Terkadang dalam sebuah pernikahan memerlukan tarik ulur dalam menjaga sebuah keharmonisaan. Untuk mempertahankan kedamaian dalam bangunan rumah tangga, biasanya salah satu pasangan harus mengalah, menurunkan ego demi tercipta keseimbangan dalam menghadapi permasalahan yang ada.
Semalaman, Hilma merenungkan kelanjutan bahatera hidup yang sedang diterjang badai. Nahkoda yang melajukan kapal tak sesuai arah, memerlukan bantuan untuk kembali pada tujuan semula.Ia memutuskan untuk mengenyampingkan rasa sakit hati yang didera karena penghianatan, demi tumbuh kembang kedua anaknya yang memerlukan keutuhan orangtua, Hilma akan kembali melanjutkan rencana untuk menarik perhatian sang suami.Pagi ini dengan melapangkan hati dan memaafkan yang telah terjadi, Hilma mengawali pagi dengan harapan baru. Berikhtiar memperbaiki biduk rumah tangganya yang tengah goyah.Setelah memoles wajah dan memakai pakaian yang lebih rapi, ia menuruni tangga dan melangkah menuju dapur. Mulai hari ini selama suaminya masih terlihat di rumah, ia akan memanjakan mata dengan penampilan dan pelayanan yang lebih baik.Sambil menggoreng ayam, tangannya lihai memotong sayuran dan bumbu yang tersedia. Setelah itu ia mengambil wajan satunya lagi, menuang minyak, dan mulai menumis."Mama," panggil Ghani yang berdiri di belakangya.Hilma menoleh, kemudian tersenyum. "Eh, anak Mama sudah bangun.""Ada yang bisa Ghani bantu, Ma?" Ghani bertanya, memerhatikan ibunya yang sedang memasukkan sayur bayam dan memasukkan beberapa bumbu."Wah, terima kasih, Sayang. Tapi sebentar lagi sudah mau selesai. Lebih baik Mamas mandi dan bersiap-siap. Adik sudah bangun?""Belum, Ma.""Nah, sekalian tolong bangunin Adik, ya!""Baik, Ma." Ghani berbalik badan dan melangkah menuju kamarnya.Hilma menuangkan sayuran yang telah matang ke dalam sebuah mangkuk, kemudian menyajikannya di meja makan berbentuk persegi panjang.Setelah memastikan semua hidangan sudah lengkap, ia kembali ke kamar dan membangunkan sang suami yang masih terlelap.Semalam, ia meminta suaminya untuk tetap beristirahat di kamar mereka, khawatir akan membuat pertanyaan yang lain terutama Ghani dan Ghava jika Wiguna tidur di kamar sang anak. Ia sampai berjanji tidak akan mengganggu ketenangan suaminya."Mas, bangun!"Hilma menyentuh pelan tubuh yang tertidur miring ke kanan."Hem."Wiguna hanya bergerak sebentar kemudian terlelap lagi."Mas, sudah jam setengah enam. Salat subuh dulu!"Kembali Hilma menyentuh punggung suaminya kemudian beralih mengusap wajah.Mendapat perlakuan lembut dari sang istri, membuat lelaki yang baru tidur beberapa jam itu perlahan membuka mata dan mulai mengumpulkam kesadaran."Udah jam setengah enam?" tanya Wiguna memastikan setelah tubuhnya berubah posisi telentang. Biasanya Hilma selalu membangunkam pukul lima.Hilma meggangguk sambil tersenyum. "Iya, Mas."Menyadari ada yang berbeda dari penampilan sang istri juga sikap lembut yang ditunjukkan seperti biasanya, membuat Wiguna tertegun. Memikirkan kejadian semalam.Istrinya terlihat sangat marah, sehingga terjadi pertengkaran antara mereka. Namun, pagi ini sang istri terlihat biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa. Bahkan, tak dipungkiri penampilan Hilma membuatnya menelan ludah, sangat cantik dan memesona.Wiguna mengulum senyum, petuah yang diberikan seseorang telah berhasil. Sepertinya sang istri menyadari kesalahan dan sedang berupaya mengambil hatinya untuk meminta permohonan maaf.Ia sangat senang, ingin merengkuh tubuh perempuan yang telah membangkitkan kelelakiannya. Namun, lagi-lagi ia teringat pesan orang itu, untuk tidak langsung memberikan maaf agar sang istri berpikir ulang untuk melakukan kesalahan yang sama.Untuk memenuhi petuah kali ini, Wiguna merasa berat. Hasrat yang timbul di tubuhnya semakin bergejolak. Jika ia tetap mengikuti petuah itu, tentu harinya akan berjalan buruk. Tidaklah mengenakkan jika belum menuntaskan kebutuhan biologis yang tertahan."Andai punya istri dua, tentu ga perlu sampai menderita ketika sedang mendidik istri satunya lagi."Wiguna berbicara dalam hati. Dilema yang melanda membuatnya membayangkan keindahan memiliki dua istri."Mas, kok, melamun?"Hilma menyentuh lengan suami yang mematung."Eh, ga apa-apa!" jawab Wiguna dingin dan datar.Sepersekian detik, ia memutuskan untuk melakukan arahan orang tersebut. Ia berpikir, untuk mendapatkan sesuatu yang besar, harus berani berkorban.Artinya, demi membuat Hilma menyadari kesalahan dan mengizinkannya menikah lagi, ia akan mengorbankan kebutuhan biologisnya kali ini."Mas, mandi dulu, ya, nanti aku siapin bajunya!""Ga usah, nanti saya siapkan sendiri!""Mas Guna masih marah?"Mendengar kata 'saya' membuat Hilma merasa tak nyaman, seperti ada sebuah jarak diantara mereka. Biasanya, jika terjadi perselisihan, sang suami akan lebih dulu bersikap baik dan mencairkan suasana.Bahkan, memberi pelukan hangat, lalu bersama-sama akan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Namun, kini semua berbeda. Suaminya masih terlihat marah.Padahal Hilma sempat menangkap sorot mata yang penuh dengan hasrat untuk menyatukan raga."Maafkan aku, Mas, akan kejadian semalam!""Ya. Mas berharap hal semalam itu tidak terulang lagi!" sahut Wiguna.Mendemgar jawaban sang suami membuat Hilma terperangah. Jika menelusuri permasalahan, sebenarnya kesalahan bukan berasal darinya.Ia semakin tak mengerti dengan pemikiran sang suami. Namun, demi menjaga keharmonisan, ia hanya mengangguk patah-patah sambil senyum dipaksakan."Ya udah, Mas mau mandi dulu. Kamu tolong siapkan bajunya!""Iya, Mas."Hilma menghembuskan napas perlahan setelah sang suami menghilang di balik pintu kamar mandi. Menghilangkan sesak yang menghimpit Dada. Dalam perbaikan, meredam ego sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan.Setelah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan sang suami, Hilma bergegas ke luar dan melangkah menaiki tangga untuk melihat kedua anaknya. Sesampainya di lantai atas, ia tertegun mendengar suara dari kamar yang tengah dilewati."Mereka semalam bertengkar!" Suara Tanti terdengar dari luar pintu."Kamu tenang aja, rencana kita semalam berhasil. Tinggal menunggu perpisahan mereka!"Mendengar ucapan perempuan yang merupakan saudara suaminya itu membuat Hillma membelalakkan mata dengan mulut menganga. Tidak mengira ada niat buruk yang direncanakan untuk merusak rumah tangganya.Ia tak tahu dengan siapa Tanti berbicara di telepon. Namun, pembahasan yang didengar membuatnya mengepalkan tangan."Aku juga sudah mempengaruhi Mas Guna dengan beberapa tips supaya si Hilma itu mau nurut. Tapi tentu saja perempuan kampung itu ga akan nurut. Dia itu keras kepala.""Namun, itu menguntungkan. Karena kalau Mas Guna sudah kesal karena selalu dibantah, tentu Hilma akan langsung diceraikan," ucap Tanti lagi sambil tertawa dan membuat amarah di dada Hilma semakin bergemuruh."Iya, beneran! Hilma itu cuma mau morotin harta Mas Guna. Asa-usulnya aja ga jelas! Makanya dari awal aku ga setuju mereka menikah!""Oh, ya, tentu, aku memang inginnya mereka berpisah.""Wah, ide briliant. Oke, deh, kalau cara itu ga ampuh kita pakai rencana kedua.""Oke, sip. Udah dulu, ya, Aku mau sarapan."Mendengar Tanti telah mengakhiri panggilan, satu tangan Hilma mengetuk pintu dengan keras. Selama ini ia selalu diam karena menghormati keluarga suaminya.Namun, ketika mengetahui mereka bagai ular yang suka mematuk, membuatnya harus bersikap tegas dan memperingatkan adik iparnya."Siapa, sih, ngetok pintu keras banget! Ga sop---."Tanti langsung menghentikan ucapannya ketika pintu dibuka, ia mendapati wajah kakak iparnya yang terlihat memerah dengan sorot mata tajam.***Hilma membalas lambaian tangan suami dan kedua anaknya ketika mobil mulai melaju. Melihat kendaraan roda empat berwarna hitam itu menghilang di tikungan, ia menutup pagar lalu dengan tergesa menuju ke dalam rumah, mencari keberadaan adik iparnya.Kemarahan yang sempat meluap karena mendengar niat buruk Tanti, terhenti karena panggilan Ghani dan Ghava yang sudah berdiri di sampingnya.Hilma berusaha meredam kemarahan dan menampilkan wajah semanis mungkin untuk menyambut sang anak dan mengesampikan menegur adik iparnya.Ia terlebih dulu menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Melayani seluruh penghuni rumah di meja makan termasuk ibu mertua dan adik iparnya. Sesekali Hilma melirik wajah Tanti yang tampak acuh tak acuh.Menahan kemarahan bukanlah sesuatu yang mudah, tapi ia juga tak boleh memperlihatkan pertengkaran pada kedua anaknya. Kini, setelah semuanya telah meninggalkan rumah, ia akan meminta penjelasan mengenai rencana bu
"Dik, ini uang untuk keperluan bulan ini!"Wiguna menyerahkan amplop putih kepada istrinya.Hilma yang sedang membersihkan wajah di meja rias, menoleh ke samping dan melihat benda putih yang disodorkan. Kedua alisnya tertaut, kemudian mendongak melihat sang suami."Kok, tumben cash, Mas?"Ia bertanya sambil menerima jatah bulanan yang ketika ia pegang terasa ringan. "Iya, Dik, mulai saat ini Mas kasih uangnya cash, dan jumlahnya juga berkurang. Di amplop ada tiga juta, buat bayar biaya sekolah juga untuk memasak, dan keperluanmu," jelas Wiguna."Selebihnya, nanti Mas yang bayar." "Kenapa berubah begini, Mas? Dan kenapa ga dibicarakan dulu? Bukannya sebelumnya kita sudah sepakat, seluruh keuangan aku yang mengaturnya?"Hilma bangkit berdiri, menatap lebih lekat meminta penjelasan. Tentu saja uang yang diberikan tidak cukup. Untuk keperluan sekolah dua anak 1,5 juta perbulan. Sisa setengahnya pun tak cukup untuk
Wiguna merasakan kepalanya sedikit pusing, matanya tampak berat. Berkali-kali ia menggeleng, membuang rasa kantuk yang mendera, tetapi tetap saja kelopak itu ingin menutup.Beberapa menit kemudian, kesadarannya menurun dan ia tak sanggup lagi untuk membuka mata. Terlelap dengan bersandar pada sofa."Yes!"Dari balik gorden Nela meneriakan keberhasilannnya telah membuat Wiguna tak sadarkan diri. Setelah itu ia akan melanjutkan rencana berikutnya. Sebelumnya, Nela mengirim pesan pada seseorang.[Tan, kamu masuk, deh! Mas Guna dah pingsan.][Oke.]Sejak awal, Tanti menunggu di warung bakso yang ada di seberang rumah Nela, menunggu instruksi. Setelah mendapat perintah, ia segera bergegas ke rumah Nela."Duh, Mas Guna berat juga, ya!" seru Tanti ketika ia menopang tubuh saudaranya itu di sebelah kiri.Sedangkan Nela menopang sebelah kanan dan tak sempat menyahut, konsentrasi melihat jalan, mereka membawanya ke k
Tanti terkikik geli melihat kakak iparnya yang syok melihat gambar yang telah dikirimnya."Rasakan itu!" Gumam gadis berkulit sawo matang itu menyungging senyum sinis.Ia memasang kamera tersembunyi, dan dapat melihat kegiatan di luar melalui laptop. Ia mengamati layar persegi itu, terlihat jelas Hilma sedang terduduk sambil menangis dengan suara tertahan karena khawatir didengar Ghani dan Ghava. Ia semakin melebarkan tawa ketika bahu itu semakin berguncang.Namun, senyumnya memudar ketika sosok yang sedang ia jauhi datang menghampiri, lalu ikut mensejajarkan diri dan menanyakan sebab Hilma menangis. Tanti bisa mendengar percakapan mereka dari CCTV."Kamu kenapa, Hilma?"Perempuan yang menunduk itu belum bisa berkata-kata. Masih terus menikmati tangisnya. Lalu, Yana mengambil ponsel yang masih berada di genggaman sang menantu."Wiguna?!" teriak Yana dengan wajah memerah dan mata yang membulat.Dadanya ikutan sesak, panta
Pukul dua belas siang, dua orang turun dari mobil yang diparkir di garasi rumah, lalu berjalan beriringan menuju pintu utama dan menekan bel."Mas, aku deg-degan, nih!"Nela meremas kedua jemarinya.Lelaki berkulit sawo matang yang masih dipenuhi kekhawatiran itu hanya tersenyum, ia pun sedang mengontrol debaran jantungnya yang berpacu cepat. Memikirkan bagaimana respon Hilma, membuatnya sedikit tegang.Walau sebelum berangkat ia sudah meneguhkan hati, jika istrinya tidak mengizinkan, ia akan tetap menikah. Tentu Hilma tak akan membantah dan memilih mengalah."Eh, Mbak Nela," sapa Tanti ketika membuka pintu.Mereka seolah-olah tak berjumpa lama, cipika cipiki dengan pekik kegirangan lalu berjalan ke ruang tamu sambil mengobrol.Bahkan, ia menambahkan kata 'Mbak' pada perempuan yang memakai dress selutut dengan rambut dibiarkan terurai, untuk memberi kesan menghormati walau usia mereka s
"Mulai hari ini, silahkan keluar dari rumah ini tanpa membawa apapun!" ucap Wiguna menjalankan tips selanjutnya, dan ia berharap Hilma langsung berubah pikiran ketika tahu tak mendapatkan apa-apa."Mas, maksud kamu apa?""Loh, benar, kan? Kamu bukan istriku lagi. Jadi, ga pantas kamu serumah dengan yang bukan muhrim."Hilma menggeleng."Bukan begitu aturannya, Mas? Lagipula, kenapa Mas Guna sampai setega itu. Walaupun, aku hanya seorang bekas istri, setidaknya Mas punya belas kasih memberiku kesempatan mencari tempat tinggal, bukan langsung menyuruh keluar seperti ini!"Hilma semakin mendekati mantan suaminya."Setidaknya beri aku waktu dua hari. Setelah itu aku akan pergi, walau sebenarnya aku masih berhak di sini selama masa iddah tiga bulan. Tapi aku hanya membutuhkan dua hari. Mas juga harus memikirkan anak-anak. Mempersiapkan mental mereka untuk perpisahan kita."Wiguna terdiam, me
"Ya ampun, Hilma. Suamimu itu memang gila, ya? Masa tega sama istri dan anak anak sendiri?"Virda menggerutu kesal dengan wajah memerah."Gara-gara perempuan otaknya sampai geser ga karuan."Ia menggeleng, tak habis pikir dengan kelakuan para lelaki.Hilma duduk di kursi kayu yang berada di teras rumah. Bangunan berlantai satu yang ditempati Virda bersama bibinya berada di Rawamangun. Posisinya yang di depan jalan, membuat mereka bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat.Virda sendiri masih tetap berdiri, mengurai kemarahan yang dirasakan ketika mendengar penjelasan perempuan yang dikenalnya sejak sekolah menengah atas.Menghadapi kemelut rumah tangga karena adanya orang ketiga memang membuang banyak energi.Ia saja yang hanya mendengar, sudah merasakan sakit juga kesal dengan sikap Wiguna, Tanti, dan Nela. Apalagi Hilma yang mengalami langsung.Lebih parah lagi,
Hilma menggeser gorden yang ada di kamar, kemudian membuka jendela. Udara sejuk menerpa kulit putih yang tampak lebih segar. Memberi sensasi seperti berada di pegunungan.Walaupun berada di tengah kota, tetapi udara di sekitar rumah Virda terasa alami. Banyaknya pepohonan dan dan tumbuhan yang ditanam, membuat rumah bercat biru itu tampak asri dan memberikan keteduhan tersendiri.Silau matahari yang memancar masuk melalui jendela membuat salah satu anak lelaki yang terbaring mengerjap, ia membuka perlahan matanya sambil menyesuaikan dengan silau yang menerpa."Assalamu'alaikum, selamat pagi anak Mama."Dengan senyum mengembang, perempuan yang memakai kaos dan celana panjang menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap kepala dan membungkuk memberi ciuman selamat pagi.Anak lelaki yang matanya sudah membuka sempurna itu tersenyum, dan bergerak untuk duduk."Pagi, Ma," ucap Ghani."Ma,