Share

Pangeran Bugatti Hitam

Hingga beberapa saat tak ada yang menghampiri. Aku sudah tidak tahan lagi, nyamuk dan rintik hujan yang mulai turun mendorong sisi otakku untuk menghadang siapa saja agar menolongku.

Sadar tak punya pilihan lain, aku melangkah maju. Dari mengacungkan jempol hingga mengibaskan lengan ke atas sudah kulakukan. Namun tak ada satu pun yang peduli, kesal aku melepas hak tinggi yang masih membungkus sebagian kaki.

Kemudian melangkah maju hampir ke tengah jalan, aku menunggu mobil yang sudah tampak sorot lampunya dari kejauhan. Saat hampir mendekat aku langsung berdiri menghalangi.

Aku menutup telinga saat suara ban beradu dengan aspal khas rem mendadak berdecit nyaring. Bodoh amat! Yang penting tidak tertabrak dan berhasil menghentikan pemilik mobil agar aku bisa minta bantuan dan pulang.

"Woi! cari mati, ya?" teriak orang itu, aku melepaskan kedua tangan dari telinga berjalan ke sisi kanan, tepatnya di bangku pengemudi, gementar aku memanggil pria yang berteriak tadi, wajahnya tampak garang.

"Pak, tolongin saya! Motor saya lagi ngadat, nggak mau menyala, saya nggak tau harus pulang naik apa," ucapku menghiba dengan kedua tangan menyatu, memohon agar pria itu sudi menolongku.

 "Nggak bi—"

"Suruh dia masuk, Pak Joko!" aku tersentak, suara itu ... bukankah itu suara si bos mesum? Aku berusaha mengintip mencari kebenaran praduga, tapi penerangan yang minim dari lampu jalan dan kaca mobil yang gelap membuatku tak bisa melihatnya.

"Ya sudah, masuk!" seru pria galak tadi. Aku mengangguk antusias, "Makasih, Pak! Bentar ya, saya ambil tas dan kunci motor dulu," ucapku. Setelahnya aku segera berlari dengan kaki telanjang ke arah motor, menepikan ke emperan sebuah kedai yang sepertinya sudah lama tutup.

Gegas kuraih high heels, menjinjingnya hingga ke mobil, aku hendak membuka pintu depan, tapi si sopir galak itu menyuruhku duduk di belakang, kuturuti saja, dari pada nggak bisa pulang. 

Kutarik knop pintu mobil, kemudian mengenyakkan tubuh di samping pria itu, "Jalan!" serunya pada sopir, lagi-lagi aku dibuat terpana dengan suaranya yang benar-benar mirip suara si bos, siluetnya pun sangat mirip. 

Ah, tidak mungkin! Ini pasti halusinasiku saja, gara-gara kepikiran dengan tingkah dan kata-katanya kemarin. Ya, itu benar. Aku harus berterima kasih dia sudah menolongku, jangan sampai diturunkan di tengah jalan, bisa apes lagi nanti. Aku berdeham, hanya ingin memecah kesunyian, siapa tahu orang itu sedang melamun dan tidak mendengar perkataanku nanti.

"Maaf, saya mau berterima kasih, Anda sudah menolong saya," ucapku seramah mungkin. Aku memicingkan mata, hanya untuk melihat siluet wajahnya dari samping ketika lampu jalan yang kami lewati menyuluh dalam mobil.

"Tentu saja, ini yang kedua kalinya,"

"Maaf?" 

"Aku sudah menolongmu dua kali," Semakin penasaran diriku dibuatnya, suara berat itu semakin familiar saja di telinga.

"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelum ini?" tanyaku hati-hati.

"Ya, kita pernah bertemu saat kau ingin bunuh diri, dan aku menyelamatkanmu," Alisku menaut kian dalam, apa orang ini salah alamat atau salah minum obat? Bunuh diri? Kapan aku bunuh diri? Aku terkekeh dengan rasa aneh.

"Maaf, mungkin Anda salah orang," ucapku memaksa tetap tersenyum dalam keremangan.

"Nyalakan lampunya, Pak Joko!" serunya pada sopir itu. Bagus, kenapa tidak dari tadi, aku penasaran dengan wajah orang salah alamat ini, masa dia bilang aku ingin bunuh diri, ish! Ada-ada saja.

 

Lampu sudah menyala, dengan gerak santai aku menoleh pada lelaki itu, begitu fokus netra tertuju sempurna padanya, pantatku refleks berpindah tempat, saking terperanjatnya aku sampai berdiri, walhasil kepala menubruk atap mobil.

"Aduh," ringisku. Pria itu ... Ya Tuhan, ternyata kecurigaanku sejak tadi benar, itu Pak Abimana—bos killer super mesum itu, bagaimana sekarang?

"Kau bisa merusak mobilku dengan jurus karatemu itu," Dia berucap santai, sedangkan aku sudah menciut karna syok terapi darinya satu menit lalu. Aku kembali duduk, kali ini menempel ke pintu mobil, dia melepas kaca matanya seraya menatapku datar.

"Kenapa? Kau terkejut? Iya Hanindiya Atmojo. Aku Abimana—atasanmu sekaligus orang yang sudah menolongmu dua kali," paparnya lagi, netraku membola dengan mulut yang kurasa sudah menganga.

"Bedanya kau tidak berterima kasih seperti malam ini, kau menghadiahkan tendangan di tulang keringku saat itu," 

Sempurna! Dia berhasil membuat aku menahan napas, dengan kepala tertunduk menatap dengkul. Bodoh, bodoh! Mimpi apa aku semalam hingga kesialan bertubi-tubi menghampiri hari ini.

"Ma—af, Pak ... ta—pi saya tidak pernah mencoba bunuh diri," cicitku gugup. 

"Seperti yang saya katakan sebelumnya. Maaf tidak akan menyelesaikan masalah, terlepas dari apa pun alasannya, kamu hutang budi dua kali, so harus patuh dan ikut semua keinginan saya," ucapnya tegas. Sedang aku sudah menciut di pojok mobil, mau membantah takut diturunkan di sini, mana jalanan sepi lagi. Sial! Terpaksa aku duduk diam tanpa bantahan sedikit pun.

"Di mana rumahmu?" tanyanya lagi.

"Lurus saja, Pak. Ujung sana belok kanan," terangku meliriknya dari sudut mata. 

———

Tiba di depan rumah, aku memberanikan diri menoleh pada pria itu, dia terlihat tenang setelah membuatku gugup setengah mati.

"Terima kasih tumpangannya, Pak! Saya permisi," ucapku seraya beranjak turun.

"Wait!" Aku berhenti kala mendengar panggilannya, kaca mobil yang sudah tertutup dia turunkan, aku merunduk demi melongok menanyakan ada apa. Baru hendak membuka mulut.

"Ambil sepatumu, saya bukan pangeran dalam kisah Cinderella, lagi pula tidak perlu meninggalkan jejak, kita akan bertemu besok dan ... seterusnya, di kantor," 

What the f*ck? 

Aku bangkit lantas menengadah, menghirup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Rasanya ingin kumakan saja lelaki kepedean macam dia, dengan geram aku tarik pintu mobil cepat, meraih sepatu dengan gerak kasar, kutatap dia dengan hati dongkol.

"Dasar ge-er!" Kubanting pintu mobilnya keras setelah membalas dia, rasanya sangat jengkel, tak kuhiraukan tatapan terkejut pria itu, mungkin heran dengan kelakuanku barusan, bodo amat! Yang penting aku sudah sampai rumah. 

Gegas aku melangkah masuk, meninggalkan Bugatti hitam mewah yang pemiliknya mungkin masih plonga-plongo di dalam sana. Rasain! Memangnya aku nggak bisa melawan, belum kenal saja dia siapa Hanin. Huh! Menyebalkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status