Matahari menukik tinggi, pertanda hari sudah beranjak siang. Dan Dinda baru mulai sadar dari tempatnya tidur karena sengatan cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela jendela bilik ruangan. Dinda sejenak menguap, terduduk dengan selimut yang menutupi tubuh moleknya yang bertelanjang. Dirinya berusaha sadar, sambil mengucek-ucek mata seraya memperhatikan kondisi di sekitarnya. “Kosong! Kemana pria yang meniduriku semalam? Apa dia sudah pergi? Atau sedang ke toilet?” Dinda terlalu banyak menduga-duga sekaligus sedikit kecewa jika benar bahwa Ricky kabur begitu saja usai menidurinya.
“Sungguh berengsek!” Dinda mengumpat pelan, kala mendapati dirinya yang seorang diri di ruangan tersebut.
Saat memalingkan wajah untuk menenggak segelas air putih, Dinda mendapati sepotong kertas diatas meja samping kasur yang ditidurinya. Ia menatapnya sambil tersenyum.
"Maaf jika aku pergi tanpa berpamitan seperti ini. Aku sungguh-sungguh meminta maaf. Aku sedang terburu- buru karena ada pekerjaan sekarang ini, sehingga meninggalkan mu begitu saja.
Hubungi nomor ini, jika dirimu sudah terbangun 0875-***4-8999
Aku akan bertanggung jawab! Ricky…" Dinda menyeringai tersenyum lega usai membaca surat kecil yang ditinggalkan Ricky untuknya.
"Apa? Bertanggung jawab?" Dinda senang. Ia tahu bahwa Ricky adalah pria bertanggung jawab seperti dugaannya.
Dinda bergegas bangkit dari ranjang menuju kamar mandi dalam keadaan bertelanjang tanpa sehelai kain pun sambil memunguti pakaiannya yang dilucuti oleh Ricky semalam. Rasanya segar, jika mandi di jam-jam hampir siang seperti ini bagi Dinda. Sekaligus membersihkan dirinya yang baunya campur aduk oleh bekas muntahan dan alkohol.
Dinda menyetel lagu favorit, sambil bersenandung ria menikmati lagu ‘Celengan Rindu’ kepunyaan penyanyi Fiersa Besari. Dirinya menyalakan shower membasahi tubuh. Senang rasanya, mandi sambil menikmati lagu kesukaan seperti sekarang ini menurutnya.
*****
“Assalamualaikum,” suara pria yang tak asing di telinga dari tempat berbeda memasuki sebuah rumah, sambil menjinjing jaket diwaktu pagi- pagi sekali karena tak pulang semalam. Ia Ricky, dirinya dengan banyak beban di kepala, mencoba untuk bersikap biasa saja dan menemui istrinya yang entah menunggu kedatangannya atau tidak. Sebab ia tak begitu yakin dengan rasa percayanya terhadap istrinya, usai menatap dengan mata kepalanya sendiri kemarin, bahwa istrinya bercinta dengan pria yang dikatakannya hanya seorang teman saja.
“Wa’alaikumsalamm… Egh, Mas Ricky baru pulang? Mas sudah makan belum sejak semalam?” Tari, istri Ricky segera menyahut jaket yang dijinjing suaminya, bersikap seolah tak menyembunyikan apapun dari suaminya itu.
“Semalam sudah… Tapi sepertinya Mas lapar lagi, dek!” Ricky membalas santai pertanyaan yang dilontarkan istrinya yang sepertinya tak menyadari semua perselingkuhan yang telah dilakukannya dengan pria lain sudah diketahui olehnya.
“Mari kita sarapan Mas, Tari sudah siapkan sarapan untuk Mas…” Tari terus berusaha merawat suaminya seperti yang biasa dirinya lakukan. Jauh di hati Ricky yang paling dalam, dirinya sungguh menderita mengetahui bahwa istri yang paling dicintainya tersebut telah tega bermain api di belakangnya.
Ricky mengangguk- angguk mengiyakan,“Baiklah dek. Mas mandi dulu sebentar, setelah itu kita sarapan bersama…” Pagi itu Ricky terlihat dingin menanggapi setiap sikap yang dibuat oleh Tari istrinya. Ia juga menghindari terlalu lama kontak mata atau menatap istrinya itu. Ricky takut tak mampu membendung emosinya. Usai melewati ruang makan, Ricky berlalu begitu saja menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Tari meletakkan jaket suaminya ke bak cucian kemudian menyiapkan peralatan makan untuk sarapan tanpa rasa curiga sedikit pun dengan sikap dingin suaminya.
Tari bekerja sebagai seorang fashion stylish dan memiliki sebuah butik baju yang letaknya tak jauh dari rumah mereka. Ia bertemu dengan Ricky 7 tahun lalu, dan memutuskan untuk menikah setelah tiga tahun berpacaran untuk saling mengenal. Awalnya Ricky adalah seorang pria pendiam, dingin, tak terlalu memperhatikan soal Wanita. Namun, segalanya berubah saat keduanya bertemu dan Tari menyatakan minatnya terlebih dahulu terhadap Ricky yang kini menjadi suaminya. Ricky yang terkesan oleh kegigihan Tari yang tetap bersikap baik dan merawatnya meski Ricky selalu bersikap dingin terhadapnya, akhirnya luluh juga hatinya. Keduanya berpacaran setelah beberapa bulan saling mengenal, sebelum akhirnya menikah. Ricky sangat mencintai istrinya itu, hingga pria itu hampir gila saat mendapati istrinya berkhianat dengan pria lain kemaren.
“Sudah selesai Mas mandinya? Mari makan…” Celetuk Tari usai melihat Ricky yang baru saja menyelesaikan mandinya dengan handuk kecil yang masih menggantung di leher suaminya tersebut.
“Wahhh… Sop buntut?” Ricky menganga menatap istrinya menyajikan makanan kesukaannya. Sikap baik istrinya ini, sungguh membuat isi pikirannya makin rumit saja. “Apa istriku benar- benar masih mencintaiku? Atau dirinya hanya berpura- pura saja merawatku? Lalu apa yang kusaksikan kemaren?” Banyak sekali pikiran aneh yang berkecamuk di pikiran Ricky tentang perselingkuhan istrinya tersebut.
“Iyaps! Sop buntut kesukaan mas,” seru Tari kepada suaminya sambil melontarkan senyuman yang menampakkan gigi gingsulnya. Ricky tahu, bahwa Tari sedang melakukan kesalahan hingga memasak makanan kesukaannya tersebut, padahal hari itu bukan hari yang spesial bagi Ricky maupun keduanya.
“Makasih dek,” Ricky melempar senyuman seraya menyendok makanan sup buntut yang telah disiapkan istrinya tersebut. Ia bersiap melancarkan beberapa pertanyaan terhadap istrinya dengan perselingkuhannya dengan pria lain.
“Oh iya Dek, kamu… Gaada yang mau disampaikan kepada Mas?” Ricky menatap istrinya itu dengan perasaan tak karuan. Ia berpikir matang- matang soal perselingkuhan istrinya, Ricky telah memantapkan diri untuk memaafkan istrinya jikalau dirinya mau berkata jujur soal dirinya yang membelot dan mengkhianati suaminya tersebut.
Tari menoleh usai menyuap nasi dan kaldu sop tersebut. Ia memandang bingung karena pertanyaan yang disampaikan Ricky terhadapnya. “Maksud Mas Ricky?” balas Tari tak memahami maksud pertanyaan suaminya.
“Hmmm, baiklah lupakan kalo memang tidak ada apa- apa.” Ricky tersenyum kecut dan memilih tak melanjutkan pertanyaannya. Kini dirinya terdiam berniat menyelesaikan sarapan dan berniat langsung kembali ke rumah sakit. Sementara itu Tari hanya mengangguk- angguk mengiyakan hal tersebut.
Drttt… drttt… drttt… Ponsel milik Ricky bergetar. Sebuah pesan masuk.
[Pagi mas, ini nomor saya… Wanita semalam.] Ricky membaca pesan tersebut dari notifikasi yang muncul pada layer ponselnya.
“Uhukk.. uhukk…” Ricky tersedak usai membaca pesan tersebut.
“Ini minum dulu mas! Pelan- pelan to Mas, makannya…” Ucap Tari menyodorkan segelas air putih kepada suaminya tersebut. Ricky menerima segelas air putih itu dengan perasaan bersalah. Ia hampir lupa soal perbuatannya semalam dengan wanita itu. Ia tertegun dan bingung soal janjinya terhadap pelacur yang habis ditidurinya semalam, yang akan bertanggung jawab terhadapnya.
Ia meraih ponselnya, meraih tas kerja di kursi dan bergegas keluar meninggalkan rumah. “Mas pamit berangkat ke Rumah Sakit dulu dek, ada pasien yang butuh pertolongan Mas!” ucap Ricky terlihat buru- buru sekali meninggalkan rumah. Tapi Tari yang tak terima dengan hal tersebut menarik lengan Ricky suaminya yang baru saja akan menarik knop pintu. Tari hendak melayangkan protes kepada suaminya tersebut.
“Ini hari minggu lho Mas? Tak bisakah kau diam di rumah dengan istrimu sehari saja? Bukankah seharusnya kau libur bekerja hari ini?” Tari terus melakukan pressing terhadap suaminya, meminta waktunya yang hampir tak pernah menghabiskan waktu untuk berduaan saja menikmati hari libur.
Inilah hal yang paling Tari sesali usai menikahi Ricky suaminya. Untuk apa punya seorang suami seorang dokter mapan dan tampan, tapi tak pernah meluangkan sedikit waktu untuknya. Itulah yang selama ini menjadi beban terbesar bagi Tari Ketika menjalani hidup sebagai istri Ricky yang seorang Dokter Bedah Torakoplastik. Tak pernah punya waktu untuknya. Belum lagi soal dirinya yang tak kunjung memiliki momongan selama lebih dari empat tahun menikah dengan Ricky.
“Maafkan Mas Dek, tapi ini hal mendesak. Mas pergi dulu, nanti setelah urusan pasien ini selesai, mas segera pulang menemuimu.” Ricky membuat alasan untuk membohongi istrinya dan berlalu dengan mobilnya meninggalkan Tari yang masih berdiri di pintu.
Bersambung…
Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang. "Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut. "Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya. Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak. “Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah menidur
Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab. [Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.] Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lamp
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la
Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin. “Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut. “Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewa
“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men
“Jadi mengapa kamu memutuskan menjadi seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) seperti ini?” Ricky memberanikan diri menanyakan sebuah hal yang sebenarnya tak boleh dipertanyakan, karena terlalu beresiko. Pertanyaan tersebut dimungkinkan menyinggung perasaan Dinda. Bahkan mungkin dirinya tak pernah membayangkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut di hari pertama pertemuan keduanya. “Hmmm, bagaimana ya menjawabnya…” Dinda memangku tangannya di dada seraya menggosok- gosok sedikit dagunya karena dirinya sendiri juga tak mengharapkan bahwa Ricky akan menanyakan hal tersebut. Mau tak mau dihari pertama pertemuannya dengan Ricky, dirinya harus menceritakan mengenai bagaimana dirinya sampai bisa menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur sekarang ini. Dan menurut Dinda hal tersebut bukanlah merupakan aib atau keburukan yang harus disembunyikan. Toh dari pekerjaannya sebagai pelacur, Dinda bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga di kampung. “Kalau Dinda tak berkenan, Mas tak mau memaksa… N