Share

CHAPTER 3. Bertemu Lagi

Kiya sudah duduk di tengah dua gundukan tanah yang bersebelahan. Nisan kayu bertuliskan nama dua orang yang ia sayangi tertancap di bagian atas tanah. Helaan napas berat terdengar dari wanita itu. Sudah sangat lama ia tidak pernah berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir ayah dan kakaknya. 

“Kenapa kalian bisa pergi dengan mudahnya. Sedangkan aku? Rasanya tidak adil saat aku selalu saja gagal melakukan itu. Kalian tahu, dunia ini sangat kejam. Entah kenapa keadilan tidak berpihak pada orang kecil seperti kita.” Kiya menatap sebuah gundukan tanah di samping kirinya. “Kak, apa kamu tahu? Rasanya begitu berat untuk tetap bertahan. Aku sekarang tahu, kenapa kamu dulu memilih untuk meninggalkan dunia ini. Tetapi, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama sepertimu? Rasanya sangat tidak adil. Kak.”

Setetes air mata jatuh saat Kiya memejamkan mata. Ia beralih menatap gundukan tanah di sisi kanannya. “Yah, Ayah pernah berjanji akan menjaga aku dan Ibu setelah Kakak pergi, bukan? Tetapi kenapa Ayah mengingkari janji itu? Kenapa Ayah lebih memilih menyusul Kakak? Ayah tidak tahu bagaimana beratnya hari-hari yang aku dan Ibu lalui. Aku harus menanggung luka dan malu seorang diri. Rasanya sangat menyakitkan saat melihat bagaimana mereka menatap iba padaku dan Ibu. Aku benci dengan ketidakadilan ini. Aku ingin menangkap para bajingan itu, tetapi lagi-lagi itu hanya sebuah harapan yang tidak pernah bisa terwujud. Lalu, pada siapa aku harus menuntut keadilan itu? Aku bahkan sekarang sudah tidak percaya jika Dia ada. Dia tidak pernah menolongku!”

Suara itu terdengar lirih dan Kiya mulai terisak. Ia menelungkupkan wajahnya di atas lutut. 

Elena hanya bisa menatap sahabatnya dari kejauhan. Ia ingin menghampiri wanita itu, tetapi Kiya tidak akan suka. Kiya akan marah jika sampai Elena menghampirinya saat ia sedang menangis.

“Kenapa aku tidak bisa pergi bersama kalian? Aku sudah lelah.” Kiya menumpahkan tangisnya di atas dua pusara orang ia sayangi. 

Setelah puas meluapkan isi hatinya di sana, Kiya bangkit dari duduknya. Ia menyeka sisa kristal bening yang membasahi kedua pipi. Ia berdiri sejenak sembari menatap kedua pusara di depannya sebelum benar-benar meninggalkan tempat tersebut. Hanya dengan mengunjungi tempat itu, ia bisa meluapkan rasa rindu pada mereka yang sudah tiada.

“Habis ini mau ke mana lagi?” tanya Elena saat sahabatnya itu menghampiri.

“Pulang.”

Sesingkat itu jawaban yang Kiya berikan. Sebenarnya Elena sangat merindukan Kiya yang dulu. Kiya yang ceria dan sangat ramah. Kiya yang senang sekali bercerita tentang apa pun yang telah ia lewati selama ini. Kiya yang selalu menyampaikan impian dan harapannya di masa depan. Namun, Elena tidak lagi menemukan itu dalam diri Kiya yang sekarang.

Hanya sebatas mengantar Kiya untuk pulang. Meskipun Elena ingin mengajak sahabatnya pergi ke tempat di mana mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Karena wanita itu mengatakan jika ia ingin istirahat. Elena paham itu. Saat ini Kiya sedang tidak ingin diganggu.

Ditengah perjalanan pulang, mereka bertemu dengan pria yang kemarin sore menyelamatkan Kiya.  

“Ada apa, A?” tanya Elena  setelah menghentikan laju motornya.

Pria yang pernah sekali bertemu dengan mereka itu sengaja menghentikan motor yang Elena kendarai.

“Saya bisa minta tolong, tidak, Teh?” tanya pria berkaus hitam tersebut.

“Kalau kami bisa, kami akan bantu,” balas Elena. Sedangkan Kiya hanya diam tanpa mau menatap pria itu. 

“Begini, sepertinya motor yang saya pakai kehabisan bensin. Dari tadi saya menunggu ada yang lewat, tetapi tidak ada. Kebetulan saya juga tidak membawa ponsel. Jadi, tidak bisa menghubungi teman saya di vila. Dan lagi, saya lupa membawa dompet.” Pria itu menjelaskan. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Kiya yang terlihat sangat acuh.

“Oh, begitu. Sebentar, ya, A.” Elena berbalik menghampiri Kiya.

“Kasih aja kenapa, sih, uangnya sama dia. Biar dia dorong motornya sendiri buat beli bensin,” protes Kiya yang tidak setuju saat Elena mengatakan ingin membantu pria itu.

“Kiy, dia juga 'kan udah nolong kamu! Enggak ada salahnya kita balas kebaikan dia,” sanggah Elena.

“Aku enggak pernah minta dia menolongku. Aku justru benci karena dia sudah menggagalkan rencanaku!” Kiya menatap kesal pada sahabatnya. Ia kemudian megalihkan pandangan pada pria asing tersebut dengan tatapan menyalang penuh kebencian.

“Kiy, kali ini saja, ya. Tempat yang jual bensin jauh banget loh, dari sini. Kasihan 'kan, kalau dia harus dorong motornya sejauh itu? Lagian dia juga sepertinya bukan orang sini,” bujuk Elena sembari mengguncang pelan lengan sahabatnya. “Ayolah, Kiy. Setelah ini kita juga belum tentu  ketemu lagi sama dia.” Elena masih terus membujuk Kiya.

Kiya menatap Elena yang sedang mengerjapkan mata dengan senyum khas wanita itu saat sedang membujuknya. Bersikap seperti anak kecil yang sedang merengek minta dibelikan es krim pada ibunya.

Pria itu bisa mendengar dengan jelas perdebatan kedua wanita yang berjarak tidak jauh darinya. Ingin melepaskan pandangan ke arah lain, tetapi hati menginginkan untuk tetap menatap wanita berwajah dingin tersebut. 

Kiya menghela napas berat. “Terserah.”

Satu jawaban itu membuat sebuah lengkungan tipis di kedua sudut bibir Elena. Wanita itu kembali menghampiri pria berkaus hitam tersebut dan mengatakan akan membantu membelikan bensin.

Lima belas  menit menunggu, Kiya dan Elena datang dengan membawa satu liter bensin yang dimasukan ke dalam botol aqua. Masih seperti pertama, Kiya menunggu di atas motor dan Elena yang mengantarkan bahan bakar tersebut. 

“Terima kasih, Teh. Ke mana saya harus mengantarkan uang untuk mengganti bensin ini?” tanya pria itu.

“Tidak usah, A. Ini pakai uang sahabat saya. Kebetulan saya juga tidak bawa dompet,” Elena terkekeh. “Katanya tidak perlu diganti,” sambungnya.

 Pria itu mengangguk. Ia kemudian menuangkan bensin tersebut ke dalam tangki motor.

Mereka berpisah dengan arah yang berbeda. Dalam hati, pria itu berdoa semoga Tuhan akan mempertemukan ia kembali dengan Kiya. Entah kenapa rasa penasaran itu memenuhi benaknya. Sementara Kiya tidak merapalkan doa apa pun. Bagaimana ia mau merapalkan kalimat itu jika ia sendiri sudah tidak percaya dengan Tuhan.

***

Warna jingga membentang indah di langit sepanjang garis pantai. Suasana pantai yang biasanya ramai, kini berubah sepi karena cuaca buruk. Pihak pengelola wisata pantai tersebut tidak mengizinkan pengunjung untuk bermain di pantai sore hari seperti ini. Air laut yang sedang pasang, ombak yang kuat, dan angin barat yang kencang membuat suasana pantai terlihat mencekam.

Hal itu membuat tiga orang pria hanya menghabiskan waktu mereka di dalam kamar vila setelah mereka mengunjungi salah satu air terjun yang ada di desa wisata tersebut.

“Kenz, nyokap lo nanyain terus nih, kapan kita balik. Coba deh, lo kabarin dia,” ucap salah satu pria pada temannya. 

“Ogah. Paling juga suru cepat pulang. Biar aja,” jawab Kenzie.

“Setidaknya lo kasih kabar sama nyokap lo, biar dia nggak khawatir. Kita, bilangnya cuman nginap satu malam. Taunya lo masih betah di sini.” Pria berambut gondrong yang sedang asyik dengan ponselnya ikut menimpali.

“Iya, nanti gue telepon nyokap gue,” balas Kenzie mengakhiri percakapan mereka.

Ketiga orang pria tersebut adalah wisatawan yang datang dari ibu kota. Ketiganya sengaja ingin menghabiskan waktu liburan akhir pekan mereka di desa wisata tersebut. Karena kurang informasi, mereka tidak bisa menikmati suasana pantai sesuai rencana.  Cuaca sedang buruk dan sedang masuk musim angin barat. Beruntung, mereka masih bisa menikmati wisata alam yang lain untuk melihat keindahan beberapa air terjun yang disuguhkan di kawasan wisata tersebut.

“Kita mau pulang hari apa, Kenz?” tanya Gio. “Cewek gue udah nanyain mulu, nih,” adunya.

“Yaelah, Gi, nikmati aja liburan kita. Jarang-jarang kita dapat libur panjang akhir pekan kayak gini. Mumpung si Tuan Muda Kenzie lagi buruk moodnya,” timpal pria berambut gondrong bernama Alex yang terkekeh sambil melirik Kenzie yang sedang berbaring menatap langit-langit kamar.

“Rabu kita pulang,” balas Kenzie tanpa mengalihkan perhatiannya.

Itu artinya mereka masih punya waktu satu hari lagi di sana. Sebenarnya tidak ada yang perlu Alex dan Gio khawatirkan tentang masa liburan mereka yang terbilang lebih dari waktu yang seharusnya. Selama Kenzie turun tangan, semua urusan menjadi beres. Keduanya tidak perlu takut kehilangan pekerjaan mereka. Bahkan mereka berdua masih tetap mendapatkan gaji meskipun tidak bekerja.

Kenzie tiba-tiba saja bangkit dari tidurnya dan mengambil ponsel di atas kasur. Ia kemudian menelpon seseorang.

“Gue butuh bantuan lo. Nanti gue akan jelaskan di chat. Ini rahasia. Jangan sampai bokap dan nyokap gue tahu soal ini,” imbuh Kenzie pada seseorang di seberang telepon. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status