Share

Chapter 5

Aku harus menepikan egoku, meski rasa sakit itu selalu berusaha menelan tubuhku hidup-hidup

Scarlett Delillah

______________________________________________

Usai mengakhiri goresan tinta yang ia bubuhkan pada beberapa proposal, William memutar kursi kerjanya menghadap dinding kaca ruangannya yang berada di lantai empat. Kedua lengan pria itu ditekuk ke belakang untuk menopang kepalanya dengan posisi punggung menempel di sandaran kursi. Sepasang iris hijau William mengamati lanskap kota Phoenix pada musim semi serta orang-orang yang memadati promenade bertabur sinar mentari.

Otak William berusaha keras mencerna perkataan Mia tempo hari tentang Scarlett. Mencoba mereka-reka segala kemungkinan yang terjadi. Padahal seharusnya ia tidak memedulikan perkara tidak penting ini dan langsung beralih ke wanita lain yang jauh lebih cantik, seksi, menarik, dan lebih segala-galanya dari Scarlett—asalkan lajang. Namun, entah kenapa kondisi tak terduga yang—baru kali ini—ditemukannya dari wanita itu begitu melekat di pikiran William.

Biasanya William akan langsung menyadari seorang wanita telah sedang menikah dari cincin yang melingkari jari manis wanita tersebut. Scarlett jelas tidak.

Atau jangan-jangan wanita itu lupa mengenakannya?

Gelengan pelan menyertai napas William. Tidak. Rasanya tidak. Sudah dua kali ia menjumpai Scarlett dan Scarlett tidak pernah mengenakan cincin pernikahan.

Terlalu mengarah pada cincin pernikahan membuat William berpikiran sempit. Sehingga tidak mengarah pada beberapa kemungkinan lain.

William baru saja mengembuskan napas ketika mendengar pintu ruangannya diketuk. “Masuk,” titah William sambil memutar kursinya kembali dan melepas lekukan bantalan lengan di kepalanya.

Pintu terbuka dan sosok sekretaris baru malesak memberitahu tentang rapat eksternal dadakan yang akan dimulai sepuluh menit lagi.

Sebelum meninggalkan ruangannya, William sempat mengamati sosok sekretaris baru itu. Berambut pirang dengan polesan lipstik merah menyala dan seksi. Biasanya ia langsung menjelma menjadi buaya darat. Kenapa kali ini ia tidak tertarik sama sekali?

Menyerah karena sudah lelah berpikir tentang Scarlett dan tak ingin menambah beban otaknya lagi, pria itu akhirnya bangkit dan menuju ruangan rapat. Kakaknya yang berprofesi sebagai CEO sudah duduk di tengah ruangan dikelilingi beberapa orang dari divisi lain. Setelah William mengambil posisi yang kosong bersama sang sekretaris, tidak lama kemudian kegiatan tersebut akhirnya berlangsung.

Selama hampir setengah jam, otak William sama sekali tidak bisa konsentrasi menerima informasi seputar rapat dadakan ini. Sampai panggilan kakaknya mengejutkan pria itu.

“Bagaimana menurut Anda Mr. William? Apakah Anda sanggup?”

Sanggup? Sanggup apa?

Pandangan William menyapu ke seluruh penghuni ruang rapat itu yang melihatnya penuh pertimbangan. Hingga akhirnya menjatuhkan pengelihatannya pada sang sekretaris. Berharap wanita itu menerima kodenya. Beruntungnya sang sekretaris bisa diandalkan lalu memberitahu William secara ringkas. “Posisi Direktur Operasional di Manhattan kosong, Sir. Semua kepala divisi mengusulkan Anda mengisinya. Termasuk Mr. Dominic Molchior.”

Kedua alis tebal William terangkat. Kakaknya juga mengusulkan? Sulit dipercaya. Seakan tahu kebingungan di otak William, Dominic menyahut, “Aku yakin Anda bisa melaksan tugas sebagai Direktur Operasional dengan baik. Tapi tentu Anda boleh memikirkannya lebih dulu.

“Kau tidak bilang padaku lebih dulu kalau Direktur Operasional di Manhattan sedang kosong dan kau menunjukku.” Usai rapat berakhir dengan keputusan yang belum terambil, William berjalan menyejajarkan diri dan menanyakan hal itu pada Dominic. Diekori sekretaris mereka masing-masing.

Karen tidak dalam keadaan formal, William menggunakan bahasa sehari-hari dengan kakaknya.

“Bukan hanya aku yang menunjukmu. Tapi semua kepala divisi. Ternyata kau benar-benar tidak mengikuti rapat dengan baik.” Dominic mengeram di akhir kalimat.

Well, yah ... sorry. Aku kurang konsentrasi. Tapi tetep saja kenapa ini mendadak sekali?”

“Kupikir kau sudah tahu karena kau selalu update info.” Dominic heran dengan itu. Lebih heran lagi sebab melihat wajah adiknya yang jauh kelihatan lebih heran darinya. Maka dari itu ia menjelaskan. “Direktur Operasional di Manhattan baru saja meninggal semalam. Jadi kita harus mengadakan rapat dadakan tadi. Posisi itu harus segera diisi. Tidak mungkin aku akan membiarkannya kosong terlalu lama karena akan merugikan perusahaan kita.”

Dasar bajingan gila kerja, rutuk William dalam hati.

“I’m sorry to hear that,” gumam William. Dominic pun mengangguk.

“Melihat kinerjamu selama ini—meski kadang tidak profesional—kurasa kau sangat cocok dengan posisi itu. Dan satu lagi. Untuk bela sungkawa kita harus ke sana,” lanjut Dominic, tanpa memutus langkahnya menuju ruangannya sendiri.

William terhenyak sedikit. “Kupikir perusahaan hanya akanengirkm karangan bunga saja.”

“Tidak. Kita ke sana setelah jam makan siang untuk menghormati mendiang.”

Lalu begitulah. Semuanya berjalan dengan cepat. Usai makan siang para jajaran petinggi Cozivart Company berangkat ke Manhattan. Di hari berikutnya, William yang tidak memiliki pilihan lain langsung mengurusi kepindahannya ke kota itu dan menduduki posisi sebagai Direktur Operasional baru.

***

Scarlett baru saja menjemput Jenna di kelompok bermain. Seperti biasanya, jadwalnya padat mirip lalu lintas di New York. Setibanya mereka di Bake Me Up, Scarlett disambut oleh telepon dari salah seorang pelanggan yang memesan canapé party untuk nanti malam.

“Alamatnya di Lexon Hill.”

Scarlett menjepit gagang telepon di antara kepala dan pundak supaya tangannya bisa mencatat alamat yang disebutkan oleh penelepon.

“Apa ada tambahan lain, Ms?”

“Kurasa tidak.”

Scarlett meletakkan pena di meja dan meraih buku catatan serta gagang teleponnya kembali. “Baik, kalau begitu akan kuulangi lagi pesanan Anda ya?”

Yes, please.”

Savory Cheese-Filled Crouquembouche, Spinach and Fina Tarte Soleil, Ham and Cheese Feulleté, Savory Palmiers with Roasted Garlic and Rosemary, Figs with bacon and Chile, Mortadella Moments dan yang terakhir Pretzel bite. Di antar ke Lexon Hill Park Avenue jam delapan malam, apakah benar?”

“Benar sekali.”

Meski tidak bisa melihat, Scarlett mengangguk sekali. Kebiasanya apabila memahami sesuatu. “Baiklah, terima kasih sudah memesan, kami akan berusaha mengantarnya tepat waktu. Semoga hari Anda menyenangkan.”

Setelah meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya dan membaca catatan segudang canapé party tersebut, Scarlett melangkah ke dapur yang sibuk.

“Semuanya ... tolong bantu aku buatkan semua pesanan ini,” teriaknya pada para pegawainya sambil mengacungkan kertas catatan itu tinggi-tinggi, berikutnya membagi tugas tersebut.

***

William menjatuhkan diri di sofa dan meneguk sloki yang terisi gin and tonic. Lelah membanjiri tubuhnya belakangan ini. Jadi ia berpikir untuk merilekskan otot-ototnya sejenak. Namun, dering nyaring dari ponsel yang tergeletak di meja rendah hadapannya tidak akan membiarkannya melepas lelah.

What’s up?” sapa William asal-asalan usai meletakkan slokinya di meja dan bersandar di sofa dengan mata terpejam.

“Hei Dude, kudengar kau baru pindah ke Manhattan?” tanya Loven Loye.

“Ya, di Bloomberg,” jawab William sembari memijit-mijit bagian pangkal hidung. Matanya pun terpejam. “Ada apa?”

“Kenapa kau tidak mengabariku?” Levon kembali bertanya sembari sedikit berteriak seperti tadi.

Sorry, belakangan ini aku sibuk.”

“Sepertinya kau butuh hiburan, Will. Kemarilah, adikku sedang mengadakan pesta pembukaan firma interior design barunya.”

Tentu saja. Pesta, pesta dan pesta, Loven 11-12 dengannya. Bedanya kali ini William benar-benar tidak berminat. “Tidak, aku akan melewatinya kali ini. Aku benar-benar lelah.”

Adaptasi menjadi Direktur Operasional memang sangatlah melelahkan.

“Bellen mengatakan beberapa kali berkencan denganmu.”

Bellen sialan! umpat Willam.

Sekitar hampir dua tahun lalu, ia memang pernah beberapa kali berkencan dengan Bellen Loye. Adik kandung Loven Loye yang cantik dan sesuai tipenya. Berambut pirang serta bermata biru terang dan seksi. Ia ingat hubungannya dengan wanita itu berakhir begitu saja. William tidak hadir di kencan makan malam mereka sebab Dominic membuang ponselnya ke jalan raya.

William juga tidak ambil pusing. Itu justru bagus. Ia bisa melepaskan diri dari wanita serewel Bellen meski ia harus mengakui adik Loven sangatlah berbakat. Karena itulah William tidak heran atau pun kaget  dengan Bellen Loye yang kembali ke Manhattan lalu berhasil mendirikan firma interior design sendiri.

“Itu sudah lama, Dude. Lagipula sejak kapan pria bergosip?” sindir William.

“Ck, ayolah. Aku tidak keberatan kau tidak bersama adikku. Dia juga sudah menemukan penggantimu dan sudah bertunangan. Semua teman-teman kita sedang berkumpul di sini. Setidaknya itu bisa mengurangi penatmu, Sobat.”

Oh, dia sudah bertunangan?” Ada kekagetan dalam nada suara William.”

“Tidak perlu sekaget itu. Aku juga baru tahu beritanya beberapa saat lalu. Memang belum mereka resmikan. Jadi, kemarilah. Semuanya akan bersenang-senang.”

“Ck! Hah! Baiklah ... berikan alamatnya padaku.”

***

Untuk beberapa waktu kemudian, setelah Scarllet mengantar Jenna ke les balet dan di saat cahaya keemasan yang menciptakan senja menembus kaca-kaca jendela Bake Me Up telah berganti kegelapan yang menggantung di langit, semua pesanan telah jadi.

Masih ada sisa waktu satu jam lagi. Scarlett pun memutuskan mengajak Hillary untuk mengantar pesanan itu. “Aku akan memberimu uang lembur,” katanya pada pegawai sekaligus sahabatnya.

“Tentu saja kau harus, Boss. Lemburku harus doble karena menjaga Jenna juga.”

Mengendarai Chevrolet hitamnya, Scarlett tersenyum miring. “Well ... yeah ... bagian itu juga. Terima kasih Hillary, kau sangat-sangat membantuku.”

“Tidak apa-apa. Aku menyayangi Jenna. Oh ya apa aku sudah pernah cerita padamu soal dia pernah merengek di hari ayah?”

Satu hantaman keras menggunjang jantung Scarlett. “Sepertinya belum,” jawabnya, pura-pura berwajah datar.  Namun pegangannya pada stir mengencang.

Itu merupakan topik yang sangat sensitif bagi Scarlett. Namun ia juga tidak bisa protes pada Hillary sebab ingin mengetahui keadaan putri semata wayangnya. Jadi Scarlett harus menepikan egonya meski rasa sakit itu selalu berusaha menelan tubuhnya hidup-hidup.

“Kau sedang berada di Phoenix waktu itu.” Hillary memulai ceritanya secara hati-hati. “Aku dan Andy menjemput Jenna. Dan dia sedang menangis di gendongan Miss Jill karena semua ayah teman-temannya datang di hari ayah dan menonton pertunjukkan balet mereka.” Satu hembusan lolos dari hidung Scarllet.  “Maaf Boss, aku hanya ... yah ... aku menyayangi Jenna dan kasihan padanya. Apa kau sungguh tidak berniat memberitahu soal ayah kandungnya?”

Lampu lalu lintas berubah merah. Scarlett berhenti dan menghadap Hillary. “Kau sudah tahu bagaimana cerita itu berakhir, Hillary. Dan aku, ibu swkaligus ayah baginya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Aku tahu. Maksudku, keadaanya jelas berbeda Boss. Jenna sudah bisa diajak bicara meski masih balita. Setidaknya jangan buat dia kecewa. Dia berhak tahu tentang ayah kandungnya. Lagi pula ‘dia’ sering terlihat di TV.” Hillary mengecilkan akhir kalimatnya. Sebab sadar sudah keceplosan. Sekarang ia mendadak menyesal kenapa menceritakan hal ini pada Scarllet. Gawat. Gaji lemburnya pasti akan terancam.

Ya Tuhan! Sejak kapan ia memikirkan gaji lembur bila untuk urusan seperti ini?! Hillary buru-buu menghapus bayangan dollar dalam kepalanya dan memutuskan untuk diam. Sengaja memberi waktu bagi atasannya untuk memikirkan kata-katanya.

Sungguh, Hillary kasihan terhadap Jenna waktu itu. Padahal ia sudah membawa Andy agar bisa mengatasinya. Namun nyatanya pria cenderung kurus itu juga tidak menolong sama sekali.

Hillary berpikir tidak bisa  memberitahu Jenna tentang ayah kandungnya. Selain karena bukan haknya, juga karena trauma Scerlett. Jadi ia lebih memilih mencoba segala macam cara agar Jenna berhenti rewel. Termasuk membeli ice cream. Beruntungnya balita itu akhirnya berhenti dan melupakan hal tersebut hingga sekarang.

Hingga tadi sore, Hillary tidak sengaja mendengar percakapan pelanggan tentang Monster Truck Championship musim panas ini, ia pun jadi teringat lagi.

Lampu hijau menyala. Scarlett memasukkan persneleng, melepas kopling dan menginjak gas. Sepanjang perjalana ia tak lagi bicara hingga mobil yang ia kendarai berhenti di Lexon Hill.

Mereka turun dan menanyakan resepsionis lalu dengan bantuan bellboy, semua canapé party di bawa menggunakan trolly ke rooftop.

Setibanya di lantai gedung paling atas tersebut, Scarllet dan Hillary berjumpa dengan pelanggannya. Pesta masih belum dimulai dan masih terlihat beberapa pekerja yang sibuk pada bagiannya masing-masing. Sang pemilik itu pun mengarahkan mereka untuk meletakkan canapé di meja yang telah disediakan khusus untuk itu.

“Semuanya beres dan sempurna.” Bellen Loye menepuk tangannya ketika melihat Scarlett dan Hillary telah selesai mentapa canapé.

“Terima kasih. Ngomong-ngomong aku suka desain rooftop ini.” Scarlett memandangi sekitar. Hawa sejuk yang menggelitik kulit di bawah langut bertabur bintang dan angin semilir merilekskan otot-ototnya.

“Benarkah?” tanya Bellen antusias. ”Sebenarnya aku yang merancangnya sendiri.”

“Wah benar-benar bagus,” sahut Hillary tak kalah senang menatap semua yang ada di hadapannya.

“Kalau begitu, kami pamit dulu. Sampai—”

“Tunggu sebentar,” potong Bellen sembari menggerakkan kefua tangannya di udara. “Sebenarnya aku ada permintaan lain.”

Scarlett dan Hillary saling berpandangan sejenak. “Apa itu?” tanya Scarlett.

“Bisakah kalian di sini untuk mengawasi bagian canapé? Berjaga-jaga. Siapa tahu akan ada yang bertanya soal semua ini. Anggap saja ini sebagai personal branding Bake Me Up.”

Scarlett dan Hillary kembali saling berpandangan. “Maaf, aku harus menjemput putriku di kursus baltetnya.”

“Oh ... begitu rupanya. Sayang sekali.” Bellen Loye terlihat sanhat kecewa.

Scarlett menjadi tidak enak hati kemudian melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. “Tapi kurasa masih ada sisa waktu satu jam sebelum putriku selesai kursus. Jadi aku bisa berjaga selama itu,” kata Scarlett. Hillary yang berada di sebelahnya hanya ikut tersenyum formalitas.

“Waah ... terima kasih.” Bellen Loye kontan memeluk Scarlett dan Hillary secara bergantian. Ketika manik birunya menangkap sosok yang baru keluar dari elevator, Bellen memekik, “Oh kakakku dan sudah datang. Kemarilah aku akan mengenalkan kalian padamnya.

Bellen menggeret dua wanita itu ke rombongan yang baru datang. Lalu memeluk kakaknya. “Aku tidak terlambat kan adik kecil?” goda Loven.

Bellen segera melepas pelukan dan memukul lengan kakaknya. “Kau ini. Aku sudah bukan adik kecil lagi. Ingat. Aku akan menikah! Ngomong-ngomong, aku akan mengenalkanmu dengan pembuat canapé langgananku.”

Scarlett melirik Hillary saat melihat Bellen mengacungkan cincin berlian di jari manis tangan kiri wanita itu.

“Loven, ini Scarlett Delillah dan Hillary Fin.”

“Hai, aku Loven Loye. Kakak kandungnya. Senanga berkenalan dengan kalian.”

Pria itu menjabat tangan Scarlett dan Hillary secara bergantian. “Aku Scarlett Delillah, senang bertemu denganmu Mr. Loye.”

“Aku Hillary Fin. Senang bertemu denganmu Mr. Loye.”

Loven Loye terkekeh. Mwndengar ucapan Hillary. “Kau seperti meniru Miss Delillah.”

“Sh! Loven! Mrs. Delillah!” bisik Bellen agak kencang.

“Oh, maafkan aku.”

Scarlett mengubah senyumnya menjadi kaku sembari melirik Hillary yang entah kenapa malah yerlihat tersenyum berlebihan. Oh, jangan katakan wanita itu terpesona oleh Loven Loye.

“Ngomong-ngomong apa tunanganmu akan datang?” tanya pria itu pada adiknya.

Bellen mengerucutkan bibir sambil mengendikkan bahu. “Entahlah. Kurasa di sibuk.”

Satu dengkusan lolos dari bibir Loven. Pria berambut pirang itu menggeleng. “Kau perlu menanyakan tentang keseriusannya. Ngomong-ngomong aku mengundang teman-temanku. Kau tidak keberatan kan?”

“Ya. Kau selalu melakukannya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status