Share

Bab 6 Meredam Ego

Terkadang dalam sebuah pernikahan memerlukan tarik ulur dalam menjaga sebuah keharmonisaan. Untuk mempertahankan kedamaian dalam bangunan rumah tangga, biasanya salah satu pasangan harus mengalah, menurunkan ego demi tercipta keseimbangan dalam menghadapi permasalahan yang ada.

Semalaman, Hilma merenungkan kelanjutan bahatera hidup yang sedang diterjang badai. Nahkoda yang melajukan kapal tak sesuai arah, memerlukan bantuan untuk kembali pada tujuan semula.

Ia memutuskan untuk mengenyampingkan rasa sakit hati yang didera karena penghianatan, demi tumbuh kembang kedua anaknya yang memerlukan keutuhan orangtua, Hilma akan kembali melanjutkan rencana untuk menarik perhatian sang suami.

Pagi ini dengan melapangkan hati dan memaafkan yang telah terjadi, Hilma mengawali pagi dengan harapan baru. Berikhtiar memperbaiki biduk rumah tangganya yang tengah goyah.

Setelah memoles wajah dan memakai pakaian yang lebih rapi, ia menuruni tangga dan melangkah menuju dapur. Mulai hari ini selama suaminya masih terlihat di rumah, ia akan memanjakan mata dengan penampilan dan pelayanan yang lebih baik.

Sambil menggoreng ayam, tangannya lihai memotong sayuran dan bumbu yang tersedia. Setelah itu ia mengambil wajan satunya lagi, menuang minyak, dan mulai menumis.

"Mama," panggil Ghani yang berdiri di belakangya.

Hilma menoleh, kemudian tersenyum. "Eh, anak Mama sudah bangun."

"Ada yang bisa Ghani bantu, Ma?" Ghani bertanya, memerhatikan ibunya yang sedang memasukkan sayur bayam dan memasukkan beberapa bumbu.

"Wah, terima kasih, Sayang. Tapi sebentar lagi sudah mau selesai. Lebih baik Mamas mandi dan bersiap-siap. Adik sudah bangun?"

"Belum, Ma."

"Nah, sekalian tolong bangunin Adik, ya!"

"Baik, Ma." Ghani berbalik badan dan melangkah menuju kamarnya.

Hilma menuangkan sayuran yang telah matang ke dalam sebuah mangkuk, kemudian menyajikannya di meja makan berbentuk persegi panjang.

Setelah memastikan semua hidangan sudah lengkap, ia kembali ke kamar dan membangunkan sang suami yang masih terlelap.

Semalam, ia meminta suaminya untuk tetap beristirahat di kamar mereka, khawatir akan membuat pertanyaan yang lain terutama Ghani dan Ghava jika Wiguna tidur di kamar sang anak. Ia sampai berjanji tidak akan mengganggu ketenangan suaminya.

"Mas, bangun!"

Hilma menyentuh pelan tubuh yang tertidur miring ke kanan.

"Hem."

Wiguna hanya bergerak sebentar kemudian terlelap lagi.

"Mas, sudah jam setengah enam. Salat subuh dulu!"

Kembali Hilma menyentuh punggung suaminya kemudian beralih mengusap wajah.

Mendapat perlakuan lembut dari sang istri, membuat lelaki yang baru tidur beberapa jam itu perlahan membuka mata dan mulai mengumpulkam kesadaran.

"Udah jam setengah enam?" tanya Wiguna memastikan setelah tubuhnya berubah posisi telentang. Biasanya Hilma selalu membangunkam pukul lima.

Hilma meggangguk sambil tersenyum. "Iya, Mas."

Menyadari ada yang berbeda dari penampilan sang istri juga sikap lembut yang ditunjukkan seperti biasanya, membuat Wiguna tertegun. Memikirkan kejadian semalam.

Istrinya terlihat sangat marah, sehingga terjadi pertengkaran antara mereka. Namun, pagi ini sang istri terlihat biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa. Bahkan, tak dipungkiri penampilan Hilma membuatnya menelan ludah, sangat cantik dan memesona.

Wiguna mengulum senyum, petuah yang diberikan seseorang telah berhasil. Sepertinya sang istri menyadari kesalahan dan sedang berupaya mengambil hatinya untuk meminta permohonan maaf.

Ia sangat senang, ingin merengkuh tubuh perempuan yang telah membangkitkan kelelakiannya. Namun, lagi-lagi ia teringat pesan orang itu, untuk tidak langsung memberikan maaf agar sang istri berpikir ulang untuk melakukan kesalahan yang sama.

Untuk memenuhi petuah kali ini, Wiguna merasa berat. Hasrat yang timbul di tubuhnya semakin bergejolak. Jika ia tetap mengikuti petuah itu, tentu harinya akan berjalan buruk. Tidaklah mengenakkan jika belum menuntaskan kebutuhan biologis yang tertahan.

"Andai punya istri dua, tentu ga perlu sampai menderita ketika sedang mendidik istri satunya lagi."

Wiguna berbicara dalam hati. Dilema yang melanda membuatnya membayangkan keindahan memiliki dua istri.

"Mas, kok, melamun?"

Hilma menyentuh lengan suami yang mematung.

"Eh, ga apa-apa!" jawab Wiguna dingin dan datar.

Sepersekian detik, ia memutuskan untuk melakukan arahan orang tersebut. Ia berpikir, untuk mendapatkan sesuatu yang besar, harus berani berkorban.

Artinya, demi membuat Hilma menyadari kesalahan dan mengizinkannya menikah lagi, ia akan mengorbankan kebutuhan biologisnya kali ini.

"Mas, mandi dulu, ya, nanti aku siapin bajunya!"

"Ga usah, nanti saya siapkan sendiri!"

"Mas Guna masih marah?"

Mendengar kata 'saya' membuat Hilma merasa tak nyaman, seperti ada sebuah jarak diantara mereka. Biasanya, jika terjadi perselisihan, sang suami akan lebih dulu bersikap baik dan mencairkan suasana.

Bahkan, memberi pelukan hangat, lalu bersama-sama akan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Namun, kini semua berbeda. Suaminya masih terlihat marah.

Padahal Hilma sempat menangkap sorot mata yang penuh dengan hasrat untuk menyatukan raga.

"Maafkan aku, Mas, akan kejadian semalam!"

"Ya. Mas berharap hal semalam itu tidak terulang lagi!" sahut Wiguna.

Mendemgar jawaban sang suami membuat Hilma terperangah. Jika menelusuri permasalahan, sebenarnya kesalahan bukan berasal darinya.

Ia semakin tak mengerti dengan pemikiran sang suami. Namun, demi menjaga keharmonisan, ia hanya mengangguk patah-patah sambil senyum dipaksakan.

"Ya udah, Mas mau mandi dulu. Kamu tolong siapkan bajunya!"

"Iya, Mas."

Hilma menghembuskan napas perlahan setelah sang suami menghilang di balik pintu kamar mandi. Menghilangkan sesak yang menghimpit Dada. Dalam perbaikan, meredam ego sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

Setelah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan sang suami, Hilma bergegas ke luar dan melangkah menaiki tangga untuk melihat kedua anaknya. Sesampainya di lantai atas, ia tertegun mendengar suara dari kamar yang tengah dilewati.

"Mereka semalam bertengkar!" Suara Tanti terdengar dari luar pintu.

"Kamu tenang aja, rencana kita semalam berhasil. Tinggal menunggu perpisahan mereka!"

Mendengar ucapan perempuan yang merupakan saudara suaminya itu membuat Hillma membelalakkan mata dengan mulut menganga. Tidak mengira ada niat buruk yang direncanakan untuk merusak rumah tangganya.

Ia tak tahu dengan siapa Tanti berbicara di telepon. Namun, pembahasan yang didengar membuatnya mengepalkan tangan.

"Aku juga sudah mempengaruhi Mas Guna dengan beberapa tips supaya si Hilma itu mau nurut. Tapi tentu saja perempuan kampung itu ga akan nurut. Dia itu keras kepala."

"Namun, itu menguntungkan. Karena kalau Mas Guna sudah kesal karena selalu dibantah, tentu Hilma akan langsung diceraikan," ucap Tanti lagi sambil tertawa dan membuat amarah di dada Hilma semakin bergemuruh.

"Iya, beneran! Hilma itu cuma mau morotin harta Mas Guna. Asa-usulnya aja ga jelas! Makanya dari awal aku ga setuju mereka menikah!"

"Oh, ya, tentu, aku memang inginnya mereka berpisah."

"Wah, ide briliant. Oke, deh, kalau cara itu ga ampuh kita pakai rencana kedua."

"Oke, sip. Udah dulu, ya, Aku mau sarapan."

Mendengar Tanti telah mengakhiri panggilan, satu tangan Hilma mengetuk pintu dengan keras. Selama ini ia selalu diam karena menghormati keluarga suaminya.

Namun, ketika mengetahui mereka bagai ular yang suka mematuk, membuatnya harus bersikap tegas dan memperingatkan adik iparnya.

"Siapa, sih, ngetok pintu keras banget! Ga sop---."

Tanti langsung menghentikan ucapannya ketika pintu dibuka, ia mendapati wajah kakak iparnya yang terlihat memerah dengan sorot mata tajam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status