Share

Bab 3 Mencintai Perempuan Lain

"Izinkan aku menikah lagi, Dik!"

Mendengar berita suaminya akan menikah lagi dari Tanti sudah membuatnya terluka, tetapi mendengar langsung dari ucapan ayah dari anak-anaknya ternyata lebih menyakitkan, bagai teriris sembilu kemudian diberikan cuka di atasnya. Sakit dan perih.

"Apa salahku, Mas?"

"Kamu ga ada salah!"

"Lalu, kenapa begini?"

"Maafkan, Mas, Dik. Semua terjadi begitu saja!"

"Apa aku ada kekurangan? Coba dibicarakan, Mas. Pasti aku akan mengubahnya. Membuatmu lebih nyaman dan bahagia. Aku janji, Mas, akan menuruti kemauanmu. Tapi ...."

Hilma menjeda ucapannya. Matanya menatap penuh harap pada manik hitam sang suami.

"Bukan untuk menikah lagi."

"Maafkan, Mas, Dik. Perasaan ini hadir tanpa diminta!"

"Mas mencintai gadis itu?"

Wiguna menangguk. "Iya."

"Kenapa, Mas?"

Airmata sudah meluruh di pipi mulus perempuan berkulit putih tersebut. Selama menjalani biduk rumah tangga, suaminya selalu bersikap baik, jarang mengeluhkan sesuatu, sehingga ia berpikir jika keluarganya baik-baik saja.

Namun, kenyataan pahit yang diterima dengan mendadak membuatnya kembali memutar kenangan. Mengingat ungkapan yang dinyatakan Tanti jika suaminya muak dengan penampilannya.

Wiguna menggeleng.

"Maafkan aku, Dik!"

Sudah berkali-kali ia meminta maaf untuk pengkhianatan yang dilakukannya. Namun, ia tak bisa menjawab hal yang menjadi penyebab mencintai gadis yang baru dikenalnya enam bulan lalu. 

"Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya, Mas?"

Meski sesak tetapi Hilma merasa harus tahu alasan sang suami berpaling ke lain hati.

"Entahlah, Dik, perasaan itu tumbuh begitu saja."

"Ga mungkin, Mas. Pasti ada sesuatu yang menarik darinya," sangkal Hilma. "A-apa karena penampilannya? Dia cantik?" 

Lelaki berambut ikal itu menatap istrinya sendu, ia pun sulit menjelaskan. Bertahun-tahun menghadapi begitu banyak perempuan cantik tak ada yang membuatnya berpaling. Namun, kali ini sangat berbeda. 

Ia mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan dari sang istri. Menurutnya Hilma adalah perempuan baik, bahkan sangat cantik. Hanya saja kepribadian yang selalu manis dan penurut membuatnya terasa monoton.

Berbeda dengan Nela yang berani mengungkapkan pendapat, memberikan masukan dan berani untuk menentang. Ia seperti mendapat tantangan baru.

"Apakah karena penampilanku yang sangat lusuh, Mas? Tak enak dipandang?"

Hilma kembali bertanya ketika sang suami hanya diam saja. Ia melangkah maju, lebih mendekat kepada lelaki yang menjadi imamnya.

"Aku akan lebih memerhatikan diriku, Mas. Akan kubuang semua daster itu, aku akan selalu terlihat cantik di hadapanmu? Percaya padaku, Mas!"

Senyumnya berkembang diiringi airmata yang mengalir semakin deras. 

Ia mengharap lelaki yang dikasihinya berubah pikiran, jika ia memperbaki diri. Melihat Wiguna yang masih terdiam, hatinya semakin sesak.

Rupanya lelaki yang selama ini dilayani dengan sepenuh hati, diberikan cinta dan kasih sayang dengan tulus terlihat bimbang hanya karena perempuan yang baru hadir.

Tadinya, ia berharap sang suami mempertimbangkan dirinya yang sudah membersamai selama delapan tahun pernikahan. Tetapi, Wiguna tetap memilih diam yang artinya telah bulat pada keputusannya.

Tulang-tulang di raga terasa lemas, tubuhnya meluruh ke lantai, terduduk dengan isakan tangis yang semakin memilukan, meratapi nasib yang tidak berpihak padanya.

Ia tahu sang suami pun tak mengharapkan perceraian, ia tetap bisa membersamai, hanya saja ada hati lain yang turut bertahta di hati suaminya. Dan Hilma tak sanggup membayangkam hidup dengan membagi cinta.

"Dik, jangan seperti ini!" pinta Wiguna yang sudah mensejajari posisi istrinya.

Mereka saling berhadapan dengan tangan Wiguna memegang lembut kedua bahu yang masih berguncang.

"Kita akan membicarakan hal ini jika kondisimu sudah lebih baik," ucapnya sambil memeluk tubuh sang istri.

Hilma tidak bereaksi apa-apa, membiarkan suaminya merengkuh raga tanpa mendapat balasan darinya.

Ia terus menikmati luka yang terus menganga yang mungkin akan sulit disembuhkan. Memikirkan kehidupan selanjutnya yang harus ia putuskan.

***

Dalam kehidupan, untuk merengkuh sesuatu yang diinginkan terkadang harus mengorbankan banyak hati. Mengurangi rasa peduli juga belas kasih.

Jika menuruti jalan lurus, akan sulit mendapatkan kesuksesan, perlu cara-cara instan untuk mendapatkan kebahagiaan, meski harus mengorbankan perasaan orang lain.

Ungkapan itulah yang menjadi pedoman Nela dalam menghadapi kehidupan. Lelah akan segala penderitaan yang dirasakan sejak kecil membuatnya terobsesi untuk mendapatkan kemapamanan hidup meskipun melalui jalan yang salah, walaupun hanya dijadikan simpanan atau istri kedua.

Ia tak peduli, yang terpenting bisa hidup nyaman dan terjamin. Segala kepedihan tak ingin dirasakan lagi.

"Nel, kemarin Guna lu anterin sampe rumahnya?" tanya Mira sambil merapikan riasannya di depan cermin.

Melalui pantulan kaca tersebut ia dapat melihat teman satu kontrakanya yang sedang duduk menyender di atas ranjang sambil membaca sebuah buku.

"Hu um. Mau gimana lagi, dia mabok gitu!"

"Lu sendiri?"

"Engga, sama Dito dan Reni. Ga kuat gue, Guna beneran mabok akut, padahal baru minum sedikit."

"Lagian ga biasa minum, lu ajak minum."

"Enak, aja, dia yang mau sendiri." Nela memonyongkan mulut, tak suka dituduh sembarangan. 

Melihat sahabatnya cemberut membuat Mira tertawa. Ia membalikkan tubuh dan menghampiri teman yang sudah lima tahun dikenalnya.

"Gimana respon istrinya?"

"Diam aja."

"Ga banyak tanya?"

"Engga. Dia kaya tipikal perempuan pasrah. Kalau gue di posisi dia, udah habis gue berondong pertanyaan."

Mira tertawa melihat temannya.

"Beneran, Mir. Zaman sekarang laki itu kudu dijaga ketat, kalau engga ya bakal kecolongan." Nela memberi pendapat.

"Untung aja ya semua perempuan ga kaya lu. Bisa berabe ntar," sahut Mira.

"Maksud lu?"

"Ya, kalau semua istri pikirannya sama seperti lu gitu, ga ada peluang dong buat orang mirip kek lu deketin suami orang "

"Sialan lu. Gue kirain muji ga tahunya nyindir." Nela memberengutkan wajah, merasa kesal.

"Nel, mau sampai kapan seperti ini. Udah banyak rumah tangga orang yang lu rusak. Kasihan mereka, Nel. Apalagi anak-anaknya."

"Ya, jangan salahin gue juga, Mir. Itu para lelaki aja yang kegatelan. Ya gue cuma ambil kesempatan aja. Masa ada peluang disia-siain."

"Lu ga takut karma?"

"Lu tahu hidup gue, kan, Mir. Gimana perlakuan bapak gue yang tega jual anaknya? Juga ibu gue yang kawin lari demi meraih kebahagiaannya sendiri tanpa peduli gimana menderitanya hidup gue. Nyatanya, kedua orang itu sampe sekarang hidupnya enak-enak aja. Ga ada balasan untuk mereka. Jadi, kalau lu tanya soal karma. Gue ga percaya, Mir. Itu hanya ucapan orang buat nakuti-nakutin aja."

Membayangkan kembali masa lalu keluarganya membuat wajah putihnya memerah.

"Oke, Nel. Sebagai sahabat gue cuma ngingetin aja. Bagi gue kebahagiaan lu lebih utama. Gue akan dukung apapun keputusan lu." 

"Makasih, Mir. Lu emang temen terbaik dan lu ga usah khawatir, sepertinya Guna lelaki yang bisa menghentikan petualangan gue. Dia laki-laki penyayang dan ga mesum. Sampai sekarang pun dia ga mau menyentuh gue lebih dalam, Ren."

"Bagus, dong! Berarti dia menghargai lu, Nel." Nela mengangguk membenarkan. "Jadi, Lu manteb mau nikah sama Guna walau jadi istri kedua."

Nela kembali mengangguk.

"Haris gimana?"

"Ya ga gimana-gimana! Selama ini gue cuma nganggep dia temen." Nela terlihat tak acuh.

"Di suka sama lu, Nel."

"Itu haknya dia. Dan hak gue juga buat nolak dia."

"Tapi, kan, dia udah banyak berkorban. Inget, Nel, karena dia lu bisa bebas dari tempat terkutuk itu!" Mira mencoba mengingatkan.

"Gue ga akan lupa, Mir, tapi bukan berarti gue harus nerima cintanya, kan? Gue ingin hidup lebih baik, Mir. Haris bukan lelaki yang tepat buat tujuan hidup gue!"

"Nela!"

Panggilan seseorang mengangetkan keduanya. Mereka langsung menoleh ke asal suara dan mendapati seorang lelaki berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam dan wajah yang memerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status