Share

8

Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai.

“Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran.

“Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa menepati janjinya, Ricky sampai lupa meninggalkan ponselnya di ruang kerjanya. Ia sedikit bingung harus menghubungi wanita itu dengan apa, tanpa ponselnya. Ia menatap kehadapan melihat ke arah kasir.

“Aku coba saja bertanya ke pelayan di sana, siapa tau dia tau di mana tempat wanita itu duduk.” Ricky bergumam sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mengedarkan pandangan mencari sosok Dinda.

Akhirnya pandangannya menyerah, dan terus terang menanyakan keberadaan Dinda pada salah seorang pelayan di sana. “MBAK? Boleh tanya nggak?” dengan sopan Ricky melontarkan permohonan tanya kepada pelayan di hadapannya tersebut. raut wajahnya sekarang terlihat pasrah dengan hasil yang akan diterima. Ia tahu wanita itu tak mungkin masih menunggunya jika dirinya tak datang lebih dari dua jam seperti ini. Semoga ada keajaiban! Pikirnya mencoba menenangkan diri.

“Iya Pak? Ada yang bisa saya bantu?” pelayan wanita itu merespon Ricky meski sedang sibuk mengelap beberapa meja yang kotor akibat pelanggan di sana.

“Ini Mbak, saya mau tanya. Mbak tadi lihat wanita cantik, rambutnya panjang terurai sebahu duduk di dalam restoran ini sendirian nggak ya Mbak?” Ricky melontarkan pertanyaannya sambil menjelaskan ciri- ciri Dinda.

“Cewe ya mas, di sini ada beberapa cewe yang duduk sendirian sih Mas… Ciri- ciri spesifiknya bagaimana ya mas?

“Itu Mbak, badannya kurus. Tingginya sekitar sebahu saya, dan sepertinya dia menunggu saya kurang lebih sekitar dua jam yang lalu Mbak. Saat jam makan siang.” Ricky berusaha menjelaskan secara detail sosok Dinda yang dikenalnya tersebut.

“Hmmm, oh saya tau Mas. Dua jam lalu ada cewe pake baju long dress warna coklat muda yang datang sendirian Mas. Orangnya datang sendirian, memesan lemon tea dan duduk di meja paling ujung sana. Keliatannya dia sedang nunggu seseorang,”

“Iya Mbak sepertinya itu orangnya. Sekarang kira- kira Mbak tau nggak ya orangnya di mana?” Ricky berusaha keras mengorek informasi sebisa mungkin. Siapa tau Dinda belom lama meninggalkan tempat tersebut dan masih sempat untuk di kejar.

“Ehmm, orangnya sudah pergi mas sekitar lima belas menit yang lalu. Tapi sebentar…” pelayan wanita itu menghentikan omongannya dan berjalan menuju kasir seperti hendak mengambil sesuatu untuk Ricky.

“Ini Mas,” pelayan itu menyodorkan sebuat catatan kecil berwarna kuning yang sepertinya ada sebuah pesan yang dititipkan padanya untuk Ricky.

“Ini apa Mbak?” Ricky menerima catatn kecil itu, sambil bertanya kepada sang pelayan.

“Sepertinya wanita tadi meninggalkan pesan untuk Mas. Dia menitipkannya kepada saya lima belas menit lalu. Katanya minta tolong diberikan kepada seseorang misalkan ada pria yang datang mencarinya nanti.

“Jika kamu menerima catatan ini, temui aku di Bar Maria sehabis petang nanti – Dinda” isi pesan tersebut membuat Ricky sedikit lega.

“Terimakasih Mbak!” Dirinya bergegas kembali ke rumah sakit berniat mengambil ponselnya yang tertinggal setelah membaca catatan tersebut. Ricky merasa bersalah telah membuat Dinda menunggu kedatangannya tanpa kabar.

“Pasti dia sangat kecewa padaku, sekarang ini…” Ricky bergumam pelan sambil sibuk menyetir, mengebut menuju rumah sakit. Bisa- bisanya dia melupakan ponselnya yang merupakan benda satu- satunya yang dapat menghubungkannya terhadap Dinda.

Dalam hal ini, Ricky belum benar- benar memahami perasaan apa yang dirinya miliki untuk Dinda. Ia hanya tahu bahwa dirinya tak seharusnya meniduri wanita lain malam itu, meski sehabis diselingkuhi sekalipun. Yang jelas Ricky hanya ingin bertanggung jawab atas perbuatannya semalam. Dirinya tak mau membuat wanita yang ditidurinya tersebut merasa harga dirinya terluka karena digauli begitu saja.

Saat dirinya melewati Bar Maria menuju rumah sakit tempatnya bekerja, Ia menjumpai sosok wanita yang perawakan tubuhnya mirip dengan Dinda. Wanita itu duduk termenung di trotoar samping pagar Bar Maria yang tampaknya masih tutup karena belum waktunya jam buka bar tersebut. Wanita itu terlihat duduk menunduk dengan bir kalengan yang di genggamnya ditangan kanan.

“Bukankah itu Dinda? Sedang apa wanita itu duduk sendirian di sana?” Ricky langsung tak enak hati melihat kondisi Dinda yang sepertinya kecewa karena harga dirinya terluka. Ia bergerak maju, dengan mengurangi kecepatan. Ricky memutar kemudinya meminggirkan mobil berniat menghampiri Dinda yang sepertinya sedang kacau tersebut.

“Sepertinya benar itu Dinda…” Ricky langsung yakin saat melihat wanita itu dari samping saat dirinya mendongak ke atas seperti sedang menahan air mata. Ricky segera melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk menghampiri Dinda.

Dinda terlihat sesenggukan, menahan tangis entah karena hal apa. Hati Ricky sangat terenyuh mendengar suara isak tangis dari Dinda yang sepertinya benar- benar sedang tak baik- baik saja. Karena hal tersebut membuat Ricky yang awalnya dengan mantap melangkah menjadi agak ragu saat akan menghampiri             Dinda. Ricky jelas tahu bahwa sepertinya dirinya lah penyebab hati Dinda terluka sekarang ini.

“Apa dia pikir aku wanita hina? Hingga dirinya sampai tak datang saat aku sudah menunggunya lebih dari dua jam! Aku seharusnya tak perlu repot- repot ke sana jika memang sejak awal dirinya tak mengharapkanku untuk datang bukan? Hiksss… Dasar laki- laki berengsek!” Dinda menangis sesenggukan sambil mengutarakan kekesalannya terhadap Ricky. Jelas terlihat bahwa harga diri Dinda terluka karena Ricky tak datang di restoran tersebut, padahal pria itu yang mengajaknya dahulu untuk bertemu.  

Ricky yang mendengar hal tersebut sontak kaget dan terdiam. Ia menghentikan langkahnya sejenak menahan diri. Dirinya sedang menikmati rasa bersalah terhadap wanita yang tengah menangis di hadapannya karena ulahnya tersebut. “Maafkan aku Dinda,” Ricky masih meneriakan hal yang sama dalam hatinya sejak tadi. Ia jela tahu apa yang sedang Dinda rasakan. Ditiduri, ditinggal tanpa berpamitan, hingga tak menemuinya saat Ricky yang mengajaknya bertemu. Lengkap sudah perasaan terhinanya sebagai seorang wanita. Ia bahkan terlalu malu untuk mengakui harga dirinya sebagai seorang wanita.

“Dinda?” Ricky memekik memanggil wanita di hadapannya. Dinda yang terkejut langsung menoleh melihat sosok pria yang terdengar memanggilnya.

“Mas Ricky?” Dinda mengusap air matanya segera, dan tanpa berpikir panjang langsung berlari menghampiri Ricky dan memeluknya.

“Maafkan aku, sudah dua kali membuatmu menangis” ucap Ricky membalas pelukan Dinda sambil mengusap rambutnya pelan.

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status