Share

CHAPTER 9. Jangan Kangen Aku, Ya

“Ah, Bapak bisa saja,” elak Kenzie.

Pria paruh baya itu terkekeh pelan. “Jangan diambil hati kalau Kiya bersikap seperti itu, ya, Den. Kiya sebenarnya anak yang baik. Dia juga sangat ramah dan disayangi oleh orang-orang di desa ini. Terutama anak-anak. Dulu, Kiya sangat aktif di mushola dekat rumahnya. Dia selalu membantu mengajar ngaji di sana.”

“Tapi kenapa sekarang saya tidak pernah lihat dia datang ke mushola, Pak? Padahal jarak mushola dan rumahnya sangat dekat,” tanya Kenzie. 

Kedua orang itu sedang duduk mengawasi para pekerja. Pak Min sendiri adalah pemborong yang Kenzie percaya untuk membangun penginapan tersebut. Pria paruh baya itu mulai bercerita sedikit tentang Kiya.

Kenzie cukup terkejut mendengar cerita Pak Min. Ia tidak menyangka jika wanita dingin yang selama ini membuatnya penasaran itu memiliki sebuah masa lalu yang menyakitkan.

“Apa sampai sekarang tidak ada yang tahu pelakunya, Pak?” tanya Kenzie setelah mendengar cerita Pak Min.

“Tidak. Kami menemukan Kiya di pos ronda saat hujan deras. Pakaiannya berantakan dan dia juga tidak mengenakan jilbab. Kami menemukan Kiya sudah tidak sadarkan diri di sana. Kiya juga tidak bisa mengingat siapa pria yang tega merenggut kesuciannya. Itu menjadi trauma yang mendalam bagi Kiya. Sebelumnya kakaknya juga mengalami nasib yang sama dengannya,” tutut Pak Min. Ada sebuah kesedihan yang terpancar di mata pria paruh baya tersebut.

“Kakaknya? Tapi saya tidak pernah melihatnya? Atau mungkin dia tidak tinggal di desa ini?” tanya Kenzie yang semakin penasaran.

Pak Min menggeleng dan tersenyum getir. “Andin memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dan … Kiya menjadi orang  pertama yang melihat mayat itu tergantung di dalam kamar kakaknya sendiri. Sejak saat itu ayahnya sering sakit-sakitan. Keluarga mereka terus mencari pelaku pemerkosaan itu, tetapi tidak menemukan titik terang. Sampai kondisi kesehatan ayah mereka semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia.”

Satu lagi fakta yang berhasil membuat Kenzie tercengang. Pantas saja Kiya menjadi wanita yang sangat dingin dan jutek. 

Pasti dia sudah melalui hari yang sangat berat.  Kenzie membatin. 

“Apa tidak ada pihak yang membantu untuk mengusut kejadian itu, Pak?” tanya Kenzie lagi. Ia ingin tahu lebih banyak lagi tentang kejadian tersebut.

“Sudah, tetapi tiba-tiba saja pihak kepolisian menghentikan penyidikan. Tidak ada alasan pasti kenapa mereka melakukan itu. Menurut bapak, memang ada pihak yang sengaja membungkam pihak berwajib. Mungkin mereka takut jika sampai pelakunya tertangkap. Kemungkinan juga pelaku adalah orang yang cukup penting di desa ini. Maaf, Den. Bapak tidak bisa bercerita lebih jauh lagi,” imbuh Pak Min. Ia menghela napas berat dan melihat ke sekeliling seolah-olah sedang memastikan sesuatu. Pria paruh baya itu kemudian beranjak dari duduknya. “Jika kamu benar-benar serius dengan Kiya. Temui ibunya dan sampaikan niat baikmu itu. Jika kamu mempunyai kekuasaan, tolong bantu keluarganya untuk mendapatkan keadilan dan bantu Kiya untuk sembuh dari traumanya.”

Pak Min menepuk  bahu Kenzie sebelum ia benar-benar beranjak dari sana. 

Entah kenapa pria paruh baya itu merasa jika Kenzie  adalah orang baik dan berharap pria itu bisa membantu Kiya dan Ibunya. 

Gigi Kenzie mengerat dan rahangnya mengeras. Sorot matanya berubah tajam menatap apa pun yang ditangkap oleh indera penglihatan. Tangannya mengepal. Amarah itu menghampiri begitu saja saat ia mendengar cerita Pak Min. Ada rasa ingin melindungi yang terselit dalam hati pria berparas tampan tersebut.

Bayangan wanita kedua yang sangat penting dalam hidupnya tergambar jelas sekarang. Bagaimana dulu wanita itu mengalami nasib yang sama dengan Kiya dan berusaha mengakhiri hidupnya. Beruntung, keluarga Kenzie bisa menangkap pelaku. 

Kenzie tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Kiya selama ini. Mencari keadilan yang sengaja ditutupi. 

Apa itu alasan kenapa dia ingin bunuh diri? Dan dia sangat marah padaku karena aku menyelamatkannya?

Kenzie menarik satu sudut bibirnya. Kini bayangan wajah Kiya yang selalu jutek tergambar jelas. 

Apa aku salah jika aku mencari tahu lebih dalam lagi tentang kamu, Ky.

***

Warna jingga di langit menjadi jejak indah yang ditinggalkan oleh sang mentari sebagai tanda perpisahan. Esok tidak ada yang tahu apakah sang mentari akan menyapa pagi atau akan bersembunyi dibalik awan mendung yang menghalangi. 

Pukul empat sore, para pekerja sudah kembali ke rumah masing-masing. Setelah mengawasi, Kenzie memilih untuk menikmati perpisahannya dengan sang mentari. 

Seulas senyum getir terulas di sudut bibirnya saat menatap tempat di mana dulu ia bertemu dengan Kiya. Bagaimana dulu ia rela menunggu wanita itu menangis dan enggan beranjak tanpa alasan yang pasti. Padahal Kenzie sebelumnya tidak pernah mau terlibat urusan dengan wanita manapun jika tidak berkaitan dengan pekerjaan. 

Dering di ponsel menyadarkan Kenzie dari lamunannya. 

Itu panggilan dari sang papa. Kenzie lekas menerima panggilan itu. 

'Siapa wanita yang sedang diselidiki oleh Hamish, Kenzie? Apa wanita itu yang menjadi alasan kenapa kamu tidak mau ikut pulang bersamanya dan memilih mengawasi pembangunan itu sendiri?'

Radit langsung memberondong putranya dengan pertanyaan setelah menjawab salam dari Kenzie, setelah panggilan terhubung. 

"Aku belum bisa cerita sekarang, Pa." 

'Jangan main-main dengan wanita, Kenzie. Jangan pernah memberi harapan pada mereka jika kamu tidak serius. Kamu sudah dewasa dan kamu pasti paham. Jika ada wanita yang kamu sukai, datangi orang tuanya. Ingat, ibu dan kakakmu adalah seorang wanita. Kamu paham apa maksud papa, 'kan?'

"Iya, Pa. Aku paham. Aku akan jelaskan nanti."

'Papa tunggu kamu besok. Besok pagi, papa akan minta Hamish untuk menjemputmu!'

Radit bicara dengan tegas. Bukan tanpa alasan pria itu memberi peringatan pada putranya. Dia tidak mau sampai anaknya terlena dengan cinta sesaat yang berujung akan menyakiti atau tersakiti. 

"Baik, Pa." 

Kenzie menghela napas pasrah setelah sambungan telepon itu terputus. Ia tidak bisa membantah apa yang papanya minta. Kenzie juga paham kenapa papanya bersikap seperti itu. 

Kenzie kembali menatap langit senja. Pria itu sedang bertanya pada diri sendiri

 Apakah dia sudah yakin dengan hatinya atau perasaannya saat ini hanya sekadar rasa penasaran? 

"Ah, Hamish sialan. Kenapa juga dia harus cerita sama Papa. Aku 'kan memintanya untuk merahasiakan ini dulu sampai aku benar-benar yakin." Kenzie menggerutu. 

Padahal baru saja dia menelpon pria itu beberapa jam lalu. Belum juga dia mendapat kabar lagi dari pria itu. 

Kenzie beranjak dari kenyamanan menikmati senja di tepi pantai. Sebentar lagi azan maghrib akan berkumandang dan ia harus segera membersihkan diri, bersiap ke mushola. 

*

Baju koko dan sarung juga peci sudah menempel di tubuh dan kepala Kenzie. Kehadirannya di mushola dekat rumah Kiya cukup menyita perhatian para remaja mushola itu. 

Siapa pria berparas tampan yang sedang duduk di barisan jamaah laki-laki itu?

Itulah kira-kira pertanyaan yang muncul di benak mereka. Para remaja putri juga terlihat saling berbisik penasaran.  Yang ditatap hanya diam dan tidak menyadari jika dia sudah menjadi pusat perhatian. 

"Nak Kenzie?" 

Pak Min menyapa pria itu usai sholat maghrib. Mengajak ngobrol sembari menunggu azan isya. Kenzie bisa melihat jika para remaja di desa itu memang aktif dalam mengisi kegiatan masjid dengan mengaji. 

Usai sholat isya, Kenzie tidak langsung kembali ke penginapannya. Dia sengaja mampir lebih dulu ke rumah Kiya. Kenzie baru tahu kalau rumah Pak Min ternyata hanya terhalang dua rumah dari rumah Kiya. Pria itu juga merupakan teman dekat almarhum ayah Kiya. 

“Saya belum tahu berapa lama di Jakarta, Pak. Ada urusan yang harus saya selesaikan di sana. Semoga saja tidak akan lama. Saya minta bantuan Pak Min selama saya tidak ada di sana untuk mengawasi para pekerja.” Itulah  jawaban Kenzie dari pria paruh baya yang sedang berjalan di sampingnya. 

“Baik, Den. Nanti bapak akan kirim laporan setiap hari.”

“Terima kasih, Pak.” 

Obrolan keduanya harus terhenti karena Pak Min lebih dulu sampai di rumahnya. Ia sempat menawarkan pada Kenzie untuk mampir dulu, tetapi pria itu menolak dengan halus. Bukan tidak ingin mampir, tetapi Kenzie harus segera ke rumah Kiya karena ia takut kemalaman. 

Seorang wanita paruh baya membukakan pintu sembari menjawab salam dari Kenzie. Wanita berwajah teduh itu menanyakan maksud kedatangan Kenzie ke rumah mereka. Kenzie pun mengatakan jika dia teman Kiya dan ingin bicara sebentar dengan Kiya. Ratna pamit ke dalam dan meminta Kenzie untuk menunggu di kursi teras. 

“Mau apa kamu kesini?” tanya Kiya, membuat Kenzie yang sedang menatap tanaman di depannya, menjadi tersentak kaget dan menoleh ke arah wanita itu. 

“Hei.” Kenzie masih seperti biasa, menyapa dengan ramah. Ia bisa melihat wajah tidak suka wanita yang sedang berdiri di depannya. 

“Tidak usah mengaku-ngaku kamu temanku. Kita bukan teman dan aku tidak mengenalmu,” ketus Kiya. 

“Aku hanya ingin memberi tahu kalau besok aku akan pulang ke Jakarta.”

“Bukan urusanku!” balas Kiya masih dengan nada ketusnya. 

“Aku hanya memberi tahu, takut kamu nanti kangen sama aku.” 

“Apa dia yang membuatmu menolakku kembali dan tidak mau meneruskan hubungan kita, Ky?”

Kiya tersentak saat mendengar suara pria yang sangat dia kenal. Entah sejak kapan pria itu ada di sana. Kiya yang sangat kesal dengan Kenzie sampai tidak menyadari keberadaan pria itu yang sudah berdiri di halam rumahnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status