"Lepaskan!" bentak seorang wanita dengan tatapan murka pada pria di depannya.
"Kau sudah gila! Kau bisa mati terbawa ombak!" teriak pria itu tak kalah kencang ditengah gemuruh deburan ombak.
"Lepaskan!" Wanita itu masih berusaha melepaskan tangan si pria yang masih mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Seolah-olah sengaja tidak ingin melepaskan wanita itu.
"Seharusnya kau biarkan saja ombak itu menyeret tubuhku. Kenapa kau menyelamatkan aku!"
Dengan sekali hentakan kuat, cengkeraman tangan itu akhirnya terlepas. "Seharusnya kau tidak menyelamatkan aku."
Suara wanita itu kini terdengar lirih. Ia jongkok dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Pundaknya naik turun karena isak yang tak lagi bisa dibendung.
"Apa kau sangat putus asa dengan hidupmu?" Pria itu tersenyum masam pada wanita tersebut.
Tidak ada jawaban dari wanita yang sedang terisak di depannya. Tidak peduli dengan embusan angin laut yang menerpa tubuh yang sudah basah kuyup. Wanita itu tengah meluapkan emosi dengan tangis karena sebuah kegagalan.
Tidak ada kata yang terucap dari kedua anak manusia tersebut. Pria itu juga enggan untuk beranjak dari sana. Ia menunggu sampai wanita itu selesai dengan luapan rasanya.
Manik mata coklat milik pria berkaus hitam itu menatap langit sore. Sang mentari meredup merona merah, bersiap untuk kembali ke peraduannya. Memberikan salam perpisahan dengan meninggalkan semburat jingga di langit dan membuat awan berbentuk puzzle-puzzle yang indah dipandang mata.
Embusan angin laut yang semakin kencang menyusup ke dalam pakaian yang basah. Membelai kulit dan meninggalkan sensasi dingin. Seharusnya pria itu pergi saja, tetapi ada sesuatu yang memaksa untuk tetap berdiri di sana.
Ia memang menyukai senja, sunset, dan segala apa pun yang berhubungan dengan langit, tetapi bukan itu yang membuatnya tetap berdiri di sana. Ia juga tidak mengerti kenapa sulit sekali untuk meninggalkan wanita yang tidak ia kenal tersebut.
"Kiya!"
Teriakan dari seorang wanita yang berlari menghampiri, berhasil mengalihkan perhatian pria bermata coklat itu dari langit sore yang indah. "Kiya kamu baik-baik saja?" tanya wanita itu. Ia jongkok di depan wanita yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas lutut.
Wanita yang mengenakan jilbab berwarna peach itu mendongak. Ia kemudian menggeleng pelan.
"Kita pulang, ya," ajak sahabatnya sembari mengusap sisa air mata di pipi wanita itu. Ia membantu wanita tersebut untuk berdiri. "Terima kasih," ucapnya pada satu-satunya pria yang ada di sana. Tidak perlu meminta penjelasan apa pun, wanita itu seolah-olah tahu apa yang baru saja terjadi.
"Cepat!" Wanita bernama Kiya itu menarik lengan sahabatnya dan meninggalkan pria tersebut begitu saja. Tanpa ucapan terima kasih.
Pria itu berdecak kesal sembari menatap kepergian dua wanita yang semakin jauh melangkah meninggalkan pantai. Satu sudut bibirnya membentuk lengkungan kecil saat menyadari betapa kesalnya wanita itu karena ia sudah menggagalkan rencana wanita tersebut.
"Setipis itukah imannya? Sampai-sampai dia berpikir jika kematian akan menyelesaikan masalah." Pria itu menghela napas dan beranjak dari sana.
*
Sang mentari sudah benar-benar tenggelam. Suara lantunan murottal dan selawat dari masjid dan musala di sekitar terdengar jelas. Mengalun indah, memberi isyarat jika sebentar lagi azan magrib akan berkumandang. Mengingatkan para penduduk untuk berhenti dari segala aktifitas, dan bersiap memenuhi panggilan dari Sang Khalik untuk sejenak menunaikan kewajiban sebagai hamba-Nya.
Langit kembali menumpahkan airnya malam ini. Gemuruh suara petir dan kilat saling bersahutan. Suasana yang sangat dibenci oleh seorang wanita yang sedang meringkuk memeluk lutut. Suasana ini kembali mengingatkan ia pada kenangan pahit yang mengubah hidup keluarganya. Kejadian buruk yang mencipta luka begitu dalam dan perih. Menumbuhkan kebencian yang tidak berpenghujung. Membuat ia membenci akan takdir yang begitu kejam. Namanya Azkiya Hilya Nadifa.
"Argh!"
Teriakan itu tenggelam bersama dengan bisingnya denting yang berjatuhan di atas atap rumah dan gemuruh di langit malam.
Pyar
Suara pecahan kaca meja rias terdengar cukup jelas ditelinga wanita paruh baya yang sedang bersandar di balik pintu kamar putrinya. Air mata terus meluncur bebas membasahi pipi. Matanya terpejam merasakan perih di hati manakala teriakan dan makian terdengar jelas di telinga. Tangannya meremas daster yang ia pakai.
"Argh! Berhenti! Hentikan suara sialan itu! Seharusnya Engkau tahu aku sangat membenci suara-suara itu!" Kembali teriakan itu terdengar dari dalam kamar.
Kini wanita paruh baya itu menangis meraung. Memukul pelan dadanya beberapa kali. Jeritan dan teriakan itu bagai sebuah sembilu yang menyayat. Dengan sabar, ia menunggu sampai putrinya di dalam sana benar-benar tenang.
Hujan sudah mulai reda, hanya meninggalkan rintik gerimis. Gemuruh di langit dan kilat sudah tak terdengar lagi. Pun dengan teriakan di dalam kamar sederhana itu.
Ceklek.
Perlahan pintu kamar terbuka. Pertama yang ditangkap oleh netra wanita paruh baya itu adalah putrinya yang sedang meringkuk memeluk lutut. Ia melangkah naik ke atas tempat tidur, menghampiri sang putri.
"Semua baik-baik saja, Nak. Ibu di sini." Ia memeluk erat tubuh putrinya yang sedang menangis terisak. "Sudah reda. Dia tidak akan turun lagi," sambungnya. Sebelah tangannya tidak berhenti membelai kepala putri tercinta. Sedangkan air mata, terus menganak sungai membasahi pipi.
“Kiya benci mereka, Bu. Kiya benci!” Suara itu terdengar lirih di tengah isakan.
Sang mentari masih belum menampakkan sinarnya meskipun jam yang menempel di dinding rumah sederhana itu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Suasana dingin masih menyelimuti desa. Gumpalan awan bertengger menutup langit biru. Seolah-olah sengaja menyembunyikan sang mentari.Kiya duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya mengikuti setiap gerakan sang ibu yang sedang merapikan kamarnya."Biar Kiya saja, Bu," ucapnya dan mendapat senyum lembut dari sang ibu."Tidak apa. Ibu hari ini sedang tidak ada pesanan. Jadi, punya banyak waktu," jawab sang ibu.Kiya tersenyum getir mendengar jawaban wanita paruh baya yang sedang membersihkan pecahan kaca meja rias miliknya.Kiya tahu, ibunya tidak akan membiarkan ia menyentuh pecahan kaca itu. Bukan hanya takut akan melukai tangan atau anggota tubuh Kiya yang lain, tetapi sang ibu lebih takut jika putrinya sengaja akan melukai diri sendiri dengan pecahan kaca tersebut.Bukan tanpa alasan kekhawatiran itu muncul. Kiya sudah sering melukai diri sen
Kiya sudah duduk di tengah dua gundukan tanah yang bersebelahan. Nisan kayu bertuliskan nama dua orang yang ia sayangi tertancap di bagian atas tanah. Helaan napas berat terdengar dari wanita itu. Sudah sangat lama ia tidak pernah berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir ayah dan kakaknya. “Kenapa kalian bisa pergi dengan mudahnya. Sedangkan aku? Rasanya tidak adil saat aku selalu saja gagal melakukan itu. Kalian tahu, dunia ini sangat kejam. Entah kenapa keadilan tidak berpihak pada orang kecil seperti kita.” Kiya menatap sebuah gundukan tanah di samping kirinya. “Kak, apa kamu tahu? Rasanya begitu berat untuk tetap bertahan. Aku sekarang tahu, kenapa kamu dulu memilih untuk meninggalkan dunia ini. Tetapi, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama sepertimu? Rasanya sangat tidak adil. Kak.”Setetes air mata jatuh saat Kiya memejamkan mata. Ia beralih menatap gundukan tanah di sisi kanannya. “Yah, Ayah pernah berjanji akan menjaga aku dan Ibu setelah Kakak pergi, bukan? Tetap
Sementara itu, di tempat lain di desa yang sama. Kiya sedang membantu ibunya menyiapkan pesanan dadakan untuk makan siang dari salah satu pemilik homestay di sana. Ibu Kiya sendiri membuka usaha katering tersebut setelah kepergian suaminya, tepat tiga bulan setelah kepergian kakak perempuan Kiya.Setelah kepergian suami tercinta, Ratna harus tetap memutar otak untuk membiayai kebutuhan sehari-hari mereka dan juga biaya sekolah Kiya yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Tawaran dari salah seorang tetangga menjadi awal mula usahanya. Merambat dari informasi mulut ke mulut, usaha katering Ratna semakin berkembang. Dia rutin menyiapkan pesanan untuk wisatawan yang datang setiap minggu di beberapa penginapan yang ada di sana.Dari hasil katering itu, Ratna juga sudah mempersiapkan tabungan untuk biaya kuliah putri bungsunya. Namun, impian itu harus terkubur bersama dengan luka yang putrinya rasakan. Tidak putus asa, Ratna tetap berdoa. Semoga suatu saat Tuhan akan mendengarkan
“Sorry, sengaja,” balas pria itu tanpa dosa. Ia bahkan mengulas senyum yang begitu menyebalkan. “Aku mau mengembalikan ini,” sambungnya sambil menyodorkan uang pada Kiya.“Minggir!” teriak Kiya. Ia mengabaikan pria itu.“Temanmu bilang, bensin itu dibeli pakai uang milikmu. Aku tidak mau punya hutang. Jadi, ambil ini.” Pria itu masih belum menyerah.Kiya menatap marah pria di depannya. “Kembalikan saja pada temanku!”“Ck! Apa susahnya, sih, ambil saja,” decak pria itu.“Kenzie … lo ngapain di situ?” teriak teman Kenzie berhasil mengalihkan perhatian pria itu.“Sebentar,” balasnya sambil menoleh ke arah temannya.Kiya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menarik tuas gas motornya dan melajukan kendaraan roda dua tersebut.“Argh!” erang Kenzie saat stang motor Kiya menabrak lengannya. “Cewek si … astagfirullah al-adzim,” imbuhnya yang meralat kalimat yang belum ia lanjutkan. Ia tersenyum miring mantap motor milik Kiya yang menghilang di tikungan.Kiya yang sudah memarkirkan motornya
Ratna menatap wajah putrinya. Mata berhias bulu lentik itu masih terpejam. “Kiya.” Ratna segera menggenggam tangan putrinya saat melihat mata putrinya mengerjap. Dita menoleh menatap ibunya setelah mata itu terbuka lebar dan kesadarannya kembali sepenuhnya. “Kiya baik-baik saja, Bu. Kiya hanya kecapean,” imbuhnya berusaha meyakinkan sang ibu yang menatap khawatir padanya. Ratna hanya mengganggu bersamaan dengan air mata yang menetes. “Jangan buat ibu khawatir, Nak. Istirahatlah kalau kamu merasa badanmu sudah lelah.” Ratna mengusap kepala putrinya dan mendapat anggukan dai wanita itu. Ratna tahu jika putrinya sedang berdusta. Pun dengan Kiya yang tahu jika ibunya pasti tahu alasan sebenarnya kenapa dia bisa pingsan. Namun, keduanya memilih untuk tidak membahas apa pun. Ratna tidak ingin putrinya semakin sedih dan membuat Kiya kembali mengingat hal menyedihkan itu lagi. Karena itu dia memilih mengiyakan alasan putrinya dan menyimpannya dengan rapat. “Kamu istirahat saja, ya. Untuk b
Sebuah penginapan sudah dipesan oleh Hamish untuk mereka menginap beberapa hari di sana. Keduanya hanya istirahat sebentar karena mereka sudah ada janji dengan pemilik tanah yang akan mereka beli. Obrolan itu berlangsung cukup lama. Sampai kesepakatan tentang harga di dapat oleh kedua belah pihak.Hamish dan Kenzie kembali ke penginapan untuk beristirahat. Mereka juga mendapatkan informasi tentang tukang yang akan bertanggung jawab untuk pembangunan penginapan milik Kenzie. Dan yang membuat Hamish heran adalah, Kenzie ingin mengawasi sendiri pembangunan itu sampai selesai. Tentu saja hal itu semakin membuat pria super teliti itu merasa curiga. Kenzie biasa tidak akan turun tangan sendiri. Dia biasanya hanya akan terlibat di awal dan menerima laporan dari kantor saja. Tapi, kali ini berbeda. “Minta mereka untuk mengurus semuanya, Ham,” titah Kenzie pada asistennya dan mendapat anggukan dari pria itu. Ia menghampiri asistennya tersebut dan menepuk pundak Hamish. “Kau istirahat saja. A
Kenzie tidak menyerah begitu saja meskipun mendapat penolakan dari Kiya beberapa kali. Pria itu tetap menyapa Kiya. Dia akan menunggu wanita berparas ayu itu setiap hari saat mengantar makan siang ke tempatnya. “Bukankah kamu bisa membayar beberapa pekerja tambahan agar proyek pembangunan penginapan itu bisa selesai lebih cepat, Kenzie?” tanya sang papa lewat sambungan telepon. “Pekerja yang saat ini saja sudah cukup, Pa. Aku juga tidak ingin buru-buru.” Hanya jawaban itu yang Kenzie berikan pada sang papa. Bukan tanpa alasan Radit bertanya seperti itu pada putranya. Pasalnya Kenzie tidak bersikap seperti biasanya. Bertanya pada Hamish pun pria paruh baya itu tidak mendapat jawaban yang memuaskan. “Saya tidak menemukan bukti apa-apa yang bisa menjawab kecurigaan Anda, Tuan.” Hanya jawaban itu yang bisa Hamish berikan saat Radit meminta penjelasan kenapa putranya tidak ikut pulang bersamanya dan apakah ada yang hal lain yang sedang direncanakan oleh Kenzie tanpa sepengetahuannya
“Ah, Bapak bisa saja,” elak Kenzie.Pria paruh baya itu terkekeh pelan. “Jangan diambil hati kalau Kiya bersikap seperti itu, ya, Den. Kiya sebenarnya anak yang baik. Dia juga sangat ramah dan disayangi oleh orang-orang di desa ini. Terutama anak-anak. Dulu, Kiya sangat aktif di mushola dekat rumahnya. Dia selalu membantu mengajar ngaji di sana.”“Tapi kenapa sekarang saya tidak pernah lihat dia datang ke mushola, Pak? Padahal jarak mushola dan rumahnya sangat dekat,” tanya Kenzie. Kedua orang itu sedang duduk mengawasi para pekerja. Pak Min sendiri adalah pemborong yang Kenzie percaya untuk membangun penginapan tersebut. Pria paruh baya itu mulai bercerita sedikit tentang Kiya.Kenzie cukup terkejut mendengar cerita Pak Min. Ia tidak menyangka jika wanita dingin yang selama ini membuatnya penasaran itu memiliki sebuah masa lalu yang menyakitkan.“Apa sampai sekarang tidak ada yang tahu pelakunya, Pak?” tanya Kenzie setelah mendengar cerita Pak Min.“Tidak. Kami menemukan Kiya di pos