Malam merangkak semakin larut, aku bergegas tidur setelah menyelesaikan makan malam seorang diri. Jika sudah seperti ini, ajakan Dian sepertinya akan jadi opsi terbaik.Aku merebahkan bobot tubuh di ranjang, menarik selimut hingga batas leher. Baru sekejap memejamkan mata, ponsel di nakas bergetar mengusik lena yang sudah hinggapi pelupuk mataku."Halo?" sapaku seraya menguap dengan mata setengah terbuka. Aku tak melihat siapa yang menelepon, asal saja.[Besok datang lebih awal, jam tujuh kurang sepuluh menit harus stand by di ruangan saya, telat satu menit hukuman kamu saya tambah,] Aku tahu ini si mesum, malas sekali bicara dengan orang sombong sepertinya."Hmmm," jawabku tanpa bicara, selain kantuk yang semakin menyerang, rasa malas menanggapi pun ada.[Hmm apa? Kau mendengarku atau tidak?]"Hmmm,"[Dasar wanita aneh, awas kalau terlambat!]"Hmmm,"Gerutuannya samar-samar terdengar, entah apa lagi yang dibicarakannya setelah itu, aku sudah tidak tahu, ngantuk.***Kriiiiiiiiing!Su
Setelah kecanggungan yang mendera di peristiwa pantry, aku langsung ditunjuki ruangan oleh pria penuduh itu. Dia bilang aku asyik pacaran? Dengan Brian? Ya Tuhan ... sungguh membangongkan.Pak Abi bahkan tak membiarkan Brian mengantarku, dia langsung menyuruh pria itu kembali ke mejanya."Kamu tempati ruangan lantai atas, agar lebih cepat datang saat saya panggil," ucapnya dengan raut tegas."Baik, Pak!" sahutku kesusahan mengikuti langkahnya yang lebar. Hingga tiba di depan sebuah ruangan dia berhenti mendadak, walhasil aku hampir saja menabrak punggung tegap itu.Aku melangkah masuk menyusulnya, ruangan bernuansa krem menyapa penglihatan, dia menunjukkan meja kerja lengkap dengan kursi putar, dan semua kebutuhan yang diperlukan untukku bekerja."Oke, saya akan mengirim jadwal saya melalui email, tugas pertama kamu hari ini, atur sebaik mungkin jadwal rapat dan kepemimpinan!" serunya. Aku mengangguk paham."Baik, Pak! Akan saya kerjakan," sahutku."Bagus!" ucapnya, kemudian berbalik
Hari itu sepulang dari kantor, aku enggak sengaja melihat seorang gadis cantik yang tengah berdiri di pinggir pembatas jembatan. Dia menangis, menatap nanar ke bawah sana, Ya Tuhan, apa dia mau bunuh diri? Kasihan, mana masih muda.Gegas aku turun, menarik tangannya secepat kilat, takut kalau terlambat malah dia terjun duluan ke bawah sana. Wajahnya menubruk dadaku, really itu bukan sebuah kesengajaan, aku menariknya terlalu kencang hingga kami bertabrakan.Namun reaksinya diluar dugaan, dia berhenti menangis, raut wajahnya berganti marah, lalu ....Trak! Shit! Ouch damn girl! Dia malah menendang tulang keringku, aku meracau sembari menahan sakit, kujelaskan bahwa maksudku menolong dia, berharap dia paham, minimal minta maaf dan mengatakan terima kasih. Tapi dugaanku meleset lagi, dan sekarang dia mengataiku cabul dan melenggang pergi begitu saja. Come on, pria sebaik aku? Cabul? Ya Tuhan, siapa gadis itu, berani sekali dia mengabaikan dan berkata kasar pada seorang Abimana. Awas ka
Selama satu hari ini aku dibuat tak sabar oleh wanita itu, Hanindiya Atmojo, apa sebenarnya yang dia miliki hingga aku begitu tertantang untuk mengetahui lebih banyak tentangnya? Terlebih setelah pertemuan kami malam itu, saat motornya mogok dan menghadang mobilku di tengah jalan, keberaniannya serta sikap yang terlihat percaya diri bagai magnet yang membuat aku semakin tertarik dan penasaran.Aku menelepon Aldo—anak buahku untuk mengambil motor wanita ceroboh itu di jalan, dia bahkan tak takut motor itu akan dicuri, ya walau pun motornya seburuk itu. Lebih pantas dijual di penampung barang rongsokan.Aku menyukai ekspresi terkejutnya, raut wajahnya saat mendadak marah, itu semua bagaikan mood booster, layaknya candu yang memaksaku kembali menjahilinya. Oh Tuhan, apa aku terpikat janda sekarang? Come on Abi! Wanita itu hampir menguasai pikiranmu saat ini!Saking tak bisa tidur aku meneleponnya, mencari alasan agar kami bisa bertemu lebih cepat besok. Meski sedikit tidak puas dengan j
Saat pulang kerja, aku mendapati pagar rumah terbuka, padahal aku yakin sudah menutupnya pagi tadi, tapi siapa yang membukanya, rasanya tak mungkin jika hanya tertiup angin, ini adalah pagar besi, lalu siapa?"Hanin!" panggil Bu Rami, aku menoleh lantas menghampiri saat wanita paruh baya itu semakin dekat, kini kami berhadapan hanya pagar sebagai penyekat."Ya, Bu?" tanyaku."Tadi ada yang nyariin kamu," terangnya, aku mengernyit alis penasaran, menanyakan siapa yang mencariku. Bu Rami terlihat menggaruk kepalanya sebentar."Itu ... suami kamu sama perempuan cantik, mereka naik mobil mewah," terangnya, aku sedikit terkejut, untuk apa pria itu datang lagi? Belum puaskah dia meremuk hatiku?“Terus motor kamu juga ada yang ngantar, sepertinya orang bengkel dari seragamnya, mereka nitip kunci ke saya,” ucapnya lagi, aku menoleh pada motor yang sudah terparkir di teras."Bentar ya, saya ambil kunci motor kamu dulu," Bu Rumi berlalu ke dalam rumah. Tak lama wanita paruh baya itu keluar, ia
Tiba di ruangan bos, aku bergegas masuk, di sana dia sedang sibuk dengan laptopnya, pria itu hanya melirik aku sekilas."Maaf, Pak, itu jadwal yang sudah saya atur, Bapak bisa memeriksanya sekarang," ucapku. Dia menutup laptopnya kemudian beralih memeriksa map yang kubawa."Bagus, sekarang pergi ke pantry dan buatkan saya mie, persis seperti yang kamu makan semalam, cepat!" serunya, aku membelalak. Jadi dia masih dendam? Ah, ya! Aku lupa, mana mungkin Pak Abimana yang sangat arogan itu bisa melupakan kejadian semalam."Tapi kan sebentar lagi meeting, Pak. Nanti kalau mulut bapak belepotan dan ada minyak-minyaknya gimana tuh? Nggak apa-apa diliatin sama relasi kita nanti?" tanyaku menakutinya, demi apa pun hanya lima belas menit lagi meeting kami akan dimulai.Dia terlihat berpikir, lalu menatap tajam padaku, "Oke, tapi setelah meeting nanti kamu harus buatkan untuk saya, are you understand?" Kata-katanya penuh penekanan, aku menabik padanya."Aye-aye, Boss!" seruku, dia semakin menaja
[Saya tau, Hanindiya. Saya di mobil, tepat di depanmu, cepat masuk! Jangan harap saya mau jemput pakai payung, ini bukan drama Korea. Hurry up, i don't like waiting,]"Tapi bagaimana dengan motor saya, Pak?""Ck! Biarkan saja! Nanti dijemput orang suruhan saya," sahutnya kemudian memutus panggilan. Aku menatap mobil itu ragu-ragu. Naik tidak ya?Biiiiiip!Aku terperanjat mendengar klakson mobilnya, kemudian meraih tas dan menarik kunci motor. Aku payungi kepala dengan tas lalu berlari secepat yang aku bisa ke arah mobil mewah Pak Abi.Sama saja, blazerku terlanjur basah dengan rinai hujan. Gegas membuka pintu mobil lantas memasukinya, di sampingku Pak Abi menatap dengan tatapan yang tak bisa di artikan.Pria itu seperti sedang menghindar, netranya bergerak seperti orang gelisah, lalu aksinya sukses membuatku beringsut dengan tangan yang refleks menutupi bagian depan tubuh, dia ... melepas jasnya."Buka blazermu!" titahnya lagi-lagi membuatku tersentak kaget. Apa yang akan dilakukannya
Aku tak dapat menolak ajakan Pak Abi yang katanya mau mengenalkanku pada seseorang, dia bilang ini adalah bagian dari hukuman atas semua kesalahan baik sebelum dan sesudah aku bekerja di perusahaannya.Saat jam pulang tiba, dia memanggilku ke ruangannya. Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan pria yang paling menyebalkan seantero kantor."Kenapa Bapak melihat saya segitunya? Ada yang salah?" tanyaku sedikit risi dengan dia yang menatapku sejak tadi."No, sorry, saya ingin tanya satu hal," ucapnya menjeda ucapan, seperti tengah menunggu persetujuanku. "Sure, tanya apa?" "Kenapa gaya busanamu mendadak berubah?" tanyanya."Saya rasa itu urusan pribadi, Pak. Bapak tidak perlu tau," sahutku datar. Mana mungkin aku menjelaskan asal mula aku memakai baju tertutup padanya. Walaupun pada akhirnya aku memutuskan itu karena ingin berubah jadi lebih baik, tapi tetap saja."Hmm, oke. Tapi, kamu ikut saya setelah ini," ucapnya."Iya, Pak. Saya sudah setuju sejak siang, tidak usah diulang-ula