Share

Chapter 2

Aku hanya sangat menjunjung tinggi emansipasi wanita yang ingin mendekati pria

—William Molchior

___________________________________________

       Musim semi di malam hari selalu menjadi yang terbaik. Cuaca itulah yang membuat kapal pesiar tidak terlalu besar tempat perayaan anniversary kedua bagi sahabat Scarlett berlayar tenang di sungai Hudson kota New York.

       Sembari menggendong Jenna, ia mengintip dari balik dapur dan melihat maître d berdiri di bagian pintu penghubung antar rooftop dan lantai ke dua bagian kapal. Menyambut para tamu dengan kode pakaian ungu dan tuksedo hitam. Lalu cepat-cepat tangan Scarlett yang bebas mengkomando para pegawainya untuk bersiap-siap.

       “Apa kue-kue pertama sudah matang? Ayo cepat sajikan dan berikan pada pramusaji. Mereka akan membawanya ke meja kudapan! Para tamu sudah datang!”

       “Baik, Boss!” jawab mereka kompak tanpa menghentikan kegiatan mereka masing-masing.

       Ada yang mengecek bagian oven, ada yang mengecek kesimetrisan dari kue-kue yang telah matang, ada yang menghiasnya dan ada pula yang mendata jumlah yang kurang disajikan.

       “Kau belum siap-siap, Boss? Undangan sudah hampir penuh.”

       Pertanyaan dari Hillary membuat Scarlett kontan melihat penampilannya yang masih mengenakan baju tadi pagi lalu beralih ke Jenna yang sudah bergaun ungu dengan mahkota bunga Lilac sedang minum susu dari botol. “Bisa tolong kau temani Jenna sebentar?” pamitnya pada Hillary sebelum menurunkan gadis gembul tersebut.

       “Jangan ke mana-mana tanpa Hillary ya, Pamkin,” ucap Scarlett pada Jenna sambil menyejajarkan kepala dengan gadis itu.

       Setelahnya, wanita tersebut mengganti pakaiannya dan memakai mekap sederhana. Ia baru akan kembali ke dapur ketika tangannya tidak sengaja menyenggol beberapa kotak kartu nama Bake Me Up di dalam tasnya. Scarlett menepuk dahinya pelan. Lagi-lagi, hampir saja ia lupa bagian ini.

       Langkah kedua kaki Scarlett yang seharusnya menuju dapur untuk mengambil alih Jenna, berganti arah naik ke rooftop dan bergeser ke bagian kudapan. Ada beberapa orang di tepi meja, dengan sepiring kecil di tangan mereka yang sedang mencicipi kue-kue dari Bake Me Up sambil mengobrol.

       Scarlett menghampiri dua wanita yang asyik mengobrol sembari menunjuk-nunjuk kue. “Hai, selamat malam, maaf menganggu. Apa kabar?” Dua wanita yang terbalut gaun senada itu menoleh pada Scarlett. “Aku hanya ingin meminta pendapat kalian tentang kue-kue ini,” lanjutnya yang tak lupa menyunggingkan seulas senyum.

       “Oh, aku sangat suka cheese cake Jepang ini,” kata salah seorang wanita yang rambutnya disanggul sederhana.

       “Kalau aku paling suka macaroon. Sebenarnya aku tidak menyangka ada kudapan Paris di sini,” sahut yang berambut hitam legam. Ciri khas wanita Asia.

       Mata Scarlett berkilat-kilat antusias. “Oh, benarkah? Terima kasih, ngomong-ngomong, aku Scarlett Delillah, pemilik Bake Me Up dan semua kue-kue ini adalah dari toko rotiku.”

       “Oh My God! Kau pemiliknya?”

       “Ya.” Senyum lebih lebar menguhiasi wajah pemilik toko roti itu. Bagaimanapun kepuasan pelanggan adalah segalanya dan ia baru saja mendapatkannya. Jadi, Scarlett akan menggunakan kesempatan ini untuk ajang primosi. “Ini, kartu nama Bake Me Up. Kalau kalian ingin memesan sesuatu, telepon saja di nomor itu atau ke toko rotinya langsung. Di sini juga ada alamatnya.”

       Kedua wanita itu menerima kartu nama yang diulurkan Scarlett. “Aku pikir, kapan-kapan akan berkunjung ke sini,” ucap wanita Asia tersebut.

       “Baik, terima kasih. Maaf sudah mengganggu acara kalian, selamat menikmati kue-kuenya. Aku permisi dulu.”

***

       William Molchior sedang berdiri di pagar pembatas yang dihiasi kain-kain sutra ungu dan bunga Lilac segar. Angin ramah menerpa rambut hitam pria itu dan membuatnya seolah menari. Entah kenapa di tengah suasanya yang ramai ini ia malah mengantuk.

       Kala ada seorang pelayan yang membawa senampan minuman, tangan pria itu otomatis mengambil segelas Chappellet Signature Cabernet Souvignon. Siapa tahu dengan menyesap anggur merah ini, kegiatannya menunggu acara dimulai tidaklah membosankan.

       Oh, itu tentu tidak akan menjadi membosankan bilamana kakaknya mengundang lebih banyak orang dan kenalan, juga beberapa putri dari rekan bisnis mereka. Sehingga William mendapat kesempatan untuk cuci mata dan bersenang-senang.

       Gelas gitar Spanyol dalam genggaman itu ia naikkan ke mulut. Baru saja akan menyesap minuman, bagian bawah tuksedo hitamnya terasa ditarik-tarik.

       Rasa kaget menyelinap dalam diri William. Ia lantas menurunkan gelasnya dan menunduk untuk melihat. Betapa terkejutnya ia mendapati seorang gadis gembul bermata abu terang yang jernih sedang menengadah sambil menunjuk-nunjuk bagian belakangnya.

       Sepertinya gadis kecil ini mengingatkannya pada seseorang. Terutama mata abu terang dan rambut brunette itu. Namun, siapa?

       “Ada bunga. Bisakah kau mengambilkanku setangkai?”

       Kerutan di dahi William terbentuk karena tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan gadis itu di tengah suara angin semilir, bunyi air sungai membentur bagian bawah kapal, musik klasik, dan juga percakapan samar dari para undangan. Jadi, pria itu memutuskan untuk berjongkok dan menyejajarkan kepala dengan gadis berambut keriting gantung tersebut. “Kau bilang apa tadi, gadis gembul?”

       “Ada bunga di belakangmu. Bisakah kau ambilkan aku setangkai?” ulang gadis itu dengan suara melengking agak keras.

       William menolehkan kepala mengikuti arahan tangan itu lalu mencoba meraih sekuntum bunga Lilac. “Ini dia. Kupikir kau akan memilih balon.”

       “Kata Mom, Mia tidak suka balon dan lebih suka bunga ini. Jadi aku akan memberinya ini sebagai hadiah, karena aku lupa membawanya,” jawab gadis itu dengan tatapan polos.

       Seolah ada sesuatu yang menghantam benaknya, William bertanya, “Kau kenal Mia? Dan di mana ibumu?”

       “JENNA!”

       Panggilan keras itu sontak membuat William mau pun balita yang berada di hadapannya menoleh ke sumber suara tersebut dan mendapati Hillary tergopoh berjalan ke arah mereka.

       “Astaga Jenna, jangan pergi ke mana pun tanpa aku. Apa kau baik-baik saja? Apa ada yang terluka? Jangan dekat-dekat pagar,” ujar wanita berapron cokelat gelap itu lalu cepat-cepat menggedong Jenna yang memegang setangkai bunga.

       Hillary mengutuk dirinya sendiri karena sedikit melonggarkan pandangannya pada Jenna ketika ia tadi sedang mencoba melepas sarung tangan masak. Belum sempat benda tersebut menempel pada meja selama satu detik, tahu-tahu Jenna sudah menghilang. Beruntungnya ketemu. Kalau tidak, mungkin bossnya akan memecatnya detik itu juga. Oh! Jangankan dipecat, mungkin ia juga bisa dituntut karena abai dalam menjaga balita.

       “Tidak. Aku hanya ingin mengambil bunga ini untuk hadiah Mia dan paman ini membantuku.”

       Seakan baru tersadar bukan hanya dirinya dan Jenna yang berada di tepi pagar pembatas kapal, Hillary melihat William yang sudah berdiri kemudian buru-buru minta maaf. “Maafkan aku dan terima kasih sudah menjaganya, Sir. Kalau begitu aku permisi.”

       William hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Sebenernya wanita berapron ini lumayan bisa dijadikan target penghangat ranjangnya malam ini. Sayang sekali sudah memiliki bayi. Besar kemungkinan sudah menikah. William tidak ingin melibatkan diri dengan wanita yang sudah menikah. Oh! Ia tidak segila kakaknya yang menghamili pacar HRD perusahaan.

       Tidak ingin ambil pusing, William menyisir pandangan ke segala arah bagai mercusuar pantai. Ketika iris hijau zambrutnya menangkap sesuatu yang bagus di meja kudapan, mulutnya mengerucut untuk bersiul.

       Mangsa baru, pikirnya. Meski tipe wanita yang ia sukai adalah yang berambut pirang seperti wanita berapron tadi, akan tetapi wanita cantik yang sibuk melihat-lihat kudapan—dan yang penting sendang sendirian—itu juga tidak masalah.

       Masih dengan siulan kecil, William menderap ke sana dan berdiri beberapa langkah dari sebelah wanita itu. “Pilih saja yang akan kau makan, tidak perlu menghitung kalori.” Aku bisa membuatmu diet malam ini. Kalau kau mau, tambah William dalam hati.

       Scarllet menaikkan sebelah alis tanpa menghentikan kegiatannya menghitung jumlah kue yang kurang saat sebuah suara pria terdengar membelai daun telinganya. Berhubung tidak ingin fokusnya buyar, ia pun mengabaikan suara tersebut.

       Tidak adanya reaksi dari wanita itu selama beberapa saat membuat William tersenyum kecut. Apa suaranya kurang keras? Ia bertanya dalam hati kemudian memutuskan untuk bersuara lebih keras.

        “Pilih saja yang akan kau makan, tidak perlu menghitung kalori.”

        Ayo menoleh dan kau akan terpesona padaku. William memasang senyum paling menawan yang dimilikinya untuk bersiap-siap.

“Aku tidak sedang menghitung jumlah kalorinya,” jawab wanita itu.

       Begitu menoleh, kedua alis William kontan mengernyit. Merasa sepertinya wajah wanita ini tidak asing. Ia juga yakin pernah bertemu dengannya sebelum ini karena ingatannya pada wanita cantik sangatlah tajam, meski itu yang berambut selain pirang sekali pun.

       Otaknya ia paksa berpikir keras. Sayangnya, ingatan itu samar. William pun memutuskan untuk bertanya, “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

       Ini sungguh aneh. Biasanya William memang menggunakan jurus basa yang sudah basi seperti ini untuk menggait wanita, tetapi kali ini tidak karena memang benar adanya.

       Tidak jauh berbeda dengan William, Scarlett yang tadinya ingin melipir ke dapur dan menyetor laporan malah berhenti untuk mengingat-ingat pria dihadapannya. Bedanya wanita itu tidaklah suka mengingat pria. Baik yang tampan mau pun tidak kecuali yang berkaitan dengannya secara langsung seperti George dan pegawai yang lain.

       Ganjil rasanya bila ia tidak bisa mengingat pria yang kelihatannya berperan cukup penting di kapal ini. Mengingat sahabatnya hanya mengundang keluarga dan kawan dekat. Berhubung tidak bisa mengingat, setidaknya ia harus mencari relasi untuk mempromosikan kue-kue Bake Me Up.

       “Sepertinya tidak,” kata Scarlett pada akhirnya. Kemudian mulai ingin memanfaatkan momen ini untuk promosi. “Ngomong-ngomong, apa kau sudah mencoba kuenya, Sir?”

       Topik tentang kue ternyata. William tersenyum dalam hati. Abaikan saja wanita ini yang tidak menggubrisnya tadi. Lihat sekarang? Ternyata pesonanya memang besar karena wanita itu dengan cepat modus menggunakan kue. Meski belum mencobanya, setidaknya otak playboy William secepat kilat bisa menggiring percakapan sehingga bisa berlama-lama mengobrol kemudian akan menggiring wanita itu ke pelukannya. Perfect plan.

       “Sayang sekali aku belum mencobanya,” kata pria itu jujur, “apa kau sudah mencobanya?”

       “Aku sudah mencoba semuanya.” Scarlett tersenyum senang. Teringat kegiatannya mengoreksi rasa, tekstur, dan proporsional dari semua kue-kuenya.

       “Woah ... kau sudah mencicipi semuanya? Sulit dipercaya,” puji William dengan wajah bangga.

       Ayo puji Will, meski keliahtan rakus karena mencicipi semua kue, tetapi tidak apa-apa. Wanita dasarnya suka dipuji.

       William sangat berbesar hati sebab pujian itu membuat senyum di wajah Scarlett lebih lebar.

       “Akan kurekomendasikan yang ini, Sir. Ini andalan roti Bake Me Up. Toko roti yang membuat kue-kue ini,” terang Scarlett sambil menunjuk cheese cake Jepang yang disusun cantik secara bertingkat dan melingkar dengan kue-kue lain.

       Kena kau! Batin William.

       Sesungguhnya nama Bake Me Up  tidak terdengar asing bagi William. Sepertinya ia pernah mendengar atau berkunjung ke sana. Namun bayangan tentang toko roti itu sama sekali tidak muncul. Sebab William tidak sadar sudah hampir dua tahun lamanya jika ia pernah berkunjung sekali. Itu pun karena kakak William yang memintanya menemani ke toko roti itu bersama rombongan yang lain.

       Untuk mengatasi pikirannya yang mulai tidak fokus pada pendekatan, William tersenyum. Sengaja memperlihatkan lesung pipinya agar wanita itu langsung jatuh pada pesonanya telak. Kemudian meletakkan gelas gitar Spanyol di meja dan mengambil cheese cake tersebut.

       Dicicipinya roti itu kemudian senyumnya mengembang lagi. “Kau pandai merekomendasikan kue. Cheese cake ini sangat lezat.”

       Mata Scarlett berbinar-binar. Satu lagi pelanggan yang terpuaskan. “Terima kasih, Sir.”

       “Ngomong-ngomong, aku William. Dan kau?”

       “Scarlett Delillah. Oh ya terima kasih sudah menyukai kue ini. Kalau kau ingin memesannya atau memesan kue-kue lainnya, kau bisa menghubungi nomor di kartu nama ini.” Scarlett pun mengambil sebuah kartu nama Bake Me Up dan mengulurkannya ke William.

       Jack pot! Lihat, tanpa berusaha lebih lanjut, wanita ini memberinya akses sendiri. “Ah, kau baik sekali Miss Delillah.”

       “Tidak juga. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”

       Jangan pikir Scarlett tidak tahu model pria seperti William. Regis Mondru jelas mirip dengan William. Karena itu ia akan menghindar. Sebelum pergi ke dapur atau setidaknya bertemu target lain, ia sempat mengucapkan, “Selamat menikmati, Sir.”

       Suka main tarik ulur ternyata. Hm ... menarik, pikir William.

       Sepasang iris hijau zamrut itu lantas terpusat lagi pada Scarlett yang meninggalkannya. Tepat pada bongkahan pantat wanita bergaun berbentuk putri duyung tersebut. Buru-buru ia menggigit kepalan tinju tangannya yang bebas tidak memegang kartu nama dan mendesis, “Damn! Holly cow! She’s fucking damn hot!

       Bagaimana kira-kira rasanya meremas pantat itu ketika bercinta? Sial! Memikirkannya saja sanggup membuat William nyut-nyutan.

       Tidak bisa. Ia harus menggait wanita itu sekarang juga.

       Smirk smile terbentuk pada wajah William.

       Jangan panggil aku William kalau tidak bisa menakhlukkan wanita itu! Kata William dalam hati. Kemudian menggeser tubuhnya untuk menyusul wanita itu yang sudah berada di meja kudapan lain.

       “Kupikir kita bisa minum kopi setelah acara ini selesai.”

       Scarlett menoleh pada William. “Oh, maaf aku tidak bisa.”

       Senyum William hampir luntur, akan tetapi berusaha ia pertahankan. Jual mahal rupanya, bantinnya. “Kapan-kapan juga tidak masalah.”

       “Maaf, Sir. Aku tidak bisa.”

       William menaikkan sebelah alis dan mengecek jari manis wanita itu. Tidak ada cincin pernikahan atau semacamnya yang ia khawatirkan. Jadi, tidak mungkin wanita ini tidak bisa minum kopi dengannya karena hambatan menikah. “Kenapa tidak bisa?”

       “Aku pikir itu bukan urusanmu.”

       Lagi-lagi William dibuat tercengang. Kemudian berkata implusif. “Bukankah kau memberiku kartu nama ini untuk mendekatiku?”

       “Apa?” Gantian Scarlett yang tercengang. Wanita itu setengah mendengkus setengah tertawa. “Oh, tidak. Aku hanya ingin mempromosikan toko roti itu. Jadi jangan salah paham.” Sebelum memutuskan pergi, ia berkata, ”Aku permisi.”

       Sebentar ... sebentar ... hanya mempromosikan toko roti Bake Bake atau apalah itu?

       Oh! Sial! Tidak bisa! Ini namanya pelanggaran. Tidak ada yang boleh mengabaikan William. Ia harus segera bertindak untuk menyelamatkan egonya yang terluka.

       William tertawa lalu mengikuti Scarlett. “Ayolah jangan jual mahal.”

       Wanita itu menghentikan langkah untuk menghadap William. “Maaf, aku bukan wanita murahan.”

       “Aku tidak berkata seperti itu. Aku hanya sangat menjunjung tinggi emansipasi wanita yang ingin mendekati pria. Salah salah satunya denganmu yang memberiku kartu nama ini.”

       Scarlett menggeleng. “Aku tidak ingin mendekatimu. Aku benar-benar hanya ingin mempromosikan toko roti. Tidak lebih. Dan aku juga memberikan kartu nama itu ke semua orang yang kutemui. Jadi, aku permisi.”

       “Hei ... hei ... tidak semudah itu kau bisa pergi seenaknya Miss Delillah. Ayolah mengaku saja kalau ingin dekat denganku. Aku tidak masalah.”

       Lagi-lagi Scarlett berhenti. “Sepertinya kau perlu periksa ke psychiater untuk memeriksa kejiwaanmu kalau sampai berpikir aku mendekati pria sepertimu!”

       “Apa?” William ternganga. Wanita tadi bilang apa? Memeriksa kejiwaan? Oh, awas saja wanita itu. William akan mendapatkannya!

       Sebelum langkah membawa pria itu ke pergi menyusul Scarlett, kakaknya menghadang. “Mau ke mana kau? Sudah mempermalukanku di kantor, sekarang kau ingin mempermalukanku di sini juga? Ckckck Will, berhenti bermain-main.”

       “Aku tidak bermain-main, Dom! Wanita itu mengataiku gila! Aku harus memberinya pelajaran!” William menunjuk Scarlett yang sudah melewati maître d dan turun.

        Kakaknya hanya menggeleng. Ada-ada alasan playboy seperti adiknya ini untuk mengejar wanita. “Sudahlah, jangan ke mana-mana lagi. Acaraku akan dimulai. Mommy dan Daddy sedang mengawasimu. Kau tidak ingin mereka memperlakukanmu sama seperti yang pernah mereka lakukan padaku dulu kan?” papar kakaknya. William mengingat hal itu kemudian mendengkus pasrah, menuruti kata kakaknya.

        Jangan senang dulu Scarlett Delillah, aku tahu harus mencarimu ke mana kalau kau bersembunyi, kata William dalam hati kemudian mengantongi kartu nama toko roti tersebut.

To be Continue ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status