Tiga minggu sudah berlalu. Semua berjalan lancar. Pekerjaan di kantor sang papa berhasil Kenzie tangani seperti biasa. Namun, pria tampan itu belum bisa menata hatinya dengan benar. Hubungannya dengan Shanum juga berjalan layaknya atasan dan sekretaris saja. Ada sebuah perasaan yang berhasil menggelitik dan mengusik hati Kenzie. Rindu. Dia benar-benar rindu pada sosok wanita asing yang berhasil mengacak-ngacak hatinya. Berulang kali menepis dengan membalas pesan Shanum dan berkomunikasi dengan wanita itu seperti permintaan kedua orang tuanya, tetapi wajah Kiya semakin jelas berkelebatan dan menghantui setiap waktu. Seperti pagi itu, saat Shanum sedang menunggunya selesai menandatangani beberapa berkas penting. Pikiran Kenzie sedang berkelana dan tiba-tiba saja wajah Amar melintas dan semakin membuatnya merasa tidak tenang. Ia gelisah dan takut pria itu akan mendatangi Kiya. Dia belum mencari tahu siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Kiya. "Maaf, Pak. Apa ada masalah dengan
Kiya masih menunggu Amar melanjutkan ucapannya. Membiarkan suara angin yang menerpa pepohonan di sekitar mereka mendominasi suasana yang terasa canggung. “Apa pria itu adalah pilihan kamu, Ky? Apa kamu benar-benar mempunyai hubungan dengannya?” Amar bertanya dan ingin memastikan untuk terakhir kalinya. “Kenapa kamu bertanya hal yang akan menyakiti diri kamu sendiri, A? Bukannya sudah cukup tahu dan tidak perlu mencari tahu kejelasan hubunganku dengan siapapun? Bukti seperti apalagi yang kamu inginkan?” Kiya balik bertanya. Ia beranikan diri untuk menatap Amar berusaha mengendalikan diri. “Aku hanya ingin memastikan, Ky. Kalau kamu benar-benar mencintai pria itu, maka aku akan melepaskanmu dan menjalani kehidupanku yang baru. Jika dia benar-benar pilihanmu, sekeras apa pun aku memberi makan egoku, maka aku akan kalah. Aku bisa bersaing dengan puluhan laki-laki yang mencintai dan mengejarmu, tapi aku tidak akan mampu bersaing dengan satu pria yang kamu cintai.” Kalimat Amar terdenga
Obrolan kedua anak manusia itu masih berlanjut. "Aku sudah siap dengan semua resikonya, Kak. Boleh aku bertemu dengannya?" pinta Shanum dan mendapat gelengan dari Kenzie. "Dia tidak akan bisa menerima orang baru, Num. Aku tidak yakin dia mau bertemu dengan kamu." Shanum hanya menghela napas berat mendengar jawaban Kenzie. Dia tidak ingin memaksa pria itu lagi. "Sudah malam, Num. Sebaiknya kita kembali ke dalam." Kenzie berdiri dari duduknya dan berjalan lebih dulu, diikuti Shanum di belakangnya. Obrolan mereka memang sudah selesai, tetapi tidak dengan perasaan Shanum untuk Kenzie. Ia memutuskan untuk menunggu. Orang tua mereka tersenyum menyambut anak-anak mereka yang sudah datang dan ikut bergabung bersama mereka. Tidak ada yang membahas seputar hubungan antara Shanum dan Kenzie. Mereka seolah tahu dan tidak ingin membahas apa pun untuk menghargai perasaan anak-anak mereka. Mereka hanya membahas seputar pekerjaan Shanum di kantor. “Sejauh ini Shanum bekerja dengan sangat baik
Kiya tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Kenzie. Ia pikir, pria itu tidak akan pernah kembali lagi ke desa. Kiya merutuki dirinya sendiri yang tidak berani mengucapkan kata maaf pada pria itu. Padahal, rangkaian kata maaf sudah ia susun sebaik mungkin, nyatanya ia membisu saat di depan pria itu. “Kamu kenapa, Nak?” Ratna mengerutkan kening saat melihat Kiya yang langsung masuk ke dalam kamar. Kiya duduk di sisi tempat tidur dan mengatur napasnya. Beberapa kali ia menarik napas dan mengembuskan perlahan. “Argh!” Kiya frustasi sendiri dengan perasaannya. Ia paling tidak suka dengan rasa bersalah yang terus memenuhi benaknya. “Mau ke mana lagi, Nak?” tanya Ratna saat melihat Kiya kembali ke luar dari kamar.“Ada urusan yang harus Kiya selesaikan, Bu,” jawab Kiya. Ratna tidak bisa bertanya lagi karena Kiya sudah menghilang di balik pintu yang sudah kembali tertutup. Motor Kiya kembali terparkir di tempat biasa. Ia melirik mobil di sampingnya. seharusnya ia bisa langsung turun
"Lepaskan!" bentak seorang wanita dengan tatapan murka pada pria di depannya."Kau sudah gila! Kau bisa mati terbawa ombak!" teriak pria itu tak kalah kencang ditengah gemuruh deburan ombak."Lepaskan!" Wanita itu masih berusaha melepaskan tangan si pria yang masih mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Seolah-olah sengaja tidak ingin melepaskan wanita itu."Seharusnya kau biarkan saja ombak itu menyeret tubuhku. Kenapa kau menyelamatkan aku!" Dengan sekali hentakan kuat, cengkeraman tangan itu akhirnya terlepas. "Seharusnya kau tidak menyelamatkan aku."Suara wanita itu kini terdengar lirih. Ia jongkok dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Pundaknya naik turun karena isak yang tak lagi bisa dibendung."Apa kau sangat putus asa dengan hidupmu?" Pria itu tersenyum masam pada wanita tersebut.Tidak ada jawaban dari wanita yang sedang terisak di depannya. Tidak peduli dengan embusan angin laut yang menerpa tubuh yang sudah basah kuyup. Wanita itu tengah meluapkan emosi
Sang mentari masih belum menampakkan sinarnya meskipun jam yang menempel di dinding rumah sederhana itu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Suasana dingin masih menyelimuti desa. Gumpalan awan bertengger menutup langit biru. Seolah-olah sengaja menyembunyikan sang mentari.Kiya duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya mengikuti setiap gerakan sang ibu yang sedang merapikan kamarnya."Biar Kiya saja, Bu," ucapnya dan mendapat senyum lembut dari sang ibu."Tidak apa. Ibu hari ini sedang tidak ada pesanan. Jadi, punya banyak waktu," jawab sang ibu.Kiya tersenyum getir mendengar jawaban wanita paruh baya yang sedang membersihkan pecahan kaca meja rias miliknya.Kiya tahu, ibunya tidak akan membiarkan ia menyentuh pecahan kaca itu. Bukan hanya takut akan melukai tangan atau anggota tubuh Kiya yang lain, tetapi sang ibu lebih takut jika putrinya sengaja akan melukai diri sendiri dengan pecahan kaca tersebut.Bukan tanpa alasan kekhawatiran itu muncul. Kiya sudah sering melukai diri sen
Kiya sudah duduk di tengah dua gundukan tanah yang bersebelahan. Nisan kayu bertuliskan nama dua orang yang ia sayangi tertancap di bagian atas tanah. Helaan napas berat terdengar dari wanita itu. Sudah sangat lama ia tidak pernah berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir ayah dan kakaknya. “Kenapa kalian bisa pergi dengan mudahnya. Sedangkan aku? Rasanya tidak adil saat aku selalu saja gagal melakukan itu. Kalian tahu, dunia ini sangat kejam. Entah kenapa keadilan tidak berpihak pada orang kecil seperti kita.” Kiya menatap sebuah gundukan tanah di samping kirinya. “Kak, apa kamu tahu? Rasanya begitu berat untuk tetap bertahan. Aku sekarang tahu, kenapa kamu dulu memilih untuk meninggalkan dunia ini. Tetapi, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama sepertimu? Rasanya sangat tidak adil. Kak.”Setetes air mata jatuh saat Kiya memejamkan mata. Ia beralih menatap gundukan tanah di sisi kanannya. “Yah, Ayah pernah berjanji akan menjaga aku dan Ibu setelah Kakak pergi, bukan? Tetap
Sementara itu, di tempat lain di desa yang sama. Kiya sedang membantu ibunya menyiapkan pesanan dadakan untuk makan siang dari salah satu pemilik homestay di sana. Ibu Kiya sendiri membuka usaha katering tersebut setelah kepergian suaminya, tepat tiga bulan setelah kepergian kakak perempuan Kiya.Setelah kepergian suami tercinta, Ratna harus tetap memutar otak untuk membiayai kebutuhan sehari-hari mereka dan juga biaya sekolah Kiya yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Tawaran dari salah seorang tetangga menjadi awal mula usahanya. Merambat dari informasi mulut ke mulut, usaha katering Ratna semakin berkembang. Dia rutin menyiapkan pesanan untuk wisatawan yang datang setiap minggu di beberapa penginapan yang ada di sana.Dari hasil katering itu, Ratna juga sudah mempersiapkan tabungan untuk biaya kuliah putri bungsunya. Namun, impian itu harus terkubur bersama dengan luka yang putrinya rasakan. Tidak putus asa, Ratna tetap berdoa. Semoga suatu saat Tuhan akan mendengarkan