya kesana kemari sama ciwi ciwi cakep.” Celetuk kak Sumi.Pak Dodi seketika menoleh ke Kak Sumi yang duduk di sampingnya.“Siapa?” tanya Pak Dodi.“Ya kita kita ini.” Kak Sumi menunjuk dirinya dan menoleh ke belakang menunjuk diriku.“Kalian mah bukan ciwi ciwi, sudah bersuami semua, gak level deh! Hahaha.” Kami bersenda gurau selama perjalanan.Sekitar dua puluh lima menit kami sampai di warung bakso yang di maksud Pak Dodi. Tempatnya cukup mewah, juga banyak spot untuk berfoto, ditambah pemandangan sawah di dekatnya, juga terdapat sungai kecil yang airnya sangat jernih.Membuat suasana sejuk dan asri. Tak heran warung bakso ini ramai pengunjung. S
Melihat kami tertawa dan bercanda ria, membuat Mas Galih gerah. Kembali dia mendatangi kami saat kami tengah asyik menyantap makanan. “Pulang sekarang!” Pria yang masih berstatus suamiku itu menarik lenganku dengan kasar, sehingga aku tertarik untuk berdiri. “Apaan sih, sakit!” pekikku sambil menepis tangannya. “Pantes aja kamu gak peduli lagi sama keadaan rumah tangga kita, di tambah lagi kamu sudah berani melawan, ternyata ini alasannya!” Hardik Mas Galih sambil menatap sinis pada Pak Dodi. Pak Dodi memutar bola mata, jengah dengan ucapan Mas Galih yang tak masuk akal. “Hah,” aku setengah tertawa mendengar ucapan Mas Galih, sungguh tak sadar diri. Orang orang mulai memperhatikan kami dengan raut wajah heran. “Jangan buat keributan disini! Please!” Aku memohon dengan menekan suara. Seakan tak peduli dengan permintaanku, Mas Galih menatap penuh emosi kepada Pak Dodi. Pria berbadan berbaju olahraga itu menarik napas kasar lalu berdiri seakan menerima tantangan dari suamiku. “M
“Mas maunya apa? Saya tidak berduaan dengan Murti seperti yang Mas pikirkan, apa Mas gak lihat ada satu lagi wanita bersama kami!” ucap Pak Dodi dengan nada penuh penekanan. “Saya juga gak punya hubungan apa apa sama dia seperti Mas berhubungan dengan mantan istri saya itu!” sindirnya. Pak Dodi tetap memanggil suamiku dengan sebutan Mas padahal dirinya lebih tua. “Pak Dodi, maaf. Sebaiknya bapak pulang sekarang, nanti saya akan ganti rugi untuk mobil Bapak.” Ucapku mencoba menenangkan Pak Dodi yang terlihat mulai emosi. “Tunggu, Mur! Suami kamu ini perlu di kasih pelajaran biar dia sadar kalo perbuatan dia sama kamu itu jauh lebih hina, berhubungan dengan seorang janda yang usianya bahkan lebih cocok menjadi tantenya, menelantarkan istri sahnya, saya rasa otaknya dia sudah gak berfungsi dengan normal.” Sungut Pak Dodi kesal. “Saya tunggu kamu di rumah!” Mas Galih menunjuk wajahku dengan tatapan tajamnya, lalu masuk ke mobil dan membanting pintu dengan begitu keras. Kemudian berlal
Sampai di rumah orang tuaku, Ibu dan Bapak sedang duduk bersantai di teras. Aku gugup bukan main, apa alasan yang akan ku utarakan nanti pada mereka. Ibu terlihat mendongakkan kepala, memastikan siapa yang berada di dalam mobil bersama menantunya. Aku turun dari mobil lebih dulu, sambil mengulas senyum pada kedua orang tuaku. Lalu Kak Nita membuka bagasi mobil, aku segera mengambil barang barangku disana. Ibu bangkit dari duduknya menghampiriku, kedua alisnya nyaris tertaut karna melihatku banyak membawa barang. “Assalamu’alaikum, Pak, Bu.” Sapaku pada orang yang telah membesarkanku. “Wa’alaikumsalam.” Jawab Ibu dan Bapak kompak. “Loh, kamu mau kemana, Nak?” Tanya Ibu heran seraya mengerutkan kening. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, aku terlebih dulu menyalami dan memeluk mereka bergantian. Entah kenapa seolah sudah lama sekali tidak pulang kesini, padahal sering, setiap pulang sekolah terkadang aku singgah dulu ke rumah orang tuaku. “Ada apa ini?” Tanya Bapak penasaran. “Oh
“Assalamu’alaikum..” ucap Kak Rian dan Kak Nita.“Wa’alaikumsalam, tumben kesini barengan, kamu udah pulang kerja?” Tanya Ibu saat Kak Rian mencium tangannya.“Tadi abis nganterin Alea sama Alan langsung kesini, Bu.” Jawab Kakak Iparku.Kak Rian langsung menatapku dengan tatapan tajam, sementara Kak Nita tersenyum nyengir sambil melirikku.“Rian mau bicara sama Murti, Bu.” Ucap pria tampan dengan hidung mancung, tinggi sekitar seratus delapan puluhan, berkulit putih dan berbadan kekar, dialah Abangku, yang biasa ku panggil Kak Rian.“Oh, ya udah yuk masuk!” Ajak Ibu.Kami duduk melingkar di sofa ruang tamu.“Oh, kamu udah datang?” Tanya Bapak yang tiba tiba muncul lalu duduk di kursi single.“Bapak yang nyuruh Kak Rian kesini?” Tanyaku basa basi.“Bukan, aku kesini karna Nita tadi bilang abis jemput kamu dari rumahnya Galih, terus nganterin ke rumah Ibu.” Ketus Kak Rian.Aku tertunduk lesu, pasti Kak Nita sudah menceritakan semuanya pada Kak Rian. Dia pasti marah besar. Eh, tapi kata