Share

Chapter 6

Jelas ada saja batu-batu atau lintasan terjal yang harus dilalui

—Regis Mondru

_____________________________________

Regis Mondru melilitkan kostum tim The Crusher Hell di pinggangnya. Satu tangannya menyelipkan rokok yang sudah tersulut di antara bibir dan tangan yang lain meraih ransel lalu menentengnya di bahu kanan. Sambil menyapa beberapa kru yang berkemas, ia berjalan keluar garasi. 

Ketika kedua kaki yang membawa langkah serta tubuh Regis baru menginjak tanah berdebu, Jared King menyapa, “Hei, Dude. Apa kau sudah mau berangkat ke pesta Bellen?”

“Iya, aku harus segera ke sana. Bellen mau mengenalkanku pada kakaknya,” jawab pria bertindik satu di telinganya itu tanpa menoleh Jared sebab sedang membuka pintu mobil samping kemudi, melempar ransel di kursi sebelah dan menjatuhkan tubuhnya di kursi berkendara Bugatti la Voiture Noire doff edisi terbatasnya.

Dari depan garasi, Jared berjalan menuju sisi kanan mobil Regis. Melihat pria bermata abu-abu terang cemerlang itu belum menuntup pintu dan tampak masih ingin menghabiskan rokok terlebih dahulu, Jared bersidekap lalu berkomentar, “Kau dan Bellen itu lucu.”

“Lucu?” ulang Regis lalu menyedot rokok sedikit lebih dalam dan lama. Barulah menjatuhkan putung itu di bawah salah satu kakinya yang masih berada di luar mobil dan menginjaknya hingga padam.

“Kau melamarnya, dan dia menerima lamaranmu. Tapi dia baru akan mengenalkan salah satu anggota keluarganya padamu dan kau bahkan belum mengenalkan salah satu anggota keluargamu atau aku padanya.”

Sambil mengembuskan sisa asap rokok yang menguar dan bercampur udara melalui hidung serta mulut, Regis mulai menyalakan mobil. Suara deru halus itu pun mulai terdengar dan memenuhi sekitar garasi.

“Memangnya kenapa?” tanya pria itu acuh tak acuh.

“Kalian terlihat tidak sedang serius ingin menikah.”

Satu tembakan kalimat Jared melesat mengenai ego Regis. Kening pria itu berkerut samar, dengan sepasang iris kelabu indahnya menatap salah satu tangannya yang memegang kemudi, lalu memindah pandangan ke Jared lagi.

“Benarkah?” gumam Regis tampak tak yakin.

Kalau boleh jujur, Regis juga tidak tahu akan ada kejadian di mana ia tidak sengaja memikirkan ulang perihal lamarannya pada Bellen. Mengingat kembali pertemuan mereka pada pertandingan perdananya setelah vakum awal tahun lalu—Bellen yang menontonnya dan juga sempat meminta tanda tangannya sebagai fans service. Kemudian mereka saling menyukai. Cukup klasik dan sederhana. Bagian terpenting hubungan mereka berjalan mulus hingga memasuki musim semi tahun ini. Dan karena kelancaran itu, Regis yang sudah tidak ingin bermain-main memutuskan untuk melamar Bellen sebab berpikir segalanya juga akan lancar. Untuk urusan pengenalan karakter pasangan serta keluarga akan bisa ia lakukan sambil jalan.

Kenyataannya, semenjak Scarlett datang menghantui mimpinya belakangan ini, entah kenapa pikirannya menjadi terbebani. Perilah itu lantas merembet pada perkara persiapan segala sesuatu sebelum menikah sambil mengenal karakter pasangan yang rupanya tidak sepenuhnya yakin bisa ia lakoni sambil jalan. Jelas ada saja batu-batu atau lintasan terjal yang harus ia lalui. Dan Scarlett merupakan salah satunya.

“Ada apa? Kau masih memikirkan Scarlett?”

Pertanyaan Jared menarik Regis dari lamunannya. Kadang kala memiliki sahabat yang tahu dan begitu mengenalnya membuat Regis dirundung perasaan antara senang dan kesal. Jared jelas terlalu mengerti dirinya.

“Entahlah,” jawab Regis sambil mengedikkan bahu ringan. Sekarang sebelah kakinya yang masih berada di luar ia bawa ke dalam. “Tampaknya aku memang harus menemui Scarlett lebih dulu lalu minta maaf supaya aku dan Bellen bisa menikah dengan tenang.”

“Well, kalau begitu lakukanlah. Ngomong-ngomong, apa kau sudah berusaha mencarinya, Dude?”

“Kalau Coach Matthew tidak menambah jumlah latihanku, tentu aku sudah mencarinya semenjak terakhir kali kita membicarakan Scarlett,” papar Regis dengan suara pelan. Beruntungnya kegiatan di garasi sudah berhenti sejak setengah jam yang lalu, sehingga Jared bisa mendengarnya dengan jelas. “Dan apa yang harus kulakukan untuk mulai mencarinya?” imbuh Regis.

“Apa kau hidup di zaman batu?” ejek Jared sambil mencibir. “Kau hanya perlu mengetik nama Scarlett Delillah di internet. Siapa tahu muncul, entah media sosialnya, alamat tempat tinggalnya, tempat dia bekerja atau hal-hal semacam itu,” usul Jared.

Ide Jared boleh juga. “Baiklah, aku pergi dulu. Bellen pasti sudah menungguku. Thanks, Dude.”

“Hei! Setidaknya mandi dan gantilah pakaianmu jadi lebih baik! Kau sangat bau!” teriak Jared begitu mobil Regis bergerak meninggalkan garasi klub.

***

Dalam waktu 30 menit, akhirnya William melepaskan diri dari sofa, gin and tonic, serta meraih kunci BMW hitamnya dan berkendara menuju Lexon Hill.

Manhattan lumayan padat malam hari ini, mengakibatkan perjalanan yang semestinya bisa ditempuh dalam waktu 15 menit, harus molor hingga hampir setengah jam. Kendati demikian, William tidak protes.

Setibanya di Lexon Hill, pria itu melepas suit dan vest, menyisakan kemeja yang ia gulung lengannya hingga siku sehingga terkesan lebih santai lalu berjalan ke elevator. Angka yang tertera di atas pintu kotak besi tersebut menunjukkan nomor lantai 10, masih jauh untuk tiba di lantai basement. Jadi, William harus sabar menunggu.

Pria itu menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana kerja sambil bersiul. Ketika pandangannya tidak sengaja jatuh pada Bugatti la Voiture Noire doff yang kebetulan sedang melintas dan parkir tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia pun bergumam, “What the hell ... it such a good damn car. Edisi terbatas. Hanya diproduksi 10 buah di dunia ini.”

Ada perasaan kagum dan marah sekaligus ketika manik hijau zambrut William tidak lepas dari mobil yang mesin serta lampunya sudah padam itu. Ia tidak akan menambahkan perasaan marah jikalau kakaknya tidak mencoba menyibukkanya dengan setumpuk pekerjaan sehingga William terlambat untuk memiliki salah satu mobil tersebut beberapa saat lalu.

Salah satu tangan William yang masih di saku pun mengepal lalu ia gigit sedikit karena gemas. Hm ... bagaimana kira-kira apabila ia menawar mobil itu? William rasa itu ide yang bagus.

Jadi, bukannya masuk elevator yang pintu gandanya sudah terbuka, William malah sengaja berdiri di sana untuk menunggu sang pemilik mobil itu keluar. Dan ketika harapannya terkabul, sekali lagi gelombang kejut menyerangnya tanpa jeda sedetik waktu. Pikiran untuk menawar mobil itu pun sirna. Digantikan matanya yang memelotot akibat menemukan sosok yang sangat dikenalnya tengah berjalan ke elevator, tempat ia masih berdiri.

“Holly shit! Bukankah dia Regis Mondru?” William bermonolog lalu berdeham saat pria dengan balutan kemeja putih dan celana kain hitam itu sudah mendekat.

“Permisi, apa kau Regis Mondru?” tanya William yang tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak bersikap berlebihan apabila bertemu dengan idolanya. Hei, ayolah. Semua orang pasti akan berperilaku demikian.

Pria bermata kelabu cemerlang itu tersenyum pada William. “Iya benar. Aku Regis Mondru,” jawabnya lalu menekan tombol elevator supaya turun.

“Suatu kebetulan aku bertemu denganmu. Astaga, I’m your big fan. Bolehkah aku berswafoto denganmu? Hanya jika kau sedang tidak sibuk.” Mata William berkilat-kilat. Sangat antusias.

Regis melihat angka petunjuk lantai elevator sekilas. Setelah memastikan lantai tersebut masih jauh untuk tiba di basement, ia menyetujui William. “Sure. Lantainya masih jauh untuk tiba di basement.”

Pria bermata hijau itu bernapas lega. Hampir saja ia berteriak sambil salto untuk melukiskan kebahagiaannya. Dengan cepat, tangan pria itu merogoh saku celana guna mengambil ponsel. Sayangnya, gawai tersebut tidak berada di sana.

William mencari di seluruh saku yang dimiliki pakaiannya. Satu dekcakan pun lolos dari bibir pria itu sebab tidak kunjung menemukan ponselnya sementara angka elevator sudah menunjukkan lantai Ground. Sepertinya ponselnya tertinggal saku suit-nya.

“Maaf, Dude. Aku harus naik lebih dulu,” pamit Regis pada William yang berwajah kacau.

Hilang sudah kesempatan William untuk berfoto bersama sang idola. “Baiklah, sepertinya aku harus mengantre untuk foto denganmu atau meminta tanda tanganmu di pertandingan musim panasmu nanti.”

“Baiklah, sampai jumpa.”

“Sampai jumpa. Good luck for your champion.” Terpaksa, William melihat Regis masuk dan naik elevator sedangkan ia sendiri dengan malas kembali ke mobil untuk mengambil ponsel.

Sewaktu pria itu hendak mencapai kendaraannya, William baru menyadari sesuatu. Kening William berkerut semakin dalam pertanda berpikir keras. Regis Mondru memang tidak asing baginya. Namun, ada sesuatu yang mengingatkannya pada seseorang. Tapi siapa?

***

“Kita harus segera meninggalkan tempat ini,” kata Scarlett pada Hillary. Berkali-kali wanita itu mengecek jam yang melilit di pergelangan tangannya dan juga Hillary yang sedang menatap jajaran minuman keras di nampan yang dibawa pelayan dengan mata berninar-binar.

“Sebenarnya aku masih ingin di sini, Boss. Boleh tidak aku tinggal di sini untuk menjaga kue-kue cantik kita?” bujuk Hillary, secepat kilat beralih ke Scarlett dan menggenggam erat tangan bossnya. Pemilik Bake Me Up itu pun menggeleng tegas sambil berusaha melepas tangannya dari pegawai sekaligus sahabatnya.

“Tidak. Kau pasti akan mabuk. Dan kalau sudah begitu pekerjaanmu tidak akan beres. Tidak ada yang mengantarmu pulang. Lalu besok kau akan mengarang alasan macam-macam supaya membolos kerja. Itu tidak akan kubiarkan terjadi, Hill,” terang Scarlett yang sudah sangat hafal kebiasaan Hillary.

“Pelit sekali,” ejek Hillary lantaran menyentak genggaman tangan mereka dan kembali menatap nanar jajaran minuman keras yang seolah melambai-lambai.

Scarlett mendesah dan akhirnya meneyerah. “Baiklah ..., baiklah .... Kau boleh tinggal di sini dan menjaga kue-kue kita tapi dengan satu syarat. Kau tidak boleh mabuk. Jangan pernah sentuh minuman-minuman yang dibawa pelayan. Kau mengerti?”

“Yes, Mam!” jawab Hillary semangat lalu refleks memeluk Scarllet sambil melompat-lompat kecil. “Kau yang terbaik, Boss!”

“Dasar! Sudah, lepaskan aku. Jenna sudah menungguku.”

“Sorry, too happy, Boss.” Hillary tertawa kecil lalu melepaskan Scarllet.

“Ingat! Tidak ada mabuk malam ini atau gajimu akan kupotong!” Sekali lagi wanita itu mengingatkan pegawainya. Dan tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan ke arah sang tuan rumah.

“Miss Loye. Maafkan aku. Aku tidak bisa di sini lebih lama dan harus segera kembali,” pamit Scarlett pada Bellen Loye yang saat itu baru saja menurunkan ponsel dari telinga. Pertanda rampung menelepon.

Wanita berambut pirang itu mengikuti jejak Hillary yang tadi sempat cemberut. “Kenapa terburu-buru?”

“Putriku sudah menunggu,” jawab Scarlett jujur.

Bellen pun menganga dan memelotot secara serempak sebab ingatan Scarlett memberitahunya soal itu baru saja menyusupi benaknnya. Ia kemudian memaksakan seulas senyum. “Ah. aku baru ingat. Baiklah .... Sangat sekali. Padahal aku baru akan mengenalkanmu pada tunanganku. Dan mungkin kita bisa berdiskusi untuk kue pernikahan kami selagi dia ada waktu. Kau tahu, dia sibuk akhir-akhir ini dan kami jarang bertemu.”

Berita itu membuat Scarlett tak enak hati, sehingga memutuskan untuk bertanya supaya ia bisa mencari waktu diskusi perihal kue perniakahan selain malam ini. Seumpama waktunya sangat mepet, ia juga akan berusaha memikirkan diskusi itu setelah menjemput Jenna.

“Kalau boleh tahu, kapan kalian akan menikah?”

Bellen melirik ke sembarang arah, tampak berpikir. “Sebenarnya kami masih belum mendiskusikannya lagi. Tapi kau tenang saja. Begitu semuanya sudah clear, aku akan menghubungimu.”

Diam-diam Scarlett merasa lega. Setidaknya ia bisa menjemput Jenna dan istirahat setelah itu. Oh, ia juga harus mencatat dalam hati untuk memastikan Hillary tidak minum lalu mabuk.

“Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa, Miss Loye.”

Scarlett memeluk Bellen singkat lalu berjalan menuju elevator. Angka yang tertera di atas pintu menunjukkan lantai lima. Masih tersisa beberapa lantai lagi untuk tiba di rooftop.

Scarlett bersidekap sambil memandang sekeliling. Suasana pesta masih ramai dengan orang-orang yang berpakaian semi formal. Kegiatannya terhenti oleh dentingan halus elevator yang menandakan ia harus turun. Namun, ketika ia melihat pintu ganda itu terbuka, Scarlett merasa dunia di sekelilingnya runtuh seketika.

Wanita itu tidak mungkin salah lihat. Regis Mondru jelas berdiri di hadapannya. Dengan iris kelabu terangnya yang sanggup menghipnotis wanita mana saja termasuk dirinya. Dengan tubuh tinggi, potongan rambut sedikit panjang, dan aroma khas rokok bercampur parfum Aqua. Satu tindik anting di telinga kiri juga masih sama. Bedanya pria itu membiarkan cambangnya sedikit tumbuh dan wajahnya kelihatan lebih dewasa dari terakhir kali yang Scarlett lihat beberapa tahun lalu.

Organ pemompa darah Scarlett berhenti bekerja selama sedetik sebelum dua detik berikutnya memukul sepuluh kali lipat lebih kencang dari kinerja normal. Sampai-sampai wanita itu harus memegangi dadanya untuk meredakan apa yang sedang berusaha menumbuk kewarasannya. Pendengarannya pun mendadak tidak bisa berfungsi menangkap suara-suara di sekitarnya, kecuali suara detak jantungnya. Waktu juga terasa mendadak berhenti. Anehnya, ia kesusahan bernapas. Benakknya lantas membawanya kembali ke masa kenangan pahit itu.

Butuh sekian masa lamanya bagi Scarlett untuk bangkit dari putaran masa lalu dalam pikirannya. Hingga suara bariton Regis membantunya kembali ke dunia nyata.

“S-Scarlett?” panggil Regis terbata-bata.

Dentingan halus elevator pertanda pintu ganda yang akan tertutup membuat Regis mencoba menahan pintu tersebut, tetapi gagal. Kesempatan itu Scarlett gunakan untuk melarikan diri ke tangga darurat yang terletak beberapa langkah darinya. Butuh usaha super keras bagi wanita itu untuk menggerakkan sendi-sendi kakinya supaya bekerja maksimal. Ditambah ia harus menahan air mata yang sudah mulai kurang ajar, memberontak ingin keluar.

Scarlett pun bertanya-tanya. Kenapa ada Regis Mondru di sana? Apa yang dilakukan pria itu? Apakah menghadiri pesta pembukaan firma interior desain Bellen Loye? Apakah Regis berteman dengan pelanggannya? Jikalau iya pun, bukankah itu sama sekali bukan urusannya? Sungguh, Scarlett tidak ingin peduli apa pun yang berkaitan dengan Regis. Namun, kenapa air matanya malah mengucur?

Tiba di lantai delapan, Scarlett berusaha masuk bangunan dan mengecek elevator. Berharap kosong, ia mencoba peruntungan menekan tombol tersebut. Dan ketika keinginannya terwujud, ia segera turun ke basement, tempat ia memarkir Chevrolet hitamnya. Setidaknya Regis tidak berusaha mengejarnya lagi atau mungkin pria itu tidak bisa menjangkaunya.

Dalam elevator, Scarlett tidak bisa menahan air matanya yang tumpah ruah lebih deras. Rupanya, kekacauan itu tidak kunjung surut. Malah bertambah karena begitu ia tiba di basement dan pintu ganda benda tersebut terbuka, ia melihat William yang tentu saja mendapatinya sedang menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status