Share

CHAPTER 2. Aku Baik-baik Saja

Sang mentari masih belum menampakkan sinarnya meskipun jam yang menempel di dinding rumah sederhana itu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi.  

Suasana dingin masih menyelimuti desa. Gumpalan awan bertengger menutup langit biru. Seolah-olah sengaja menyembunyikan sang mentari.

Kiya duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya mengikuti setiap gerakan sang ibu yang sedang merapikan kamarnya.

"Biar Kiya saja, Bu," ucapnya dan mendapat senyum lembut dari sang ibu.

"Tidak apa. Ibu hari ini sedang tidak ada pesanan. Jadi, punya banyak waktu," jawab sang ibu.

Kiya tersenyum getir mendengar jawaban wanita paruh baya yang sedang membersihkan pecahan kaca meja rias miliknya.

Kiya tahu, ibunya tidak akan membiarkan ia menyentuh pecahan kaca itu. Bukan hanya takut akan melukai tangan atau anggota tubuh Kiya yang lain, tetapi sang ibu lebih takut jika putrinya sengaja akan melukai diri sendiri dengan pecahan kaca tersebut.

Bukan tanpa alasan kekhawatiran itu muncul. Kiya sudah sering melukai diri sendiri. Bahkan ia beberapa kali mencoba menghilangkan nyawanya sendiri. Namun, Tuhan masih menginginkan wanita itu untuk tetap hidup. Itu juga yang membuat wanita muda berusia 22 tahun itu benci dengan takdir hidupnya. Jilbab memang menutupi kepalanya dan pakaian syar'i selalu membungkus tubuhnya, tetapi ia tidak pernah menjalankan kewajibannya pada Tuhan.

Kejadian pahit yang menimpa, membuat Kiya kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Namun, ia tetap mengenakan pakaian muslimah itu untuk menutupi luka di tubuhnya. 

“Hari ini mau pergi ke luar atau di rumah saja?” tanya sang ibu. Wanita paruh baya itu sudah selesai membersihkan kamar putrinya.  Ia duduk di samping Kiya dan meraih tangan sang putri.

“Masih pendek, Bu!” protes Kiya saat sang ibu akan memotong kukunya. Ia menarik tangannya dan menyembunyikan di balik punggung.

“Tetapi ibu tidak suka. Itu akan kembali melukai tubuhmu, Nak,” balas sang ibu. Wanita  paruh baya itu menatap lembut putrinya. Kiya bisa melihat kesedihan di balik tatapan tersebut.

Kiya mendengkus pasrah. Ia kemudian meletakkan tangannya di pangkuan sang ibu. Membuat wanita paruh baya itu tersenyum senang.

“Terima kasih sudah mau mendengarkan ibu,” ucap sang ibu dan mulai memotong kuku putrinya.

Sekeras apa pun Kiya, ia akan berpikir ulang untuk membantah dan menyakiti hati ibunya. Itu juga yang membuat wanita paruh baya tersebut hanya mengawasi Kiya dari balik pintu kamar saat kemarahan putrinya sedang kambuh.

 Kiya pernah menyakiti sang ibu saat wanita paruh baya itu mencoba menenangkannya. Membuat Kiya menyesal dan semakin menyalahkan diri sendiri. Karena itu, sang ibu menjauhkan semua benda tajam dan berbahaya dari Kiya. 

Setelah memotong kuku jari putrinya yang sudah sedikit panjang, Ratna mulai mengobati luka yang memenuhi leher dan lengan sang putri. Kiya meringis merasakan perih, tetapi tidak ada rintihan yang keluar dari mulut wanita berparas ayu tersebut.

“Setelah ini kamu istirahat saja, ya. Jangan ke mana-mana,” pinta sang ibu dan mendapat anggukan dari Kiya. 

Suara salam di depan pintu menghentikan pergerakan Ratna. Wanita paruh baya itu merapikan potongan kuku yang ia kumpulkan  dan membuangnya bersama pecahan kaca yang sudah terkumpul. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu depan sembari menjawab salam. 

“Bu, Kiya ….” Wanita cantik berkaus biru tersebut menatap khawatir pada  Ratna.

“Kiya ada di kamarnya. Kamu tolong temani dia, ya. Ibu mau ke luar sebentar,” pinta Ratna dan mendapat anggukan dari wanita cantik yang sedang berdiri di ambang pintu. “Ayo masuk,” ajak Ratna.

Kedua wanita itu masuk. Ratna masuk ke sisi lain ruangan, sedangkan wanita muda itu masuk ke kamar Kiya.

“Kiya,” panggilnya dan berhasil mengalihkan perhatian wanita yang sedang duduk sembari memperhatikan sebuah foto di tangannya.

“Hem.” Kiya melirik sebentar sahabatnya, kemudian kembali menatap foto di tangannya. “Aku baik-baik saja, El,” lanjutnya.

“Tetapi aku tidak percaya,” tukas Elena. Wanita itu naik ke atas tempat tidur dan duduk bersila menghadap Kiya. “Ini apa? Ini, ini, ini ….” Ia menunjuk beberapa luka baru di lengan dan leher sahabatnya.

Elena sudah paham apa yang terjadi dengan sahabatnya itu setiap kali hujan deras turun bersamaan dengan kilat dan petir yang saling bersahutan.

“Hanya luka kecil,” balas Kiya dengan santai. Ia kemudian meletakkan foto dalam pigura di tangannya ke atas meja di sisi tempat tidur. “Antar aku ke rumah Ayah dan Kak Andin, yuk,” ucapnya lagi.

“Serius?” Mata Elena membulat sempurna. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya tersebut. “Kapan?” tanyanya. 

“Sekarang. Tapi aku izin sama Ibu dulu,” jawab Kiya dan mendapat anggukan dari Elena. Kiya beranjak dari duduknya dan  menemui  ibunya  di kamar sebelah untuk meminta izin.

Elena adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengan Kiya. Bukan hal yang mudah meyakinkan Kiya jika dia memang tulus ingin berteman dengan wanita itu.

Setelah kejadian buruk yang menimpanya, Kiya benar-benar menutup  diri dari orang lain. Ia hanya mau bicara dengan ibunya. Kiya benci setiap melihat orang-orang yang menatap iba dan jijik padanya.  Namun, hati Kiya luluh oleh ketulusan Elena.

Mereka memang sudah berteman sejak SD. Namun, setelah lulu SMP, Elena melanjutkan sekolah di kampung halaman ibunya di Bandung. Kedua orang tua Elena berpisah saat ia duduk di kelas 3 SMP. Elena baru kembali ke desa kelahirannya setelah lulus SMA. Niatnya memang ingin bertemu dengan Kiya dan mengajak sahabatnya itu untuk bekerja di kota. Ia juga mempunyai maksud lain. Elena ingin menyampaikan sebuah rahasia yang selama ini  disimpan seorang diri. Ia ingin Kiya menjadi orang pertama yang tahu tentang perasaannya pada seorang pria yang sudah sejak lama ia sukai.

Kiya tidak bisa menerima tawaran Elena. Seorang pemuda telah mengikat Kiya dengan sebuah lamaran. Mereka akan melangsungkan pernikahan setelah pria itu menyelesaikan kuliahnya di kota. Pernikahan itu telah disetujui oleh kedua keluarga. Hanya tinggal menunggu waktu saja.

Elena ikut bahagia mendengar kabar tersebut meskipun tidak bisa bekerja bersama Kiya di kota. Elena memutuskan untuk tinggal beberapa bulan di sana sembari melepas rindu dengan sang ayah yang memilih untuk hidup sendiri setelah bercerai dengan ibunya.  Namun, sebuah kejadian tak terduga menimpa Kiya dan membuat Elena urung untuk meninggalkan desa. Ia memilih menemani sahabatnya di sana.

“Biar aku aja yang bawa motornya. Kamu suka ngebut, aku takut.” Elena meringis, menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi. 

“Biar aku saja. Gantian, nanti pulangnya kamu yang bawa. Jangan protes atau aku pergi sendiri saja,” tolak Kiya dan membuat bibir Elena mengerucut. “Cepat naik!” titah Kiya saat Elena hanya berdiri di samping motor. 

“Iya, iya.” Elena segera naik ke atas motor. “ Kiya!” Elena memekik dan memukul punggung sahabatnya itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status