"Well. Dua orang ayah dan anak telah bertemu. Sesuatu yang sangat mengharukan!" ucap seorang lelaki paruh baya yang melangkah masuk ruangan sambil bertepuk tangan.
Mendengar hal itu Gery dan Hilma melepaskan pelukan lalu menoleh pada asal suara."Uncle Jay!" Gery menyebut nama adik sepupu ayahnya."Yeah. Bagaimana Gery? Kamu bahagia?" tanya Jayadi sambil tersenyum dan melangkah mendekati. Orang-orang berbaju hitam di belakangnya pun turut mengikuti begitu juga Joni."Kau tahu Gery! Perpisahan itu sangat menyedihkan," ucap Jay menepuk pelan pundak keponakannya. "Aku pun sangat mengerti hal itu!" lanjutnya dengan nada suara pelan, terdengar sedih.Gery menghela napas. Ia tahu akan hal itu, mendapati anak satu-satunya memilih mengakhiri hidup karena seorang perempuan membuat pamannya sangat terpuruk."Namun, aku berharap kau pun mau mengerti." Tubuh kurus yang telah menua itu berdiri tepat di hadapan G"Bagaimana, apa kita masuk sekarang?" tanya Wiguna sambil terus mengawasi keadaan di depan yang sedang terjadi pertarungan."Jangan, Wiguna! Kita tidak bisa masuk ke dalam! Sangat berbahaya!" Melihat sekelompok orang berbaju hitam yang terus merangsek maju membuat Noto berpikir dua kali untuk menyerang. Namun, ia tak tahu, apa motif orang yang datang menyerang tersebut. Jika dilihat dari segerombolan orang yang terus berdatangan, tentu ia kalah jumlah. Noto memutuskan untuk terus mengawasi sampai memdapat kesempatan."Tapi bagaimana dengan Hilma? Orang-orang itu akan membahayakannya dan juga anak-anakku," ucap Wiguna resah. "Kita akan menunggu!" Melihat orang yang tadi berjalan gagah ia meyakini jika itu adalah ajudan dari sosok yang sangat dikenalnya. Ia harus memastikan dulu siapa oramg yang tengah menyerang markas di hadapannya itu. "Sembunyikan kepalamu, Guna!" Noto menekan kepala anaknya agar tidak menyembul. Di jalan
"Gery! Kamu tidak apa-apa?" Patra berusaha membangunkan Gery yang telungkup di lantai, lalu membalikkan tubuh yang penuh luka itu dalam pangkuannya.Gery hanya menggeleng. Ia terlihat ingin bicara, tetapi terlalu lemah.Sementara para pengikut Patra langsung menghadapi orang-orang Jayadi yang langsung menyerang ketika melihat keberadaan mereka, termasuk dua petarung yang kini beralih salam menghadapi lawan. Tubuh besar itu mengincar orang-orang berseragam hitam yang diketahui berseberangan dengan Jayadi. Bagi mereka, orang yang membayar mahal adalah tuannya. Dan yang bertentangan adalah musuh.Terjadi pertempuran menggunakan senjata api, sebagian mereka mencari benda terdekat sebagai pelindung dan bersembunyi di beberapa tempat di ruangan itu. Lima orang pengawal Patra melindungi tuannya yang masih mengkhawatirkan keadaan putra semata wayang. Sementara Jayadi yang dilindungi beberapa orang berhasil mendekati tubuh Hilma. Denga
"Mas, pulang sana! Kasihan istrimu nanti menunggu." Nela mendorong pelan lengan lelaki yang menjalin hubungan terlarang dengannya."Biarkan sajalah, Nel! Aku masih ingin di sini." Wiguna terlihat malas-malasan. Ia engan beranjak pergi."Memangnya istrimu ga curiga sering pulang malam?" Gadis berwajah oval itu menunggu jawaban."Dia terlalu percaya padaku. Jadi, ga mungkin dia curiga," sahut Wiguna yakin."Hem, kalau aku di posisi istrimu sudah pasti aku teror kamu buat lekas pulang." Nela memberi pendapat."Ah, sayangnya kamu belum jadi istriku." Mendengar jawaban sang kekasih, perempuan berusia dua puluh lima tahun itu memasamkan wajah, menarik simpati lelaki yang telah memiliki dua anak itu. Menjadi perempuan kedua dalam kehidupan Wiguna Putra membuat Nela harus menebalkan muka.Anggapan sebagai pelakor sudah biasa disematkan padanya. Ia tak peduli. Baginya, siapa pun lelaki yamg mencintainya, ia akan rela untuk dijadikan yanng kedua atau jika perlu memyingkirkan istri pertama."Ja
"Terserah Ibu, deh! Aku, sih, pokoknya mendukung kalau Mas Guna mau nikah lagi. Aku lebih cocok sama Mbak Nela daripada perempuan ga jelas asal-usulnya itu," ungkap Tanti meremehkan.Tanpa mereka sadari Hilma telah berdiri di belakang dengan memegang nampan berisi dua mangkuk mie."Jadi ..., kalian tahu kalau Mas Guna memiliki perempuan lain?" tanya Hilma yang membuat kedua orang di depannya menoleh dengan mata membulat dan mulut menganga. Kedua ibu anak itu saling pandang dengan ekspresi berbeda, Yana terlihat khawatir dengan pertanyaaan menantunya, sedangkan Tanti terlihat tak peduli."Ah, Hilma, maksud kamu apa?"Perempuan berusia lima puluh tahun itu bangkit berdiri dan menghampiri menantunya dengan sikap ramah."Apa Ibu tahu jika Mas Guna jatuh cinta pada perempuan lain?"Hilma mengulangi pertanyaannya."Oh, ya, ga mungkin Guna seperti itu," sangkal Yana."Maaf, Bu, tadi aku dengar sendiri Tanti bilang kalau Mas Guna akan menikah lagi.""Kamu salah dengar! Kita tadi lagi membica
"Izinkan aku menikah lagi, Dik!"Mendengar berita suaminya akan menikah lagi dari Tanti sudah membuatnya terluka, tetapi mendengar langsung dari ucapan ayah dari anak-anaknya ternyata lebih menyakitkan, bagai teriris sembilu kemudian diberikan cuka di atasnya. Sakit dan perih."Apa salahku, Mas?""Kamu ga ada salah!""Lalu, kenapa begini?""Maafkan, Mas, Dik. Semua terjadi begitu saja!""Apa aku ada kekurangan? Coba dibicarakan, Mas. Pasti aku akan mengubahnya. Membuatmu lebih nyaman dan bahagia. Aku janji, Mas, akan menuruti kemauanmu. Tapi ...."Hilma menjeda ucapannya. Matanya menatap penuh harap pada manik hitam sang suami."Bukan untuk menikah lagi.""Maafkan, Mas, Dik. Perasaan ini hadir tanpa diminta!""Mas mencintai gadis itu?"Wiguna menangguk. "Iya.""Kenapa, Mas?"Airmata sudah meluruh di pipi mulus perempuan berkulit putih tersebut. Selama menjalani biduk rumah tangga, suaminya selalu bersikap baik, jarang mengeluhkan sesuatu, sehingga ia berpikir jika keluarganya baik-bai
"Haris gimana?""Ya ga gimana-gimana! Selama ini gue cuma nganggep dia temen." Nela terlihat tak acuh."Di suka sama lu, Nel.""Itu haknya dia. Dan hak gue juga buat nolak dia.""Tapi, kan, dia udah banyak berkorban. Inget, Nel, karena dia lu bisa bebas dari tempat terkutuk itu!" Mira mencoba mengingatkan."Gue ga akan lupa, Mir, tapi bukan berarti gue harus nerima cintanya, kan? Gue ingin hidup lebih baik, Mir. Haris bukan lelaki yang tepat buat tujuan hidup gue!""Nela!"Panggilan seseorang mengangetkan keduanya. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mendapati seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah."Ha-Haris," ucap Mira terbata dengan perasaan tak enak.Tentu lelaki tersebut telah mendengar percakapan mereka. Terlihat dari sorot mata yang memancarkan kekecewaan.Tatapan itu mengarah pada sahabatnya yang terlihat acuh tak acuh. Tak memedulikan kemarahan orang yang telah disakiti."Ternyata kamu hanya mempermainkanku, Nela!" tuduh Haris.
Wiguna memasuki rumah dengan wajah lelah. Ia melihat jam di pergelangan tangan. Pukul satu malam. Keasikan mengobrol dengan Nela membuatnya lupa waktu.Gadis itu benar-benar memberi kenyamanan, sehingga ia betah berlama-lama di samping kekasihnya. Lupa dengan perasaan istri di rumah.Handle pintu kamar dibuka dengan sangat perlahan, khawatir membangunkan sang istri yang telah terlelap. Ia tak ingin terlalu banyak ditanya, berharap segera berbaring di ranjang dan menikmati alam mimpi.Namun, ketika ia hendak menutup pintu, tiba-tiba cahaya di kamar menyala terang. Ia refleks menoleh ke arah saklar. Di sana, Wiguna melihat istrinya berdiri dengan tatapan menyelidik."Baru pulang, Mas?""I-iya, Dik!' Wiguna terlihat gugup."Bagaimana meetingnya?""Berjalan lancar.""Barus selesai jam segini!""Iya, Dik. Tadi pertemuannya juga telat. Jam sepuluh baru datang klien-nya." "Oh, ya?" Melihat Hilma dengan wajah dingin dan datar membuat Wiguna waspada. Terlebih ketika istrinya menghampiri deng
Terkadang dalam sebuah pernikahan memerlukan tarik ulur dalam menjaga sebuah keharmonisaan. Untuk mempertahankan kedamaian dalam bangunan rumah tangga, biasanya salah satu pasangan harus mengalah, menurunkan ego demi tercipta keseimbangan dalam menghadapi permasalahan yang ada.Semalaman, Hilma merenungkan kelanjutan bahatera hidup yang sedang diterjang badai. Nahkoda yang melajukan kapal tak sesuai arah, memerlukan bantuan untuk kembali pada tujuan semula.Ia memutuskan untuk mengenyampingkan rasa sakit hati yang didera karena penghianatan, demi tumbuh kembang kedua anaknya yang memerlukan keutuhan orangtua, Hilma akan kembali melanjutkan rencana untuk menarik perhatian sang suami.Pagi ini dengan melapangkan hati dan memaafkan yang telah terjadi, Hilma mengawali pagi dengan harapan baru. Berikhtiar memperbaiki biduk rumah tangganya yang tengah goyah.Setelah memoles wajah dan memakai pakaian yang lebih rapi, ia menuruni tangga dan melangkah menu