Share

SETELAH TALAK TIGA
SETELAH TALAK TIGA
Author: Nurhayati Yahya

Talak Tiga

"Aku Ammarullah dengan sadar dan tanpa paksaan menjatuhkan talak padamu  Hanindiya binti Atmojo," 

Suara itu terdengar lagi, ini yang ke tiga kali. Aku terpaku di tempat, menatap nanar padanya.

"Kenapa lagi kali ini, Mas?" tanyaku pada Mas Amm, kami tidak punya masalah apa pun, dia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, lalu tiba-tiba mengucap kata keramat yang dibenci oleh Allah padaku.

"Karena aku muak Hanin! Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kau sudah membuat ibuku menangis! Kenapa kau mengulang kesalahan yang sama selama tiga tahun ini?" tanyanya menatapku dengan sorot penuh amarah. Ibu? Apa maksud dia ....

"Ada apa dengan ibu, Mas?" tanyaku seraya meraba dada yang kian sesak.

"Halah! Jangan pura-pura, Hanin! Kamu tau kan betapa ibu sangat berharga untukku? Dia satu-satunya orang tuaku yang masih hidup, tega kamu menyakitinya!" tuturnya lantang. Ya Rabbi fitnah apa yang sedang aku hadapi kini.

"Katakan apa yang sudah kulakukan sehingga ibumu menangis!" hardikku, kali ini aku tak bisa berlemah-lembut lagi, dia mempermainkan pernikahan kami untuk ketiga kalinya.

"Kamu mengatainya mertua jahanam? Padahal di bawah kakinyalah letak surgaku. Kamu mengatainya penggerus hartaku, padahal dengan air susunyalah aku hidup hingga sebesar ini. Kau mengatainya pemfitnah, padahal ia selalu memujimu di hadapan seluruh kerabat dan keluargaku," tuturnya dengan mata menyala, penuh amarah. 

"Wallahi aku tidak pernah mengatainya yang demikian, Mas!" belaku. Sekali pun talak telah terucap, kuharap namaku bersih di matanya.

"Jatuhlah talakku padamu sejak beberapa menit lalu, Hanindiya, selamat tinggal!" ucapnya tanpa menggubris sumpahku. Kutatap nanar punggungnya yang kian jauh, lalu menghilang di balik pintu.

Terduduk aku di lantai ubin rumah sederhana warisan orang tuaku. Aku sebatang kara sekarang, tanpa sanak saudara, dia benar-benar pergi. Untuk ke sekian kali dia membuatku jatuh lagi ke dasar jurang kesakitan.

Kusapu kasar sisa air mata di wajah ini, kemudian bangkit menuju kamar, kukemasi seluruh bajunya. Dia tidak bisa kembali ke sini lagi. Talak tiga telah dijatuhkan padaku, kini tak ada maaf atau rujuk seperti sebelumnya, dia sudah terlanjur melumat daging hatiku yang rapuh.

Aku melangkah keluar, kuhempaskan tas berisi pakaiannya di depan motor matic milikku, jerih payah dari menabung tiga tahun lalu, sebelum aku berhenti kerja, sebelum aku dibodohi oleh mereka—keluarga Mas Amm. Gegas kulajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan penuh, rasa sakit kulampiaskan dengan ugal-ugalan, tujuanku kini rumah mantan mertua.

———

Prangg!

Kubanting pintu pagar sekuat tenaga, hanya untuk melampiaskan amarah supaya tak perlu menangi dan terlihat lemah di depan para penghasut itu.

Aku berjalan dengan langkah lebar, entak ke mana perginya adab dan sopan-santun yang diajarkan almarhum ibu sejak aku belia dulu.

"Wah, wah, wah ... Anitaaa! Lihat siapa yang datang," Dia. Wanita paling kejam sedang berdiri bersedekap di depan pintu, menyambut kedatanganku dengan senyum mengembang, senyum licik penuh kemenangan. Dari arah belakang menyusul seorang gadis yang tak lain putri bungsunya—mantan adik iparku.

Kuhempaskan tas itu tepat di kaki mereka, kemudian tertawa getir seraya bertepuk tangan, mungkin aku sudah mirip orang gila sekarang. Kutatap mereka salut, salut dengan segala perjuangan ibu dan anak ini meruntuhkan mahligai rumah tanggaku untuk ketiga kalinya.

"Kalian hebat! Aku salut, terima kasih sudah kembali membuat putramu menceraikanku, kalian manusia berhati ibl*s yang senang memorak-porandakan pernikahan atas ikatan halal!" tuturku lantang, aku kalap. Tak dapat menahan semua kesakitan ini, ingin kutumpahkan dengan menghantam wajah tanpa dosa mereka yang tengah bersenang di atas deritaku.

"Tentu saja menantuku! Eh, ralat! Mantan menantu," sahut ibu Khadijah seraya tersenyum lebar. Nama yang indah bukan? Nama istri nabi yang paling setia, hingga rela mengorbankan segala harta, jiwa raganya untuk baginda memperjuangkan Islam.

Tapi sayang, Khadijah mantan mertuaku tak secuil pun meniru sifat Ummul Mukminin itu. Dia sangat kejam, rela melakukan apa saja demi memisahkan aku dan Mas Amm.

"Jaga mulut busukmu wanita jal*ng! Sekali lagi kau mengatai ibuku, akan kuhabisi kau!" teriak Anita, bungsu ibu yang selama ini kuliah dibiayai Mas Amm. Dia sama sekali tak menghargaiku, tidakkah dihatinya terbesit rasa terima kasih? Aku tak pernah melarang abangnya memberi uang sebanyak apa pun padanya pun pada ibu.

"Baiklah, aku hanya ingin tahu, apa alasan ibu hingga tega memisahkan kami untuk ke tiga kali? Ibu tahu 'kan setelah ini kami tidak bisa rujuk lagi seperti sebelumnya? Katakan, Bu! Aku ingin tau!" tanyaku bertubi-tubi. Wanita berpenampilan glamour itu mendekat, aku tantang tatapannya yang menusuk kedua netraku.

"Alasanku masih sama, Hanin! Masih sama sejak dulu. Kau bukan wanita yang pantas untuk Amm, kau miskin, kau ... mandul." Dia mengiris hatiku dengan kata-katanya yang tak terbukti benar.

"Aku ... mandul? Ibu sudah lihat hasil tes bahwa kami berdua sama-sama subur, kenapa Ibu tega, Bu?" Dia melengos dengan senyum sinis.

"Karna aku sudah punya calon yang pantas untuk Amm, pergilah jika kau tak mampu melihatnya bersama pilihanku, takutnya ... kau pingsan," ejeknya mencebikkan bibir, aku mengangguk getir seraya menengadah, menghalau air mata yang hendak tumpah. 

"Aku ucapkan terima kasih untuk semua rasa sakit dari kalian sekeluarga. Semoga karma segera menghampiri kalian semua!" ucapku lantang, kemudian berbalik menuruni undakan tangga teras rumah mantan suamiku.

Baru kupijakkan kaki pada tangga terakhir, mobil Bugatti yang masih mengkilap memasuki pekarangan rumah. Aku terpaku tatkala melihat siluet dua orang di dalam sana. Dia turun membukakan pintu untuk wanita barunya, aku melangkah pelan, masih terpana dengan perlakuan manisnya pada wanita itu.

Mereka bergandengan, melangkah saling melempar senyum, wanita modis dengan tubuh tinggi langsing, rambut hitam tergerai dengan tas mahal di jinjingan. Dia—mantan suamiku, berjalan acuh melewatiku, Kupalingkan wajah, melihat betapa hangatnya perlakuan ibu pada wanita itu.

Mereka berpelukan, saling melempar senyum tanpa memedulikanku yang tengah menatap mereka penuh kesakitan.

"Bagus nggak, Bu? Itu hadiah papa, Bugatti keluaran terbaru," tanya wanita itu dengan mata berbinar.

"Bagus dong, Sayang! Kamu memang menantu ibu yang paling baik," sahut ibu melirikku sinis, sedang Mas Amm menatapku datar, tanpa seraut rasa iba di wajah dinginnya.

Baiklah sudah cukup sekarang, aku tidak kuat lagi. Gegas kuberlalu pergi, mengendarai motorku membelah jalanan membiarkan udara sore menyapu habis bias-bias kesedihan. Kuhentikan laju motor di sebuah pembatas jalan, aku turun melihat ke bawah, derasnya air di sungai penuh bebatuan. 

Air mataku turun lagi tanpa bisa kucegah, siapa yang tahan dengan rasa sakit separah ini? Seberapa tegar pun manusia punya titik kelemahan, dan aku tengah melewatinya sekarang, kucengkeram kuat-kuat besi pembatas jalan dengan tatapan nanar ke bawah sana.

Biiiiiiiiip!

Aku tersentak kala mendengar klakson nyaring di belakangku, seorang pria dengan kemeja putih lengan panjang tergulung sebatas siku tergesa menghampiriku. 

"Hei Nona! Berhenti!" serunya, dia semakin mendekat kemudian menarik lenganku hingga menubruk dadanya. Refleks kudorong dadanya, satu tendangan mendarat sempurna pada tulang keringnya.

"Argh! Sakit, hey kamu! Ditolongin malah berbuat seenaknya, pakai nendang segala lagi, aww!" Dia meringis, rasakan! 

"Tolong apa? Dasar cabul!" hardikku, dia pasti pria mesum yang sedang mencari mangsa.

"Apa? Hei!"

Tak kuhiraukan lagi teriakannya, gegas aku menstater motorku, melaju pulang, istirahat sekarang akan membuatku lebih baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status