Share

7

Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky.

“Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki  bertanggung jawab yg dikaguminya  bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal.

Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di ruang Unit Gawat Darurat, yang datang setengah jam lalu saat jam makan siang. Pria paruh baya itu tak bisa lepas dari kondisi tersebut. Mau tidak mau, para pekerja kontruksi yang mengalami kecelakaan di tempat kejadian, harus segera ditangani olehnya yang merupakan ahli bedah toraks. Kejadian itu memaksanya menunda pertemuannya tanpa sempat memberi kabar. Meski dirinya tahu bahwa Dinda sedang menunggunya di tempat yang telah dijanjikan. Satu- satunya cara adalah, dengan segera menyelesaikan  pekerjaannya menangani sang pasien, sehingga dia bisa melihat Dinda sesegera mungkin. Dia juga tidak berniat membuatnya menunggu terlalu lama, apalagi melanggar janjinya untuk datang.

"Apakah pria ini hanya akan mempermainkanku? Bodohnya diriku mempercayainya kemarin! Bertanggung jawab katanya? Omong kosong! Dasar laki- laki berengsek!" Dinda terus menggerutu saat dirinya menghidupkan dan mematikan layar ponsel memeriksa pesan notifikasi yang masuk. Tapi nihil! Ricky sama sekali tak memberi kabar. Hampir dua jam Dinda menunggu, tetapi Ricky masih tidak menunjukkan tanda-tanda kedatangan.

“Hmmm, apa aku harus menghubunginya lebih dulu? Apa dia lupa? Ah jangan lah, masa aku duluan sih yang harus menghubunginya… Kan dia duluan yang mengajakku untuk bertemu, lagian dia juga seorang pria! Harusnya gentle lah… ” Meski rasa gengsi melarangnya untuk menghubungi Ricky lebih dulu. Pada akhirnya, hati Dinda yang belum menyadari rasa sukanya terhadap Ricky, menyerah juga. Ia mengangkat ponselnya mengetikkan sebuah pesan.

[Jadi ketemu nggak? Aku sudah tiba di sini hampir dua jam lalu, tapi dirimu belum juga muncul. Jika tak ingin bertemu, mengapa menghilang seperti ini?]

“Apa aku terlihat murahan ya? Ah biarlah, bodo amat sama kata orang. Toh, dia yang mengajakku bertemu duluan! Jika setengah jam lagi dia tak juga membalas pesanku atau menunjukkan batang hidungnya. Aku cabut saja dari sini. Wasting Time!” pikir Dinda membulatkan tekat. Biarlah nanti pria itu berpikiran apa saja tentang dirinya, yang jelas diriya sudah mau berkorban untuk menunggu pria tersebut lebih dari dua jam di restoran tersebut.

“Kirim!” ucap Dinda sambil melenguh, mendengus kesal menggelayutkan wajahnya ke meja restoran. Ia juga merasa tak enak dengan pemilik restoran dan para pegawainya karena sudah dua jam duduk di sana tetapi baru memesan segelas lemon tea saja. Mungkin mereka sudah kesal berat, melihat meja yang seharusnya ditempati pengunjung lain yang berniat datang makan di sana, karena kebetulan juga di sana sedang ramai saat Dinda menunggu Ricky.

“Mas? Saya mau bayar billnya, sebelumnya saya minta maaf karena tak memesan makanan sama sekali. Sepertinya orang yang saya tunggu sedang ada urusan sehingga tak dapat datang. Saya minta tolong jika ada seorang pria yang datang kemari dan mencari saya, Dinda. Saya minta tolong untuk memberikan kertas ini untuknya, terimakasih…” Dinda akhirnya menyerah juga.

“Oh tidak apa- apa kak, saya terima ya kertasnya…” balas pegawai rstoran tersebut melempar senyuman sembari menyodorkan nota bill minuman yang dibeli Dinda, dan telah dibayarnya.

Usai menyerahkan kertas yang entah apa isinya tersebut, Dinda melengang keluar meninggalkan restoran tersebut. Dari kejauhan terlihat bahwa Dinda mengusap air mata, sambil menunduk entah memikirkan apa. Mungkinkah harga dirinya terluka usai mengharapkan kedatangan pria yang jelas- jelas suami orang. Bahkan membayangkan bahwa pria tersebut tertarik kepadanya saja, sudah merupakan kesalahan dimata public. Jika keduanya saling mencintaipun, tidak ada satu orang di dunia ini yang membenarkan hubungan mereka bukan? Dengan alasan apapun itu.

*****

Dari tempat berbeda, Ricky kini sedang menuju ruang Unit Gawat Darurat untuk melakukan operasi seorang pasien yang perutnya tertusuk sebuah batang besi beton sepanjang satu meter melintang dari ulu hati sampai ke perut bagian bawah. Terlihat sangat mengerikan dan cukup beresiko. Tak terlihat ada pendarahan eksternal dari korban, namun tanda- tanda vitalnya terus menurun. Dari laporan yang disampaikan oleh dokter magang kepada Ricky mengenai kondisi pasien, beberapa pekerja di tempat pembangunan situs kontruksi tersebut itu luka- luka karena lantai Gedung yang ambrol. Ada seorang pasien yang tangannya patah tertimpa reruntuhan. Juga yang paling parah adalah seorang korban yang perutnya ditembus sebuah besi senjang satu meter di perutnya.

“Bagaimana ini dok? Tanda- tanda vital pasien terus menurun. Kemungkinan jika tidak segera dioperasi pasien ini tidak akan tertolong.” Dokter Sin yang melihat dokter Ricky datang segera melaporkan kondisi tersebut dengan tatapan wajah cemas. Rambutnya yang terurai di bagian poni terlihat cukup berantakan, akibat mengurus kekacauan yang terjadi di Unit Gawat Darurat tersebut. Dokter wanita itu sepertinya kewalahan memimpin tugas dan Langkah di departemen bedah umum sendirian di hari libur seperti ini. Untung saja dokter Ricky hari itu ada kontrol pasien sehingga bisa membantu, dan mengoperasi pasien tersebut dengan cepat.

“Sepertinya terjadi pendarahan internal di dalam perut pasien, cepat panggil ahli anestesi dan siapkan ruang operasi sekarang juga!" perintah dokter Ricky memimpin, mengambil alih komando dan arahan di sana. Ia terlihat sangat cekatan dan cerdas mengatasi kepanikan yang sedang menyerang di sana. Ia mengambil beberapa kasa menggulungkan ke bagian yang masih tertusuk besi baja sepanjang satu meter untuk sedikit menghambat pendarahan eksternal. Ia terus mengamati tanda-tanda vital pasien yang masih terus turun akibat pendarahan internal yang terjadi.

“Terus ajak bicara pasien agar tetap sadar, jika kesadarannya hilang presentase angka selamt pasien akan sangat kecil!”         

“Baik dok,” dokter Sin juga tak kalah cekatan dalam bergerak. Ia menyanggupi perintah dokter Ricky dan segera menjalankan tugas menyiapkan ruang operasi bersama dokter magang lainnya.

“Kita butuh sekitar dua belas kantong darah untuk di transfusikan terhadap pasien, untuk menjaga tanda- tanda vital pasien tetap stabil.”

“oke, segera saya siapkan dok!” kepala perawat Lusi yang sedari tadi disamping dokter Ricky segera mengambil bagian usai mendapatkan arahan tersebut.

Beberapa dokter magang berlarian membawa monitor dan beberapa alat medis lainnya untuk keperluan operasi. Meja operasi disiapkan, dengan dokter Ricky yang akan memimpin jalannya operasi pengangkatan besi yan menembus perut pasien tersebut ditemani dokter Sin sebagai asisten dalam operasi itu.

Infus dipasang, dan operasi bedah perut itu siap dilaksanakan.

“Berdoa selesai… Baiklah, kita mulai operasinya.” Ricky tenggelam dalam urusan pekerjaan yang tak dapat ditunda meninggalkan Dinda yang menunggu janjinya.

Bersambung…

Faisalicious

“Dengan keputusan sepihak, waktu berhenti begitu saja. Berhenti saat percayaku dikecewakan. Aku kecewa padamu Mas!” – Dinda.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status