“Ricky?” Dinda membolak-balik kartu nama tersebut entah tengah memastikan apa. Dirinya masih dalam posisi tengkurap dipeluk sang pria yang diketahui Dinda bernama Ricky tersebut. Dinda mengerutkan dahinya memandang kartu nama itu kemudian menatap wajah Ricky, begitu terus secara berulang. Ia sepertinya juga cukup takjub oleh nama indah pria tersebut.
“Bahkan namanya pun cakep, seperti parasnya!” tutur Dinda menarik nafas panjang, karena merasa cukup sesak dipeluk Ricky sedari tadi.
Pada saat yang bersamaan Dinda merasa bahwa Ricky sudah mulai mengendurkan pelukan, Ia merasakan bahwa ikatan tangan milik Ricky yang melingkari pinggulnya mulai merenggang. Sepertinya Ricky sudah tak mengigau lagi. Buru-buru Dinda bergeser, menggerakkan tubuhnya untuk berguling ke samping. Ia merasa tak nyaman kalua berlama- lama berada di pelukan Ricky yang merupakan suami orang. Kini posisi Dinda terlentang menghadap atap ruangan, dimana Kepalanya beralaskan tangan milik Ricky yang membentang ke samping. Ia menjunjung kartu nama milik Ricky tersebut ke atas, kembali memandangnya.
“Dokter Bedah Torakoplastik?” Dinda memanyunkan bibirnya karena tak mengetahui arti dari ‘Torakoplastik’ yang ada dalam kartu nama milik Ricky.
(Torakoplastik ; cabang ilmu kedokteran mengenai bedah dada)
Kini keduanya dalam posisi layaknya seorang pasangan yang hendak menikmati tidur bersama, mengarungi mimpi indah malam itu. Sungguh pemandangan yang romantic untuk disaksikan. Dinda menyudahi acaranya memandangi kartu nama Ricky yang tak habis- habisnya membuatnya berpikir tersebut. Kini Dinda justru sedang berpikir penasaran, mengenai bagaimana reaksi Ricky saat dia sepenuhnya sadar esok hari. Menarik bukan? Bisa- bisanya seorang dokter Ricky hendak meniduri wanita yang bukan istrinya ini.
Namun Dinda tak berniat melakukan apapun saat itu, rasanya matanya juga mulai kantuk karena kelelahan. Dinda memilih untuk mencoba memejamkan mata, tidur diatas lengan dokter Ricky. Dari yang dapat Dinda rasakan bahwa lengan milik Ricky cukup berisi, sepertinya dia rajin berolahraga pikirnya. Meski begitu, Dinda tak bernafsu untuk bercinta dengannya malam itu. Dinda tak mau merusak Ricky yang sepertinya orang baik-baik dan sosok pria yang bertanggung jawab menurutnya.
Dinda mulai hanyut dalam kantuk. Namun, tiba-tiba saat baru saja dirinya baru saja memejamkan mata berniat tidur. Sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Dinda awalnya mengira bahwa benda kenyal lembut yang menyentuhnya tersebut adalah sebuah tangan atau pipi milik Adan yang tak sengaja menyentuh bibir merahnya. Tapi nyatanya tebakan Dinda salah. Itu bibirnya, bibir milik Ricky, pria yang tertidur di sebelahnya. Ia tak menyangka bahwa Ricky akan berbuat sejauh itu terhadapnya. “Apa kini pria ini Kembali memimpikan istri gilanya itu?” batin Dinda memikirkan apa yang sedang Ricky perbuat.
Dinda yang sebelumnya memejamkan mata, perlahan membeliakkan kelopak matanya untuk mengecek keadaan. Dinda jelas melihat wajah Ricky yang kini sudah berpindah tepat diatas wajah Dinda, membuatnya setengah terkejut. Bibir kami masih bersentuhan, belum ada pergerakan sama sekali. Aku yang waspada, juga masih belum berpindah tempat memandanginya yang tak membuka mata sama sekali.
Ricky dengan perlahan memberi tekanan pada bibirnya yang cukup pink untuk ukuran seorang pria tersebut terhadap bibir Dinda. Ia melumat lembut bibir merah Dinda, memberi kesan seperti sedang mengulum. Dan Dinda tak menolaknya sama sekali, meski hal itu adalah pertama kalinya dirinya berciuman dengan pria.
“Kurang ajar! Pria ini begitu saja mengambil ciuman pertamaku! Jujur saja, meski aku pernah tidur dengan beberapa pria, tapi aku tak pernah mau di cium apalagi sampai dilumat seperti ini.” Batin Dinda yang menyesap rasa manis, saat bibir keduanya bertemu. Dinda kini menyadari bahwa Ricky sepertinya bukan seorang perokok, Ia tak mencium aroma rokok dari bibir manis Ricky.
Pergerakan bibirnya, membuat ujung bibir Dinda yang merah menjadi basah karena saliva. Anehnya, Dinda diam saja dengan mata melongo menatap Ricky melumat bibirnya dengan lembut. Sepertinya Dinda menikmati ciuman tersebut. Ia yang mulai terbawa suasana dan permainan bibir Ricky, mulai kewalahan menahan birahinya. Dinda akhirnya, tak mampu lagi membendung nafsunya.
Entah apa yang sedang dibayangan Ricky sekarang ini, yang jelas Dinda tahu bahwa Ricky sedang bernafsu berat. Dan Dinda tampak tak keberatan, dengan membalas ciuman pria di hadapannya tersebut. Sambil masih melumat bibir Dinda dengan lembut Ricky mulai berani menggerakkan kedua tangannya untuk melepaskan kemeja biru laut yang dikenakannya. Ia melemparkannya entah kea rah acak sambil samar- samar menatap respon Dinda terhadap Gerakan yang diciptakannya, kemudian Kembali melanjutkan acara menciumi Dinda secara lebih dalam.
Ia berhenti! Ricky tak bergeming sambil menarik wajahnya pelan, membuka sedikit pandangannya. Dahinya mengernyit menatap Dinda yang berada di bawahnya. Tiba-tiba Ricky mengangkat tangan kanannya, menggerakkannya pada rambut Panjang milik Dinda yang tampak terurai berantakan. Ia meraba dan mengelusnya dengan lembut. Seolah sedang membelai kekasihnya. Dinda tak berkutik, atau memberi respon berlebihan saat menatap Ricky tersenyum terhadap dirinya.
“Dasar pria gila,” gumam Dinda.
Ricky yang bernafsu berat kembali mendekatkan wajahnya terhadap Dinda, kini posisinya sedang menindih Dinda. Ia mencium kening Dinda dengan lembut, sambil melontarkan senyum indahnya lagi.
“Apa dia akan mencium bibirku lagi? Aku terus berpikiran kotor, dan tak mampu berpikir jernih. Pria ini benar-benar sialan! Ia memperlakukanku secara berbeda. Ini pertama kalinya aku dibeginikan oleh seorang pria yang hendak meniduriku.” Batin Dinda berkecamuk memikirkan banyak hal soal perlakuan Ricky terhadapnya barusan.
Dinda memejamkan mata, sambil menautkan kedua bibirnya seolah tak mampu lagi menahan nikmat. Ia secara tak terduga mulai mengerang tanpa sadar, saat pria yang menindih tubuhnya berusah menjilati sekujur lehernya tanpa ampun.
“Baiklah! Aku siap ditidurimu mas! Itulah yang terlintas dibenakku saat melihatnya mendekatkan wajahnya ke wajahku lagi.” Dinda dengan mantap mengatakan hal tersebut dalam hati kecilnya. Ricky menyipitkan mata, dan kembali menyodorkan bibirnya mengarharapkan balasan. Ia turun ke payudara milik Dinda yang cukup besar dan menyembul diantara belahan gaunnya, membuat Ricky semakin bernafsu saja.
Ricky dengan kasar karena dipengaruhi nafsunya, menarik paksa tali bra berwarna pink milik Dinda, memelorotkannya. Ia turun ke arah rok span, berwarana abu-abu gelap milik Dinda menurunkan resletingnya. “Apa kamu siap sayang?” Ricky berbisik pelan, tepat bergesekan dengan daun telinga Dinda. Membuatnya menggeliat karena kegelian. Ia mengangguk- angguk menyetujui jajakan Ricky yang sudah terlalu jauh terhadapnya. Tanpa piker Panjang, Ricky segera menggagahi Dinda tanpa ampun. Keringat mengalir deras karena Dinda juga lupa menyalakan penyejuk ruangan. Ia mengerang tak sanggup, menatap langit-langit saat kejantanan Ricky menghujaminya berkali-kali.
“Aku suka mas! Nikmat sekali rasanya… Teruskan! Hmmmh…” Dinda melenguh kenikmatan karena Gerakan yang dibuat Ricky terhadapnya
“Baiklah, jangan menyesalinya…” Ricky melanjutkan apa yang dilakukannya terhadap Kiran dalam kondisi setengah sadar.
Bersambung...
Matahari menukik tinggi, pertanda hari sudah beranjak siang. Dan Dinda baru mulai sadar dari tempatnya tidur karena sengatan cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela jendela bilik ruangan. Dinda sejenak menguap, terduduk dengan selimut yang menutupi tubuh moleknya yang bertelanjang. Dirinya berusaha sadar, sambil mengucek-ucek mata seraya memperhatikan kondisi di sekitarnya. “Kosong! Kemana pria yang meniduriku semalam? Apa dia sudah pergi? Atau sedang ke toilet?” Dinda terlalu banyak menduga-duga sekaligus sedikit kecewa jika benar bahwa Ricky kabur begitu saja usai menidurinya. “Sungguh berengsek!” Dinda mengumpat pelan, kala mendapati dirinya yang seorang diri di ruangan tersebut. Saat memalingkan wajah untuk menenggak segelas air putih, Dinda mendapati sepotong kertas diatas meja samping kasur yang ditidurinya. Ia menatapnya sambil tersenyum. "Maaf jika aku pergi tanpa berpamitan seperti ini. Aku sungguh-sungguh meminta maaf. Aku sedang terburu- buru karena ada pekerjaan sekar
Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang. "Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut. "Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya. Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak. “Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah menidur
Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab. [Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.] Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lamp
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la
Lampu Pink Lotus seharga ratusan ribu dollar terpasang apik di langit- langit sebuah restoran gaya Amerika khusus orang- orang VIP sebagai pelanggan di sana. Lantainya tersusun dari batu marmer langka dengan kilap mencolok membuat Dinda berdecak kagum dalam hati jika ketika menginjakkan kakinya ke dalam restoran tersebut. Ricky tau bahwa sebenarnya makan di restoran mewah pun tak akan cukup untuk menghibur sakit hati Dinda karenanya. Tapi setidaknya pria itu berusaha sebaik mungkin untuk tak melarikan diri dan men-threat Dinda sebaik mungkin. “Ayo masuk,” Ricky mengulurkan tangan kanannya berniat menggandeng Dinda. Dirinya melemparkan senyuman kepada wanita yang baru saja turun dari mobilnya tersebut. “Tapi Mas?” Dinda memasang wajah bingung menatap sebuah gedung mewah yang berdiri megah di hadapannya tersebut. Wanita itu tampaknya ragu untuk menjejakkan kakinya lebih jauh karena minder. Ia bahkan tak pernah membayangkan seorang pria tampan mengajaknya makan ke sebuah restoran semewa
“Mas? Ayo kita pulang saja!” Dinda berseru dalam bisiknya tepat di kuping Ricky membuatnya memelotot kaget. Ricky terkejut karena Dinda yang tiba- tiba saja meminta pulang seolah sudah tak betah berada di tempat tersebut. Pria itu khawatir takut Dinda tak menyukai tempat tersebut, karena dirinya memang tak pandai dalam memilih tempat kencan. Ia benar- benar nol besar dalam pengalaman berkencan dengan seorang wanita. “Kenapa Dek? Kamu gasuka ya sama tempatnya? Atau Mas ada berbuat salah?” Ricky yang memelotot kaget dengan pernyataan Dinda segera menarik wajahnya dan menanyakan hal tersebut dengan nada sedikit lebih keras dari sekedar berbisik. Dinda yang takut pelayan pria yang ada di samping mejanya mendengar, segera menarik kerah kemeja Ricky sedikit kasar hendak membisikkan sesuatu. “Harganya mahal Mas!” Dinda mengatakannya dengan gamblang dalam bisiknya. Hal tersebut membuat Ricky sedikit lega sebab bukan karena tempatnyalah alasan Dinda mengajaknya pulang. Ternyata wanita itu men