Share

Bangkit

Tiba di rumah, aku langsung merebahkan badan di ranjang. Dan sialnya aroma tubuh lelaki bangs*t itu masih tertinggal di sini, aku bangkit, melepas kasar seprei dan sarung bantal melemparnya ke keranjang baju kotor.

Aku bisa gil* jika terus-terusan begini, tidur pun tidak akan tenang jika rumah ini masih kutinggali. Semua sudut rumah yang menjadi saksi tiga kali diceraikan seolah menertawakanku.

Kucengkram kepala kuat-kuat, berharap denyut kesakitan di sana sedikit berkurang, sampai kapan aku begini, Allah ... kuraih gunting di nakas, lantas berdiri di depan cermin hias.

Aku tatap pantulan diri di sana, menyentuh wajah yang masih cantik, "Lelaki bukan dia saja, Hanin! Allah sudah mempersiapkan yang lebih baik untukmu," sisi warasku seakan menjerit.

"Ya benar, lelaki bukan dia saja," ucapku dalam hati. Rambut yang tergerai hingga batas pinggang kusisir kasar, dulu dia sangat menyukai rambut ini, dia tergila-gila padaku.

Aku membawa gunting memdekati surai hitam yang tergerai, memotongnya hingga tinggal sepunggung, begini membuat hati lebih lega, aku tidak perlu mengingatnya lagi. Setelahnya aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri lantas melaksanakan kewajiban Ashar empat rakaat.

Aku berdoa, memohon agar Allah segera mengambil segala ingatan tentang Mas Amm, serta segala rasa sakit yang dia torehkan lalu mengganti semua dengan kebahagiaan dan ketenangan, kemudian mengusapkan telapak tangan ke wajah.

Aku beranjak duduk di bibir ranjang, lalu meraih ponsel di nakas, menggulir layar benda canggih itu ke bawah, mengirimi pesan pada semua sahabat dan kenalanku semasa bekerja dulu, agar mereka membantu mencari tempat untukku mengais pundi-pundi rupiah.

Sekarang aku tidak lagi dalam tanggungan Mas Amm, artinya untuk bertahan hidup aku harus tetap waras, mencari pekerjaan dan menata hidup kembali. Untuk apa membiarkan diri terpuruk dan berlarut dalam kepedihan, sedang dia tengah mengecap kebahagiaan dengan cinta baru di sana.

Keluarganya pun kini pasti senang. Terutama ibu, dari dulu dia memang tak pernah menyukaiku. Namun demi memperjuangkan cinta sial*n yang dijanjikan putra b*jingannya aku rela menerima semua cacian, fitnah dan kata pedas darinya.

———

Talak pertamaku jatuh di tiga bulan pernikahan kami, dan penyebabnya adalah ibu, dia memfitnahku berselingkuh dengan teman kantor tempat bekerja. Tiga hari usai talak terucap, dia kembali. Dia meluluhkan hati, dia minta aku melepaskan karier demi cinta, aku turuti karena memang cinta itu masih ada.

Talak kedua jatuh pada tahun ke dua pernikahan, penyebabnya adalah adiknya—Anita, saat itu Mas Amm sedang di luar kota. Setiap bulan uang SPP Anita memang kami yang membayarnya, dia datang meminta padaku, tanpa sepatah kata terucap aku memberikan sesuai yang dia minta.

Namun yang sampai ke telinga Mas Amm bukan demikian, difitnah lagi aku sudah mengatainya dan ibu penggerus kekayaan Mas Amm, pria itu marah besar saat pulang, dan dia kembali menjatuhkan talaknya, belum seminggu dia datang lagi, mengatakan penyesalan, dia mengetahui kebenaran pada akhirnya.

Aku terima lagi karena memang masih mencintainya, aku masih bisa memaafkan, kuanggap itu kesilapan karena hasutan keluarganya. Namun kali ini, dia sudah melewati batas, dia menyakiti hatiku begitu dalam dengan kehadiran perempuan lain, aku tidak akan pernah bisa menerima pun memaafkan.

***

Hari berganti, malam itu Dian membalas pesanku. Aku sangat bersyukur dia menginfokan lowongan kerja di kantornya, dulu kami teman satu kantor saat masih bekerja. Kini dia sudah tak bekerja lagi di sana, wanita cantik itu menemukan naungan baru, Wira Bangsa Group, sebuah perusahaan konstruksi yang cukup besar seindonesia.

Dian mengatakan bosnya sedang membuka lowongan menjadi sekretaris bos yang gajinya lumayan besar, cukup untuk menunjang hidup. Kukirimkan surat lamaran malam itu juga, dan pagi ini aku dipanggil untuk wawancara. Oh, Allah ... aku merasa sangat beruntung. 

Aku membongkar lemari dengan semangat, mencari baju seragam kerja milikku dulu, "Bismillah, semoga masih muat," Gegas kukenakan dalaman blus dengan rumbai di bagian dada hingga kerah yang menutup leher, rok span di bawah lutut warna hitam dan blazer warna senada. Aku merasa kembali jadi diriku seutuhnya setelah dikekang dan dibatasi ruang gerak selama setahun oleh Mas Amm.

Kupoles wajah dengan riasan natural, lipstik warna peach agar penampilan lebih segar, rambut sepunggung dibiarkan tergerai. Kuraih tas tangan, map berisi pengalaman kerja dan sepatu hak tinggi yang sudah berdebu saking lamanya tak terpakai.

Kuayunkan langkah ke ruang tamu, mengeluarkan motor maticku, bergegas melaju pergi setelah memastikan semua pintu terkunci. Aku menaikkan kaca helm, merasakan embusan udara pagi yang segar, hari ini aku akan menjelang suasana baru, orang-orang baru dan semua kebiasaan dulu, bangun pagi berangkat kerja, pulang malam langsung istirahat.

Dengan begitu, aku tak punya waktu memikirkan sampah-sampah itu dan segala pengihanatannya, akan kubuktikan, Hanin bisa bangkit tanpa sokongan seorang Ammarullah, nama yang indah namun tak seindah kelakuannya. Astagfirullah, dosaku akan selalu bertambah jika mengingat mereka, semoga aku diterima kerja dan bisa memulai semuanya dari awal lagi.

Akhirnya setelah berkendara selama lima belas menit aku tiba di kantor sesuai alamat yang Dian beri semalam, aku melangkah masuk dengan sejuta harapan, semoga Allah menakdirkan nasib baik kali ini, semoga saja.

———

Kulangkahkan kaki ke ruang HRD saat nama disebut, rasanya sangat mendebarkan, padahal aku sudah melalui ini sebelumnya. Rasanya seperti dejavu saat duduk di bangku ini, aku seperti kembali ke saat-saat sebelum menikah, menjalani hari untuk mengejar karier setinggi-tingginya.

Aku jabat tangan wanita matang nan berwibawa di hadapanku, dia terlihat ramah, membolak-balikkan lembar berisi pengalaman kerjaku. Dia manggut-manggut lantas menyerahkan map yang kubawa pada seorang pekerja. 

Selanjutnya aku ditanyakan beberapa pertanyaan khas interviu. Tepat saat aku menjawab tanya terakhir interkom di sampingnya berdering, gegas diangkatnya, sejenak tatapannya memindaiku.

"Baik, Pak! Baik!" ucapnya sebelum sambungan itu ditutup, dia tersenyum lebar, mengulurkan tangannya padaku. Meskipun sedikit bingung tak urung kujabat tangan wanita itu.

"Selamat, Anda diterima!" serunya, netraku melebar, antara senang dan terkejut bersamaan, aku diterima hari ini juga, tanpa interviu kedua dan waktu tunggu yang biasanya hingga dua minggu. Aku memekik girang dalam hati, tak lupa mengucap hamdalah.

"Terima kasih banyak, Bu!" sahutku antusias, netraku mungkin sudah berbinar-binar sekarang saking senangnya, wanita itu mengangguk.

"Sama-sama, selamat bergabung!" ucapnya lagi. Aku permisi hendak pulang, wanita itu mengangguk ramah. Dering interkom kembali terdengar, gegas diangkatnya, dia mengisyaratkan agar aku tak beranjak.

"Anda disuruh menemui bos di ruang kerjanya," ucap wanita itu lagi, aku mengangguk paham, seorang lelaki bertubuh jangkung menghampiri, wanita yang kutahu bernama Ariana itu menyuruhnya mengantarku.

Kami berjalan beriringan, pria itu menutup pintu ruangan interviu, dia mengulurkan tangan seraya tersenyum ramah.

"Aku Brian Wiraguna, panggil Brian saja," ucapnya memperkenalkan diri, aku ikut tersenyum, membalas jabatan tangan kekar pria berkulit sawo matang itu.

"Aku Hanin," sahutku. Kami berbincang ringan sepanjang perjalanan melalui lift, Brian pria yang sangat supel dan asyik untuk jadi teman kerja.

"Oke, Hanin. Saya hanya bisa mengantar sampai sini. Be carefull! Bos kita orang yang tegas, tidak suka bertele-tele and last, dia nggak suka pekerja yang plin-plan. So, jawab apa pun pertanyaan beliau dengan lugas dan tegas, jangan gagap, oke!" serunya, aku mengangguk paham.

"Thanks, Brian!" ucapku, dia mengangguk seraya mengarahkan tangannya ke pintu, kemudian berlalu. Dengan gugup aku mengetuk pintu bertuliskan 'Direktur' tersebut. Oh, Allah ... tanganku sampai gementar.

"Masuk!" Terdengar seruan itu dari dalam, aku menormalkan debaran jantung yang mendadak lebih cepat, 'calm down, Hanin! You can!' batinku menyugesti diri, kutarik napas dalam lantas mengembuskan pelan, menekan hendel pintu itu pelan lalu ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status