Share

Chapter 1

       Tekanan pekerjaan akan surut kalau jasmani dan rohani kita terpuaskan

—William Molchior

_____________________________________________

       

        Tet tet tet

       Scarlett Delillah kontan membuka kedua matanya dengan napas memburu. Mimpi itu lagi, pikirnya lantas mengembuskan napas sebelum memanjangkan tangan untuk meraih beker di nakas lalu mematikan benda tersebut.

       Wanita bersurai sepunggung itu mencoba duduk. Rambutnya yang turun ia seka sambil memegangi dadanya yang berdegub kencang. Pendingin udara tidak bisa mencegah keringat dingin mengalir di sekujur pelipis dan punggungnya yang ia usap setelahnya.

       Itu sudah lama. Wajah papa yang murka itu sudah lama, batin Scarlett. Mencoba menenangkan diri dengan menyuntikkan kata-kata positif sehingga pagi harinya yang sibuk seperti biasanya tidak akan ia mulai dengan hati yang buruk.

       Bagaimanapun kejadian tersebut sudah lama. Semenjak saat itu impiannya menjadi sarjana teknik harus ia hapus. Setelah ayahnya mengusir Scarlett, ia segera mengepak barang-barang dan semua tabungan. Kemudian dari Brooklyn pindah ke New York untuk memulai hidup baru dalam keadaan hamil.

       Berbekal keahlian mengolah adonan menjadi roti, Scarlett bekerja di salah satu toko roti terkenal dan menyewa apartemen mungil yang murah. Tidak lama kemudian melahirkan seorang bayi perempuan cantik bernama Jenna Delillah dan sekarang sudah berumur empat tahun.

       Ngomong-ngomong soal Jenna, Scarlett memutar kepala menghadap keranjang bayi di sebelah kasurnya dan mendapati buah hatinya sedang tertidur pulas sambil memeluk boneka beruang. Memang terlalu besar untuk ukuran balita yang tidur di dalam keranjang, tetapi Jenna yang menginginkannya sendiri, jadi Scarlett pun menuruti putri semata wayangnya.

       Wanita itu berdiri dan berjalan ke tepi keranjang putih yang pada bagian atasnya menjuntai kelambu merah jambu dan pernak-pernik bayi. Rambut keriting gantung Jenna ia elus pelan seraya bergumam, “Mom menyayangimu, sampai kapan pun.”

       Kedua sudut bibir merah Scarlett tertarik ke atas membentuk seulas senyum. Melihat Jenna selalu bisa membuang perasaan kacaunya dari masa lalu yang memang kerap hadir berbentuk mimpi buruk. Jadi, setelah mengecup pipi gembul Jenna, ia merentangkan tangan sambil menguap dan memulai aktivitas pagi.

***

       “Bernjanjilah pada Mommy untuk jadi anak yang baik, oke?”

       “Oke, Mommy.”

       “Kalau begitu, sampai jumpa, Pamkin. Mommy menyayangimu,” ucap Scarlett sambil mengusap puncak kepala Jenna setelah memberinya kecupan pada kedua pipi balita itu saat mereka harus melakukan perpisahan. Seperti hari biasanya ketika single mother tersebut mengantar gadis mungil gembulnya ke salah satu kelompok bermain.

       “Jenna juga sayang Mommy. Sampai jumpa,” kata Jenna riang. Sang pengajar yang berdiri di dekat gadis mungil itu lantas ikut melambaikan tangan.

      Rutinitas selanjutnya, Scarlett mengendarai Chevrolet hitamnya menuju Bake Me Up yang terletak di Colombus Avenue. Salah satu toko roti terkenal yang berhasil ia bangun dari hasil keringatnya sendiri setelah keluar dari toko roti tempat ia pernah bekerja dulu.

       Bake Me Up sendiri hanya berlantai satu. Bagian depan bagunannya berdinding kaca dan mengusung tema kafe dengan bergaya country. Pada bagian dalam ada rak-rak etalase yang nantinya akan digunakan untuk memajang roti-roti andalan Bake Me Up. Sedangkan kursi-kursi untuk pengunjung ada yang sebagian di dalam, ada yang sebagian di luar. Kanopi hijau berlarik putih menaungi kursi-kursi tunggal berlengan tersebut agar teduh. Sementara bagian samping terdapat garasi. Tempat dua mobil boks dan dua motor dengan gambar vektor koki wanita yang memegangi keranjang kayu berisi baguette sebagai icon Bake Me Up.

       Kemeja lengan panjang biru turquoise berbalut blazer senada dipadukan rok pensil dan stilleto membungkus tubuh Scarlett yang menekan remot kunci mobil usai memarkir Chevrolet hitamnya bersebelahan dengan mobil boks tersebut lalu berjalan masuk ke toko rotinya. Sudah ada beberapa pegawai yang datang dan sedang membersihkan meja serta kursi. Ada juga yang sedang mengelap dinding kaca bagian depan. Melihat kedatangannya, pegawai wanita tersebut menyapa Scarlett.

       “Selamat pagi, Boss. Seperti biasa, Anda selalu cantik.”

       Sedikit pujian itu menambah mood Scarlett. Memindah tas tangannya ke samping kiri, ia berhenti dan bertanya pada pegawai tersebut yang tersenyum lebar padanya. “Selamat pagi juga Hillary, kau juga manis seperti biasanya. Ngomong-ngomong apa George sudah datang?”

       Senyum lebih lebar terpatri di wajah pegawai wanita itu. “Sudah Boss, sedang membersihkan dapur.”

       “Aku hanya ingin memastikan apa persediaan susu sapi untuk bahan kita dari Heaven Field sudah sampai—”

       Dering nyaring ponsel yang memekakan telinga keduanya mengharuskan Scarlett mengentikam obrolan. Ia lantas mengode Hillary menggunakan tangan sebelum mengambil alamat komunikasi yang masih menjerit-jerit dari tas tangan. Sambil menerima panggilan telepon tersebut, wanita dengan rambut digerai itu memasuki ruangannya.

       “Halo?” sapa Scarlett. Meletakkan tas lalu duduk di kursi.

       “Hai, Scarl. Aku hanya ingin mengingatkanmu tentang acara nanti malam,” jawab suara feminin di seberang sambungan. Suara sahabat yang pernah ia jadikan alibi membunuh Regis dulu. Namun, karena suatu hal, mereka sekarang sudah berbaikan dan menjadi sahabat lagi.

       Scarlett menggigit bibir bawahnya dan menepuk dahinya tanpa suara. Sembari memindah ponsel ke sisi sebelah kiri, ia mengambil kalender duduk dan memastikan tanggal. Gawat, hampir saja ia lupa.

       “Tentu saja aku ingat, Mia,” kilahnya. Padahal diam-diam mengembuskan napas berat sambil tersenyum masam.

       “Aku percaya kau pasti ingat. Ngomong-ngomong, aku ingin tartlet buah dan croissant yang banyak.”

       “Baiklah, Mia. Apa kau tidak ingin menambahkan cheese cake Jepang? Sekarang roti itu jadi andalan Bake Me Up. Atau kau mau cup cake?” Scarlett bertanya sembari mengubek laci, mencari catatan tentang pesanan yang pernah ia tulis untuk acara anniversary sahabatnya nanti malam.

       “Tambahkan saja. Aku percaya padamu. Jangan lupa kue tarnya warna—”

       “Ungu dan banyak hiasan Lilac,” potong Scarlett cepat sambil tersenyum, “aku tahu dan hafal.”

       “You know me so well, Scarl. Oh ya, sebaiknya kau dan semua pâtisserie toko rotimu membuat semuanya di kapal pesiar.”

       Scarlett membelalakkan mata. Terkejut akan tetapi sedikit lega sebab belum mulai membuat pesanan tersebut. Bagaimana mau memulai? Ia saja hampir lupa. Beruntungnya sahabatnya menelepon untuk mengingatkan.

       “Begitukah?” tanya Scarlett.

       “Iya, aku dan suamiku khawatir kau dan kue-kuemu tidak selesai tepat waktu kalau harus dikerjakan di sana. Kau tahu kan bagaimana macetnya New York di jam pulang kantor? Jadi beberapa pekerja suamiku akan menjemput dan mengantar semua pegawai Bake Me Up ke kapal pesiar di sungai Hudson.”

       “Oh! Tuan Perfectionist itu ... hmm ... baiklah”" jawab Scarlett berusaha memahami situasi sahabatnya. Mengingat orang yang ia sebut-sebut sebagai ‘Tuan Perfectionist’ memang sangat cocok menyandang gelar itu karena benar sepenuhnya. Namun, sahabatnya yang cerewet itu sangat beruntung dicintai oleh suaminya. Mereka bahkan sudah memiliki satu jagoan kecil yang lahir di musim panas.

       Acara anniversassy ini juga bukan yang pertama kali. Musim semi tahun lalu mereka menyewa serta menggratiskan seluruh pengunjung Disney Land untuk acara tersebut. Padahal sahabatnya hanya bergumam tidak jelas sambil lalu, akan tetapi suami sahabatnya mewujudkan ide itu.

       Scarlett mengembuskan napas. Jika boleh berpendapat, ia bahagia sekaligus miris karena memikirkan sangat berbanding terbalik dengan kondisinya. Namun, Scarlett menyadari bila jodoh, atau takdir seseorang sudah diatur pada porsinya masing-masing. Jadi, tidak sepatutnya ia merasa iri. Bagaimanapun, kenyataan mereka bersahabat lagi saja sudah jauh melebihi harapannya dan Scarlett bersyukur tentang hal itu.

       “Jangan khawatir, beberapa orang akan datang membantumu, Scarl.” Suara sahabatnya kembali terdengar.

       “Baiklah, terima kasih, Mia.”

       “Aku yang seharusnya berterima kasih. Well, sampai jumpa nanti malam,” pamit suara di seberang. Meski tidak bisa melihat, Scarlett tetap menarik kedua sudut bibirnya ke atas sambil menggeleng.

       Beranjak dan pergi ke dapur untuk memanggil George—salah satu pâtisserie kebanggaan Bake Me Up, Scarlett melihat pria bertubuh besar yang lebih cocok sebagai pegulat daripada pembuat roti itu sedang memindah beberapa barel susu sapi pasteurisasi[1] ke ruangan pendingin. Jadi ia memutuskan untuk menunggu hingga pekerjaan pria besar itu selesai. Dua menit kemudian, Scarlett manggil, “Goerge ... tolong kumpulkan pâtisserie lain dan kita diskusi sebentar sebelum bekerja.”

       Untuk beberapa waktu yang singkat, semua pâtisserie berkumpul di salah satu meja dan kursi tunggal berlengan yang ada di dalam toko roti untuk membicarakan tentang acara anniversary yang akan diadakan di kapal pesiar.

       “Apa ada bahan yang kurang?” tanya Scarlett sambil mencatat apa saja yang penting.

       “Kita harus membeli buah untuk hiasan tartlet,” jawab George. Sacarlett mengangguk lalu membubuhkan tinta dan mendaftar buah apa saja serta berapa jumlah yang dibutuhkan.

       “Kalau begitu, kau dan Hillary yang membeli bahan-bahan. Dan sisanya membantuku mengemasi peralatan,” papar Scarlett. Menambahkannya dengan menunjuk-nunjuk menggunakan pena.

       “Baik, Boss,” jawab mereka dengan kompak.

       “Oh ya. Karena ini acara penting sahabatku, aku ingin semuanya sempurna. Tidak ada yang cacat sedikit pun seperti tahun kemarin di Disney Land.”

       “Baik, Boss.” Lagi-lagi mereka menjawab kompak.

       Scarlett pun menutup rapat singkat supaya para pâtisserie serta pegawai mulai mengerjakan job disk mereka masing-masing.

***

       “Apa kau mau ke apartemenku malam ini?” tanya seorang wanita berambut  pirang yang tengah membenahi kemeja kusutnya. Mengancingkan bagian terbuka itu satu per satu lalu membenahi sekaligus menurunkan rok pensil di atas lututnya yang tadi berkumpul di pinggang. Pentyhose hitam masih tetap ditempat bersama penyangga. Celana dalam genital string yang teronggok di lantai juga tidak luput dari jari-jemari lentik itu yang kemudian ia kenakan lagi.

       “Akan kupertimbangkan.” Suara bariton terdengar tidak niat menguar sebelum menarik pinggul menggoda tersebut lalu membubuhkan bibirnya pada sang wanita. Tepat saat itu pula pintu ruangannya terbuka.

       Buru-buru mereka melepas ciuman dan memisahkan diri dengan jarak aman ketika melihat sang atasan sudah menunjukkan wajah berang.

       “Sir, sa-saya tidak tahu A-Anda akan berkunjung,” ujar sang wanita yang berstatus sebagai sekretaris pria tadi pada sang CEO Cozivart Company dengan wajah takut-takut hingga gugup.

       “Bagaimana bisa tahu kedatanganku kalau kau sibuk bercinta dengan adikku?” tuduh sang atasan lalu berseru,  “Kau kupecat! Kemasi barang-barangmu sekarang juga!”

       Sang sekretaris kontan membelalakkan mata dan memutar kepala menghadap sang pria yang baru saja bercinta dengannya, yang tidak lain tidak bukan merupakan COO. Secara harafiah juga merupakan atasannya. “Sir, Anda juga harus bertanggung jawab untuk saya,” rengek sang sekretaris yang sudah mengubah bahasanya menjadi formal, “Anda tidak bisa membiarkan saya dipec—”

       “Cukup! Keluar dari ruangan ini sekarang!”

       Kepala wanita pucat itu menghadap sang CEO yang murka dan memotong ucapannya lalu beralih ke COO. Ia mengiba tetapi pria itu malah mengedikkan bahu ringan dan tidak peduli. Makian keluar secara praktis. “Dasar keparat! Aku sumpahi kau tidak akan mendapat jodoh dengan mudah!”

       Bunyi stiletto beradu dengan lantai berikut debuman pintu yang ditutup keras menjadi pertanda wanita itu telah resmi meninggalkan rauangan.

       William Molchior tersenyum setengah mendengkus dan meggeleng samar. “Ada-ada saja. Sumpahnya tidak akan berlaku padaku,” gumamnya kemudian mengangkat kepala dan mendapati sang CEO sudah duduk di kursi seberang mejanya. “Bukankah Anda sudah berjanji pada istri Anda untuk tidak memecat karyawan lagi, Mr. CEO?”

       “Kau yang membuatku melanggar janjiku pada Mia. Lagi pula apa aku harus mempertahankan karyawan yang tidak kompeten dan tidak profesional?”

       Bicara soal profesional, sebenarnya ia ingin sekali memecat COO alias adiknya yang suka menjajali wanita-wanita di kantor. Namun, ayah mereka melarang keras karena William memang cukup kompeten. Itu sebabnya sejak pertama kali bergabung adiknya sudah menepati salah satu posisi petinggi.

       William bersiul pelan sambil mengedikkan bahu ringan. “Bukan urusanku.”

       “Berhentilah bermain-main, Will. Kau mempermalukanku dan Dad! Lain kali akan kubuat peraturan larangan berhubungan dengan karyawan kantor.”

       Nada kesal rupanya masih belum meninggalkan kakaknya. Bukannya ciut, William malah tertawa geli. Apa kakaknya tidak ingat bagaimana ia berakhir dengan istrinya sekarang? [2]

       “Dominic ... kau mulai terdengar seperti Dad. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu berkunjung ke ruanganku?”

       William melihat sang CEO alias kakaknya membuang napas berat. Tampak mencoba meredakan urat-urat nadi yang menegang di sana-sini. “Sebenarnya tadi aku meneleponmu.”

       “How sweet, Brother,” ejek William sambil memasang tampang diimut-imutkan. Menambahnya dengan kedua telapak tangan di pipi sehingga membuat sang kakak hampir murka lagi. Itu sama sekali tidak lucu. Pria bermata biru terang di seberang mejanya jelas tidak berminat menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

       “Mia memintaku mengingatkanmu tentang acara nanti malam. Jadi jangan membuat pesta-pesta tidak berguna di penthouse-mu!” geram saudaranya. William hanya mengangkat kedua alis sambil membenarkan simpul dasi yang tadi sempat ia longgarkan.

       “Kenapa Mia tidak meneleponku sendiri?”

       “Aku yang melarangnya,” jawab sang kakak ringkas.

       “Dasar posesif," ujar William santai, “kau tahu, aku tidak tertarik pada wanita yang sudah menikah. Lagipula Mia secara otomatis jadi kakak perempuanku juga, Dom.” Walau istrimu sangat seksi, lanjutnya dalam hati.

       Pria yang dipanggil Dom itu menautkan jari-jemari lalu memberungut. Tampak berpikir keras sebelum menatap adiknya kembali. “Sebenarnya, aku bingung harus menghadiahi Mia apa, Will.” Nada rendah dari kakaknya menyusup ke gendang telinga William.

       “Suami macam apa kau? Kurang berapa jam lagi baru bingung hadiah anniversary? Ckckck.”

       “Memangnya aku sibuk bercinta dengan wanita sana-sini dan mengadakan pesta setiap malam sepertimu?” sindirnya.

       “I’m single and very happy. Dan asal kau tahu, pekerjaanku sangat lancar, Brother. Tekanan pekerjaan akan surut kalau jasmani dan rohani kita terpuaskan. Benar kan?” papar William sambil namaste dan menaik-turunkan kedua alis tebalnya. Jangan lupa senyum pria itu yang menawan. Ditambah dengan lesung pipi. Jadi,jangan heran juga bila ia menjadi incaran banyak wanita.

       Kaya, tampan, dan menyenangkan. William hanya memanfaatkan apa yang ia miliki untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Lagi pula, semuanya berjalan sukarela tanpa ada paksaan. Take and give. Begitulah orang-orang menyebutnya.

       “Kuanggap kau sedang kerasukan, Will. Well, jadi apa yang harus kuberikan untuk Mia?”

       “Tanya saja padanya apa yang dia inginkan, Brother. Apa susahnya? Ayolah, Dom. Jangan terlalu kaku dan berharga diri tinggi.”

       “Itu namanya bukan kejutan, Will.”

       Mereka lantas sama-sama diam. Larut dalam pikiran masing-masing. William jadi heran. Itu kan istri kakaknya. Kenapa pula ia harus ikut pusing memikirkan kado? Namun, pada detik yang lain tiba-tiba ada sebuah bola lampu menyala terang di atas kepalanya mirip di film-film kartun. Pertanda sebuah ide datang. “Belikan dia cambuk, penutup mata dan borgol ungu—”

       Brak!

       Gebrakan meja hasil tangan kakaknya membuat William tertawa terpingkal.

       “Sialan kau, Will! Mia sedang hamil muda. Aku tidak bisa menyentuhnya dengan cara kasar.”

       Dasar masokis! Ejek William dalam hati, tetapi tunggu sebentar. “Mia hamil lagi?”

       “Iya, kami baru tahu kemarin. Ngomong-ngomong sepertinya aku sudah tahu apa kado yang cocok untuk Mia. Kalau begitu gantikan aku rapat, Will. Aku akan kembali setelah jam makan siang.”

       “Hei, kau mau ke mana, Dom?”

       Kakaknya tidak menanggapi dan terus membawa tubuhnya keluar raungan. Menjadikan kerutan di dahi William semakin dalam. Sebuah tanda tidak mengerti kenapa kakaknya bisa sangat senang hanya dengan ditanyai tentang kehamilan sang istri. Padahal sepengetahuan pria berlesung pipi itu, sewaktu kehamilan anak pertama kakaknya, semua serba kerepotan dan rumit. Karena itu ia benci menjalin hubungan yang pasti dengan seorang wanita. Apalagi menikah. Oh! Itu sama sekali bukan gayanya. Ia tidak mau menjadi pria malang yang terkekang oleh belenggu yang namanya rumah tangga.

       Sembari meneruskan pekerjaan, tiba-tiba ingatan samar percakapan antara ibu dan kakaknya tentang kebun labirin bunga Lilac mengarah balkon sebagai hadiah pernikahan yang pengerjaaan sudah jalan seminggu tempo hari menyusupi William. Lalu kenapa—

       William menghentikan pikirannya yang berkelana dan tawa sumbang kontan mengudara.

       “Hahaha! Sial! Dia mengerjaiku agar bisa pulang! Awas saja kau, Dominic Molchior!”

_______________

1 Pasteurisasi : proses pemanasan makanan dengan tujuan membunuh organisme yang merugikan seperti bakteri, protozoa, kapang, dan khamir. Dan suatu proses untuk memperlambat pertumbuhan mikroba pada makanan.

2 Baca AFFAIR WITH CEO (Akan hadir versi cetak)

To Be Continue ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status