Share

Bab 5 Playing Victim

Wiguna memasuki rumah dengan wajah lelah. Ia melihat jam di pergelangan tangan. Pukul satu malam. Keasikan mengobrol dengan Nela membuatnya lupa waktu.

Gadis itu benar-benar memberi kenyamanan, sehingga ia betah berlama-lama di samping kekasihnya. Lupa dengan perasaan istri di rumah.

Handle pintu kamar dibuka dengan sangat perlahan, khawatir membangunkan sang istri yang telah terlelap. Ia tak ingin terlalu banyak ditanya, berharap segera berbaring di ranjang dan menikmati alam mimpi.

Namun, ketika ia hendak menutup pintu, tiba-tiba cahaya di kamar menyala terang. Ia refleks menoleh ke arah saklar. Di sana, Wiguna melihat istrinya berdiri dengan tatapan menyelidik.

"Baru pulang, Mas?"

"I-iya, Dik!' Wiguna terlihat gugup.

"Bagaimana meetingnya?"

"Berjalan lancar."

"Barus selesai jam segini!"

"Iya, Dik. Tadi pertemuannya juga telat. Jam sepuluh baru datang klien-nya." 

"Oh, ya?" 

Melihat Hilma dengan wajah dingin dan datar membuat Wiguna waspada. Terlebih ketika istrinya menghampiri dengan bersikap tenang, menyisakan kekhawatiran di hatinya. 

"Mas Guna ga lagi membohongiku, kan?"

Sorot tajam Hilma yang sudah tepat berada dihadapan, membuat Wiguna tersentak kaget mendapatkan pertanyaan yang menyudutkan.

"Ma-maksud kamu apa, Dik! Suami baru pulang kerja dituduh macam-macam?"

"Beneran kerja, Mas? Bukan bercumbu sama selingkuhanmu?"

"A-apa?"

Wiguna semakin membelalak. Terkejut dengan ucapan sang istri yang tepat menyebutkan kegiatan yang dilakukannya.

Terselip rasa bersalah. Namun, sudut lain hatinya kembali  membenarkan perbuatanya. Tidak, tidak, ia tidak perlu merasa bersalah.

Ia yang sempat ketakutan, berbalik mendongakkan wajah juga menegakkan dada. Demi mempertahankan harga diri, ia akan teguh pada pendirian.

Toh, mendekati perempuan lain bukan suatu kesalahan. Ia seorang lelaki dan kepala keluarga, bebas untuk melakukan sesuka hati termasuk bercumbu dengan perempuan lain.

Istrinya tak berhak menghakiminya. Bukankah dalam agama diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu.

"Katakan, Mas!" desak Hilma.

Wiguna yang memang sudah kelelahan langsung terpancing emosi. Wajahnya memerah dengan rahang mengeras. 

"Kalau memang benar, kenapa? Itu bukan suatu kesalahan, kan?"

"Apa Mas bilang? Bukan suatu kesalahan? Membohongi istri untuk berkhianat bukan kesalahan?"

Hilma menggeleng dengan tatapan tak percaya mendengar pendapat suaminya.

"Harusnya kamu bersyukur, Hilma. Aku berbohong untuk menjaga perasaanmu?"

"Hah, menjaga perasaan? Yang kamu lakukan itu justru menyakitiku, Mas!"

"Terserahlah, kamu mau bilang apa, yang pasti aku berhak untuk melakukan apapun. Karena aku kepala keluarga."

"Kenapa kamu berubah, Mas? Kenapa menjadikan posisi kepala keluarga sebagai tameng? Apakah dibenarkan seorang kepala keluarga semena-mena dengan istrinya?"

"Bukan aku yang berubah, kamu yang tidak mau mengerti! Seorang lelaki itu bebas memiliki beberapa orang istri dan seharusnya kamu tidak menghalangi! Lagipula seorang suami bisa memukul jika istri membangkang."

"Tapi, aku tidak akan melakukannya. Jadi, dimana letak semena-menanya? Seharusnya kamu bersyukur, Hilma. Bukannya malah ngelunjak."

Hilma semakin terperangah mendengar pendapat sang suami, entah darimana suaminya memiliki pemahaman seperti itu.

Sangat berbeda dengan kepribadian yang sebelumnya. Ia terdiam membeku sambil menatap nanar kepada suaminya. Sesak di dada membuatnya kesulitan untuk melanjutkan kata. Hanya airmata yang mengalir sebagai ungkapan kekecewaan.

Melihat istrinya terisak, Wiguna ingin merengkuh raga Hilma. Namun, terlintas pesan seseorang, salah satu cara agar seorang istri mau menuruti keinginannya.

"Jangan pedulikan kalau dia menangis! Itu senjata perempuan buat melemahkan hati laki-laki. Sebaiknya langsung tinggalkan! Biar istri tahu kalau sikapnya sudah membuat suami marah."

Wiguna mengurungkan niatnya untuk menghibur Hilma.

"Udahlah, aku capek, mau istirahat! Aku tidur di kamar Ghani dan Ghava aja. Biar kamu bisa intropeksi diri," ucapnya berlalu sambil melangkah ke luar kamar.

***

Dalam resah selalu ada tempat untuk mencurah, hanya Pada-Nya tempat terbaik memohon petunjuk dalam penyelesaian setiap masalah yang mendera. Berbekal kain putih yang melekat di tubuh juga mushaf yang menjadi teman dikala hati gundah.

Hilma bersujud meminta pada Yang Kuasa memberi kekuatan hati dan jiwa dalam mengatasi permasalahan biduk rumah tangganya.

Syahdu ia menguntaikan setiap kesulitan yang dialami. Tetesan airmata menjadi saksi betapa luka yang terjadi sangatlah pedih.

Namun, ia percaya setiap yang terjadi pada dirinya adalah ujian dalam hidup yang harus dijalani. Meski sulit harus menghadapi dengan ikhlas.

Oleh sebab itu meminta petunjuk pada yang Maha Mengetahui Segalanya. Memohon kebaikan dalam kelanjutan rumah tangganya.

Setelah merasa lebih tenang, Hilma membaca ayat suci al quran untuk menentramkan hatinya. Benarlah kalam Allah itu adalah syifa, pengobat untuk segala kesedihan.

Terutama ketika mengetahui maknanya, betapa banyak karunia yang Allah SWT berikan. 

Sedikit ujian baik suka atau duka, janganlah sampai membuat lupa atau terlena bahkan sampai menghina. Karena sejatinya di balik setiap ujian selalu ada hikmah.

Terpenting Yang Maha Penguasa juga tak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya.

Setelah mengakhiri kalam illahi, sekali lagi ia berdoa. Kembali mengurai airmata. Namun, kali ini hatinya lebih lapang. Apapun yang tengah mendera dan bagaimanapun akhir dari segalanya, ia sudah siap menerima.

Beberapa kali terisak dengan dada yang semakin sesak, membuatnya mengantuk, perlahan Hilma merebahkan diri dan tertidur di atas sajadah. 

Hilma tiba pada sebuah wilayah yang tak dikenalnya. Sebuah sinar timbul membuat tangannya terangkat dan melindungi kedua mata dari pantulan sinar yang menyilaukan. Perlahan sinar itu menjelma menjadi dua sosok berbeda usia.

"Hilma, jangan bersedih, Nak!" ucap sesorang berpakaian putih.

"Dibalik kesulitan selalu ada kemudahan," katanya lagi menjelaskan.

"Jagalah benda itu!" Orang itu menatap ke arah leher yang dipakai Hilma.

"Sesungguhnya Allah SWT bersama orang-orang yang sabar." Perempuan muda yang wajahnya bercahaya memberikan petuah.

"Jagalah dia, Hilma! Aku titipkan dia padamu!"

pinta perempuan muda itu tanpa Hilma tahu apa yang dititipkan.

Namun, entah kenapa ia seolah menyanggupi. Kepalanya mengangguk tanpa kendali. 

Hilma berusaha menggapai mereka, tetapi sebuah sinar menyilaukan matanya. Dalam senyum mereka terbang menuju nirwana, melambaikan tangan lalu hilang bersama sinar yang berangsur meredup kemudian hilang sama sekali.

Hilma merasa kehilangan, ia terus memanggil dua orang tersebut, tetapi tetap tak ada balasan. Hingga sebuah suara menyadarkannya dan membuatnya mengerjapkan mata.

"MasyaAllah," ucap Hilma ketika bangun dan mendengar azan subuh telah berkumandang.

Ia menggerakkan tubuhnya untuk duduk. Berpikir sejenak mengenai bunga tidur yang menghampirinya. Wajah pertama sangat dikenali, perempuan yamg selalu mengasihi dan berjuang untuk memberikan hidup terbaik padanya, ibunya. Namun, takdir memisahkan karena sakit yang didera sang ibu. 

Dalam mimpinya pun perempuan yang telah melahirkannya itu selalu meminta Hilma untuk menjaga kalung pemberian ibunya. Sebuah petunjuk jika suatu saat ditakdirkan bertemu dengan sang ayah.

Hilma akan selalu menjaga peninggalan ibunya itu. Lalu keningnya berkerut, memikirkan wajah kedua yang hadir dalam mimpinya tadi. Ia tak mengenalinya. Namun, dari raut wajah yang ditampilkan, ada gurat kesamaan diantara mereka berdua.

"Siapa sebenarnya perempuan muda yang hadir dalam mimpiku tadi?" gumamnya sambil memikirkan apa yang ingin dititipkan oleh perempuan muda itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si tolol langsung menyerang suaminya yg lagi tergila2 sama wanita malam. dasar tolol g punya otak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status