Share

Chapter 4

Wanita yang sudah didapat itu semakin menarik

—William Molchior

_________________________________________________

Seperti biasa, toko roti Bake Me Up lumayan sibuk di akhir pekan. Ditambah Scarlett sudah berhasil menyebar kartu nama dan mendapat respons positif dari para tamu undangan anniversarry sahabatnya, saat ini ia menjadi kebanjiran pesanan.

Wanita Asia dan temannya juga datang. Belum lagi akhir pekan kelompok bermain Jenna libur, mau tak mau Scarlett harus membawa putri semata wayangnya ke toko. Biasanya ia meminta bantuan para pegawai yang tidak sibuk untuk menjaga Jenna. Sebenarnya, di ruangan Scarlett ada sebuah pagar bayi yang tidak terlalu luas akan tetapi cukup untuk arena bermain Jenna. Namun, karena saat ini tidak ada satu pun pegawai yang senggang untuk mengawaso, ia terpaksa menggendong Jenna ke mana-mana.

"Ini pesanan untuk acara ulang tahun." Salah satu pegawai laki-laki berperawakan cenderung kurus yang baru saja meletakkan sekotak tart karakter Cinderella di mobil boks, melapor pada Scarlett. Sedangkan George sendiri sudah duduk di kursi kemudi. Siap mengantar pesanan itu.

Namun semua rencana tidaklah selalu berjalan mulus. Saat Goerge mencoba menyalakan mesin, mobil boks tersebut menunjukkan gejala seperti orang terbatuk-batuk.

"Kenapa tidak mau menyala?" gumamnya sambil mencari-cari penyebab sumber masalah. Sembari mencoba menyalakan mesin beberapa kali, akan tetapi kendaraan itu masih tidak memberikan apa yang ia harapkan.

Suara berisik dari mesin starter yang mencoba dinyalakan terus-menerus dan memekakan telinga tersebut memberhentikan langkah Scarlett dan pegawai tadi. Mereka lantas berbalik lagi dan bertanya kompak pada George. "Apa yang terjadi?"

"Mesinnya tidak mau menyala," jawab pria besar itu setelah melepas tangan gemuknya dari kunci.

Ingatan Scarlett tentang accu mobil segera menghampiri otaknya. "Astaga, aku lupa membawanya ke bengkel untuk ganti accu." Melengkapinya dengan menepuk dahi pelan. Suatu sikap kebiasaan saat merutuki kebodohannya.

Scarlett mulai ditelan rasa takut. Ini tidak akan menjadi masalah besar apabila mobil boks yang satunya bersama dua motor toko dan Chevrolet hitamnya tidak sedang digunakan pegawai lain untuk pergi mengantar pesanan juga.

"Ada yang punya accu portabel?" tanya Scarlett pada para pegawainya, masih sambil mengamati bagian kap mobil yang sudah dibuka oleh pegawai kurus tadi atas perintah Scarlett. Pria besar itu sendiri juga sudah turun untuk ikut mengecek kerusakam pada bagian depan mobil dan benar mendapati masalah accu yang habis.

"Tidak ada yang punya Boss." Jawaban dari George membuat Scarlett panik. Ia berjalan ke sana-kemari sambil menggendong Jenna yang menggamit boneka beruang sembari minum susu dari botol.

"Jam berapa acaranya akan dimulai? Apa bisa menelepon bengkel terdekat dulu?" tanyanya benar-benar bingung. Ia tidak ingin terlambat karena khawatir pelanggan akan menurunkan nilai kepercayaan pada toko rotinya.

"Tidak mungkin, Boss. Acaranya akan dimulai setengah jam lagi. Belum lagi kalau macet." Jawaban dari pegawai kurus itu sama sekali tidak membantu jiwa Scarlett untuk tenang. Pada saat yang bersamaan, Hillary datang membawa sebuah kabar.

"Boss, ada yang ingin menemuimu."

"Jangan sekarang Hillary, aku sedang sibuk. Sebaiknya kau tangani dulu."

"Apa yang terjadi?" tanya wanita berambut pirang tersebut sambil mengamati George dan pegawai satunya.

"Accu-nya habis." Mendapat jawaban dari George, wajah Hillary ikut panik.

"Tidak perlu ikut panik Hillary, sebaiknya kau kembali ke dalam."

Wanita berambut pirang itu pun masuk toko sesuai perintah dari atasannya. Namun, belum ada dua menit sudah kembali lagi. "Tapi katanya dia tidak ingin dilayani siapa pun kecuali Anda, Boss."

Argh! Terkutuklah semua ini! Ingin sekali Scarlett mengumpat. Akan tetapi Jenna yang berada di gendongannya menenggelamkan kata-katanya. Ia tentu tidak ingin putrinya menirunya berkata kotor.

Sebelum melipir masuk, Scarlett memerintah, "Mintalah jumper setrum pada mobil lain. Usahakan cepat! Aku akan ke dalam sebentar."

"Aku bisa membantu mengantar kue itu ke pelanggan. Naikkan saja kuenya ke mobilku sekarang." Sebuah suara bariton yang rendah dan dalam akan tetapi bernada ceria membuat semua orang yang mengerubungi mobil boks mogok itu menoleh padanya.

William Molchior tersenyum cemerlang ke arah Scarlett. Kala retinanya menangkap gambar wanita tersebut sedang menggendong balita yang ditemuinya di kapal, sedikit-banyak senyumnya menjadi terusik.

Kenapa boss toko roti sangat baik hati dan repot-repot menggendong putri pegawainya, sementara pegawai itu sendiri hanya bekerja pada bagian depan toko, khusus mengarahkan pelanggan?

William mereka-reka.

Apakah Scarlett pecinta balita?

"K-kau?!" Mengejutkan. Scarlett bisa mengingat pria itu. Pasti karena sikap kurang ajarnya beberapa waktu lalu. "Bagaimana bisa kau ke sini?"

"Lewat pintu itu," jawab William polos sambil menuding pintu penghubung menggunakan jempolnya.

"Bukan itu maksudku!"

"Paman bunga lilac," kata Jenna, menginterupsi mereka.

"Ha?" tanya Scarlett tidak paham.

"Oh iya benar, dia yang membantu Jenna mengambil bunga lilac di kapal kemarin, Boss." Begitu menyadari sesuatu, Hillary membekap mulutnya sendiri agar tidak keceplosan lebih banyak lagi. Gawat kalau sampai bossnya tahu Jenna lepas dari pandangannya selama beberapa saat. "Em, sebaiknya kita menuruti saran Mr. Molchior untuk pergi pengantar kuenya," tambahnya, cepat-cepat menggangi topik pembicaraan agar selamat.

Apa kata Hillary tadi? Mr. Mohior? Jangan-jangan saudara suami Mia? Apa dia juga ikut ke sini waktu menjemputnya dulu? Scarlett menyimpan pertanyaan itu dalam hati dan kembali fokus pada pembicaraan mereka.

"Apa kau sudah gila?!" tanya Scarlett pada Hillary, "tidak! Aku akan ke menelepon bengkel sebentar."

"Kurasa aku setuju dengan Hillary, Boss." George membuka suara. Senada dan seirama dengan pegawai kurus di samping pria besar itu.

"Tapi-"

"Kalau tidak cepat nanti akan terlambat." Hillary memperingatkan dan mendapat anggukan dari kawan-kawannya beserta William sendiri.

Scarlett memejamkan mata kemudian mengalah. "Baiklah. Andy, tolong pindahkan tart-nya ke mobil Mr. Mohior-"

"Molchior, atau kau bisa memanggilku William," potong William.

"Ya, terserah apa pun itu," kata Scarlett acuh tak acuh. Membiarkan Andy melakukan tugasnya kemudian menghadap satu per satu para pegawainya yang lain untuk memberi perintah. "George tolong telepon bengkel untuk mengganti accu-nya. Setelah itu kembalilah ke dapur. Dan kau Hillary, tolong ambilkan car seat Jenna lalu kembali ke toko."

"Yes, Mam!"

Beberapa menit kemudian mereka berkendara membelah kota New York yang padat. Beruntungnya tidak macet sehingga mobil BMW putih pria itu bisa menyalip mobil-mobil lain dengan penuh kehati-hatian supaya tart-nya tidak rusak. Sepanjang perjalan, William mencari bahan obrolan. Dimulai dengan melempar pujian tulus mengenai wanita itu.

"Kau atasan yang sangat tegas. I think you're gorgeous," kata pria itu dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya.

Scarlett tidak bereaksi seperti yang diinginkan William. Bahkan semenjak masuk mobil, wanita itu tidak berbicara atau melihatnya sama sekali. Hanya melakukan apa yang harus dilakukan untuk mengecek keselamatan balita itu.

William sempat ingin protes karena Scarlett membawa balita itu. Tujuannya ke Bake Me Up adalah untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Namun, ia mengalah. Teringat salah satu jurus play boy adalah menuruti mangsanya sebelum menjebaknya.

Setelah melalui perjalanan dari Phoenix ke New York dan ternyata menemukan ingatannya kembali tentang toko roti Bake Me Up serta wanita itu lengkap dengan beberapa pegawainya-persis seperti yang dikatakan Mia beberapa hari lalu-kenapa acara penakhlukan ini menjadi sulit?

"Atasan memang harus tegas."

Ha! Akhirnya wanita itu menjawabnya. Yah, meski tidak melihat ke arahnya langsung, akan tetapi William yakin tadi Scarlett sempat meliriknya.

"That's good, right?"

"Belok kanan," kata Scarlett akhirnya memberi perintah tanpa ingin menanggapi William.

"Yes Mam!" kata William meniru para pegawai toko roti tadi kemudian membelokkan stir ke arah yang diminta Scarlett.

"Kau seperti Hillary, George dan Andy," kata gadis cilik itu.

"Benarkah?" tanya William. Bertanya sambil melihat gadis itu dari spion tengah.

"Iya. Mereka juga sering berkata seperti itu," jawab Jenna dengan nada dan wajah polos, "kadang-kadang aku juga meniru mereka."

"Selama tidak buruk, kau boleh menirunya, Pamkin," kata Scarlett yang sudah menoleh ke belakang. Jaraknya sangat dekat dengan William sehingga aroma buah persik menyusupi indra pembau pria itu. Sungguh unik, pikirnya.

"Yes Mam!" jawab Jenna. Mengundang tawa bagi Scarlett kemudian mencubit pipi putrinya karena gemas.

William merasa nilai wanita itu bertambah di matanya karena berbicara lembut dan keibuan serta ramah terhadap anak kecil. Sebenarnya, tipe yang ideal untuk dijadikan istri. Namun, jangan sampai ia memikirkannya. William yakin akan mual lalu muntah di mobil apabila memikirkan tentang istri dalam sebuah ikatan pernikahan.

Ketika Scarlett sudah kembali pada posisi duduknya, angin yang berembus kecil dan membawa aroma persik tanpa sadar ia hidu dalam-dalam. Kemudian memutuskan berkata, "Well, aku tidak tahu kau akan membawa gadis gembul itu juga."

Sekali lagi Scarltt melirik William sekilas. "Memang kenapa?"

"Tidak, aku hanya berpikir kau baik sekali." William kembali tersenyum dan berkata dalam hati. Ayo! Makan pujianku Scarlett!

"Jangan terlalu positif menilai orang asing. Bisa saja kau keliru," jawab Scarlett demokratis lalu memerintah, "rumahnya di depan sana. Tolong hati-hati atau kau bisa merusak kuenya."

Sial sekali! Kenapa pula otaknya harus memerintah untuk menakhlukan wanita ini?! Setiap William maju selangkah, Scarlett mundur dua langkah dengan perisai baja.

Justru itu sensasinya, Will. Wanita yang sulit dikejar itu semakin menarik. Apa kau tidak bosan dengan wanita yang hanya kau sapa sudah bisa menghangatkan ranjangmu? Lihatlah pantat Scarlett Delillah! Padat menggoda Bung! Hatinya pun mengingatkan.

Benar. Wanita yang sudah didapat itu semakin menarik. Ini akan menjadi sesuatu yang sangat menarik. Setelah berhasil menggiringnya ke ranjang, William akan meninggalkan Scarlett. Selayaknya wanita-wanita yang ia cicipi sebelumnya. Dengan begitu egonya pun terselamatkan. Salah sendiri wanita itu mengabaikan dan mengatainya gila.

Deru halus mesin mobil menandakan kendaraan itu telah tiba di tempat tujuan. Scarlett melelas seatbelt-nya lalu milik Jemna dan mengeluarkan car seat putrinya. Sementara William turun untuk membantunya mengambil kue tart.

Saat melihat Scarlett kualahan membawa semuanya, ia bertanya, "Kenapa kau membawa car seat juga?"

"Terima kasih, berkat kau kueku datang tepat waktu. Kau sudah boleh pulang sekarang, aku akan pulang naik taksi. Jadi kita berpisah di sini. Selamat tingggal." Scarlett memutar tubuh. Sambil membawa kue di tangqn kiri, ia menggandeng Jenna sekaligus menenteng car seat. Sungguh merepotkan memang. Namun, Scarlett sama sekali tidak ingin berurusan lagi dengan William.

"A-apa?" William tercengang. Bisa-bisanya wanita itu berkata demikian padanya!

"Tapi aku tidak mau naik taksi. Aku mau naik mobil itu." Jenna sedikit cemberut. Tidak mau mengikuti langkah Scarlett karena melihat ke arah William dan MBW yang terparkir tidak jauh dari pria tercengang tersebut.

"Tidak bisa Pamkin, mobil itu akan pergi sekarang. Ayo," bujuk Scarlett sambil menarik tangan Jenna. Gadis itu malah memberungut dan menghentak-hentakkan kaki.

"Tidak! Aku mau pulang naik mobil bagus itu!"

Bangun dari keterkejutan, William mencoba mengambil kesempatan itu untuk menggaet Scarlett, seperti rencananya semula. "Woah ... woah ... sebaiknya kau tidak menelantarkan anak kecil dan membuatnya menangis, atau kau akan dimarahi ibunya."

"Apa maksudmu? Aku ibunya. Jadi tidak mungkin aku menelantarkan anakku sendiri."

Mata William membelalak. Lidahnya mendadak sudah diajak bicara sehingga tersendat-sendat. "K-kau si-siapanya?"

***

"Miaaa!" teriak Wiliiam begitu kakinya menginjak estat orangtuanya sepulang dari New York. "Miaaa!" teriak pria itu lagi.

Tidak sengaja menjumpai salah satu maid yang melitas di lorong penghubung antar ruangan yang lain, William memutuskan untuk bertanya dengan tidak sabaran. "Di mana Mia?"

"Sedang di kamar, Tuan."

Usai mengucapkan terima kasih, kaki-kaki William melangkah cepat. Membawa tubuh tegapnya ke tempat yang dimaksud maid tadi kemudian mengetuk pintu mirip orang kesurupan.

Tok tok tok

"Mia! Buka pintunya!"

Tok tok tok

"Mia!"

Lebih dari dua menit, pintu yang digedor William akhirnya terbuka. Sayang sekali Dominic yang membukanya. Seharusnya William sudah menduga kalau akan jadi seperti ini.

"Kenapa kau mencari Mia?" tanya kakaknya sambil menutup pintu kamarnya kembali.

William sedang tidak ingin bercanda sekarang. "Bisa aku bicara empat mata dengan Mia sebentar?"

"Tidak," jawab Dominic cepat sambil bersedekap tangan.

"Ck!" William mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa sepulangnya dari New York ia tidak ingin menunda penggalian informasi ini. Ada sesuatu di dalam hati dan otaknya yang memerintah untuk langsung memastikan hal penting ini. Di satu sisi, bila memang benar-dan besar kemungkinan-kalau Scarlett menikah, William pasti merasa bersalah karena telah menggoda istri orang. Otaknya mulai berfantasi, membayangkan tubuh suami Scarlett sebesar Dwayne Johnson alias The Rock yang bisa menendang atau menghajarnya sampai babak belur dengan sekali banting. Negeri, William menggeleng samar. Sebaiknya ia harus segera meminta maaf. "Ayolah Dom. Aku tidak akan menggodanya, lagi pula Mia juga tidak akan tergoda padaku. Tenang saja."

"Aku percaya pada Mia. Tapi aku tidak bisa menjaminmu. Jadi katakan saja apa yang ingin kau bicarakan dengan Mia. Di sini. Dan aku akan menyampaikan itu padanya." Dominic menekan dua kalimat terakhir.

Hasih! Dasar posesif ulung! Kenapa pula ini menjadi sangat susah?!

William menggeleng dengan tangan masih menempel di dahi. "Sulit dipercaya," ungkapnya resah. Kemudian pasrah. "Aku hanya ingin menanyakan soal Scarlett Delillah. Memangnya kau mau menjawabnya?"

Sekarang gantian Dominic yang melepas napas pasrah. Ia memang mengenal Scarlett, tetapi bukan berarti tahu segala seluk beluk sahabat istrinya. "Baiklah."

Pintu terbuka lebih lebar, tampaklah Mia sedang menidurkan Aldrich di baby bouncher dengan musik für elise yang terdengar ramah di telinga. William segera menyesali tindakannya yang tergesa-gesa dan menggedor-gedor pintu tadi. Aoakah ia tidak mengganggu bayi?

"Sorry, kupikir Aldrich bersama mom dan dad di ruang bermain." Melengkalinya dengan mengusap tengkuk, William segera mengabaikan kakaknya dan menghampiri Mia.

"Hai Will, apa yang kau lakukan?" sapa Mia. Suaranya pelan.

"Aku hanya ingin memastikan sesuatu."

Dominic yang berada di sebelah mereka pun kembali memerintah, "Kalian mengobrol di sini. Aku tidak akan menguping."

"Oh really Dom? Are you fucking seriously? Jarakmu hanya tiga langkah dariku," protes William sembari berbisik dan merentangkan tangan.

"Beri kesempatan Will duduk di sofa kamar ini kalau kau khawatir dia akan macam-macam padaku," kata Mia yang mencoba menenangkan Dominic.

Berkali-kali William berdecak melihat kakaknya. Astaga, kenapa ini sangat sulit?

Setelah beberapa waktu bernegosiasi, akhirnya William duduk di sofa kamar kakaknya bersama Mia.

"Kenapa kau tidak bilang padaku kalau dia sudah menikah dan punya anak?" tanya William tanpa basa-basi.

Sebelum memutuskan beralih ke Aldrich, Dominic menyahut, "Ck ck ck. Aku tidak percaya, pria juga bergosip."

Mengabaikan itu, Mia pun mengutarakan ketidakmemgertiannya. "Maksudmu, dia siapa?"

"Scarlett. Kau tidak pernah cerita dia sudah menikah."

"Kenapa kau bertanya soal itu?" tanya Mia penuh selidik. "Jangan katakan kau menggodanya," tuduh Mia. Tepat sasaran.

William menjambak rambutnya frustasi. Sekali lagi membayangkan suami Scarlett akan membantingnya hidup-hidup. "Kalau dia punya suami, tentu aku tidak akan menggodanya."

"Kalau pun tidak, bukan berarti kau bisa menggodanya Will. Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkan sahabatku. Kau boleh menggoda wanita lain. Tapi jangan Scarlett."

"Maksudmu? Dia tidak sedang menikah dengan seseorang sekarang?" tanya William penuh kehati-hatian. Memastikan kalimat Mia yang membuatnya ragu.

Mia menggeleng. "Aku tidak akan menceritakannya padamu."

"Ck, ayolah Mia. Aku hanya ingin minta maaf karena sudah menggodanya," paksa William dengan raut wajah memelas.

Mia malah tertawa tetapi dengan suara pelan. Meski demikian wanita itu menutupimulutnya menggunakan tangan. "Maaf Will, aku tidak percaya padamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status