Share

Chapter 3

Bukankah meminta maaf pada mantan kekasih lebih melegakan sebelum menikah?

—Regis Mondru

______________________________________________

William Molchior menyipitkan mata ketika membaca tulisan pada kartu nama Bake Me Up untuk menghalau semilir angin yang menerpanya. Setelah dipikir-pikir, kartu nama itu juga tidak terlalu bisa diandalkan. Bagaimana jika Scarlett Delillah tidak bekerja di sana? Bisa saja bukan, seseorang dimintai tolong untuk mempromosikan sesuatu? Scarlett dan toko roti itu mungkin salah satu contoh nyata.

Memasukkan kartu nama itu kembali ke saku celana, sekali lagi kedua manik hijau zambrutnya berpendar ke seluruh rooftop kapal. Acara ulang tahun pernikahan ini sudah dimulai. Namun, batang hidung Scarllet tidak muncul di mana pun.

Pada saat keputusasaan menderap pelan dibahunya, tiba-tiba William mendapat ide untuk menanyakan wanita itu pada kakak iparnya di lain kesempatan—mengingat dari gaun yang dikenakan Scarlett merupakan kode pakaian tamu undangan.

William mengambil sloki yang berisi gin and tonic dan menempelkan punggung pada pagar pembatas kapal. Meski selalu mendapatkan wanita seusai acara, sebenarnya ia sangat malas menghadiri acara semacam ini. Oleh sebab itu William tidak mnegikuti acara pesta perayaan ulang tahun pernikahan kakaknya tahun kemarin. Anggap saja kali ia sedang sial karena tidak bisa menghindar dari kakaknya yang memaksanya ikut.

Lihat? Betapa membosankannya acara ini. Mungkin seharusnya ia mengadakan pesta dan bersenang-senang di penthouse-nya tadi.

Dengan malas, William kembali menenggak sekali telan dari slokinya. Pelayan yang membawa senampan minuman kembali berjalan di sekitarnya. Pria itu lantas meletakkan sloki dan menukarnya dengan Chapellet Signature Carberet Souvignon kembali. Kemudian berusaha memperhatikan Dominic berserta istri dan anak mereka.

Dari tempatnya berdiri, para undangan terlihat sudah berkumpul melingkari tuan rumah. Samping sepasang suami istri itu terdapat meja tempat kue tart setinggi satu meter berwarna ungu muda dengan banyak hiasan bunga Lilac, lilin angka dua dan beberapa mutiara hasil karya Scarlett. Musik klasik yang tadinya mengalun keras sekarang sudah dipelankan agar para undangan fokus sepenuhnya pada keluarga kecil itu.

"Good evening everybody." Pria bercambang dengan balutan tuksedo hitam memulai pidatonya menggunakan mikrofon. "Terima kasih sudah menyempatkan diri datang ke acara kecil-kecilan anniversary kami yang kedua. Aku juga berterima kasih pada istriku, yang selama dua tahun ini sudah mau mendampingiku, juga putraku Aldrich Oswald Molchior." Dominic mengahadap Mia dan Aldrich. "Dan aku ingin mengatakan sekali lagi bahwa aku mencintaimu dan Aldrich. Juga calon bayi kita nanti."

Riuh ricuh membahana mendengar ucapan sang tuan rumah kepada istri dan anaknya. Sementara William yang berdiri tidak jauh dari tempat itu hanya mengacungkan gelas gitar Spanyol-nya pada mereka sambil nyengir kuda. Sok romantis, batinnya.

"Jadi, kupikir, kehamilan Mia sudah menjadi berita bahagia sekaligus kado terindah bagi anniversary kami," tambah pria itu lagi dan sorakan kembali memenuhi rooftop kapal.

Berikutnya acara peniupan lilin dan pemotongan kue, pembukaan tutup botol anggur merah, dan juga kembang api yang menyala-nyala di langit malam kota New York. Kemudian orangtua, mertua, dan para undangan saling memberi ucapan selamat termasuk William.

Kecuali Scarlett.

Alih-alih melihat semaraknya acara itu, ia lebih memilih menenggelamkan diri dalam kegiatan dapur yang sepi. Ia sudah mengucapkan selamat pada sahabatnya lebih dahulu. Sedangkan dengan alibi bisa mengerjakan kekurangan kue sendirian, Scarlett memerintah Jenna bersama Hillary dan semua pegawai untuk melihat kembang api.

Rasa dingin yang menyerang sepanjang tulang belakang Scarlett menyelinap ke dalam hatinya dan membentuk perasaan nyeri di sana ketika semua kata-kata suami Mia terdengar olehnya. Entah sudah berapa kali ia membuat kue pada acara ulang tahun pernikahan seperti ini, Scarlett masih belum juga terbiasa. Bohong bila ia seorang ibu yang kuat di depan teman-temanya. Padahal wanita itu sangat rapuh bila sendirian.

Meski ia sedikit pelupa, untuk beberapa alasan dalam hal tertentu, memori lama tentang Regis Mondru dalam benak Scarlett selalu muncul ke permukaan tanpa bisa ia cegah. Jika boleh memilih, ia juga ingin menikah dengan seorang pria yang mencitainya. Tidak hanya pria itu, tetapi juga keluarganya dan keluarga pria tersebut. Lalu memiliki anak yang diinginkan seperti sahabatnya yang sangat beruntung itu.

Punggung tangan Scarlett yang terbalut sarung tangan plastik dan sedang mengiris persik untuk tartlet tertimpa air matanya yang jatuh dengan sendirinya. Wanita itu mendongak, mengerjab beberapa saat untuk mencoba mengembalikan butiran bening tersebut. Namun, yang ada air matanya malah keluar semakin deras.

Scarlett menunduk dan melepaskan pegangannya pada pisau lalu meletakkan benda tajam itu di meja dan tergugu. Ia terperenyak, memegangi kaki meja dapur yang terbuat dari stenlis lalu menumpahkan semua air matanya. Menangis keras di antara bisingnya kembang api. Hingga sekujur tubuhnya tidak terkendali.

Bukan bermaksud tidak menginginkan Jenna dalam hidupnya. Scarlett hanya berpikir, seandainya Regis Mondru tidak seperti itu dan mengubahnya menjadi monster beberapa waktu lalu, pasti ia tidak akan berakhir seperti ini.

Bunyi kembang api berhenti. Suara tepuk tangan dan orang bercakap-cakap serta alunan musik klasik menghentikan tangisan Scarlett. Dengan segera, wanita itu melepas sarung tangan plastik dan mencuci wajahnya di sink dapur kemudian kembali mengerjakan kue yang sempat terhenti.

Terkutuklah Regis Mondru!

***

Kembali ke rutinas, kesibukan menunda kunjungan William ke estat orangtuanya untuk menemui kakak iparnya. Ia juga tidak bisa menelepon karena Dominic tidak akan mengizinkan Mia mengangkat teleponnya.

William menemani kakaknya untuk mengecek beberapa dokumen hasil pertambangan batu bara perusahaan mereka. Sebab di musim semi cuacanya cukup stabil, jadi ini merupakan momen yang pas untuk meningkatkan produksi.

Beberapa hari berikutnya Dominic pergi ke Utah yang tidak membutuhkan keterlibatan William. Jadi itulah momen yang tepat bagi pria berlesung pipi itu untuk menemui Mia yang kebetulan sedang diungsikan Dominic di estat orangtua mereka.

"Moomm anakmu yang tampan sedang berkunjuuung," pekik William ketika melewati taman mawar ibunya, dan seperti biasa melihat wanita paruh baya yang masih anggun itu sedang berkebun.

Ibu William menegakkan tubuh serta mendongakkan topi kuning lebar yang biasa dikenakan saat berkebun untuk mencari-cari sosok William. Apabila Dominic tipe pria yang dingin dan jarang mengunjungi estat, William kebalikannya. Ceria, mudah bergaul, ramah dan sering kali berkunjung untuk sekadar melepas rindu atau menemani ayahnya bermain golf.

Oh, jangan lupakan sifat jahil yang satu itu. Seperti sekarang contohnya. Anak bungsu dari keluarga Molchior itu malah sengaja bersembunyi di belakang salah satu maid yang selalu menemani ibunya berkebun. Kemudian tanpa sepengetahuan ibunya, William memeluk wanita paruh baya itu dari belakang.

"Astaga, Will!" seru ibunya sembari memukul lengan William yang melingkarinya.

"Aku merindukanmu. Apa kau tahu kau sangat cantik?" puja William sambil mengayun-ayunkan tubuh ibunya pelan.

"Dasar! Jangan merayuku seperti merayu wanita-wanita yang kau temui!"

Sarung tangan kuning, gunting tanaman dan topi lebar ibu William sudah berpindah ke tangan maid tadi yang tersenyum ramah. Setelah mencuci tangan di wastafel yang terletak di taman mawar itu, ibu dan anak tersebut berjalan melewati air mancur, foyer, dan resmi masuk estat.

"Aku ke sini untuk menemui Mia selagi Dom pergi. Mom tahu sendiri 'kan, kalau Dom tidak akan mengizinkanku bicara padanya kalau dia ada?"

"Apa yang ingin kau bicarakan dengannya?"

"Haruskah aku membicarakan urusan anak muda dengan Mom?" tanya William, memegangi bahu ibunya.

"Dasar! Mia sedang membuat cookies di dapur. Katanya cucuku sedang ingin makan itu"

"Aldrich?" tanya pria bermata hijau zambrut, sama seperti iris ibunya. Sementara kakaknya bermata biru terang sama seperti ayahnya.

"Bukan, maksud Mom, calon cucu keduaku," jawab ibunya, kemudian mengajak William berbelok dan kurang beberapa ruangan lagi sudah tiba di dapur.

"Ada-ada saja. Itu hanya alibi wanita hamil, Mom."

Ibu William mengibas tangan. "Tunggu saja sampai kau membuat istrimu hamil."

Membicarakan istri kontan membuat perut William mual. Demi Neptunus! Itu bukan gayanya. Jadi, ia memutuskan untuk diam. Hingga langkah membawa tubuh mereka ke dapur dan melihat Mia sedang menelepon sambil menunggu cookies-nya matang di oven.

Wanita itu tidak sendirian, ada beberapa maid yang membantunya menyiapkan segala keperluan dapur yang dibutuhkan.

Melihat kedatangan mertuanya dan William, Mia segera pun berkata jujur. "Iya, ada Mom dan Will. Apa kau mau bicara pada mereka? Oh ... baiklah." Wanita hamil muda yang masih belum terlihat buncit itu segera mengulurkan ponsel ke mertuanya. Lalu sedikit mengambil jarak untuk menerima telepon dari Dominic.

Kesempatan itu pun William gunakan sebaik mungkin. "Hai, bagaimana kabarmu?" tanya William, seklias memeluk kakak iparnya.

"Seperti yang kau lihat."

"Kata Mom, kau sedang membuat cookies, apa sudah matang?" Seperti biasa, basa-basi sangatlah penting bagi William agar tidak menimbulkan kecurigaan.

"Ya. Sayangnya belum. Kalau sudah matang, kau boleh mencicipinya nanti," ucap Mia sambil menggerakkan tangan di udara. Karena sering datang ke estat, ia juga tidak lagi bertanya tentang tujuan William datang. Biasanya adik suaminya itu kadang hanya iseng.

"Wah, terima kasih. Kau baik sekali. Ngomong-ngomong soal kue, semua kue yang ada di anniversary kalian rasanya enak. Terutama cheese cake Jepang." Pria itu pun mulai memancing, dan Mia pun mengalirkan ceritanya sendiri. Sungguh cerdas, pikir William pada dirinya sendiri sambil tersenyum penuh semangat mendengar penuturan Mia.

"Tentu saja itu buatan sahabatku, Scarlett. Kau ingat toko roti di New York yang waktu itu? Kau ada di sana juga. Dan jangan lupakan saat pesta pernikahanku. Semua kuenya dari Bake Me Up dan Scarllet yang membuatnya. Ngomong-ngomong dia pemilik toko roti itu."

***

Bunyi ban yang beradu dengan gundukan tanah dan suara mesin yang memekakan telinga menjadi pertanda seorang pengemudi monster truck sedang berlatih untuk pertandingan musim panas. Pria itu memasukkan persneleng, kemudian menginjak gas dan melepas kopling dengan cepat.

Mencapai gundukan tanah yang tinggi, Regis Mondru mencoba mengurangi kecepatan untuk membawa monster truck-nya melompat. Setelah berhasil dengan mulus, pria berambut brunette itu membelokkan stir dan mengulanginya beberapa kali. Hingga pada menit ketiga puluh, ia memutuskan untuk istirahat.

"Aku mencatat waktunya. Dan kau mengalami peningkatan," kata salah seorang kru The Crusher Hell pada Regis yang baru saja melepas headset dan menggantungkannya di leher lalu melompat turun dari mobil besar tersebut yang baru saja ia parkir di bengkel. Sedangkan helmnya ia letakkan di kursi kemudi.

"Baguslah," katanya ringkas. Membuat heran kru tadi.

"Ada apa? Kau kelihatan tidak senang?"

Sembari melepas sarung tangan dan menurunkan zipper seragam kuning neon kombinasi hitam, mereka berjalan ke deretan kursi berlengan di dalam bengkel. Dari balik kantong lapisan kemeja kotak-kotak hitamnya, Regis mengeluarkan sebungkus rokok lalu mengambil satu batang dan menyelipakannya di antara bibir. Kemudian mengoper kotak itu pada kru yang masih membawa papan catatan waktu berkalung heatset sebelum lanjut mencari pematik.

Setelah semua rokok tersulut, mereka resmi duduk. Regis membuka kulkas sebelah tempat mereka duduk dan mengeluarkan dua kaleng bir. Bersamaan dengan temannya yang meletakkan papan catatan waktu dan pematik di meja rendah depan mereka.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," todong kru tadi setelah membuka penutup kaleng dan menyesap isinya. Begitu juga dengan Regis.

Sambil mengamati para kru lain yang sibuk memeriksa kondisi monster truck-nya, Regis menjawab, "Tadi malam aku bermimpi tentangnya."

Jawaban itu menaikan kedua alis kru sekaligus sahabat Regis yang sedang membubuhkan ampas rokok pada asbak. "Tetangnya?" ulang pria negro dengan rambut gimbal tersebut, "siapa di sini yang kau maksud?"

"Scarlett," jawab Regis lagi-lagi ringkas, usai meneguk bir kaleng.

Senyum jemawa terpatri di bibir pria negro itu. "Wanita yang akan membunuhmu?"

Rasa nyeri segera menyerang hati Regis. Mau tak mau otaknya memutar kejadian pahit tersebut lalu memosisikan duduk menghadap sahabatnya. "Kadang aku berpikir, dia jadi seperti itu karena salahku."

"I've told you, that wasn't yours," tanggap temannya tanpa jeda. Sesekali menyedot rokok dan membuang asapnya.

"Tidak, memang benar itu salahku," kata Regis sedikit keras sebab suara mesin las lebih mendominasi.

Sebelum kembali meneguk bir, pria negro itu menggeleng. "Kau hanya ingin memutus hubunganmu karena ingin bersama Shelby. Cemburu Scarlett sangat berlebihan sampai menyusun strategi manipulasi untuk membunuhmu, Reg. Aku pikir itu kejahatan yang tidak bisa ditoleransi," terang Jared King sambil menurunkan kaleng minumannya dari mulut. "Jika aku jadi kau," tambahnya sedikit bersuara lebih pelan sambil menyandarkan punggung.

Jared ingat jelas kejadian beberapa tahun lalu di bengkel tim monster truck milik ayah Scarllet. Sejak saat itu pula ia menemani Regis memutus kontrak tanpa membayar uang denda karena menganggap itu sebagai kompensasi bagi ayah Scarlett dan pindah ke tim The Crusher Hell sampai sekarang.

"Sebenarnya, aku menghamili Scarlett dan menyuruhnya menggugurkan kandungan ... karena tidak ingin ada masalah dengan Shelby."

Hampir saja Jared menyemburkan bir ke wajah Regis bila tidak bisa menahan rasa kaget akibat mendengar pengakuan pria itu. Mungkin karena keadaan bengkel yang bising, sehingga bisa saja pendengarannya mengelabuhi otaknya dalam menangkap maksud Regis. "Holly shit! What the hell have you done to her?!"

"Aku menghamili Scarlett dan menyuruhnya menggugurkan kandungan karena tidak ingin ada masalah dengan Shelby," ulang Regis dengan nada sangat menyesal. Membuat Jared cepat-sepat mematikan rokok untuk menghadap pria bermata abu terang yang jernih itu sepenuhnya.

"Dengarkan aku, Dude. Kau bodoh!"

"Ayolah Jared, waktu itu kita masih muda," bela Regis pada dirinya sendiri.

"Kalau begitu aku mengubah presepsiku terhadap Scarlett. Wajar kalau dia ingin membunuhmu setelah apa yang kaulakukan padanya!" maki pria negro itu. Diam-diam juga bersalah karena menganggap masalah temannya hanya dari dari satu sisi. "Dan Mr. Harold Delillah tidak tahu Scarlett hamil, 'kan? Buktinya pria tua itu mengusir putrinya."

"Mengusir? Apa maksudmu mengusir?" tanya Regis serius.

"Kupikir kau sudah tahu setelah polisi menyelidi kasus dan membebaskannya dari tuduhan, Scarlett diusir Mr. Harold."

Satu hantaman menyerbu hati Regis. Memang semenjak kejadian itu, ia lebih memilih untuk menghindar dari segala berita yang terkait dengan Scarlett. Bukan berarti benci, tetapi karena menyesali hal yang telah dilakukannya. Karena masih muda, ia lantas tidak berpikir masak-masak sebelum memutuskan sesuatu dan takut disalahkan. Namun semakin lama dipendam, rasa bersalah itu semakin mencuat kepermukaan dan menghantui dirinya.

Bohong bila Regis tidak memikirkan berbagai spekulasi setelah kejadian itu. Terutama menyangkut diri Scarlett dan bayi mereka. Apakah Scarlett benar-benar menggugurkannya? Atau malah sebaliknya?

"Dude, apa kau tahu di mana dia sekarang?" tanya Regis setelah sekian lama berpikir sambil merokok.

"Maafkan aku Dude, aku juga tidak tahu. Kenapa kau bertanya?"

"Kupikir, aku harus minta maaf padanya."

"Tapi bagaimana dengan tunanganmu?"

Regis meletakkan kaleng birnya yang sudah kosong kemudian memejamkan mata. Asap dari rokok yang masih berada di antara jari-jemari Regis yang lain memenuhi keduanya.

"Bukankah meminta maaf pada mantan kekasih lebih melegakan sebelum menikah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status