Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang.
"Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut.
"Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya.
Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak.
“Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah meniduriku. Yang benar saja!” Dinda bergumam memandang nomor kontak yang baru saja disimpannya dalam ponsel. Suami Tari. Dinda menamai kontaknya dengan nama wanita yang sedari semalam di gembor-gemborkannya saat mabuk, meski Dinda tau nama asli pria tersebut.
Dinda segera berganti pakaian membereskan barang-barang bawaannya dan meninggalkan kamar. Saat hendak meninggalkan Bar Maria, Dinda bertemu dengan Mbak Yulia. Dia adalah salah satu pelacur lainnya yang ada di sini. Sekedar info saja, dia lah yang mengenalkan kepada Dinda pada dunia klub malam ini. Setidaknya dia lah yang berjasa atas tercukupinya kebutuhan Dinda selama ini. Sehingga Dinda sangat menghormatinya.
"Mbak Yulia? Tumben, jam segini masih ada di sini..." ucap Dinda berbasa-basi menyapanya. Dia cukup cantik, dengan tubuhnya yang sedikit lebih berisi jika dibandingkan dengan Dinda. Namun wajahnya imut dan bersih, karena ada garis keturunan ch*nese katanya.
"Loh Dinda? Iya nih, abis menemui Rudi (pemilik bar) . Oh iya, gimana semalam? Aku lihat kamu ke kamar dengan seorang pria?" Mbak Yulia senyum- senyum sengaja menggoda Dinda, membuat pipinya sedikit memerah karena malu dipergokinya.
"Hehe, nggak kok mbak. Zonk!" ucapku terkekeh karena ledekan Mbak Yulia.
“Ahh, masak sih… Keliatannya semalam seru sekali kok, suaramu saja sampe kedengaran dari luar saat aku melewati ruanganmu kemarin!” Mbak Yulia kembali melontarkan candaan terhadap Dinda. Dirinya bahkan tak tau apakah Mbak Yulia memang benar- benar mendengar erangannya semalam atau hanya menggodanya belaka. Ia sampe malu sendiri mendengar kata- kata tersebut dilontarkan oleh Mbak Yulia yang merupakan seniornya tersebut.
Karena terlalu malu untuk menjawab pertanyaan dari Mbak Yulia, Dinda hanya mampu tersenyum- senyum sendiri menahan malu. Ia bahkan tak berani menatap wajah sang senior saking malunya. Mbak Yulia yang melihat hal tersebut hanya terkekeh, dan pergi meninggalkan Dinda yang tersipu malu di sana.
"Oh gitu... Yasudah Mbak Yulia ke sana dulu ya, ada urusan dengan Rudi soalnya. Daaa," Ia segera melambaikan tangan dan ngibrit pergi begitu saja, usai menggodaku.
"Baik mbak," balasku bersikap sopan dengan melempar senyuman.
Karena Mbak Yulia membuat Dinda kepikiran lagi soal nomor telepon pria semalam, Ia jadi berniat untuk menghubungi pria tersebut. Dinda membulatkan tekat untuk menghubungi Ricky.
"Apa tidak masalah aku menghubunginya? Bagaimana jika istrinya memergokiku? Nanti aku dituduh yang bukan-bukan lagi? Sialan!" aku menggerutu kesal karena terus kepikiran hal tersebut.
"Ya sudahlah, nanti ku hubungi saja dia."
Dinda berjalan keluar dari Bar, berniat mencari sarapan di warung terdekat. Namun saat hendak menyebrang jalan, dirinya kembali mengecek ponselnya. Hendak mengirim pesan.
[Pagi Mas, Ini nomorku... Wanita yang semalam.] Baru saja Dinda mengetikkan kalimat tersebut, pikiran khawatir dan gelisah kembali merangkul pundaknya. Ia juga takt ahu, kenapa sedari tadi dirinya sangat ingin mengirimkan pesan kepada Ricky, namun ragu- ragu.
"Kirim tidak ya? Apa aku terlihat murahan, jika mengiriminya pesan?" batin Dinda masih memandang ponselnya.
"Kirim saja lah! Siapa tau, suatu saat aku butuh bantuannya. " keputusan Dinda sudah bulat untuk menghubunginya. Misalkan pria itu baik hati, setidaknya keduanya bisa menjadi teman ngobrol atau sekedar bersilaturahmi.
Usai mengirim pesan tersebut Dinda menyeberangi jalan masuk ke sebuah toko swalayan lokal membeli sepotong roti dan minuman untuk mengganjal perutnya.
Tak selang beberapa menit, pesan Dinda dibaca oleh Ricky.
[Oh, baiklah nona… Saya akan menyimpan nomor ini.]
[Saya juga ingin meminta maaf kepadamu secara langsung... Apakah kita bisa bertemu?]
Ia tak basa-basi membalas pesan Dinda untuk mengajak bertemu. Ricky yang sudah di rumah sakit untuk memeriksa beberapa pasien memang berniat meminta maaf kepada Dinda soal kejadian semalam.
“Apa dia benar-benar ingin meminta maaf kepadaku? Atau sengaja ingin mengenalku? Bodoh sekali diriku, membayangkan pria itu mengingkanku.” Dinda bergumam pelan.
Dinda tak langsung membalas pesan itu, Ia juga tak langsung membaca pesannya. Pesan tersebut menyembul di notif ponsel milik Dinda, jadi tentu saja Wanita itu dapat melihatnya.
“Nanti sajalah kubalas, aku tak mau terlihat murahan terhadapnya.” Pikir Dinda langsung duduk di kursi depan swalayan itu sambil menyesap kopi yang dipesannya juga makan segigit dua gigit toast (roti panggang). Dinda sebenarnya kelaparan sejak tadi, tapi tak terbiasa sarapan pagi. Mungkin kopi dan roti panggang adalah yang paling pas untuk mengganjal perutnya yang lapar.
[Bagaimana dengan makan siang?]
Ricky mengirimkan pesan lagi kepada Dinda. Hal itu membuatnya terlihat tak sabar menunggu balasan pesan dari Dinda, Wanita yang ditiduri Ricky tanpa sepengetahuan istrinya semalam. Bukankah Ricky juga mengkhianati istrinya jika melakukan hal tersebut? apalagi dia hendak mengajak wanita itu bertemu lagi siang ini. Balas dendam bukan jalan terbaik sebenarnya. Keduanya hanya akan sama- sama terluka pada akhirnya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Ricky yang mabuk sudah terlanjur meniduri Dinda, dan mengatakan kepada Wanita itu bahwa dirinya akan bertanggung jawab atas perbuatannya semalam.
[Boleh, Mas…] Dinda akhirnya membalas pesan dari Ricky karena merasa tak enak membuat pria itu menunggunya.
[Mau ke restoran daging tumis? Aku yang traktir...] baru saja Dinda memencet tombol kirim di ponsel, Ricky langsung membalas pesannya dalam semenit kemudian. Membuat Dinda tanpa sadar mengguratkan senyuman karena hal tersebut.
[Baiklah...]
Dinda tak mungkin untuk tak langsung membalasnya, karena saat itu dirinya dalam keadaan masih membuka pesan darinya. Jadi jelas saja terlihat tanda terbaca saat dia langsung mengirimi Dinda pesan. Mau tak mau Dinda harus langsung membalasnya.
[Jl. Tirtayasa No.12 sebelah gedung Perpustakaan. Jam makan siang, Restoran Yamie...]
Sepuluh menit kemudian Ricky membalas pesan dari Dinda, mengirimkan alamat tempat keduanya akan bertemu nantinya.
Bersambung...
Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab. [Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.] Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lamp
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la
Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin. “Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut. “Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewa
“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men
“Jadi mengapa kamu memutuskan menjadi seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) seperti ini?” Ricky memberanikan diri menanyakan sebuah hal yang sebenarnya tak boleh dipertanyakan, karena terlalu beresiko. Pertanyaan tersebut dimungkinkan menyinggung perasaan Dinda. Bahkan mungkin dirinya tak pernah membayangkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut di hari pertama pertemuan keduanya. “Hmmm, bagaimana ya menjawabnya…” Dinda memangku tangannya di dada seraya menggosok- gosok sedikit dagunya karena dirinya sendiri juga tak mengharapkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut. Mau tak mau dihari pertama pertemuannya dengan Ricky, dirinya harus menceritakan mengenai bagaimana dirinya sampai bisa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur sekarang ini. Dan menurut Dinda hal tersebut bukanlah merupakan aib atau keburukan yang harus disembunyikan. Toh dari pekerjaannya sebagai pelacur, Dinda bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga di kampung. “Kalau Dinda tak berkenan, Mas tak mau memaksa… N
“Kemari, biar Mas ajari cara menggunakannya…” Ricky bangkit dari kursinya mendekati Dinda berniat mengajari wanita lugu di hadapannya tersebut. Wajah Dinda mendadak memerah karena malu bahwa dirinya tak bisa mengenakan alat makan yang biasanya digunakan orang kaya tersebut. Lain halnya dengan pria di depannya yang tiba- tiba mendekat seolah memang menunjukkan rasa senang karena mendapat kesempatan untuk dekat- dekat dengan Dinda. Ricky berdiri di belakang Dinda, sambil mengulurkan kedua tangannya dari balik punggung Dinda. Tangannya sebelah kiri, dalam posisi merangkul menunjukkan kepada Dinda cara menggunakan pisau makan yang dikombinasikan dengan garpu tersebut. Dada Ricky terasa begitu dekat menempel dengan punggung Dinda, hingga wanita itu dapat merasakan tiap tarikan nafas yang dilakukan oleh Ricky. Jelas sekali bahwa Dinda dapat merasakan detak jantung Ricky yang bekerja terlalu keras. “Apakah seperti ini Mas?” Dinda menunjukkan apa yang dilihatnya saat Ricky mengajarinya. Mun