Share

10

Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin.

“Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut.

“Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewah itu. Bukankah hal tersebut seperti sebuah mimpi yang didambakan setiap wanita di bumi ini. Layaknya dalam dongeng, wanita cantik yang menunggu seorang pangeran berkuda tampan datang menjemputnya untuk dibawa ke sebuah tempat jamuan mewah. Kemudian menari mesra di lantai dansa, menghabiskan malam. Sungguh sebuah kebanggan jika hal tersebut dapat terjadi di dunia nyata.

“Kenapa Dek?” Ricky secara tak terduga dan tiba- tiba saja memanggil Dinda dengan panggilan tak biasa. Seolah- olah bahwa Dinda adalah salah satu wanita yang menjadi bagian penting dalam hidupnya sekarang ini.

“Tunggu- tunggu… Mas bilang apa?” Dinda menaikkan ujung bibirnya tersenyum karena hal tersebut. Ricky terus- terusan mengajaknya terbang dalam buaian.

“Maksudnya?” Ricky menoleh penasaran. Entah dirinya benar- benar tak menyadari atau hanya berpura- pura tak tahu saja agar tak merasa canggung, karena memanggil Dinda dengan kata ‘Dek’ sudah seperti istrinya saja.

“Tidak jadi, hehe” Dinda terkekeh pelan menanggapi hal tersebut sambil tertunduk malu- malu. Dirinya yang tersipu malu saat itu, diam- diam mencuri pandang untuk mengamati ekspresi wajah pria yang berada di hadapannya tersebut.

“Yasudah kalau begitu Dek, kita langsung masuk saja ke dalam. Kamu pasti sudah lapar sejak tadi siang bukan?” Ricky tanpa basa- basi lagi langsung menggandeng tangan kiri Dinda, menariknya lembut menuju ke dalam restoran mewah tersebut.

“Hmmm,” Dinda segera mengangguk tanda menyetujui ajakan Ricky untuk segera memasuki gedung restoran dua lantai tersebut.

Pintu kaca yang dilengkapi dengan teknologi digital tersebut bergerak terbuka secara otomatis saat keduanya menginjakkan kakinya pada sebuah sensor lantai otomatis yang terhubung langsung dengan pintu otomatis tersebut. Dinda yang memang tak pernah membayangkan untuk menginjakkan kakiknya ke sebuah restoran semewah itu, dibuat takjub dengan terbukan pintu restoran secara otomatis. Ia yang menahan gengsi agar tak terlihat murahan menjaga ekspresinya untuk tak terlalu kentara bahwa dirinya baru pertama kali menjumpai hal tersebut. dirinya mencoba memasang wajah datar tak berekspresi agar Ricky tak malu membawanya ke tempat tersebut. Namun karena Ricky yang memang sedari tadi memperhatikan wajah wanita di sampingnya tersebut juga mencoba menyembunyikan senyum kecil yang tercipta saat melihat ekspresi terkejut Dinda yang takjub dengan pintu otomatis tersebut. Ia tak mau membuatnya terlihat jelas, bahwa dia tersenyum karena ekspresi lucu yang dibuat Dinda sebelumnya, takut kalau- kalau Dinda semakin minder.

“Mau duduk di mana Dek?” Tanya Ricky menoleh menatap Dinda.

“Terserah Mas, aku ngikut saja.”

“Baiklah, kita ambil saja kursi di ujung sana. Sepertinya pemandangannya juga bagus, karena langsung menghadap jalan raya dengan dinding kaca.” Usul Ricky kepadanya.

“Boleh Mas,” Dinda menyahut singkat membalas usulan Ricky. Keduanya berjalan ke kursi di ujung tanpa melanjutkan percakapan.

Tanpa tunggu lama, saat mereka sudah duduk di kursi berlapis perak dengan gaya arsitektur klasik itu seorang pelayan pria di sana menghampiri keduanya untuk menanyakan pesanan. Pelayannya saja terlihat glamour karena mengenakan seragam berwarna merah maroon berdasi kupu- lupu seperti gaya retro bangsawan Yunani kuno. Dari hal tersebut terlihat jelas bahwa memang restoran tersebut bukan restoran mewah biasa. Bisa dibilang hanya khusus didatangi oleh orang- orang pilihan yang punya posisi penting di kota tersebut. Suasana di sana juga nyaman dan tak terlalu padat, bahkan bisa dibilang sepi. Karena dalam ruangan seluas itu hanya ada beberapa meja dan sedikit pengunjung. Sudah pasti bahwa harga makanan di sana bisa membeli harga diri Dinda jika diperlukan. Jika tidak, bagaimana pemilik restoran bisa menangani biaya operasional yang pastinya angkanya tak kecil. Juga untuk membayar karyawan- karyawan di sana yang terlihat sangat professional.

“Mau pesan apa Tuan?” Pelayan pria tersebut menunduk memberikan salam pada keduanya sambil menyodorkan buku menu, yang menurut Dinda lebih miriip seperti surat undangan pernikahan karena desainnya yang indah.

Ricky segera meraih buku menu tersebut, begitu pula dengan Dinda yang duduk di hadapannya tersebut. Ricky berpikir sejenak, ia sebenarnya juga jarang melakukan kencan makan dengan perempuan sebelumnya. Bahkan dengan istrinya sekarang, Ricky dengan Tari juga hampir tidak pernah berkencan. Pertemuan keduannya untuk saling mengenal mungkin saja bisa dihitung jari, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk menikah. Begitupula dengan sekarang ini, ia tak tahu harus memesankan makanan apa untuk Dinda yang diajaknya makan tersebut.

“Mau pesan apa Dek?” Ricky akhirnya memutuskan untuk bertanya lebih dulu saja kepada Dinda.

Lain halnya dengan Ricky yang terdiam karena bingung akan memesan makanan, Dinda justru terdiam saat melihat harga- harga yang tidak masuk akal dari tiap menu yang ada dalam daftar di buku tersebut. Harga dari tiap unit set makanan yang ditawarkan dalam daftar menu tersebut adalah diatas lima ratus ribu. Bagi Dinda itu adalah sebuah hal yang susah diterima nalarnya sebagai manusia. Bahkan untuk membeli sepesang set makanan berdua plus minum dan pajaknya jika dihitung- hitung bisa untuk membayar biaya makan dan kebutuhan lain Dinda selama sebulan penuh. Ia yang terkaget, sontak terdiam sambil menutupi mulutnya yang terganga.

“Dek? Halo? Kamu sudah memilih pesanannya?” Ricky memanggil- manggil Dinda menanyakan perihal makanan yang hendak dipesan wanita di hadapannya.

“Oh, oh… Iya Mas?” Dinda akhirnya menyahuti Ricky yang memanggilnya saat tergerak dari lamunannya. Ia masih tak heran dan tak hapis piker saja dengan harga makanan di sana.

“Kamu sudah memutuskan, mau pesan apa?” Ricky mempertegas pertanyaannya karena melihat Dinda yang tiba- tiba terdiam dan tampak tak fokus dengan pertanyaan Ricky. Seperti sedang banyak pikiran di kepalanya.

“Mas? Sini deh!” Dinda berseru pelan seolah hendak mengajak Ricky untuk berbisik membicarakan sesuatu.

Ricky yang memahami hal tersebut, segera mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar Dinda yang hendak berbisik terhadapnya. “Sebaiknya kita pulang saja Mas!” Dinda bertanya dengan nada seru seolah tak ingin tinggal di sana lebih lama.

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status