Share

Bab 4 Mengubah Penampilan

"Haris gimana?"

"Ya ga gimana-gimana! Selama ini gue cuma nganggep dia temen." Nela terlihat tak acuh.

"Di suka sama lu, Nel."

"Itu haknya dia. Dan hak gue juga buat nolak dia."

"Tapi, kan, dia udah banyak berkorban. Inget, Nel, karena dia lu bisa bebas dari tempat terkutuk itu!" Mira mencoba mengingatkan.

"Gue ga akan lupa, Mir, tapi bukan berarti gue harus nerima cintanya, kan? Gue ingin hidup lebih baik, Mir. Haris bukan lelaki yang tepat buat tujuan hidup gue!"

"Nela!"

Panggilan seseorang mengangetkan keduanya. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mendapati seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah.

"Ha-Haris," ucap Mira terbata dengan perasaan tak enak.

Tentu lelaki tersebut telah mendengar percakapan mereka. Terlihat dari sorot mata yang memancarkan kekecewaan.

Tatapan itu mengarah pada sahabatnya yang terlihat acuh tak acuh. Tak memedulikan kemarahan orang yang telah disakiti.

"Ternyata kamu hanya mempermainkanku, Nela!" tuduh Haris.

"Aku ga pernah pernah mempermainkanmu, Ris. Diantara kita memang ga ada hubungan apa-apa."

"Lalu, kenapa kamu memberi harapan?"

"Loh, siapa yang memberi harapan? Kan, kamu sendiri yang mendekatiku."

"Tapi kamu menerima pemberianku, bahkan tidak menolak jika kuajak pergi kemana pun."

"Oh, kalau soal itu ya karena ga ada alasan untuk menolak. Kamu memberi kenapa harus disia-siakan, kamu mengajakku ke suatu tempat, itu karena aku pun butuh hiburan. Jadi, hal itu bukan karena aku suka sama kamu."

"Kamu memanfaatkanku, Nela!"

"Enak saja. Aku ga meminta, ya! Semua itu atas inisiatif kamu sendiri."

Mendengar jawaban dari gadis yang selalu dipuja, membuat Haris mengepalkan tangan, wajahnya semakin memerah dengan tatapan kecewa.

Ia tidak mengira jika kebaikannya selama ini tiada berbekas di hati seseorang yang telah membuatnya membatalkan perjodohan dengan orang lain. 

Selama ini Haris mengira jika sikap gadis tersebut menandakan penyambutan atas rasa yang timbul di hatinya, ternyata Nela hanya memanfaatkan dirinya yang jatuh cinta.

Dan kini ia mendengar sendiri ungkapan hati perempuan yang terlihat membuang muka. Pujaannya mencintai lelaki lain yang telah memiliki keluarga.

"Haris, sudah-sudah. Ini hanya salah paham!"

Menyadari tangan lelaki itu mengepal, Mira bangkit berdiri dan segera menghampiri untuk meredakan ketegangan. 

Haris bergeming, tak menghiraukan orang yang berusaha memberi pengertian. Ia masih menatap gadis berambut lurus panjang itu yang sedang memandang ke arah lain.

"Tentu kamu memilih Pak Guna karena ia lebih kaya, bukan? Sedangkan menolakku sebab hanya seorang kacung yang selalu disuruh-suruh. Mungkin, jika aku kaya, kamu pun akan menerimaku. Tak peduli mengenai perasaan.

Kamu ternyata perempuan ular, Nela. Selain mengincar harta lelaki kaya, kamu juga merusak rumah tangga orang lain," seru Haris dengan suara serak.

Ia menahan kepedihan dengan wajah datar dipadu tatapan yang menyorotkann kebencian juga meremehkan. Ada penyesalan di hatinya menjadi jalan pertemuan Nela dengan bos di tempatnya bekerja.

Kata 'perempuan ular' membuat Nela langsung menoleh cepat dan melotot seketika dengan raut wajah tidak suka. Ia meradang, bangkit berdiri dengan menatap tajam.

"Dengar ya, Haris. Hidup itu jangan munafik, siapa pun ingin menikmati kehidupan. Memiliki harta banyak untuk bisa berfoya-foya tanpa harus memikirkan uang yang dikeluarkan. Lagipula, jika ada yang lebih baik kenapa pula aku harus memilih penderitaan. Jadi, sebaiknya kamu instropeksi diri jika ingin dipilih oleh perempuan."

Nela mengucapkan kata yang semakin menancapkan luka di hati Haris yang tampak terperangah mendengar pembelaan gadis itu.

"Dasar perempuan hina!" maki Haris sambil melangkah maju. 

Melihat pergerakan lelaki yang tampak murka, Mira langsung meraih lengan kekar itu, menghentikan Haris.

"Berhenti, Haris!"

"Jangan menghalangi, Mir! Aku akan memberi pelajaran pada perempuan ular ini!"

Melihat Haris yang terus merangsek maju, membuat Nela beringsut mundur. Ada ketakutan menelusup di hati.

"Berhenti Haris atau aku panggil polisi!"Mira masih berusaha menghentikan Haris.

Mendengar kata polisi, Haris menghentikan langkah. Ia baru menyadari jika melukai gadis di depannya secara terang-terangan tentu akan membuatnya mendekam di balik jeruji besi. 

Bayanyan ibunya yang sedang sakit melintas dalam ingatan. Ada penyesalan telah mengabaikan perempuan yang tulus padanya karena lebih mementingkan Nela.

Pada akhirnya, Haris memilih untuk menahan diri. Ia akan memikirkan cara untuk membalas perlakuan Nela.

"Kamu akan merasakan sakit yang aku rasakan, Nela, bahkan lebih sakit!" ucap Haris lantang memperingatkan perempuan yang terlihat ketakutan. Ia lalu berbalik dan pergi dengan luka menganga di hati dan dendam yang membara.

***

Hilma masih berkutat di dapur untuk mempersiapkan makan malam. Semua ia lakukan sendiri tanpa bantuan ibu mertua juga adik iparnya.

Kedua orang tersebut tengah asik menonton televisi di ruang keluarga. Tanpa rasa malu atau tak enak hati membiarkan tuan rumah sibuk sendirian membuat hidangan untuk disantap bersama.

"Ma, Mamas bantu, ya?" ucap Ghani menghampiri ibunya yang sedang memotong sayuran.

Bocah berusia tujuh tahun itu mengambil beberapa wadah berisi sayuran yang telah disiangi untuk dicucinya.

"Boleh. Memang mainnya sudah? Adik mana?" Hilma menanyakan anak keduanya yang memiliki paras yang sama dengan Ghani.

"Udah selesai, Ma. Soalnya adik tidur jadi ga seru main sendirian," sahut Ghani terkekeh.

Hilma menimpali dengan tawa dan membiarkan putra sulungnya membersihkan sayuran juga beberapa bumbu. Ia tak pernah menghalangi jika kedua anaknya ingin membantu.

Bahkan, ia justru sering menawarkan mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama. Selain mengeksplore segala keingintahuan anak juga untuk melatih kemandirian mereka sejak dini.

Sayangnya, sejak kehadiran kedua orang anggota lain, membuatnya memiliki keterbatasan waktu untuk melakukan hal itu.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," ucap Hilma melihat hidangan yang sudah matang semua.

"Makasih, Mamas, udah bantu Mama. Berkat Mas Ghani pekerjaan Mama selesai lebih cepat."

Hilma selalu memberi pujian atas perilaku baik yang dilakukan anaknya.

Ghani mengangguk sambil tersenyum. Wajahnya terlihat ceria dapat memudahkan pekerjaan orangtuanya.

"Sekarang Mamas mandi, ya, terus bangunin adik. Setelah itu bersiap ke mushola untuk salat maghrib berjamaah," titah Hilma yang membiasakan Ghani dan Ghava untuk salat berjamaah di mushola yang berada tepat di depan rumah mereka.

"Siap, Ma," sahut Ghani kemudian berbalik menuju kamarnya. 

Melihat sang anak yang patuh, membuat Hilma menyunggingkan senyum. Ia pun melangkah ke kamarnya untuk membersihkan diri dan salat maghrib sebelum makan malam.

***

Hilma mematut dirinya di cermin. Berlenggak-lenggok, memastikan penampilan telah sesuai. Ia kemudian mendekatkan wajah ke benda yang menampilkan pantulan dirinya itu, untuk mengoreksi kembali riasan sederhana yang membuat wajahnya terlihat lebih segar.

Setelah itu, ia kembali tegak berdiri, menatap pashmina berwarna cokelat muda yang senada dengan setelan casual ala korea yang dipakainya.

Merasa sudah terpasang dengan baik, ia menyunggingkan senyum puas. Ini adalah bentuk usahanya untuk menarik perhatian sang suami. Memberikan penampilan yang terbaik juga hidangan yang disukai.

Hilma hanya berharap bisa mempertahankan rumah tangganya tanpa orang ketiga. 

Dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia mengambil benda tersebut di atas meja rias dan mulai membuka aplikasi berwarna hijau lalu menekan tanda telepon.

"Dik, maaf, mas pulang terlambat. Ada klien yang minta meeting malam ini."

"Kok, mendadak, Mas?"

"Sebenarnya janjian siang tadi, tapi orangnya masih ada kerjaan. Jadi, baru bisa ketemu jam tujuh malam nanti."

"Oh, ya sudah, Mas, ga apa-apa."

"Makasih, Dik!"

"Iya, Mas"

Setelah mengucapkan salam dan mengakhiri panggilan, ia mendesah pelan. Kecewa dengan suaminya yang tak menepati janji untuk pulang lebih awal.

Namun, ia men-sugesti diri bahwa lelaki yang yang bertahta di hatinya itu sudah menunjukkan sikap baik dengan lebih dulu menghubungi dan memberitahu keadaannya.

Lagipula, suaminya sedang mengajukan kerjasama pada beberapa ruko dan perusahaan kecil yang sedang mengadakan pembagunan atau renovasi untuk memakai bahan baku tokonya. Tentu saja, suaminya harus mengikuti jadwal mereka.

Hilma menarik napas dan menghembuskan pelan. Ia harus menata hati demi kewarasan diri dan juga untuk menjaga moodnya.

Afirmasi positif terus dilantunkan dalam pikiran. Ia kembali tersenyum, berhasil meredam kekecewaan yang sempat singgah di hati.

Ia hendak bangkit berdiri, tetapi suara dering ponsel kembali menghentikan gerakannya. Hilma langsung melihat pesan yang diterima dari sebuah nomor tak dikenal.

Kedua matanya membelalak, melihat foto yang dikirimkan seseorang. Terlihat suaminya sedang mengecup perempuan di sebuah cafe.

"Kamu membohongiku, Mas!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si tolol mau berubah taoi udah telat. tetaplah berhemat terus demi suami mu yg ingin menyenangkan gundiknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status