Share

Bos M3sum Plus Killer

"Masuk!" 

Terdengar seruan itu dari dalam, aku menormalkan debaran jantung yang mendadak lebih cepat, 'calm down, Hanin! You can!" batinku menyugesti diri, kutarik napas dalam lantas mengembuskan pelan, menekan hendel pintu itu pelan lalu melangkah masuk.

Ruangan bernuansa krem—putih gading menyapa indra penglihatanku, dua sofa memanjang warna dark blue terletak rapi membentuk sudut sembilan puluh derajat, dengan sebuah meja persegi di depannya.

Dinding ruangan terdapat beberapa ornamen berupa lukisan abstrak menggantung keren. Di tengah ruangan sebuah meja berdiri kokoh, di atasnya terdapat papan bentuk persegi panjang bertuliskan 'Abizar Permana—Direktur Utama' jantungku terasa makin berdebar saja melihat betapa angkuh atasanku.

Dia duduk membelakangiku di kursi kebesarannya, menatap gedung-gedung menjulang di luar sana dari sekat kaca di hadapannya. Aku mengayunkan langkah pasti, meredam rasa gugup, mengumpulkan keberanian berdiri tegak di depan meja itu.

"Anda memanggil saya, Pak?" tanyaku dengan suara dibuat selugas mungkin. 

"Ya! Siapa namamu?" tanyanya tanpa menoleh, aku mengernyit bingung, bukankah profilku sudah dilihatnya sebelum ini, dan suara itu, sepertinya aku pernah mendengarnya, tapi ... di mana ya?

"Pendengaranmu tidak bermasalah 'kan? Saya tidak menerima sekretaris tuna rungu," Kedua netraku melebar sempurna. Oh, Tuhan, sepertinya keberuntunganku tidak sempurna kali ini.

"Maaf, tidak, Pak! Pendengaran saya berfungsi normal. Nama saya Hanindiya Atmojo," sahutku cepat, dasar bos killer! Lihat saja akan kubuat dia mengakui kinerjaku nanti.

"Alright, sekarang katakan apa tujuanmu bekerja?" tanyanya lagi, aku menghela napas besar, memang untuk apa lagi selain cari uang, dia benar-benar menguji kesabaranku.

"Tujuan saya ingin ikut andil memajukan perusahaan dengan menyumbangkan tenaga, Pak," Aku menjawab demikian agar pria itu sedikit merasa kagum, atau minimal speechless lah, tetapi reaksinya benar-benar diluar dugaan.

"Jadi kamu kerja cuma-cuma? Nggak perlu digaji, begitu?" Demi apa pun ini sangat menyebalkan, jika tidak mengingat aku butuh pekerjaan ini, ogah melayani si bos tengil macam dia.

"Maksud saya, selain mendapat penghasilan tentunya, Pak!" sahutku setengah menggeram, dia tertawa. Wtf! Apa dia memperlakukan semua pekerjanya begini, seperti ... lelucon?

"Oke, jawab satu pertanyaan saya yang terakhir maka kamu boleh bekerja mulai besok," Apa lagi kali ini.

"Baik, Pak!" 

"Selain jago karate dan menuduh orang lain dengan sebutan mesum kamu punya skill apa lagi?" Seluruh tubuh terasa meremang mendengar ucapannya, bahkan sekarang aku bisa mendengar jelas detak jantung yang semakin bertalu, sepintas bayangan kejadian beberapa hari lalu terlintas di pelupuk mata.

Pupil mataku semakin melebar saat kursi itu berputar cepat menghadapku, rekam memori otak dan penglihatanku semakin memperjelas praduga menit sebelumnya. Ya Tuhan beri aku kekuatan teleportasi atau keahlian menghapus ingatan. Kenapa dunia sesempit ini, itu pria yang kutendang tulang keringnya dua hari lalu, dia terlihat santai menyatukan dua tangan di meja, menatap intens padaku yang masih terperangah menatapnya.

"Wah! Hebat! Ternyata kau punya skill melotot dan mangap yang patut diacungi jempol," ucapnya seraya bertepuk tangan. Aku gelagapan, mengalihkan pandangan pada lukisan di samping kanan, ke mana saja asal tidak menatap wajahnya.

Ya Tuhan bagaimana sekarang, aku menggigit bagian dalam bibirku hanya agar rahang berhenti gementar. Bukan tanpa sebab, bagaimana kalau dia tidak menerimaku, atau membalas kelakuanku tempo hari, kemungkinan terburuk, aku digiring dan dipermalukan di depan karyawan lain. Oh Tuhan, jangan sampai.

"Hei! Kau tidak mau minta maaf padaku? Kulitku masih memar akibat tendanganmu kemarin," ucapnya, aku menutup mulut yang terbuka sempurna. Namun, demi tatapan tajam yang dilayangkan pria itu aku menormalkan ekspresi, menggantinya dengan rasa bersalah, jika ingin mendapatkan jabatan itu aku harus jadi pelakon yang baik.

"Saya minta maaf, Pak," ucapku dengan suara pelan.

"No, Hanindiya Atmojo! Maaf tidak bisa membuatmu jera, kau akan mendapat hukuman atas perlakuanmu kemarin," tuturnya membuatku tersentak kaget.

"Kau harus memenuhi permintaan saya,"

"Tapi permintaan apa, Pak?" tanyaku bingung.

"Apa pun. Tanpa kecuali," ucapnya penuh penekanan, netraku melebar. Kali ini pikiran buruk menyergapi, bagaimana kalau dia benar-benar mesum, lalu meminta yang bukan-bukan padaku.

"Tenang saja, aku tidak akan mengajakmu ke ranjang," ucapnya. Lagi, aku tersentak, netraku memicing, jangan-jangan dia memiliki ilmu membaca pikiran orang lain, buktinya dia bisa menebak jalan pikiranku. 

"Bagaimana?" tanyanya menyentakku dari lamunan. Aku mengangguk ragu, dapat kulihat dia tersenyum lebar penuh kemenangan seraya mengibaskan tangannya ke udara.

"Out!" 

Heh? Oh my Allah ... lelaki itu benar-benar—

"I said get out Hanindiya Atmojo! come back tomorrow and start your work!" Dia mengulang kata-katanya lagi, aku mengangguk seraya berbalik hendak ke luar dari tempat yang lebih mirip ruangan interogasi tersebut.

"Wait!" Apa lagi, sih! Aku berbalik.

 "Yes, Sir," sahutku mengukir senyum. Dia memindaiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Besok gunakan pakaian yang tidak terlalu ketat, agar semua yang menatap cara berjalanmu tidak kau anggap mesum," Oh, damn! Bagaimana bisa pemimpin perusahaan besar begini adalah pria bad atitude seperti dia.

"Baik, Pak!" ucapku semanis mungkin lantas berbalik menarik hendel pintu dan benar-benar keluar dari kandang singa itu. Aku melangkah ke arah lift, memasukinya hendak turun ke bawah.

Netraku menatap pantulan diri, mencari kebenaran dari ucapan bos mesum itu barusan. Aku memutar, berdiri menyamping, melihat bagian belakang yang masih wajar, walau pun terlihat sedikit menonjol pada bagian pant*t, memang mau di kemanakan bokongku jika tak boleh tampak bentuknya sedikit pun. 

"Haahhh ... Dasar! sudah jadi bos killer, mesum pula!" geramku masih melihat-lihat di mana letak ketat pada pakaianku ini.

Aku berhenti saat getar ponsel terasa di dalam tas, gegas kurogoh tas kulit warna moka terfav selama kerja, tak butuh waktu lama benda pipih itu sudah ada di tanganku, aku tak perlu mengobrak-abrik terlalu lama, karena tak banyak barang yang kubawa, hanya lipstick, bedak padat dan botol parfum untuk jaga-jaga jika wajah dan aroma tubuh perlu di touch up.

Tertera sebaris nomor asing di layar ponselku, gegas kuangkat saja, siapa tahu itu panggilan penting, baru menempelkan di telinga, suara yang beberapa menit lalu memenuhi runguku dengan ocehan menyebalkannya kembali terdengar, kali ini lebih parah.

"Jangan latihan dansa di lift perusahaan, kami menyediakannya hanya untuk sarana naik-turun saja," Setelah berkata demikian, dia segera mematikan sambungan panggilan kami.

Refleks aku menengadah kemudian melihat sebuah cctv tergantung di sudut lift, kutepuk jidatku. Bodoh, bodoh, bodoh! Kenapa aku bisa lupa kalau ada cctv. Ya Allah, malunya, aku menutup wajah, dia pasti sedang menikmati ekspresiku di ruangannya.

Tapi tunggu—dari mana dia mendapat nomorku? 

Wait!

 Of course dari Map berisi profilku. Sepertinya otakku jadi lemot dua tahun tidak bekerja. Huffff! Hari yang si*l.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status