Pipi Dinda yang sedikit berisi atau bisa dibilang chubby itu, memerah kala memandangi pria yang terbaring lelap di hadapannya, yang kian lama terlihat makin menggemaskan. Pria ini terlihat seksi saat ini akibat pipinya yang kemerahan, wajahnya lugu bak seorang ustad yang sedang menyamar sebagai seorang pegawai kantoran. Ingin rasanya Dinda mencubit pipinya! Jarang sekali dirinya mendapatkan momen untuk memperhatikan pria dengan seksama seperti ini. Sebelumnya saat Dinda sedang mengincar mangsa untuk menghabiskan malam dengan seorang pria, hanya tiga hal yang diperhatikannya. Cara berpakaian, barang yang dikenakan, dan kebersihan. Jadi hanya sekedar bermain semalam, kemudian selesai.
Saat masih sibuk memandangi pria tersebut, pikiran warasnya tiba-tiba saja datang. "Sadar Dinda! Sadar! Dia milik orang" Dinda menyadarkan diri, menampar-nampar wajahnya. Entah kenapa, Dinda merasa bersalah menatapnya sebagai seorang wanita yang mengagumi seorang pria beristri. Mungkin karena wajah pria itu yang terkesan islami dan terlihat layaknya pria pendiam yang mampu bertanggung jawab terhadap wanita yang dicintainya. Dinda berani bersumpah! Pria itu sangat manis, dan membuatnya ingin menjadikannya imam saat memandangnya sedang tertidur seperti sekarang.
Dinda sekilas menunduk. Ia baru menyadari soal gaun pendeknya yang baru dibeli semalam, kotor oleh muntahan pria ini. “Huhhhh,” terdengar lenguhan berdengus panjang dari nafas berat Dinda saat menatap gaun pendeknya yang kotor.
Dinda bergerak ke pojokan kamar, ke kamar mandi. Berniat membersihkan bajunya, sekaligus mencuci muka untuk menyegarkan diri. Dinda menyalakan keran wastafel, dan mulai membasuh ke bagian mukanya terlebih dulu. Karena tempat ini termasuk bar yang mewah, jelas bahwa di setiap kamar mandi ruangan memiliki wastafelnya sendiri-sendiri. Bahkan air di wastafel itu, sangat segar membanjiri wajahnya saat ini. Mungkin ini efek terlalu lelah membopong pria tadi kemari. Setelahnya Ia bergegas membersihkan bajunya yang kotor tersebut dengan air yang mengucur dari keran wastafel.
Saat memandang kaca, Dinda teringat kembali pada pria itu. "Dasar pria bodoh! Menyusahkan saja! Hampir lupa kan, kalo tubuhnya juga kotor semua..." lagi dan lagi Dinda menggerutu kesal dan memutuskan kembali ke kamar setelah beres.
Ia membawa sebaskom air, menyeka wajah dan tangan pria itu. Dinda berusaha mengalah, dan bergerak melucuti sepatu dan kaos kaki pria itu setelah selesai membersihkan sisa-sisa muntahan yang mengotori kemejanya. Dinda sepertinya tak keberatan melakukan hal tersebut. Entah kenapa, Ia merasa senang saja merawat pria itu. Meski menggerutu, sepertinya Dinda tak benar- benar menyesali apa yang dilakukannya sekarang ini.
Tanpa pikir panjang, usai meletakkan sebaskom air keran tersebut, Dinda merangkak ke atas kasur, dengan posisi menungging di atas pria itu. Tanpa ada keraguan ia lekas membuka dua kancing kemeja yang paling atas milik pria tersebut. Dinda diam- diam menyadari bahwa sedari tadi pria dihadapannya ini terlihat kegerahan hingga wajahnya merah ke-unguan seperti babi guling. Benar-benar imut sekali pikirnya. Dinda sampai salah tingkah saat melepaskan kancing terakhir kemeja pria tersebut. Menurutnya wajah pria itu suami-able.
"Coba saja kamu belum punya istri... Pasti aku mau, dijadikan istri olehmu," Dinda dengan sompral mengatakan hal yang tak benar-benar serius ingin Ia katakan tepat diatas wajah pria itu.
Apa saat ini Dinda terlihat sangat murahan? Bahkan terhadap laki-laki yang sudah punya istri pun masih ingin didekati. Padahal jika Dinda benar- benar menginginkan, dengan umur yang masih dua puluh tujuh tahun. Serta parasnya yang rupawan itu, mudah saja bagi Dinda untuk mendapatkan laki-laki muda mapan dengan penghasilan menjanjikan yang mau menikahinya sekarang juga. Tapi apa boleh buat, Dinda tak mau terikat dengan hubungan menyebalkan itu. Ujung-ujungnya bercerai, jika salah satunya bosan dan berselingkuh. Ia lebih merasa nyaman dengan hidupnya yang seperti itu. Tanpa pacar, tanpa suami, juga tanpa ikatan. Sekarang ini pun sudah cukup bagi Dinda, Ia dapat hidup senang-senang tiap malam. Dinda juga mendapat uang dan bisa mengirim uang ke kampung halaman. Kenapa harus pusing-pusing bertengkar dengan alasan tak masuk akal pikirnya. Menurut Dinda, untuk sekarang ini dirinya masih tak tertarik menjalin hubungan dengan laki-laki, termasuk dengan pria di hadapannya.
Bukannya karena apa, alasannya begini adalah karena ulah pria berengsek yang mencampakkannya di masa lalu. Meski dirinya sudah berusaha sebaik mungkin menjadi Wanita yang baik terhadap pasangannya. Tapi masih saja dirinya harus diselingkuhi.
Usai mengudari kancing kemeja milik pria di depannya, tangan Dinda mencoba bergerak turun ke bawah, hendak menarik gesper yang melingkari celana jeans hitam yang dikenakan pria itu. Ia tak berniat melakukan hal tak senonoh terhadap pria dihadapannya tersebut, meski wajahnya cukup tampan. Ia tak semurahan itu!
Namun, saat baru saja ujung telunjuknya menyentuh gesper berwarna hitam dengan motif dadu itu, tiba-tiba saja pria di hadapannya tersebut meraih pundak Dinda. Ia menggeser tubuh Dinda dengan tenaganya yang cukup kuat, membuat Dinda terjatuh tepat ke pelukannya. Tubuhnya hangat sekali, hingga Dinda merasakan sebuah kenyamanan saat dirinya jatuh dipelukan pria tersebut. Sungguh bukan main perasaan Dinda dibuatnya. Ia tak habis pikir dengan semua perlakuan pria ini.
Kini mata mereka bertemu, jarak wajah keduanya tak sampai sejengkal. Dinda bahkan bisa merasakan nafas pria itu yang sedikit berat namun terasa hangat. Dadanya naik turun seperti sesak, karena tubuh Dinda yang menimpanya. Namun pria di hadapannya itu tampak sangat bersedih tergambar dari raut wajahnya. Mata pria itu terlihat sendu, berkaca-kaca. Membuat Dinda merasa sedikit tak enak hati.
"Mas?" Hanya itu, kata yang keluar dari mulut jahanam milik Dinda, bahkan saat pria itu dengan kasar memeluknya secara paksa. Ia masih tak tega, usai mendengar bahwa pria di hadapannya itu habis di selingkuhi istrinya. Harusnya Dinda marah karena dia bersikap tak sopan karena memeluknya. Meski Dinda seorang wanita malam, Dinda tak sembarangan tidur dengan lelaki mana saja. Dirinya juga punya harga diri.
"Tari..." Pria itu memanggil- manggil nama wanita itu. Baj*ngan itu benar-benar minta ditinju wajahnya, pikir Dinda.
“Berani-beraninya dia memelukku seperti sekarang ini, dan masih menyebut wanita sialan itu!” gerutu Dinda amat kesal. Mau tak mau walaupun pelukan itu terasa nyaman, Dinda berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari pelukannya.
"Jangan pergi, jangan..." pria itu tak mau berkompromi. Ia malah mempererat pelukannya saat Dinda mencoba meloloskan diri. Tapi Dinda menyukai momen tersebut. Ia suka cara pria itu memeluknya, sangat hangat rasanya. Apa hal itu yang disebut pelukan kasih sayang? Segitu sayangnya kah lelaki ini pada perempuan gila itu? Banyak pikiran aneh yang terbesit dibenak Dinda saat memikirkan pria ini. Pria yang sampai sekarang belum diketahui namanya oleh Dinda.
Saat Dinda hendak mencoba kembali untuk melepaskan pelukan pria tersebut, sebuah kartu nama terjatuh dari saku kemeja pria itu, karena gerakan yang ditimbulkannya.
“Ricky?”
Bersambung…
“Ricky?” Dinda membolak-balik kartu nama tersebut entah tengah memastikan apa. Dirinya masih dalam posisi tengkurap dipeluk sang pria yang diketahui Dinda bernama Ricky tersebut. Dinda mengerutkan dahinya memandang kartu nama itu kemudian menatap wajah Ricky, begitu terus secara berulang. Ia sepertinya juga cukup takjub oleh nama indah pria tersebut. “Bahkan namanya pun cakep, seperti parasnya!” tutur Dinda menarik nafas panjang, karena merasa cukup sesak dipeluk Ricky sedari tadi. Pada saat yang bersamaan Dinda merasa bahwa Ricky sudah mulai mengendurkan pelukan, Ia merasakan bahwa ikatan tangan milik Ricky yang melingkari pinggulnya mulai merenggang. Sepertinya Ricky sudah tak mengigau lagi. Buru-buru Dinda bergeser, menggerakkan tubuhnya untuk berguling ke samping. Ia merasa tak nyaman kalua berlama- lama berada di pelukan Ricky yang merupakan suami orang. Kini posisi Dinda terlentang menghadap atap ruangan, dimana Kepalanya beralaskan tangan milik Ricky yang membentang ke samping
Matahari menukik tinggi, pertanda hari sudah beranjak siang. Dan Dinda baru mulai sadar dari tempatnya tidur karena sengatan cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela jendela bilik ruangan. Dinda sejenak menguap, terduduk dengan selimut yang menutupi tubuh moleknya yang bertelanjang. Dirinya berusaha sadar, sambil mengucek-ucek mata seraya memperhatikan kondisi di sekitarnya. “Kosong! Kemana pria yang meniduriku semalam? Apa dia sudah pergi? Atau sedang ke toilet?” Dinda terlalu banyak menduga-duga sekaligus sedikit kecewa jika benar bahwa Ricky kabur begitu saja usai menidurinya. “Sungguh berengsek!” Dinda mengumpat pelan, kala mendapati dirinya yang seorang diri di ruangan tersebut. Saat memalingkan wajah untuk menenggak segelas air putih, Dinda mendapati sepotong kertas diatas meja samping kasur yang ditidurinya. Ia menatapnya sambil tersenyum. "Maaf jika aku pergi tanpa berpamitan seperti ini. Aku sungguh-sungguh meminta maaf. Aku sedang terburu- buru karena ada pekerjaan sekar
Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang. "Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut. "Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya. Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak. “Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah menidur
Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab. [Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.] Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lamp
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la
Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin. “Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut. “Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewa