Terhitung sudah satu minggu Mas abi mendiamkanku, sementara itu aku tetap bekerja seperti biasanya dengan posisi baru yang diberikan oleh eyang.Hari ini aku berangkat seperti biasa, suamiku tidak masuk, menurut informasi yang kudengar dia ada rapat di luar kantor bersama dengan rekanan bisnisnya yang juga akan ditarik ke kantor kami untuk investasi besar-besaran, dalam sebuah project baru yang digadang-gadang akan menjadi proyek terbesar selama perjalanan bisnis Wira Bangsa Group.Namun anehnya aku tidak dilibatkan di dalam rapat itu, tapi aku juga tidak melihat kehadiran Kiara hari ini, berbagai sangka buruk pun mulai merasuk, apa mereka pergi bersama dan sengaja tidak mengajakku?Karena hati tak tenang aku kemudian menghubungi eyang, dengan lugas aku menceritakan semuanya tentang project tersebut tanpa melewatkan satupun, "Aku tidak diberitahu apa-apa, Eyang, dan aku juga tidak melihat Kiara di sini," aduku.Aku mengangguk mendengar perkataan eyang di seberang sana, pemikiran kami
"Aku Ammarullah dengan sadar dan tanpa paksaan menjatuhkan talak padamu Hanindiya binti Atmojo," Suara itu terdengar lagi, ini yang ke tiga kali. Aku terpaku di tempat, menatap nanar padanya."Kenapa lagi kali ini, Mas?" tanyaku pada Mas Amm, kami tidak punya masalah apa pun, dia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, lalu tiba-tiba mengucap kata keramat yang dibenci oleh Allah padaku."Karena aku muak Hanin! Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kau sudah membuat ibuku menangis! Kenapa kau mengulang kesalahan yang sama selama tiga tahun ini?" tanyanya menatapku dengan sorot penuh amarah. Ibu? Apa maksud dia ...."Ada apa dengan ibu, Mas?" tanyaku seraya meraba dada yang kian sesak."Halah! Jangan pura-pura, Hanin! Kamu tau kan betapa ibu sangat berharga untukku? Dia satu-satunya orang tuaku yang masih hidup, tega kamu menyakitinya!" tuturnya lantang. Ya Rabbi fitnah apa yang sedang aku hadapi kini."Katakan apa yang sudah kulakukan sehingga ibumu menangis!" hardikku, kali ini aku
Tiba di rumah, aku langsung merebahkan badan di ranjang. Dan sialnya aroma tubuh lelaki bangs*t itu masih tertinggal di sini, aku bangkit, melepas kasar seprei dan sarung bantal melemparnya ke keranjang baju kotor.Aku bisa gil* jika terus-terusan begini, tidur pun tidak akan tenang jika rumah ini masih kutinggali. Semua sudut rumah yang menjadi saksi tiga kali diceraikan seolah menertawakanku.Kucengkram kepala kuat-kuat, berharap denyut kesakitan di sana sedikit berkurang, sampai kapan aku begini, Allah ... kuraih gunting di nakas, lantas berdiri di depan cermin hias.Aku tatap pantulan diri di sana, menyentuh wajah yang masih cantik, "Lelaki bukan dia saja, Hanin! Allah sudah mempersiapkan yang lebih baik untukmu," sisi warasku seakan menjerit."Ya benar, lelaki bukan dia saja," ucapku dalam hati. Rambut yang tergerai hingga batas pinggang kusisir kasar, dulu dia sangat menyukai rambut ini, dia tergila-gila padaku.Aku membawa gunting memdekati surai hitam yang tergerai, memotongny
"Masuk!" Terdengar seruan itu dari dalam, aku menormalkan debaran jantung yang mendadak lebih cepat, 'calm down, Hanin! You can!" batinku menyugesti diri, kutarik napas dalam lantas mengembuskan pelan, menekan hendel pintu itu pelan lalu melangkah masuk.Ruangan bernuansa krem—putih gading menyapa indra penglihatanku, dua sofa memanjang warna dark blue terletak rapi membentuk sudut sembilan puluh derajat, dengan sebuah meja persegi di depannya.Dinding ruangan terdapat beberapa ornamen berupa lukisan abstrak menggantung keren. Di tengah ruangan sebuah meja berdiri kokoh, di atasnya terdapat papan bentuk persegi panjang bertuliskan 'Abizar Permana—Direktur Utama' jantungku terasa makin berdebar saja melihat betapa angkuh atasanku.Dia duduk membelakangiku di kursi kebesarannya, menatap gedung-gedung menjulang di luar sana dari sekat kaca di hadapannya. Aku mengayunkan langkah pasti, meredam rasa gugup, mengumpulkan keberanian berdiri tegak di depan meja itu."Anda memanggil saya, Pak?
Selamat membaca!*****Aku berangkat ke tempat tinggal Dian sore harinya, sengaja tidak menghampiri di kantor tadi sebab tak ingin mengganggu pekerjaannya. Dian tinggal di sebuah kontrakan yang lumayan, gadis itu masih melajang dan hanya tinggal seorang diri di kota ini.Ayah dan ibu Dian sudah berumur senja, mereka tinggal jauh di Surabaya, menunggu kiriman anak sulungnya setiap bulan untuk menunjang hidup. Sedang adik Dian masih menempuh jenjang pendidikan salah satu SMA swasta di Bandung.Akhirnya setelah berkendara selama dua puluh lima menit aku tiba di depan rumah kontrakan yang dulu sering jadi basecamp bersama girls squad satu kantor. Aku mengedarkan pandangan, lama sekali sudah tidak kemari, sejak aku dituduh berselingkuh dua tahun lalu, Mas Amm membatasi pertemananku, dia bahkan mengatur boleh—tidaknya aku berteman dengan mereka.Aku melangkah pasti saat melihat motor Dian sudah terparkir di sana, itu artinya gadis itu sudah pulang."Assalamu'alaikum ... Dian!" panggilku ser
Hingga beberapa saat tak ada yang menghampiri. Aku sudah tidak tahan lagi, nyamuk dan rintik hujan yang mulai turun mendorong sisi otakku untuk menghadang siapa saja agar menolongku.Sadar tak punya pilihan lain, aku melangkah maju. Dari mengacungkan jempol hingga mengibaskan lengan ke atas sudah kulakukan. Namun tak ada satu pun yang peduli, kesal aku melepas hak tinggi yang masih membungkus sebagian kaki.Kemudian melangkah maju hampir ke tengah jalan, aku menunggu mobil yang sudah tampak sorot lampunya dari kejauhan. Saat hampir mendekat aku langsung berdiri menghalangi.Aku menutup telinga saat suara ban beradu dengan aspal khas rem mendadak berdecit nyaring. Bodoh amat! Yang penting tidak tertabrak dan berhasil menghentikan pemilik mobil agar aku bisa minta bantuan dan pulang."Woi! cari mati, ya?" teriak orang itu, aku melepaskan kedua tangan dari telinga berjalan ke sisi kanan, tepatnya di bangku pengemudi, gementar aku memanggil pria yang berteriak tadi, wajahnya tampak garang
Malam merangkak semakin larut, aku bergegas tidur setelah menyelesaikan makan malam seorang diri. Jika sudah seperti ini, ajakan Dian sepertinya akan jadi opsi terbaik.Aku merebahkan bobot tubuh di ranjang, menarik selimut hingga batas leher. Baru sekejap memejamkan mata, ponsel di nakas bergetar mengusik lena yang sudah hinggapi pelupuk mataku."Halo?" sapaku seraya menguap dengan mata setengah terbuka. Aku tak melihat siapa yang menelepon, asal saja.[Besok datang lebih awal, jam tujuh kurang sepuluh menit harus stand by di ruangan saya, telat satu menit hukuman kamu saya tambah,] Aku tahu ini si mesum, malas sekali bicara dengan orang sombong sepertinya."Hmmm," jawabku tanpa bicara, selain kantuk yang semakin menyerang, rasa malas menanggapi pun ada.[Hmm apa? Kau mendengarku atau tidak?]"Hmmm,"[Dasar wanita aneh, awas kalau terlambat!]"Hmmm,"Gerutuannya samar-samar terdengar, entah apa lagi yang dibicarakannya setelah itu, aku sudah tidak tahu, ngantuk.***Kriiiiiiiiing!Su
Setelah kecanggungan yang mendera di peristiwa pantry, aku langsung ditunjuki ruangan oleh pria penuduh itu. Dia bilang aku asyik pacaran? Dengan Brian? Ya Tuhan ... sungguh membangongkan.Pak Abi bahkan tak membiarkan Brian mengantarku, dia langsung menyuruh pria itu kembali ke mejanya."Kamu tempati ruangan lantai atas, agar lebih cepat datang saat saya panggil," ucapnya dengan raut tegas."Baik, Pak!" sahutku kesusahan mengikuti langkahnya yang lebar. Hingga tiba di depan sebuah ruangan dia berhenti mendadak, walhasil aku hampir saja menabrak punggung tegap itu.Aku melangkah masuk menyusulnya, ruangan bernuansa krem menyapa penglihatan, dia menunjukkan meja kerja lengkap dengan kursi putar, dan semua kebutuhan yang diperlukan untukku bekerja."Oke, saya akan mengirim jadwal saya melalui email, tugas pertama kamu hari ini, atur sebaik mungkin jadwal rapat dan kepemimpinan!" serunya. Aku mengangguk paham."Baik, Pak! Akan saya kerjakan," sahutku."Bagus!" ucapnya, kemudian berbalik