Share

6

Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab.

[Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.]

Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lampau. Pasien tersebut menderita Pneumonia Sepsis yang harus diawasi secara ketat demi memantau grafik kestabilan fungsi organ vitalnya. Karena dokter Ricky adalah penanggung jawab sekaligus pelaku operasi, mau tak mau dirinya sendiri yang harus melakukan pemeriksaan rutian tiap akhir pekan. Meski di hari liburnya seperti sekarang.

(Pnemonia Sepsis ; komplikasi paru-paru)

“Pagi, Dok!” Sebuah suara riang melengking sumbang. Dia suster Lusi, kepala perawat yang umurnya sudah tak muda lagi. Sudah kepala lima. Tapi semangatnya empat lima! Murah senyum, periang, pembius atmosfer positif untuk orang- orang di sekitarnya. Meski terlihat bahwa rambutnya telah beruban, ilmu di kepalanya tak menguap sedikitpun. Tangan kanan Dokter Ricky! Orang- orang rumah sakit menyebutnya begitu. Selain sebagai kepala perawat dan orang kepercayaan dokter Ricky, suster Lusi bertanggung jawab atas makanan pasien, obat- obatan, infus dan juga administrasi rumah sakit.

“Pagi Suster…” dokter Ricky mesam- mesem salah tingkah. Ujung bibirnya merangkak naik, memandangi suster Lusi yang nyentrik dengan gincu merah merang merona itu, menyapa tiba- tiba. Rupanya suster Lusi sudah berkirim pesan pagi- pagi buta dengan dokter Ricky mengenai jadwal praktek hari ini. Jadwal praktik dokter Ricky? Kalian bisa tanyakan langsung kepada wanita paruh baya itu.

Keduanya menuju lift terdekat di lantai satu. Terlihat mulut manisnya bergerak lincah, suster Lusi sibuk melapor. “Berikut adalah rekam medis dari pasien dengan nomor kamar 102, Dok. Keadaan pasien berangsur membaik usai menghabiskan obat yang telah dokter resepkan selama dua hari terakhir. Kabar baiknya, tadi pagi pasien sudah bisa buang air besar.”

"Tanda tanda vitalnya?" Tandas dokter Ricky. Ia mencomot catatan medis yang disodorkan suster Lusi. Keduanya memasuki lift secara berdampingan.

"Untungnya tekanan darahnya berada pada angka 119, jadi Ia dalam keadaan normal." Suster Lusi tersenyum menjawab pertanyaan dokter Ricky, sambil menatapnya.

Ricky terdiam, bediri tegap menopang punggung sambil menunduk mencermati catatan medis pasien. Bahkan wanita yang sudah berumur, sekelas suster Lusi pun tak mampu mempertahankan iman. Secara singkat benteng hatinya dibuat meleleh begitu saja oleh kharisma yang dipancarkan Ricky. Dengan memandang Ricky yang sedang terdiam, mampu membuat hatinya luluh lantah hingga tersipu malu tanpa sadar.

“Bagaimana dengan indeks yang lain?” setelah membaca angka dan grafik dari rekam medis pasien, dokter berniat meminta penjelasan lebih detail mengenai angka- angka tersebut.

"Denyut nadinya di angka 130. Dan tidak ada lagi pendarahan, Dok!" Sambung suster Lusi memencet tombol lift menuju lantai 7 tempat pasien dengan nomor kamar 102 dirawat.

*****

Dahinya mengerut, mengalirkan keringat kering bercampur peluh karena cuaca yang cukup terik siang itu. Ricky segera merebahkan tubuhnya ke kursi ruang kerjanya, menikmati angin- angin sejuk yang ditiupkan pendingin ruangan ke sudut-sudut ruang kerjanya. Usai memeriksa kondisi pasien- pasien dengan suster Lusi, Ricky hanya berniat duduk tenang sambil memijat ponselnya di ruang kerja menanti waktu. Menantikan jam dinding bergerak ke waktu yangteah dijanjikan untuk menemui si gadis pelacur semalam. Wanita yang sampai saat ini belum Ricky ketahui namanya.

“Sepertinya masih ada waktu sebelum jam makan siang. Sebaiknya aku beristirahat dahulu sebelum bertemu dengannya…” Ricky bergumam sambil menggeser- geser punggungnya mencari posisi yang nyaman sembari melepas penat.

Sementara itu, di ruangan umum yang diisi oleh beberapa dokter bedah tengah ramai- ramainya karena sebentar lagi adalah waktu makan siang. Disana sedang duduk bercengkerama beberapa dokter magang dan dokter residen tahun kedua membicarakan hal- hal berkaitan dengan pasien dan hal hal lainnya. Tiba- tiba saja. Brakkk! Pintu ruangan para dokter ditabrakan ke dinding begitu saja oleh seorang perawat yang sedang panik kelabakan.

"Sebuah kecelakaan terjadi pada sebuah situs kontruksi gedung pak!" ucap seorang perawat pria yang tiba tiba masuk ke ruangan tanpa permisi, membawa kabar buruk.

Hal itu memecah senda gurau yang terjadi di sana. Apa yang dikatakan Si Perawat tentu saja membuat para dokter muda tersebut menoleh terkejut. Semuanya menjadi was- was dan sedikit terkesiap karena kabar berita yang disampaikannya.

"Empat pasien yang cedera akan berada di sini dalam dua menit dokter!" Perawat itu melaporkan keadaan dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya setengah pucat karena berlari tunggang langgang dari UGD, usai mendapat laporan dari telepon tentang ambulans di tempat insiden situs kontruksi yang akan segera tiba di UGD beberapa menit lagi.

"Cepat lakukan panggilan darurat kepada Dokter Ricky dari bagian bedah Torakoplastik terlebih dulu!"  ucap dokter Sin, seorang dokter residen tahun kedua yang bekerja di sana. Dirinya langsung meletakkan gelas kopinya dan bergegas menuju ruang unit gawat darurat. Perlu diketahui bahwa dokter wanita bernama dokter Sin tersebut menyukai dokter Ricky yang merupakan seniornya di universitas. Ia dengan terang- terangan menyukai dokter Ricky meski tahu pria tersebut sudah punya suami. Ya walaupun dokter Ricky tak menganggapnya serius, dan memperlakukannya sebagai bawahan dan adek tingkatnya di perguruan tinggi, itu saja.

"Baik dokter!" Beberapa dokter magang dan dokter residen di sana segera meraih jas dokter milik mereka masing- masing dan bergegas pergi. Mereka pun berlarian menuju ruang Unit Gawat Darurat menjemput pasien yang datang.

Para pasien masuk UGD dengan brancar yang di dorong oleh tim petugas pertolongan pertama turun dari ambulans. Hal itu disambut cemas oleh kerumunan orang orang yang sedari tadi penasaran dengan apa yang terjadi. Sebab tiba- tiba suasana senggang di jam makan siang, mendadak saja ribut karena dokter- dokter yang berlarian menuju UGD dengan wajah paniknya.

"Bawa mereka lewat sini!" perintah dokter Sin berteriak terhadap petugas pertolongan pertama yang mendorong brancar pasien tersebut. Dokter sin berteriak karena kondisi riuh ramai, belum lagi jeritan dari beberapa orang- orang di rumah sakit yang berteriak melihat kondisi korban yang memilukan. Ditambah lagi darah segar yang mengalir deras dari salah satu korban yang perutnya tertusuk besi baja sepanjaang satu meter.

"Detak jantungnya teratur,dan ada cidera di pergelangan tangan kanannya. Ia terus merintih, mengatakan bahwa ibu jarinya mati rasa dok!" lapor petugas pertolongan pertama tersebut kepada dokter Sin yang merupakan senior dari para dokter bedah yang sedang ada di sana.

"Apa kau merasakan nya pak?" tanya dokter Sin pada pasien yang sedang diperiksa kondisi ibu jarinya itu. Tangan pasien tersebut terlihat baik- baik saja namun dia terus saja mengeluh bahwa tangannya mati rasa. Dokter Sin segera meminta para dokter magang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pasien tersebut.

"Aku merasakannya!" rintih pasien tersebut sangat kesakitan.

"Hei, anak magang! Ke sini!" teriak dokter Sin memanggil para dokter magang dengan berteriak agar suaranya terdengar.

"Tulangnya, sepertinya ada yang patah. Sirkulasi darahnya baik baik saja. Namun, sepertinya saraf median pasien ini rusak!"

Seorang dokter magang datang, kemudian mendengar arahan yang dikatakan oleh dokter Sin dan segera mencatat kata- kata yang dilontarkan atasannya tersebut.

"Jadi, belat tangannya dan lakukan pengobatan serangkaian pergelangan tangan! Ambil X-ray di bagian lengan Anterior-Posterior Lateral (bagian tepi batang tubuh). Dan lakukan Reduction (pemulihan) sesegera mungkin."

"Baik dok!" jawab para dokter magang membawa pasien tersebut, untuk diobati sesuai arahan dokter Sin. Meski dia terobsesi dengan dokter Ricky, dokter Sin dikenal cukup hebat karena keterampilan bedahnya. Hingga membuatnya disukai oleh dokter Ricky sebagai partner sekaligus dokter muda yang hebat.

"Dokter Sin! Di sini! " panggil seorang perawat dari ruang Pelayanan Darurat.

"Iya!" pekiknya.

“Halo dok?” dokter Sin menerima telepon yang disambungkan perawat tersebut pada dokter Ricky dari bagian bedah Torakoplastik.”

[Bagaimana kondisi pasien?] suara parau dokter Ricky terdengar dari balik telepon.

“Pasien terkena tusukan batang besi baja sepanjang satu meter, melintang dari ulu hati ke perut bawahnya dok, dan perlu segera dilakukan bedah dada.

[Baiklah, aku turun sekarang…] dokter Ricky segera menutup teleponnya dan segera menyusul ke ruang unit gawat darurat.

*****

Sementara itu, di tempat lain. Dinda sudah berada di restoran yang disetujui keduanya sebagai tempat untuk bertemu, wanita itu mulai cemas sebab Ricky tak segera muncul. Ricky tidak ada mengirim pesan sejak setengah jam dirinya sampai di tempat tersebut.

"Berengsek! Apa Ricky mencoba menipuku? Sudah lebih dari setengah jam aku menunggunya di sini.

Bersambung....

Faisalicious

“Aku menunggumu dengan perasaan cemas. Perasaan khawatir mengenai kedatanganmu yang menyulut janji pada waktu. Maafkan… Karena aku mengharapkan kedatanganmu…” -Dinda.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status