"Mending sekarang kakang berbuat sesuatu deh!" ucap Hendrik bangkit dari duduknya.
"Bocah bocah ini gabisa di toloransi lagi! Harus segera di basmi!"
"Tenang, kamu tenang aja. Pasti akang urus kok!"
"Dasar Gunawan sialan itu!" bentak Hendrik uring-uringan.
Daweh hanya mampu menuruti apa yang adeknya inginkan untuk membalas dendam. Dendam yang sama, sejak sepuluh tahun lalu. Speeti sudah mendarah daging pada jiwa adiknya itu. Daweh sebenarnya sudah terlalu lelah untuk hidup bayang bayang dendam adiknya itu.
Tapi Daweh tak bisa berbuat banyak. Ia tahu, bahwa Hendrik adalah adik satu satunya yang ia miliki. Daweh susah ingin berhenti menjadi dukun teluh sejak setahun lalu sebenarnya. Ia sudah lelah.
"Biar akang coba, menganggu mereka lagi!" ucapnya memandang adiknya datar.
"Terserah! Mau diganggu kek, mau dibunuh juga boleh!" bentaknya sudah dipenuhi emosi ka
"Ceraikan dia mas!" Dinda berkacak pinggang sambil memasang wajah manyun, kemudian meremas tangan Ricky, kekasihnya. "Dek? Dinda sayang? Ayolah dek, jangan merajuk lagi... Mas pasti ceraikan dia kok, kamu sabar sebentar ya?" Ricky mulai merayu wanita simpanannya itu, dia memeluk dari belakang sambil menggesek-gesekkan janggutnya yang baru dicukur pada punggung tulang belikat milik Dinda. Rasanya geli-geli lucu, hingga membuat Dinda sedikit tersenyum. "Tapi kapan mas? Bulan lalu mas juga bilang begitu kan? Tapi nyatanya mana? Masih saja belum diceraikan..." Dinda menggerutu kesal, karena diberi janji manis melulu oleh pria yang membuatnya jatuh hati tersebut. "2 bulan," Dinda yang sebelumnya melipat siku dan lengan, kini sudah membalikkan badan mencoba memandang kedua bola mata Ricky. "Ini yang terakhir ya Mas, kamu berjanji seperti ini? Jika dua bulan lagi, kamu belum menceraikan istrimu... Aku yang mengalah saja, aku yang pergi!" Dinda menoyor dahi Ricky dengan jari telunjuk yang
Pipi Dinda yang sedikit berisi atau bisa dibilang chubby itu, memerah kala memandangi pria yang terbaring lelap di hadapannya, yang kian lama terlihat makin menggemaskan. Pria ini terlihat seksi saat ini akibat pipinya yang kemerahan, wajahnya lugu bak seorang ustad yang sedang menyamar sebagai seorang pegawai kantoran. Ingin rasanya Dinda mencubit pipinya! Jarang sekali dirinya mendapatkan momen untuk memperhatikan pria dengan seksama seperti ini. Sebelumnya saat Dinda sedang mengincar mangsa untuk menghabiskan malam dengan seorang pria, hanya tiga hal yang diperhatikannya. Cara berpakaian, barang yang dikenakan, dan kebersihan. Jadi hanya sekedar bermain semalam, kemudian selesai. Saat masih sibuk memandangi pria tersebut, pikiran warasnya tiba-tiba saja datang. "Sadar Dinda! Sadar! Dia milik orang" Dinda menyadarkan diri, menampar-nampar wajahnya. Entah kenapa, Dinda merasa bersalah menatapnya sebagai seorang wanita yang mengagumi seorang pria beristri. Mungkin karena wajah pria it
“Ricky?” Dinda membolak-balik kartu nama tersebut entah tengah memastikan apa. Dirinya masih dalam posisi tengkurap dipeluk sang pria yang diketahui Dinda bernama Ricky tersebut. Dinda mengerutkan dahinya memandang kartu nama itu kemudian menatap wajah Ricky, begitu terus secara berulang. Ia sepertinya juga cukup takjub oleh nama indah pria tersebut. “Bahkan namanya pun cakep, seperti parasnya!” tutur Dinda menarik nafas panjang, karena merasa cukup sesak dipeluk Ricky sedari tadi. Pada saat yang bersamaan Dinda merasa bahwa Ricky sudah mulai mengendurkan pelukan, Ia merasakan bahwa ikatan tangan milik Ricky yang melingkari pinggulnya mulai merenggang. Sepertinya Ricky sudah tak mengigau lagi. Buru-buru Dinda bergeser, menggerakkan tubuhnya untuk berguling ke samping. Ia merasa tak nyaman kalua berlama- lama berada di pelukan Ricky yang merupakan suami orang. Kini posisi Dinda terlentang menghadap atap ruangan, dimana Kepalanya beralaskan tangan milik Ricky yang membentang ke samping
Matahari menukik tinggi, pertanda hari sudah beranjak siang. Dan Dinda baru mulai sadar dari tempatnya tidur karena sengatan cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela jendela bilik ruangan. Dinda sejenak menguap, terduduk dengan selimut yang menutupi tubuh moleknya yang bertelanjang. Dirinya berusaha sadar, sambil mengucek-ucek mata seraya memperhatikan kondisi di sekitarnya. “Kosong! Kemana pria yang meniduriku semalam? Apa dia sudah pergi? Atau sedang ke toilet?” Dinda terlalu banyak menduga-duga sekaligus sedikit kecewa jika benar bahwa Ricky kabur begitu saja usai menidurinya. “Sungguh berengsek!” Dinda mengumpat pelan, kala mendapati dirinya yang seorang diri di ruangan tersebut. Saat memalingkan wajah untuk menenggak segelas air putih, Dinda mendapati sepotong kertas diatas meja samping kasur yang ditidurinya. Ia menatapnya sambil tersenyum. "Maaf jika aku pergi tanpa berpamitan seperti ini. Aku sungguh-sungguh meminta maaf. Aku sedang terburu- buru karena ada pekerjaan sekar
Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang. "Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut. "Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya. Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak. “Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah menidur
Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab. [Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.] Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lamp
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa