Share

CHAPTER 8. PRIA MENYEBALKAN YANG SELALU MUNCUL

Kenzie tidak menyerah begitu saja meskipun mendapat penolakan dari Kiya beberapa kali. Pria itu tetap menyapa Kiya. Dia akan menunggu wanita berparas ayu itu setiap hari saat mengantar makan siang ke tempatnya. 

“Bukankah kamu bisa membayar beberapa pekerja tambahan agar proyek pembangunan penginapan itu bisa selesai lebih cepat, Kenzie?” tanya sang papa lewat sambungan telepon. 

“Pekerja yang saat ini saja sudah cukup, Pa. Aku juga tidak ingin buru-buru.” Hanya jawaban itu yang Kenzie berikan pada sang papa. 

Bukan tanpa alasan Radit bertanya seperti itu pada putranya. Pasalnya Kenzie tidak bersikap seperti biasanya. Bertanya pada Hamish pun pria paruh baya itu tidak mendapat jawaban yang memuaskan. 

“Saya tidak menemukan bukti apa-apa yang bisa menjawab kecurigaan Anda, Tuan.” Hanya jawaban itu yang bisa Hamish berikan saat Radit meminta penjelasan kenapa putranya tidak ikut pulang bersamanya dan apakah ada yang hal lain yang sedang direncanakan oleh Kenzie tanpa sepengetahuannya?

Radit harus puas dengan laporan Hamish sore itu. Hanya helaan napas yang terdengar dari pria itu. 

Pertanyaan serupa juga ditanyai oleh Amelia, mama Kenzie. Wanita berwajah teduh itu juga terlihat penasaran kenapa putranya memilih untuk tetap tinggal di sana.

“Apa ada perempuan yang Kenzie sukai di sana, Pah?” tanyanya. Pasangan itu sudah masuk ke dalam kamar untuk istirahat, tetapi pikiran tentang putra mereka masih mengusik. 

“Papa akan coba tanyakan pada Alex dan Gio, ya Ma.” Radit mengusap lengan istrinya. “Sekarang kita istirahat, ya.” Pria paruh baya itu mengajak istrinya untuk berbaring, menutup tubuh mereka dengan selimut dan memejamkan mata sambil memeluk tubuh istri tercinta. 

***

Suara kicauan burung yang bertengger di pepohonan menyapa Kiya saat wanita itu membuka pintu dapur. Udara  segar pagi hari membuat ia memejamkan mata menghirup aroma menangkan dari alam yang asri. Hamparan sawah yang terbentang menjadi pemandangan yang memanjakan mata. Satu sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan seperti bulan sabit. 

Kiya sedang menertawakan skenario yang sedang ia perankan. Takdir kejam yang sampai saat ini masih membelenggu jiwanya, membuat dia  meragukan keberadaan Tuhan yang dulu sangat diyakininya. 

Kiya menggigit bibir bawahnya, tangannya meremas rok yang ia pakai. Sakit. Dadanya kembali sakit dan sesak setiap kali bayangan mengerikan itu melintas. Hanya melintas, tetapi rasanya begitu sesak. Giginya mengerat dan tatapannya lurus ke depan. 

“Ki, Kiya.” Guncangan di tubuhnya menyadarkan wanita itu dari lamunan. Kiya menghirup oksigen seperti orang yang kehabisan napas. Ibu yang sudah paham pun mengusap punggungnya dan mengajar ia untuk duduk di kursi meja makan. 

“Sudah tenang?" tanya Ibu dan mendapat anggukan dari putrinya. “Minum dulu, ya.” Ibu tersenyum dan menyodorkan segelas air putih. Kiya menerima itu dan meneguk isinya. 

“Terima kasih, Bu.” Kiya meletakkan gelas ke atas meja. 

Ibu mengangguk dengan senyum hangatnya. “Tadi waktu belanja, ibu mampir ke warung Bu Marni buat beli ini.” Ibu menyodorkan bungkusan yang sudah ditaruh di atas piring itu pada putrinya. 

“Nasi uduk.” Kiya tersenyum senang dan segera membuka bungkusan itu. Aroma dari daun salam dan santan langsung menguar menusuk indra penciuman wanita itu.  Nasi uduk dengan lauk orek tempe dan bihun goreng kesukaan Kiya. Ditambah lagi dengan bakwan goreng sebagai pelengkapnya, tidak lupa sambal kacang juga. 

Ibu tersenyum melihat putrinya yang makan dengan lahap. Kiya memang bisa menjadi sosok ceria di depan ibunya jika dia sedang tidak kumat dan bersikap normal. Namun, di depan orang lain, Kiya tetap akan bersikap acuh dan terkesan mengabaikan mereka. Hanya akan membalas dengan anggukan jika berpapasan dengan orang yang menyapanya. Semua yang sudah mengenal Kiya akan maklum dan tidak akan menghiraukan sikap wanita itu. Kiya selalu menghindari tatapan orang-orang yang terkesan mengasihaninya. 

Seperti biasa, sejak pagi Kiya sudah bergelut di dapur membantu ibu, menyiapkan makan siang untuk para pekerja di penginapan yang sedang dibangun.  Kiya sebenarnya malas untuk mengantar katering itu ke sana, tetapi ia juga tidak mungkin menolak dan meminta ibunya saja yang mengantar. 

Pria ramah yang sok akrab menjadi alasan kenapa Kiya malas untuk datang ke tempat itu. Pria yang Kiya benci dan tidak pernah Kiya harapkan kehadirannya itu terus saja mengusik Kiya setiap hari. 

Apa dia tidak punya pekerjaan lain selain menggangguku setiap hari? Kenapa dia terus muncul di hadapanku, sih? Apa dia salah satu pekerja bangunan di sana?

Semua kalimat itu hanya mampu Kiya tanyakan dalam hati. Jika dipikir-pikir, penampilannya tidak mengarah ke arah pekerja bangunan. Kenzie selalu berpenampilan rapi walaupun hanya mengenakan kaus dan celana chinos. Itulah yang Kiya pikirkan tentang pria itu. Ah, apa mungkin Kenzie adalah pemborong di sana? Tapi Kiya tahu siapa pemborong yang bertanggung jawab dalam pembangunan penginapan tersebut dan itu bukan Kenzie.

“Argh!” Kiya memukul kepalanya sendiri karena kesal. “Kenapa aku malah mikirin pria menyebalkan itu,” gerutu Kiya pada diri sendiri.  

Jika Kiya menganggap Kenzie adalah pria menyebalkan, maka Kenzie menganggap Kiya adalah wanita aneh yang sedang pengusik hatinya. 

Cuaca siang ini cukup sejuk karena matahari tidak terlalu terik. Musim hujan belum usai, gerimis terkadang masih sering mengguyur desa. 

“Bu, Kiya berangkat dulu, ya. Pulang dari sana , Kiya mau main ke rumah Ayah dan Kakak.” Kiya pamit pada Ibunya.  Wanita paruh baya itu diam,  menatap putrinya. “Kenapa, Bu? Apa nggak boleh?” tanya Kiya. 

“Kamu ke sana sendiri? Elena ‘kan lagi ngantar ayahnya ke puskesmas.”

“Iya, Bu. Kiya juga ‘kan baik-baik aja. Kiya janji nggak akan aneh-aneh dan nggak akan pulang terlalu sore. Kiya cuman lagi kangen aja sama mereka.” Kiya meyakinkan ibunya. 

“Ya udah, hati-hati bawa motornya. Jalannya licin,” pesan Ibu dan mendapat anggukan dari putrinya. 

Sepanjang perjalanan, Kiya berharap tidak akan bertemu dengan pria menyebalkan itu. Setiap kali bertemu dengan Kenzie, suasana hati Kiya menjadi buruk. 

Kiya sudah memarkirkan motornya di tempat biasa. Ia menghela napas lega saat mobil Kenzie tidak ada di tempat biasa. 

“Hei, kamu sudah datang, ya.” Kiya terlonjak kaget, hampir saja  menjatuhkan box makanan yang ia bawa.

Kiya menatap nyalang pria yang mengagetkannya itu, tetapi Kenzie malah memasang senyum tanpa dosa. 

Kiya menghentikan kakinya dan segera meninggalkan Kenzie dengan perasaan kesal. 

“Pak, makanannya Kiya taruh di sini, ya.” Kiya sedikit berteriak pada pria  paruh baya yang ia tahu sebagai kepala pemborong di sana.” 

“Iya, Ky. Terima kasih.”

Kiya berbalik, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, ia menghentikan langkahnya saat Kenzie mengikuti. “Jangan ikuti aku atau aku akan semakin membencimu!” ancamnya dan berhasil membuat Kenzie dengan refleks mengangguk. 

“Kenapa dia menyeramkan begitu?” gumam Kenzie yang hanya bisa menatap kepergian Kiya dari jauh. 

“Sepertinya kamu menyukai Kiya, ya.” Sebuah tepukan di pundaknya berhasil membuat  Kenzie kaget dan menoleh. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status