Share

Bab 7 Konspirasi

Hilma membalas lambaian tangan suami dan kedua anaknya ketika mobil mulai melaju. Melihat kendaraan roda empat berwarna hitam itu menghilang di tikungan, ia menutup pagar lalu dengan tergesa menuju ke dalam rumah, mencari keberadaan adik iparnya.

Kemarahan yang sempat meluap karena mendengar niat buruk Tanti, terhenti karena panggilan Ghani dan Ghava yang sudah berdiri di sampingnya.

Hilma berusaha meredam kemarahan dan menampilkan wajah semanis mungkin untuk menyambut sang anak dan mengesampikan menegur adik iparnya.

Ia terlebih dulu menjalankan peran sebagai ibu dan istri. Melayani seluruh penghuni rumah di meja makan termasuk ibu mertua dan adik iparnya. Sesekali Hilma melirik wajah Tanti yang tampak acuh tak acuh.

Menahan kemarahan bukanlah sesuatu yang mudah, tapi ia juga tak boleh memperlihatkan pertengkaran pada kedua anaknya.

Kini, setelah semuanya telah meninggalkan rumah, ia akan meminta penjelasan mengenai rencana buruk yang didengarnya. Hilma melangkah menuju dapur.

Hanya ada makanan sisa dan bekas piring kotor di meja makan, sedangkan kedua orang yang tadi ditinggalkan masih terduduk sambil menikmati sarapan telah pergi. Tak mendapati Tanti di dapur, ia melangkah menuju lantai dua.

"Tanti! Buka pintunya!" panggil Hilma sambil mengetuk pelan pintu kamar Tanti.

"Tanti!" panggilnya lagi.

Berkali-kali tak ada sahutan membuat Hilma mengeraskan ketukan sambil mengencangkan suara.

"Apaan, sih! Ga sopan banget!"

Wajah tak bersahabat timbul di balik pintu, kesal karena pintu kamarnya digedor.

"Tolong jelaskan yang tadi saya dengar!" pinta Hilma mengabaikan protes adik iparnya.

"Kamu nguping, ya?" tuduh Tanti.

"Jelaskan apa maksudmu mau merusak rumah tangga saya?"

"Heh, dasar kampungan ya kampungan aja, sukanya nguping pembicaraan orang."

Tanti mengalihkan pembicaraan dengan acuh tak acuh sambil menyungging sinis. Ia melipat kedua tangannya dan menghadapi dengan rasa malas.

Hilma yang merasa geram, langsung mencengkram dagu Tanti kasar dan mendonggakkan hingga tatapan mereka bertemu.

"Katakan, kenapa kamu mau merusak rumah tangga saya?"

Hilma berbicara dengan menekankam suaranya.

Terdengar suara pintu di kamar sebelah terbuka. Mendengar keributan Yana hendak keluar, tetapi karena sedang di kamar mandi ia mengurungkan niat.

Namun, suara yang mengusik itu semakin lantang terdengar sehingga membuatnya bergegas membersihkan diri, berganti pakaian, dan langsung keluar kamar melihat keadaan.

Yana terkejut ketika melihat anaknya yang sedang direngkuh dagunya oleh Hilma dengan kemarahan yang terpancar di wajah.

"Eh, ada apa ini? Hilma, kenapa Tanti kamu perlakukan seperti itu?"

Yana menunjukkan raut tidak suka dan meminta melepaskan anaknya.

"Turunkan tangan kamu!"

"Maaf, Bu, saya tidak akan melepaskan Tanti sebelum dia menjawab pertanyaan saya!"

Penolakan Hilma membuat perempuan paruh baya itu meradang.

"Kamu, ya, menantu tak sopan berani membantah perintahku!"

Hilma menoleh sebentar, lalu kembali menghadap perempuan di depannya yang berusaha melepaskan diri. Tetapi, usahanya sia-sia karena Hilma semakin mencengkram dagunya.

"Lepaskan anakku, Hilma!"

Yana mulai memukul lengan Hilma.

"Atau saya telepon Wiguna sekarang!"

Tak memghiraukan ancaman, Hilma mengulangi pertanyaannya pada Tanti.

"Tanti, apa maksudmu mau merusak rumah tangga saya?"

Yana mematung mendengar pertanyaan menantunya. Ia melihat ke arah Tanti kemudian beralih menatap Hilma. Menyeledik mencari kebenaran.

Tanti yang berang langsung menghentakkan tangan Hilma sampai terlepas, lalu mundur selangkah sambil berteriak kesal.

"Memangnya kenapa kalau aku mau merusak rumah tanggamu, hah!"

"Kamu ga layak jadi istri Mas Guna! Perempuan yang tak jelas asal-usulnya!"

"Aku tahu kamu hanya menginginkan harta Mas Guna, kan? Menjauhkannya dari kami, lalu mengambil dia sepenuhnya."

"Kamu jangan mimpi, Hilma! Aku tak akan membiarkan kamu menguasai kakakku satu-satunya!"

"Asal kamu tahu, yang berhak mendampingi Mas Guna itu hanya Nela! Dia perempuan yang sederajat dengan kakakku!"

"Aku memang berniat memisahkan kamu dengan Mas Guna. Bukan lagi mencarikannya istri kedua!"

"Dapat dipastikan, istri Mas Guna hanya satu, yaitu Nela!"

"Kamu dan kedua anakmu itu akan dilempar ke jalanan. Lihat saja nanti!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi gadis yang memberondongkan ungkapan hati dan prasangka buruknya. Mendengar penuturan yang tanpa alasan membuat wajah Hilma memerah dengan tangan mengepal.

Rupanya begitu buruk pendapat Tanti mengenai dirinya. Pantas saja adik iparnya itu tak pernah bersikap baik.

Sedangkan Yana sejak tadi menajamkan telinga, mendengarkan setiap kata yang diucapkan anaknya. Kata-kata yang sering digaungkan Tanti ketika pertama kali putra pertamanya hendak menikah.

Berkali-kali didoktrin untuk melawan niat buruk menantunya, membuat Yana turut tidak bersikap baik pada Hilma. Namun satu kalimat terakhir yang diucapkan sang anak membuatnya murka, merasa dejavu dengan kejadian 20 tahun silam.

Ia dan kedua anaknya diusir tanpa perbekalan apapun. Tubuh yang bergetar dengan napas memburu membuat Yana refleks melayangkan satu tamparan pada pipi putrinya.

Hilma yang awalnya juga hendak merangsek maju, ingin membungkam adik iparnya itupun tersentak. Tak mengira ibu mertuanya melakukam hal itu. Namun, ada wajah yang terlihat lebih kaget lagi. Seumur hidup baru kali ini sang ibu menampar wajah.

"Ibu?!" teriak Tanti dengan melotot tajam.

"Jangan pernah berniat buruk pada rumah tangga orang lain, Tanti! Jangan kamu pisahkan suami dari istrinya! Jangan kamu pisahkan ayah dari anak anaknya! Jangan!"

Yana berbicara sambil berurai air mata. Luka lama yang terpendam bagai terkorek lagi sebab perilaku sang anak yang mengingatkan pada hal buruk tersebut.

"Ibu memukulku hanya demi dia!"

Tanti semakin meradang, tak mau mengerti dengan perasaan sang ibu.

"Ibu hanya mengingatkanmu, Tanti! Selama ini Ibu terlalu memanjakanmu. Mengikuti segala prasangka burukmu. Tanpa ibu sadari kamu sampai melangkah jauh."

"Ibu masih merestui jika Wiguna menikah lagi, tapi akan menentang jika Wiguna menceraikan istrinya karena ulah orang lain. Itu menyakitkan, Tanti!" jelas Yana lagi, sesenggukan.

Dadanya terasa sesak karena isak tangis. Mengingat dulu ia diceraikan tanpa kesalahan, hanya karena sebuah fitnah yang disematkan membuat kehidupannya luluh lantak bersama kedua buah hatinya.

Ia tak mengira, jika kini justru sang anak yang menjadi dalang utama dalam rencana perpisahan rumah tangga Wiguna.

"Berhentilah, Tanti! Jangan teruskan niat buruk itu!" pinta Yana pada anak keduanya yang terlihat semakin meradang.

Melihat wajah anaknya yang dipenuhi kemarahan, ia mencoba menyentuh wajah sang anak, tetapi dengan tatapan tajam, perempuan berambut ikal itu menepis tangan ibunya dan memasuki kamar, lalu menutup pintu dengan kasar.

Yana memandang sendu tangannya yang menggantung di udara. Mendapat penolakan dari sang anak, rupanya sangat menyakitkan. Ia hanya mengelus dada sambil beristighfar, lalu ikut berbalik dan melangkah menuju kamarnya tanpa memedulikan Hilma yang tertegun membisu.

Di balik pintu, Tanti mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal mendapati ibunya lebih membela Hilma. Ia merasa kakak ipar yang sejak awal sangat dibencinya itu, telah berhasil merebut hati perempuan yang telah melahirkannya.

Tanti meneguhkan janji, ia tak akan membiarkan Hilma merebut kakaknya. Satu tangannya mengambil ponsel di saku dan menekan sebuah nomor.

"Nela, kita akan langsung menjalankan rencana kedua!" ucap Tanti ketika panggilan tersambung.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status