Share

Pesona Wanita yang Ternoda
Pesona Wanita yang Ternoda
Author: Banyu Biru

CHAPTER 1. Seharusnya Aku Mati!

"Lepaskan!" bentak seorang wanita dengan tatapan murka pada pria di depannya.

"Kau sudah gila! Kau bisa mati terbawa ombak!" teriak pria itu tak kalah kencang ditengah gemuruh deburan ombak.

"Lepaskan!" Wanita itu masih berusaha melepaskan tangan si pria yang masih mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Seolah-olah sengaja tidak ingin melepaskan wanita itu.

"Seharusnya kau biarkan saja ombak itu menyeret tubuhku. Kenapa kau menyelamatkan aku!" 

Dengan sekali hentakan kuat, cengkeraman tangan itu akhirnya terlepas. "Seharusnya kau tidak menyelamatkan aku."

Suara wanita itu kini terdengar lirih. Ia jongkok dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Pundaknya naik turun karena isak yang tak lagi bisa dibendung.

"Apa kau sangat putus asa  dengan  hidupmu?" Pria itu tersenyum masam pada wanita tersebut.

Tidak ada jawaban dari wanita yang sedang terisak di depannya. Tidak peduli dengan embusan angin laut yang menerpa tubuh yang sudah basah kuyup. Wanita itu tengah meluapkan emosi dengan tangis karena sebuah kegagalan.

Tidak ada kata yang terucap dari kedua anak manusia tersebut. Pria itu juga enggan untuk beranjak dari sana. Ia menunggu sampai wanita itu selesai dengan luapan rasanya.

Manik mata coklat milik pria berkaus hitam itu menatap langit sore. Sang mentari meredup merona merah, bersiap untuk kembali ke peraduannya. Memberikan salam perpisahan dengan meninggalkan semburat jingga di langit dan membuat awan berbentuk puzzle-puzzle yang indah dipandang mata.

Embusan angin laut yang semakin kencang menyusup ke dalam pakaian yang basah. Membelai kulit dan meninggalkan sensasi dingin. Seharusnya pria itu pergi saja, tetapi ada sesuatu yang memaksa untuk tetap berdiri di sana. 

Ia memang menyukai senja, sunset, dan segala apa pun yang berhubungan dengan langit, tetapi bukan itu yang membuatnya tetap berdiri di sana. Ia juga tidak mengerti kenapa sulit sekali untuk meninggalkan wanita yang tidak ia kenal tersebut.

"Kiya!"

Teriakan dari seorang wanita  yang berlari menghampiri, berhasil mengalihkan perhatian pria bermata coklat itu dari langit sore yang indah. "Kiya kamu baik-baik saja?" tanya wanita itu. Ia jongkok di depan wanita yang sedang menelungkupkan wajahnya di atas lutut.

Wanita yang mengenakan jilbab berwarna peach itu mendongak. Ia kemudian menggeleng pelan.

"Kita pulang, ya," ajak sahabatnya sembari mengusap sisa air mata di pipi wanita itu. Ia membantu wanita tersebut untuk berdiri. "Terima kasih," ucapnya pada satu-satunya pria yang ada di sana.  Tidak perlu meminta penjelasan apa pun, wanita itu seolah-olah tahu apa yang baru saja terjadi.

"Cepat!" Wanita bernama Kiya itu menarik lengan sahabatnya dan meninggalkan pria tersebut begitu saja. Tanpa ucapan terima kasih. 

Pria itu berdecak kesal sembari menatap kepergian dua wanita yang semakin jauh melangkah meninggalkan pantai. Satu sudut bibirnya membentuk lengkungan kecil saat menyadari betapa kesalnya wanita itu karena ia sudah menggagalkan rencana wanita tersebut.

"Setipis itukah imannya? Sampai-sampai dia berpikir jika kematian akan menyelesaikan masalah." Pria itu menghela napas dan beranjak dari sana.

*

Sang mentari sudah benar-benar tenggelam. Suara lantunan murottal dan selawat dari masjid dan musala di sekitar terdengar jelas. Mengalun indah, memberi isyarat jika sebentar lagi azan magrib akan berkumandang.  Mengingatkan para penduduk untuk berhenti dari segala aktifitas, dan bersiap memenuhi panggilan dari Sang Khalik untuk sejenak menunaikan kewajiban sebagai hamba-Nya.

Langit kembali menumpahkan airnya malam ini. Gemuruh suara petir dan kilat saling bersahutan. Suasana yang sangat dibenci oleh seorang wanita yang sedang meringkuk memeluk lutut. Suasana ini kembali  mengingatkan ia pada kenangan pahit yang mengubah hidup keluarganya. Kejadian buruk yang mencipta luka begitu dalam dan perih. Menumbuhkan kebencian yang tidak berpenghujung. Membuat ia membenci akan takdir yang begitu kejam. Namanya Azkiya Hilya Nadifa.

"Argh!"

Teriakan itu tenggelam bersama dengan bisingnya denting yang berjatuhan di atas atap rumah dan gemuruh di langit malam.

Pyar

Suara pecahan kaca meja rias terdengar cukup jelas ditelinga wanita paruh baya yang sedang bersandar di balik pintu kamar putrinya. Air mata terus meluncur bebas membasahi pipi. Matanya terpejam merasakan perih di hati manakala teriakan dan makian terdengar jelas di telinga. Tangannya meremas daster yang ia pakai. 

"Argh! Berhenti! Hentikan suara sialan itu! Seharusnya Engkau tahu aku sangat membenci suara-suara itu!" Kembali teriakan itu terdengar dari dalam kamar.

Kini wanita paruh baya itu menangis meraung. Memukul pelan dadanya beberapa kali. Jeritan dan teriakan itu bagai sebuah sembilu yang menyayat. Dengan sabar, ia menunggu sampai putrinya di dalam sana benar-benar tenang.

Hujan sudah mulai reda, hanya meninggalkan rintik gerimis. Gemuruh di langit dan kilat sudah tak terdengar lagi. Pun dengan teriakan di dalam kamar sederhana itu.

Ceklek.

Perlahan pintu kamar terbuka. Pertama yang ditangkap oleh netra wanita paruh baya itu adalah putrinya yang sedang meringkuk memeluk lutut. Ia melangkah naik ke atas tempat tidur, menghampiri sang putri.

"Semua baik-baik saja, Nak. Ibu di sini." Ia memeluk erat tubuh putrinya yang sedang menangis terisak. "Sudah reda. Dia tidak akan turun lagi," sambungnya. Sebelah tangannya tidak berhenti membelai kepala putri tercinta. Sedangkan air mata, terus menganak sungai membasahi pipi. 

“Kiya benci mereka, Bu. Kiya benci!” Suara itu terdengar lirih di tengah isakan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status