Share

Motor Ngadat

Selamat membaca!

*****

Aku berangkat ke tempat tinggal Dian sore harinya, sengaja tidak menghampiri di kantor tadi sebab tak ingin mengganggu pekerjaannya. Dian tinggal di sebuah kontrakan yang lumayan, gadis itu masih melajang dan hanya tinggal seorang diri di kota ini.

Ayah dan ibu Dian sudah berumur senja, mereka tinggal jauh di Surabaya, menunggu kiriman anak sulungnya setiap bulan untuk menunjang hidup. Sedang adik Dian masih menempuh jenjang pendidikan salah satu SMA swasta di Bandung.

Akhirnya setelah berkendara selama dua puluh lima menit aku tiba di depan rumah kontrakan yang dulu sering jadi basecamp bersama girls squad satu kantor. Aku mengedarkan pandangan, lama sekali sudah tidak kemari, sejak aku dituduh berselingkuh dua tahun lalu, Mas Amm membatasi pertemananku, dia bahkan mengatur boleh—tidaknya aku berteman dengan mereka.

Aku melangkah pasti saat melihat motor Dian sudah terparkir di sana, itu artinya gadis itu sudah pulang.

"Assalamu'alaikum ... Dian!" panggilku seraya mengetuk pintu beberapa kali, hingga Dian yang berbalut gamis dan hijab instan membukakan pintu, kami saling bertatapan, detik selanjutnya wanita itu memekik girang, beberapa tetangga sampai menoleh ke arah kami.

"Haniiiin! Aku kangen banget!" serunya, kami berpelukan melepas rindu.

"Aku juga, Di! kamu apa kabar?" tanyaku dengan netra berkaca-kaca, merasa terharu. Dian masih sesayang itu sama aku, dia nggak berubah, masih seperti dulu. Pembawaan yang asik, humble dan aku merindukan nasehatnya yang seolah meleburkan masalah yang ada seketika.

"Aku baik! Yuk masuk dulu, sampai lupa saking senangnya ketemu kamu setelah dua tahun," ajak wanita berhijab itu, aku mengikuti langkahnya kemudian mendudukkan bobot tubuh di sofa ruang tamu 3×4 ini, Dian permisi ke belakang membuatkan minum.

Pandanganku menyapu seluruh sudut rumah, dinding warna biru muda itu masih sama, warna kesukaan Dian, di sana foto kami dan teman-teman yang lain masih terpajang rapi, kedua sudut bibirku tertarik ke samping kala mengingat indahnya kebersamaan kami dulu.

"Btw lo apa kabar?" tanyanya seraya mendekat, dia meletakkan dua gelas jus jeruk lengkap dengan bongkahan es batu di dalamnya, kemudian duduk menyilangkan kaki di sampingku.

"Buruk," sahutku, dia memang belum tahu apa pun masalahku, karna belum sempat kuceritakan saat obrolan singkat kami tempo hari. Alis tebalnya menaut bingung.

"Kamu kenapa? Oh ya! Ammar mana?" tanyanya, aku menggeleng dengan senyum getir. Sekuat apa pun menyangkal rasa sakit itu masih menghujam, ini baru beberapa hari, itu manusiawi 'kan?

"Kamu kenapa sih, Han? Cerita dong! Kalian bertengkar?" tanya wanita itu lagi, dia tampak menatap prihatin padaku, mungkin mendapati raut wajahku yang kini sudah tak berseri seperti tadi.

"Aku udah nggak sama dia lagi, Di. Kita udah bubar," terangku memaksakan sebuah tawa, menyedihkan. Dian terperangah, sepertinya masih tak percaya.

"Lagi?" tanyanya, aku mengangguk malu, perceraianku sebanyak dua kali sudah jadi rahasia umum di kalangan teman dekat sekantor, entah siapa yang menyebar gosip waktu itu, yang pasti Hanindiya tersohor sebagai janda dua kali cerai sebelum rujuk sekaligus resign dari kantor.

"Kali ini aku nggak bisa memaafkan lagi, Di. Ini yang ketiga kalinya, dan kesalahan dia fatal menghina harga diri aku dengan menunjukkan kekasih barunya," Dan mengalirlah cerita tentang kronologi kejadian saat itu.

Dian sampai berkaca-berkaca, aku tau dia iba melihat sahabatnya tersakiti, dulu dia selalu memberi nasehat agar aku relakan saja Mas Amm, tidak usah menuruti keinginan rujuk pria itu. Namun aku tak mendengarkan dan malah jatuh ke lubang yang sama berkali-kali.

"Ya Allah ... teganya dia ngelakuin itu sama kamu, Han. Sabar ya! Biarkan semua berlalu, tata kembali hidup kamu, aku yakin Allah sudah mempersiapkan hikmah dibalik kejadian ini," Kami berpelukan, dielusnya punggungku menguatkan. Seperti biasa Dian selalu menyemangatiku dengan kata-kata magisnya yang menenangkan kekalutan jiwa.

"Minum dulu ya? Aku yang cerai kok kamu yang nangis, sih?" selorohku, dia terbahak. Kami menyeruput jus warna oranye itu bersamaan, sensasi dinginnya langsung terasa membasahi tenggorokanku.

"Btw, gue diterima kerja, mulai besok udah bisa mulai," Dian tampak semringah, dia memekik keras.

"Aaaaaa! Nah kan, udah ada hikmahnya! Artinya kita bisa bareng-bareng kerja seperti dulu, ya 'kan?" Aku mengangguk tak kalah antusias darinya. Dian benar, akan sangat menyenangkan bisa sama-sama dia lagi. Namun tetap saja, jika disuruh memilih, andainya Mas Amm lelaki baik, aku lebih memilih mempertahankan rumah tangga, mengais pahala dari berbakti pada suami, tapi apa boleh buat, takdir berkata lain.

"Ada satu kendala, sih. But it's oke, aku masih bisa bertahan dan melanjutkan kerja di sana," terangku pada wanita berhijab itu, dia tampak penasaran lalu terus menanyakan kendala itu. Sadar Dian nggak bisa diam jika belum mengetahui informasi seutuhnya, aku pun menceritakan bagaimana kejadian di kantor dan jembatan saat itu.

Makhluk paling cerewet itu memekik lalu plonga-plongo dalam sekejap, ekspresinya berubah-ubah seiring peristiwa berbeda yang kuceritakan.

"Gini deh, saran aku nih, ya! Kamu tunggu masa iddah habis sembari mengurus surat cerai dari Ammar, dengan begitu tidak akan ada masalah ke depannya. Dan ... tentang si bos, kamu tunjukin kinerja kamu yang top itu. Buat dia mengakui kehebatan seorang Hanin!" serunya antusias. Aku mengamini ucapannya.

"Eh, aku punya ide!" seru Dian tiba-tiba, sontak aku menoleh padanya.

"Gimana kalau kamu tinggal di sini aja, selain lebih dekat dengan kantor, aku juga bisa punya teman, nggak tinggal sendirian lagi," usulnya, aku sedikit terkejut.

"Terus rumah aku?" 

"Sewakan, Han! Kamu bisa dapat pundi-pundi uang di sana, gimana? Brilian kan ide aku?" Dian tampak sangat menggebu, netranya sampai berbinar-binar begitu.

"Nanti deh, aku pikir-pikir dulu, besok aku kasih tau keputusannya," sahutku, seraya beranjak bangun, "Sekarang aku pulang dulu ya, Di!" ucapku, dia ikut bangun memelukku sekali lagi.

"Hati-hati di jalan! See you tomorrow, besok kita berangkat bareng," ucapnya mengedipkan sebelah mata, aku mengangguk setuju, kemudian bergegas pulang, ini sudah terlalu senja.

Aku melajukan motor beat keluaran 2016 milikku dengan kecepatan sedang, perjalananku mulus-mulus saja sejak sepuluh menit dari rumah Dian, tapi semakin jauh lajunya terasa semakin lambat, Padahal sudah aku gas sampai kecepatan dua puluh lima kilo meter per jam. penasaran, aku berhenti lantas turun memeriksa di mana letak kendalanya. 

Pertama sekali aku memeriksa bensin, dan itu masih full, lanjut pada bagian ban depan dan belakang, nggak ada yang kempes, semua terlihat baik-baik saja, "Nggak ada yang salah, tapi kok jalannya lemot banget ya?" gumamku seraya kembali menaiki motor, kembali menekan knop starter, tapi ... kok nggak bisa!

Tak menyerah aku kembali turun, mencoba menyalakan dengan kick starter. Hingga sepuluh kali kucoba hasilnya tetap zonk, tidak menyala sama sekali. Hari sudah mulai gelap, bias warna jingga telah menyuluh mega di ufuk barat.

Aku merogoh ponsel dalam tas, bermaksud menghubungi Dian, sebentar lagi malam akan tiba, tapi dasar si*l baterai ponselku habis tepat saat aku menekan tombol panggilan. Aku melepas helm pasrah, jalanan sudah lengang, hanya satu-satu kendaraan roda empat yang melesat seperti angin, tidak mungkin minta tolong pada mereka, bisa-bisa aku tertabrak lalu mati di tempat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status