Share

Bab 2 Dukungan Perselingkuhan

"Terserah Ibu, deh! Aku, sih, pokoknya mendukung kalau Mas Guna mau nikah lagi. Aku lebih cocok sama Mbak Nela daripada perempuan ga jelas asal-usulnya itu," ungkap Tanti meremehkan.

Tanpa mereka sadari Hilma telah berdiri di belakang dengan memegang nampan berisi dua mangkuk mie.

"Jadi ..., kalian tahu kalau Mas Guna memiliki perempuan lain?" tanya Hilma yang membuat kedua orang di depannya menoleh dengan mata membulat dan mulut menganga. 

Kedua ibu anak itu saling pandang dengan ekspresi berbeda, Yana terlihat khawatir dengan pertanyaaan menantunya, sedangkan Tanti terlihat tak peduli.

"Ah, Hilma, maksud kamu apa?"

Perempuan berusia lima puluh tahun itu bangkit berdiri dan menghampiri menantunya dengan sikap ramah.

"Apa Ibu tahu jika Mas Guna jatuh cinta pada perempuan lain?"

Hilma mengulangi pertanyaannya.

"Oh, ya, ga mungkin Guna seperti itu," sangkal Yana.

"Maaf, Bu, tadi aku dengar sendiri Tanti bilang kalau Mas Guna akan menikah lagi."

"Kamu salah dengar! Kita tadi lagi membicarakan sinetron yang lagi tayang," ucap Yana sambil menunjuk ke arah televisi.

Hilma menggeleng. Ia tidak mempercayai ucapan ibu mertuanya. Pendengaranya tidak mungkin salah, ia sangat yakin yang dibicarakan adalah suaminya.

"Aku tak salah dengar, Bu! Tolong katakan yang sejujurnya!" pinta Hilma mendesak, membuat Yana semakin tergagap. 

"A---." Belum selesai Yana berbicara, Tanti sudah memotong lebih dulu 

"Ah, sudahlah, Bu. Ngomong aja yang sebenarnya. Dengar ya, Mbak Hilma! Mas Guna memang mencintai perempuan lain, namanya Nela. Dan mereka berencana akan menikah. Jika Mbak Hilma tahu diri tentu saja tak akan menolak untuk dimadu. Tapi jika tak menerima, pintu rumah Mas Guna terbuka lebar."

Tanpa perasaan gadis yang akan segera menikah itu berbicara tentang penerimaan terhadap pengkhianatan.

Hilma terperangah mendengar penuturan Tanti yang lantang berbicara. Kebenaran yang diharapkan, ternyata begitu menyesakkan.

Seluruh tulangnya kembali melemas, ia juga merasa bagai tak berpijak pada bumi. Raganya berdiri, tetapi jiwanya melayang karena kesedihan.

"Tanti! Kenapa bicara begitu?"

"Ada yang salah?"

"Kamu, kan, perempuan juga. Tentu tahu tak mudah berbagi cinta."

"Ah, jangan terlalu lebay, Mbak. Aku ga masalah diduakan selama uang bulananku lancar. Lagipula Mas Guna juga butuh perempuan yang selevel dengannya, biar ga malu-maluin!"

Tanti memandang remeh penampilan Hilma yang selalu menggunakan daster lusuh.

"Dimana kurang saya?"

"Heh, ga nyadar kamu, ya, Mbak! Coba beli cermin yang lebih besar dan berdiri di depannya. Lihat penampilan Mbak yang merusak mata. Suami pulang, bukannya disuguhkan pemandangan indah malah disajikan istri yang kusam dan kumal. Jadi, jangan salahkan Mas Guna kalau berpaling ke lain hati," jelas Tanti sambil tersenyum sinis.

Hilma sekilas melihat kondisinya, ia memang selalu memakai daster untuk keseharian, karena lebih nyaman mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.

Kehidupan ekonomi keluarganya baru mengalami peningkatan, masih butuh biaya yang banyak untuk mengembangkam toko bahan bangunan yang dirintis sang suami.

Oleh karena itu, Hilma mengatur keuangan dengan cermat. Uang yang diberikan suaminya selalu disisihkan untuk keperluan mendadak atau penambahan modal.

Ia tak terlalu memerhatikan kebutuhannya. Asalkan terlihat bersih dan segar, itu sudah lebih dari cukup. Namun, rupanya itu membawa masalah tersendiri untuk keutuhan rumah tangganya.

"Dengar, ya, Mbak! Kamu harusnya beruntung, walaupun Mas Guna menikah lagi, kamu tetap bisa hidup enak bersama dua anakmu itu. Jadi, lebih baik jangan bertingkah," tegas Tanti kemudian berlalu menuju tangga meninggalkan cuka di dada yang terluka.

Hilma masih membeku dengan tatapan nanar, kedua bahunya naik turun semakin cepat. Kepedihan dikhianati sudah meluluh lantakkan pertahanannya, memporak porandakan ketentraman hidup ditambah lagi kenyataan jika kelakuan buruk sang suami didukung oleh keluarga.

Yana terlihat bingung, ia tak tahu harus melakukan apa. Melihat Hilma yang terlihat lemah dan terluka mengingatkannya pada peristiwa yang terjadi padanya 20 tahun lalu.

Ia pun diperlakukan sama oleh lelaki yang menikahiya selama sebelas tahun, karena seorang perempuan yang lebih muda, sang suami rela menceraikannya. Ia ingin memberikan dukungan, tetapi suara panggilan sang anak menyurutkan niatnya.

"Ibu! Ngapain masih di situ? Ayo, ke kamar!" titah Tanti lalu kembali berjalan menaiki tangga.

Mendapati wajah anaknya yang mendelik tajam, akhirnya Yana melangkah menuju tangga meninggalkan Hilma yang semakin terisak. 

***

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kehadiran Virda membuat beban yang dipikul Hilma sedikit berkurang. Perempuan yang juga menjanda karena hal serupa yang dialami sahabatnya itu terlihat geram.

"Hilma, kamu jangan lemah! Mereka terus akan membodohi jika kamu hanya diam saja!"

Wajah bulat yang dibalut pashmina hijau muda itu meradang setelah mendengar penjelasan sahabatnya. 

Udara malam menyapu wajah sendu kedua perempuan yang sedang berada di teras rumah. Dinginnya merasuk ke dalam tulang, Virda merekatkan jaket yang digunakan, tetapi hal itu tak dirasakan oleh Hilma yang menatap kosong ke taman di halaman rumah. 

"Kamu harus bersikap tegas, Hilma!"

"Aku takut, Vir!"

"Takut kenapa?"

"Bagaimana jika Mas Guna menceraikanku karena menolak diduakan."

"Lalu, kamu akan membiarkan pernikahan yang didasari perselingkuhan? Dan membakar diri menyaksikan mereka berduaan? Ingat, Hilma, cara mereka itu curang, tak menghargai perasaanmu. Apa jadinya jikalau kamu menerima, tentu mereka akan semakin menginjakmu."

"Aku juga ga sanggup jika mereka menikah, Vir, tapi aku memikirkan anak-anak! Aku ga ada pekerjaan! Jangan sampai anak-anak terlantar karena keputusanku."

Virda mendesah pelan, ia tahu kekhawatiran Hilma. Memutuskan menjadi ibu rumah tangga, membuat sahabatnya bergantung nafkah kepada sang suami.

Kadang hal seperti ini yang membuat perempuan memilih mempertahankan pernikahan walaupun harus menelan kepahitan. Namun, rasa pahit itu semakin bertambah ketika seorang suami memberikan perlakuan yang berbeda antara dua istri.

"Hilma! Apapun yang terjadi nanti. Ada aku yang bisa kamu andalkan! Jangan memendam rasa ga enak atau memelihara ketakutan untuk sesuatu hal yang hanya menghambat kemajuan. Aku akan selalu mendukungmu keputusanmu, Hilma! Jangan khawatirkan apapun!" ucap Virda menyentuh bahu Hilma, memberi kekuatan.

Hilma mengangguk mengerti. Kali ini ujian rumah tangganya terasa berat. Berpuluh tahun hidup bersama selalu bisa menghadapi segala rintangan yang menghadang, tetapi kali ini ia belum tahu apa yang akan terjadi.

Penghianatan baginya harga mati yang tidak termaafkan. Namun, demi kedua anaknya ia akan menekan ego serta memperbaiki semua.

Jika suaminya mau melepaskan perempuan lain itu, ia akan memaafkan, tetapi jika lelaki yang dicintai memilih bertahan dengan selingkuhannya, ia yang akan mundur teratur.

"Makasih, Vir, kamu memang teman terbaik!"

Hilma memandang sahabatnya penuh kasih. Seseorang yang selalu mendukungnya dalam suka dan duka. Hal itu merupakan suatu anugerah baginya yang seorang yatim piatu. Tak ada sanak keluarga.

Suara mobil yang melaju mendekati depan rumah, mengalihkan perhatian Virda dan Hilma. Mereka menengok ke asal suara.

Kendaraan beroda empat berwarma hitam itu berhenti tepat di depan gerbang. Hilma bangkit berdiri dan menghampiri untuk melihat lebih dekat tamu yang datang. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu membuatnya terperangah. 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu nyaman memakai daster lusuh walaupun sama saat suami maka pantasnya kau jadi babu aja hilma.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status