Share

5

Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya  keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang.

"Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut.

"Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya.

Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak.

“Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah meniduriku. Yang benar saja!” Dinda bergumam memandang nomor kontak yang baru saja disimpannya dalam ponsel. Suami Tari. Dinda menamai kontaknya dengan nama wanita yang sedari semalam di gembor-gemborkannya saat mabuk, meski Dinda tau nama asli pria tersebut.

Dinda segera berganti pakaian membereskan barang-barang bawaannya dan meninggalkan kamar. Saat hendak meninggalkan Bar Maria, Dinda bertemu dengan Mbak Yulia. Dia adalah salah satu pelacur lainnya yang ada di sini. Sekedar info saja, dia lah yang mengenalkan kepada Dinda pada dunia klub malam ini. Setidaknya dia lah yang berjasa atas tercukupinya kebutuhan Dinda selama ini. Sehingga Dinda sangat menghormatinya.

"Mbak Yulia? Tumben, jam segini masih ada di sini..." ucap Dinda berbasa-basi menyapanya. Dia cukup cantik, dengan tubuhnya yang sedikit lebih berisi jika dibandingkan dengan Dinda. Namun wajahnya imut dan bersih, karena ada garis keturunan  ch*nese katanya.

"Loh Dinda? Iya nih, abis menemui Rudi (pemilik bar) . Oh iya, gimana semalam? Aku lihat kamu ke kamar dengan seorang pria?" Mbak Yulia senyum- senyum sengaja menggoda Dinda, membuat pipinya sedikit memerah karena malu dipergokinya.

"Hehe, nggak kok mbak. Zonk!" ucapku terkekeh karena ledekan Mbak Yulia.

“Ahh, masak sih… Keliatannya semalam seru sekali kok, suaramu saja sampe kedengaran dari luar saat aku melewati ruanganmu kemarin!” Mbak Yulia kembali melontarkan candaan terhadap Dinda. Dirinya bahkan tak tau apakah Mbak Yulia memang benar- benar mendengar erangannya semalam atau hanya menggodanya belaka. Ia sampe malu sendiri mendengar kata- kata tersebut dilontarkan oleh Mbak Yulia yang merupakan seniornya tersebut.

Karena terlalu malu untuk menjawab pertanyaan dari Mbak Yulia, Dinda hanya mampu tersenyum- senyum sendiri menahan malu. Ia bahkan tak berani menatap wajah sang senior saking malunya. Mbak Yulia yang melihat hal tersebut hanya terkekeh, dan pergi meninggalkan Dinda yang tersipu malu di sana.

"Oh gitu... Yasudah Mbak Yulia ke sana dulu ya, ada urusan dengan Rudi soalnya. Daaa," Ia segera melambaikan tangan dan ngibrit pergi begitu saja, usai menggodaku.

"Baik mbak," balasku bersikap sopan dengan melempar senyuman.

Karena Mbak Yulia membuat Dinda kepikiran lagi soal nomor telepon pria semalam, Ia jadi berniat untuk menghubungi pria tersebut. Dinda membulatkan tekat untuk menghubungi Ricky.

"Apa tidak masalah aku menghubunginya? Bagaimana jika istrinya memergokiku? Nanti aku dituduh yang bukan-bukan lagi? Sialan!" aku menggerutu kesal karena terus kepikiran hal tersebut.

"Ya sudahlah, nanti ku hubungi saja dia."

Dinda berjalan keluar dari Bar, berniat mencari sarapan di warung terdekat. Namun saat hendak menyebrang jalan, dirinya kembali mengecek ponselnya. Hendak mengirim pesan.

[Pagi Mas, Ini nomorku... Wanita yang semalam.] Baru saja Dinda mengetikkan kalimat tersebut, pikiran khawatir dan gelisah kembali merangkul pundaknya. Ia juga takt ahu, kenapa sedari tadi dirinya sangat ingin mengirimkan pesan kepada Ricky, namun ragu- ragu.

"Kirim tidak ya? Apa aku terlihat murahan, jika mengiriminya pesan?" batin Dinda masih memandang ponselnya.

"Kirim saja lah! Siapa tau, suatu saat aku butuh bantuannya. " keputusan Dinda sudah bulat untuk menghubunginya. Misalkan pria itu baik hati, setidaknya keduanya bisa menjadi teman ngobrol atau sekedar bersilaturahmi.

Usai mengirim pesan tersebut Dinda menyeberangi jalan masuk ke sebuah toko swalayan lokal membeli sepotong roti dan minuman untuk mengganjal perutnya.

Tak selang beberapa menit, pesan Dinda dibaca oleh Ricky.

[Oh, baiklah nona… Saya akan menyimpan nomor ini.]

[Saya juga ingin meminta maaf kepadamu secara langsung... Apakah kita bisa bertemu?]

Ia tak basa-basi membalas pesan Dinda untuk mengajak bertemu. Ricky yang sudah di rumah sakit untuk memeriksa beberapa pasien memang berniat meminta maaf kepada Dinda soal kejadian semalam.

 “Apa dia benar-benar ingin meminta maaf kepadaku? Atau sengaja ingin mengenalku? Bodoh sekali diriku, membayangkan pria itu mengingkanku.” Dinda bergumam pelan.

Dinda tak langsung membalas pesan itu, Ia juga tak langsung membaca pesannya. Pesan tersebut menyembul di notif ponsel milik Dinda, jadi tentu saja Wanita itu dapat melihatnya.

“Nanti sajalah kubalas, aku tak mau terlihat murahan terhadapnya.” Pikir Dinda langsung duduk di kursi depan swalayan itu sambil menyesap kopi yang dipesannya juga makan segigit dua gigit toast (roti panggang). Dinda sebenarnya kelaparan sejak tadi, tapi tak terbiasa sarapan pagi. Mungkin kopi dan roti panggang adalah yang paling pas untuk mengganjal perutnya yang lapar.

[Bagaimana dengan makan siang?]

Ricky mengirimkan pesan lagi kepada Dinda. Hal itu membuatnya terlihat tak sabar menunggu balasan pesan dari Dinda, Wanita yang ditiduri Ricky tanpa sepengetahuan istrinya semalam. Bukankah Ricky juga mengkhianati istrinya jika melakukan hal tersebut? apalagi dia hendak mengajak wanita itu bertemu lagi siang ini. Balas dendam bukan jalan terbaik sebenarnya. Keduanya hanya akan sama- sama terluka pada akhirnya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Ricky yang mabuk sudah terlanjur meniduri Dinda, dan mengatakan kepada Wanita itu bahwa dirinya akan bertanggung jawab atas perbuatannya semalam.

[Boleh, Mas…] Dinda akhirnya membalas pesan dari Ricky karena merasa tak enak membuat pria itu menunggunya.

[Mau ke restoran daging tumis? Aku yang traktir...] baru saja Dinda memencet tombol kirim di ponsel, Ricky langsung membalas pesannya dalam semenit kemudian. Membuat Dinda tanpa sadar mengguratkan senyuman karena hal tersebut.

[Baiklah...]

Dinda tak mungkin untuk tak langsung membalasnya, karena saat itu dirinya dalam keadaan masih membuka pesan darinya. Jadi jelas saja terlihat tanda terbaca saat dia langsung mengirimi Dinda pesan. Mau tak mau Dinda harus langsung membalasnya.

[Jl. Tirtayasa No.12 sebelah gedung Perpustakaan. Jam makan siang, Restoran Yamie...]

Sepuluh menit kemudian Ricky membalas pesan dari Dinda, mengirimkan alamat tempat keduanya akan bertemu nantinya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status