"Ceraikan dia mas!" Dinda berkacak pinggang sambil memasang wajah manyun, kemudian meremas tangan Ricky, kekasihnya.
"Dek? Dinda sayang? Ayolah dek, jangan merajuk lagi... Mas pasti ceraikan dia kok, kamu sabar sebentar ya?" Ricky mulai merayu wanita simpanannya itu, dia memeluk dari belakang sambil menggesek-gesekkan janggutnya yang baru dicukur pada punggung tulang belikat milik Dinda. Rasanya geli-geli lucu, hingga membuat Dinda sedikit tersenyum.
"Tapi kapan mas? Bulan lalu mas juga bilang begitu kan? Tapi nyatanya mana? Masih saja belum diceraikan..." Dinda menggerutu kesal, karena diberi janji manis melulu oleh pria yang membuatnya jatuh hati tersebut.
"2 bulan,"
Dinda yang sebelumnya melipat siku dan lengan, kini sudah membalikkan badan mencoba memandang kedua bola mata Ricky.
"Ini yang terakhir ya Mas, kamu berjanji seperti ini? Jika dua bulan lagi, kamu belum menceraikan istrimu... Aku yang mengalah saja, aku yang pergi!" Dinda menoyor dahi Ricky dengan jari telunjuk yang kukunya baru dicat dengan kutek berwarna merah maroon keluaran terbaru dari official store di Mall.
"Janji sayang..." Ricky selalu bisa membuat Dinda luluh dan percaya oleh buaian kata-kata manisnya. Ia mendekatkan hidungnya ke hidung Dinda. Kemudian menggoyang-goyangkannya, saking dekatnya sampai Wanita itu bisa mendengar suara nafasnya yang hangat.
Wanita mana yang tak ingin segera dinikahi? Begitupula dengan Dinda yang hampir setengah tahun menjadi wanita simpanan Ricky. Laki-laki yang dicintainya dengan sepenuh hati saat ini. Keduanya sepakat untuk diam-diam saling mencintai di belakang istri sah Ricky yang juga tega menyelingkuhinya sebelum hubungan mereka terjalin.
*
Namanya Dinda, kembang desa yang merantau ke kota besar ini sejak dua tahun lalu. Dengan tiga lembar uang pecahan seratus ribuan di celengan, Dinda nekat kabur. Merantau ke ibu kota.
Awalnya Dinda hanya gadis dusun lugu yang memperjuangkan uang halal demi melanjutkan hidup di ibu kota yang keras ini. Menjadi buruh cuci, pembantu rumah tangga, jaga warung, semua pekerjaan halal sudah dilakoni Karina demi menyambung hidup. Seringkali Dinda harus berpindah kost-an jikalau telat membayar uang sewa bulanan, makan sehari sekali, hingga menumpang tidur di mushola. Semua dilakukannya asal keluarga di rumah tetap dapat kiriman setiap bulan.
Hingga seorang pelacur kenalannya, mempertemukan Dinda dengan dunia 'Kelab Malam' . Tak bisa munafik, dari ponsel canggih hingga tas mahal yang digunakan Dinda untuk bekerja, seluruhnya didapat dari hasil menemani lelaki mabuk bernyanyi. Dinda menjadi tak terkendali dan hilang arah. Dugem tiap malam, berpakaian seksi, mabuk miras,hingga tidur dengan beberapa pria hidung belang yang siap menggesek ATM nya untuk Dinda. Tapi jelas bahwa Dinda masih selalu mengingat keluarganya di rumah, Dia tak pernah absen mengirim uang ke kampung tiap bulan. Menyekolahkan adik laki-lakinya dan memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarga di rumah. Mereka hanya tau bahwa Dinda bekerja di sebuah restoran besar, itu saja.
Kehidupan malam Dinda ini tak berlangsung lama, hingga dirinya diperjumpakan dengan lelaki berdasi bernama Ricky yang sekarang menjadi pujaan hatinya. Di sini juga, 'Bar Maria'. Dinda tak pernah benar-benar menjalin hubungan dengan lelaki manapun sebelumnya. Meski sudah sering tidur dengan banyak pria, hanya Ricky seorang yang memikat hati Dinda. Sebenarnya bukan hal yang patut dibanggakan mengenai tidur dengan banyak pria seperti itu. Sekedar memberitahu saja.
15 Januari 2020, Dinda ingat betul. Pertemuan pertamanya bersama Ricky di Bar Maria ini. Wajahnya pucat stres, dengan kemeja biru laut acak-acakan yang dikenakannya. Dinda sungguh penasaran saat itu! Pria itu terlihat sangat stres, duduk sendirian di meja paling ujung. Naluri penggodanya sedang membara saat itu, kebetulan juga Dinda belum berhubungan dengan pria lagi lebih dari seminggu.
"Permisi, boleh saya duduk tuan?" Dinda berbisik menghampiri pria yang membuatnya penasaran itu. Ia mendekatkan bibirnya yang merah oleh gincu menyentuh telinga pria tersebut.
Saat mendekati pria ini, awalnya Dinda hanya menganggumi parasnya yang bisa dibilang manis. Ia tampak seperti pria baik-baik karena wajahnya yang oval melingkar di kedua sisi, membuat wajahnya terlihat adem. Sungguh type idealku, batin Dinda. Kumis tipis, hidungnya yang mancung seperti perosotan TK, juga telinga mungil yang mengembang kemerahan. Sungguh idaman sekali bukan?
Dinda segera melancarkan jurus, untuk merayunya. "Sendiri saja mas? Mau ku temani minum? Mas boleh cerita kok, kalau sedang ada masalah..." pukulan pertama sudah dilayangkannya tepat di wajah pria itu, sambil sedikit meraba pundaknya.
Tetapi pria itu tak bergeming atau menoleh sedikitpun. Lelaki sialan! batin Dinda. Ia sudah angkat sedikit rok seksinya dengan sengaja, tetapi menengok pun tidak. Namun, tiba-tiba ia menepis tangan Dinda dengan kasar, sikapnya dingin sekali kepada Wanita di sebelahnya tersebut.
"Kau Baj*ngan Tari!" Ia meneriaki Dinda sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya. Matanya sayu tak fokus, dengan pipinya yang berwarna ungu lebam karena kebanyakan menyesap anggur merah.
"Dasar lelaki bodoh! Baru juga minum sebotol anggur merah saja sudah mabok," Dinda mengomel karena kesal pria itu membentaknya yang tak bersalah. Terlebih lagi pria itu menyebut nama wanita lain saat meneriakinya. Laki-laki kardus! Batin Dinda.
Pria itu lanjut mencaci Karina, meluapkan kekesalannya sambil menyebut wanita yang membuat pria itu sakit hati. Mungkin ceweknya selingkuh atau kawin lagi, pikir Dinda.
"Apa aku ini kurang tampan Tari? Kau mau apa? Uangku... Rumah? Atau Mobil? Aku berikan semuanya Tari... " manusia gila satu ini tiba-tiba saja menarik tangan kiri milik Dinda dengan paksa, diletakkan di pipinya.
“Rasanya hangat sekali. Mungkin reaksi akibat terlalu banyak menenggak miras.” Gumam Dinda.
"Tapi kenapa Tari? Kenapa kamu selingkuh? Kenapa!" Pria itu semakin nekat saja, menyentuh kedua sisi wajah Dinda dengan sepasang tangannya yang bau alkohol.
Sebenarnya Dinda iba terhadapnya. Dia yang tampan dan mapan seperti ini, tapi mengapa masih saja di selingkuhi. Dinda yang gengsi, walaupun dia lelaki type-nya yang bisa membuat dirinya tersipu oleh wajah dewasa milik pria tersebut, Dinda memilih memarahinya kembali. "Kau gila? Sadar woi! Sadar!"
Plak! Plak! Plak! Dinda menepuk pipinya pelan-pelan agar pria tersebut tersadar dari pengaruh alkohol itu.
"Huekkk!" Pria yang saat itu belum diketahui namanya itu, menumpahkan isi perutnya di baju seksi Dinda. 'Sial! Pria brengsek ini sudah bertingkah sejak tadi, membuatku kehilangan kesabaran saja' gumam Dinda.
Dinda dengan hati nuraninya, masih tak tega meninggalkan pria malang itu sendirian. Ia terlihat menyedihkan sekali, saat memasang wajah melas terhadap Dinda. Membuatnya makin tak tega. “Mana dia habis diselingkuhi lagi, kalau bunuh diri bagaimana?” Mau tidak mau, tanpa pikir panjang Dinda segera membopongnya ke bagian belakang diskotek, lewat pintu belakang. Di sana ada beberapa kamar kosong yang biasanya digunakan untuk pasangan-pasangan gila melepas birahi.
Keduanya masuk ke kamar kosong paling ujung, dengan pelan-pelan. “Makan apa sih si brengsek ini, berat sekali!” gerutu Dinda.
Sampai di depan kasur, langsung menghempaskan pria tersebut ke kasur itu. "Tari... Kau jahat Tari..." suaranya parau, masih saja memanggil-manggil nama wanita itu.
"Untung aku masih baik hati prickyu brengsek! Jika tidak, sudah ku suruh orang untuk membuangmu ke jalanan!" Dinda kesal, dan cukup kehabisan tenaga menggendongnya kemari. Belum lagi bajunya yang masih kotor karena pria itu memuntahinya.
Dinda berkacak pinggang. "Mimpi apa, aku semalam?" ucapnya sambil menggeleng-nggelengkan kepala.
"Tetapi, jika dilihat-lihat dirimu tampan juga mas..." Dinda mengutarakannya sambil tersenyum memandang pria itu yang tergeletak dengan posisi terlentang tak sadarkan diri.
Bersambung...
Pipi Dinda yang sedikit berisi atau bisa dibilang chubby itu, memerah kala memandangi pria yang terbaring lelap di hadapannya, yang kian lama terlihat makin menggemaskan. Pria ini terlihat seksi saat ini akibat pipinya yang kemerahan, wajahnya lugu bak seorang ustad yang sedang menyamar sebagai seorang pegawai kantoran. Ingin rasanya Dinda mencubit pipinya! Jarang sekali dirinya mendapatkan momen untuk memperhatikan pria dengan seksama seperti ini. Sebelumnya saat Dinda sedang mengincar mangsa untuk menghabiskan malam dengan seorang pria, hanya tiga hal yang diperhatikannya. Cara berpakaian, barang yang dikenakan, dan kebersihan. Jadi hanya sekedar bermain semalam, kemudian selesai. Saat masih sibuk memandangi pria tersebut, pikiran warasnya tiba-tiba saja datang. "Sadar Dinda! Sadar! Dia milik orang" Dinda menyadarkan diri, menampar-nampar wajahnya. Entah kenapa, Dinda merasa bersalah menatapnya sebagai seorang wanita yang mengagumi seorang pria beristri. Mungkin karena wajah pria it
“Ricky?” Dinda membolak-balik kartu nama tersebut entah tengah memastikan apa. Dirinya masih dalam posisi tengkurap dipeluk sang pria yang diketahui Dinda bernama Ricky tersebut. Dinda mengerutkan dahinya memandang kartu nama itu kemudian menatap wajah Ricky, begitu terus secara berulang. Ia sepertinya juga cukup takjub oleh nama indah pria tersebut. “Bahkan namanya pun cakep, seperti parasnya!” tutur Dinda menarik nafas panjang, karena merasa cukup sesak dipeluk Ricky sedari tadi. Pada saat yang bersamaan Dinda merasa bahwa Ricky sudah mulai mengendurkan pelukan, Ia merasakan bahwa ikatan tangan milik Ricky yang melingkari pinggulnya mulai merenggang. Sepertinya Ricky sudah tak mengigau lagi. Buru-buru Dinda bergeser, menggerakkan tubuhnya untuk berguling ke samping. Ia merasa tak nyaman kalua berlama- lama berada di pelukan Ricky yang merupakan suami orang. Kini posisi Dinda terlentang menghadap atap ruangan, dimana Kepalanya beralaskan tangan milik Ricky yang membentang ke samping
Matahari menukik tinggi, pertanda hari sudah beranjak siang. Dan Dinda baru mulai sadar dari tempatnya tidur karena sengatan cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela jendela bilik ruangan. Dinda sejenak menguap, terduduk dengan selimut yang menutupi tubuh moleknya yang bertelanjang. Dirinya berusaha sadar, sambil mengucek-ucek mata seraya memperhatikan kondisi di sekitarnya. “Kosong! Kemana pria yang meniduriku semalam? Apa dia sudah pergi? Atau sedang ke toilet?” Dinda terlalu banyak menduga-duga sekaligus sedikit kecewa jika benar bahwa Ricky kabur begitu saja usai menidurinya. “Sungguh berengsek!” Dinda mengumpat pelan, kala mendapati dirinya yang seorang diri di ruangan tersebut. Saat memalingkan wajah untuk menenggak segelas air putih, Dinda mendapati sepotong kertas diatas meja samping kasur yang ditidurinya. Ia menatapnya sambil tersenyum. "Maaf jika aku pergi tanpa berpamitan seperti ini. Aku sungguh-sungguh meminta maaf. Aku sedang terburu- buru karena ada pekerjaan sekar
Banyak pikiran aneh yang singgah pada benak Dinda, sejak kejadian semalam. Dirinya keluar dari bilik kamar mandi, usai mengikatkan selembar handuk putih ke tubuhnya yang bertelanjang. "Oh iya, hampir saja aku lupa..." Dinda mencomot sticky note bertuliskan permintaan maaf dan sebuah nomor telepon dari Ricky. Dinda terdiam, berpikir sejenak kala menatap selembar sticky note tersebut. "Harus ku apakan nomor ini? Apa aku harus menghubungi nya saja? Atau tak perlu?" Dinda tak tau harus mengambil keputusan apa. Ia hanya ragu, apa benar jika dirinya menghubungi pria yang sudah beristri ini. Pertarungan hebat sedang terjadi dalam hati kecilnya. Dinda langsung mencari keberadaan ponselnya, kesana-kemari. Ternyata di bawah bantal. Ia meraihnya dan memencet nomor pria itu, menyimpannya ke dalam daftar kontak. “Aku cukup menyimpannya bukan, sejujurnya aku juga belum tahu ingin menghubunginya soal apa. Tak mungkin jika aku mengatakan bahwa pria itu harus bertanggung jawab karena telah menidur
Ricky mematikan mesin mobil, kemudian mengedarkan pandangan ke seisi mobil. Ia merogoh bagian atas dasbor mobil, tempatnya meletakkan ponsel saat hendak mengemudi, setengah jam lalu. Mobil yang dikemudikan baru saja menginjakkan roda di parkiran rumah sakit, dan dia segera memindai, mengecek layar ponselnya. Dan dugaannya benar, wanita yang semalam habis merasakan kejantanannya mengirimkan pesan teks balasan. Matanya berbinar dalam sekejap, masih memandangi layar ponsel yang sama. Ia senang karena niat baik untuk meminta maaf, berbalas. Berakar integritas dan martabat sebagai seorang lelaki, Ricky berhasrat untuk tak mengingkari janji tentang akan bertanggung jawab. [Mari bertemu di Restoran Yamie… Share Location sudah saya kirimkan… Sampai jumpa nanti, di jam makan siang.] Pesan terkirim dan Ricky segera menggaet jas dokter berwarna putih yang tergantung di jok belakang. Jadwal praktik hari ini adalah memeriksa pasien yang baru saja selesai melakukan operasi bedah dada dua hari lamp
Dinda menghabiskan potongan roti terakhir yang digigitnya sejak tadi, lalu menghabiskan minuman yang dibelinya. Dia yang tidak ingin terlihat seperti wanita yang suka terlambat, bermaksud untuk tiba setidaknya lima belas menit lebih awal di restoran daging tumis tempat keduanya telah mengatur waktu untuk bertemu. Dinda terkesiap menyegat taksi yang lewat untuk ditunggangi sampai ke restoran daging tumis. Dalam balutan gaun selutut berwarna cokelat muda, Dinda duduk manis di meja paling ujung di sudut ruang restoran tersebut menunggu kedatangan Ricky. “Sudah lebih dari setengah jam, mengapa dirinya belum tiba juga?” gumam Dinda melirik jam dinding seukuran roda yang terpajang memenuhi tembok sebelah kiri restoran. Ia menautkan bibirnya memasang paras cemberut, lantaran tidak mengira bahwa laki-laki bertanggung jawab yg dikaguminya bisa- bisanya datang terlambat disaat dirinya sanggup meluangkan waktu untuk tiba lebih awal. Dinda tidak mengetahui bahwa Ricky memiliki pasien kritis di
Krincing! Suara lonceng yang tergantung di pintu masuk sebuah restoran daging tumis terdengar kala pintu tersebut di tarik oleh seorang pria. Ia dengan terburu- buru memasuki restoran tersebut sambil mengenakan jaket yang hampir tak sempat ia pakai. “Apa wanita itu masih menungguku ya,” Ia bergumam pelan mencemaskan Dinda yang dibiarkannya menunggu tanpa kabar di restoran tersebut sendirian. Ricky mengusap pelan rambut poninya yang berantakan karena berlarian dari parkiran luar memasuki restoran. Kini dirinya sangat khawatir membuat wanita yang menunggunya sejak dua jam yang lalu itu kecewa karena ia tak menepati janjinya untuk datang menemui perempuan tersebut. Saat hendak memastikan keberadaan wanita yang hendak di temuinya, Ricky berhenti sejenak. Dirinya tampak gugup merogoh segala saku yang menempel di tubuhnya seolah sedang mencari sesuatu. Raut wajahnya sedikit panik, dan terheran- heran. “Kemana perginya ponselku! Sial sekali aku hari ini…” Karena terburu- buru takut tak bisa
“Dinda?” Ricky akhirnya memutuskan untuk memanggil wanita yang ada dihadapannya tersebut. Ia harus memperbaiki apa yang sudah diperbuatnya sekarang ini. Dirinya harus menebusnya! Semua kesalahan yang dilakukannya terhadap Dinda. Meski tak sepenuhnya adalah kesalahan, tapi yang dilakukan Ricky jahat! “Mas Ricky?” Dinda menoleh dan mendapati pria yang ditunggunya sejak siang tadi kini sudah berada di hadapannya. Ia hanya tak menyangka harus memperlihatkan sisi dirinya yang mudah menangis dan rapuh tersebut terhadap pria di depannya itu. Entah angin dari mana, Dinda mengambil langkah berani, berlari menghampiri Ricky dan langsung memeluknya. “Ki…” Ricky tak dapat menyelesaikan kata- katanya saat menatap Dinda tiba- tiba memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Sepertinya sebuah air panas baru saja menumpahi hatinya, membuatnya sangat sesak melihat wanita di hadapannya meneteskan air mata. Dinda sesenggukan menahan tangis di dada Ricky. Keduanya berpelukan layaknya pasangan yang sudah la