Sementara itu, di tempat lain di desa yang sama. Kiya sedang membantu ibunya menyiapkan pesanan dadakan untuk makan siang dari salah satu pemilik homestay di sana. Ibu Kiya sendiri membuka usaha katering tersebut setelah kepergian suaminya, tepat tiga bulan setelah kepergian kakak perempuan Kiya.
Setelah kepergian suami tercinta, Ratna harus tetap memutar otak untuk membiayai kebutuhan sehari-hari mereka dan juga biaya sekolah Kiya yang saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Tawaran dari salah seorang tetangga menjadi awal mula usahanya. Merambat dari informasi mulut ke mulut, usaha katering Ratna semakin berkembang. Dia rutin menyiapkan pesanan untuk wisatawan yang datang setiap minggu di beberapa penginapan yang ada di sana.
Dari hasil katering itu, Ratna juga sudah mempersiapkan tabungan untuk biaya kuliah putri bungsunya. Namun, impian itu harus terkubur bersama dengan luka yang putrinya rasakan. Tidak putus asa, Ratna tetap berdoa. Semoga suatu saat Tuhan akan mendengarkan doanya selama ini dan menunjukkan keajaiban untuk kesembuhan putrinya. Ia ingin Kiya tetap meraih cita-citanya untuk menjadi seorang dokter.
“Nanti biar Kiya yang antar pesanannya, Bu. Ibu istirahat saja,” ujar Kiya. Ia sedang memasukkan semua menu makan siang itu ke dalam kotak nasi.
Ratna menghentikan aktivitasnya yang sedang memotong mentimun. Ia menatap putrinya dengan ragu. “Kamu yakin?” tanyanya dan mendapat anggukan dari Kiya. “Tamunya laki-laki semua, Nak,” sambungnya.
Kiya menghela napas berat dan memejamkan mata sejenak. “Kiya baik-baik saja, Bu. Biar kiya yang antar pesanannya, ya.” Wanita itu tersenyum pada sang ibu.
“Ya sudah.”
Kiya tahu, ibunya sedang resah. Bukan karena semua tamu itu laki-laki. Kiya sudah mulai terbiasa mengantar pesanan sang ibu pada para pengunjung wisata yang menginap di sekitar sana. Awalnya memang sulit. Apalagi emosinya akan memuncak saat beberapa orang dari mereka ada yang dengan sengaja menggoda Kiya. Wanita itu bahkan pernah menampar salah satu tamu laki-laki karena tamu tersebut menggodanya.
Ratna ragu karena pesanan itu harus diantar ke homestay yang mana rumah pemilik tempat tersebut berhadapan dengan rumah pria yang selama ini selalu Kiya hindari. Pria itu sudah satu minggu berada di desa. Kiya tahu ibunya tidak ingin ia kembali mengingat rasa yang menyakitkan itu. Namun, Kiya sudah bertekad untuk membiasakan diri. Ia tidak bisa terus menerus menghindar dari siapa pun. Bagaimana jika suatu saat ia bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang sangat ingin ia bunuh?
Kiya memarkirkan motornya di halaman rumah sang pemilik homestay. Ekor matanya bisa menangkap sosok yang baru saja datang. Pria yang mengenakan koko putih dan sarung motif berwarna hitam tersebut berdiri mematung di pagar rumahnya. Kiya bisa menebak jika pria itu baru saja pulang dari musala setelah melaksanakan kewajibannya.
Kiya mengabaikan pria yang sedang menatapnya itu. Ia melangkan menuju rumah pemilik homestay dan mengantarkan pesanan tersebut. Ia harus menunggu sebentar saat pemilik rumah harus mengambil uang bayaran pesanannya.
Setelah menerima uang itu, Kiya segera pamit. Wanita itu menunduk saat menyadari jika pria yang sedari tadi menatapnya, sekarang sudah berdiri di dekat motor miliknya. Kiya pikir pria itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Sebisa mungkin Kiya melawan keinginan untuk lari dari sana. Dengan sedikit gemetar, ia terus melangkah maju.
“Sampai kapan kamu akan menghindar terus dariku, Kiy? Apa kamu masih belum bisa memaafkan keluargaku?” Kiya cukup tersentak mendengar pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa menegakkan pandangannya. Apalagi menatap pria tersebut. “Aku rasa ini sudah terlalu lama. Sudah empat tahun berlalu. Aku tidak bisa lagi menahan rasa rindu yang menyiksa ini, Kiy.”
Seharusnya Kiya senang saat pria yang masih dicintainya sampai detik ini, tengah menggaungkan perasaanya. Namun, hatinya justru merasa nyeri dan sesak.
“Kenapa? Apa rasa itu sudah sirna di hatimu dan sudah berganti dengan kebencian?” tanya pria itu lagi saat melihat Kiya menggeleng.
“Aku tidak pantas mendapatkan perasan itu darimu, A,” balas Kiya masih terus menunduk. Bulir kristal bening menerobos tanggul pertahanannya. “Kamu pasti bisa membuang rasa itu.”
“Bagaimana denganmu? Apa kamu sudah berhasil melakukan itu? Kita tidak bisa memaksakan perasaan yang kita punya, Kiy.”
“Bukankah kamu bisa meminta pada-Nya agar Dia menghapus perasaan itu? Bukankah kamu yakin dengan semua doa-doa yang kamu panjatkan?”
Pria itu tersenyum getir. Ia benar-benar sudah kehilangan sosok wanita lembut yang taat beribadah dalam diri wanita yang sedang menundukkan pandangan di depannya.
“Ya. Karena itu aku tidak pernah meminta agar Dia menghapus nama wanita itu. Aku akan terus berdoa agar Dia melemahkan hati wanita yang namanya selalu kusebut dalam doa, dan kembali menerima semua. Aku ingin bersamanya agar bisa menemani dia menyembuhkan lukanya.”
“Lukaku akan sembuh jika aku bisa menemukan bajingan itu dan membunuhnya. Lukaku akan sembuh jika aku bisa mendapatkan keadilan untuk aku, kakakku, dan keluargaku!” sentak Kiya. Ia memberanikan diri menatap pria tampan berwajah teduh yang berdiri di depannya. “Kamu tidak tahu bagaimana beratnya aku melalui hari-hari yang menyakitkan ini, A.”
“Karena itu izinkan aku untuk menggenggam tanganmu, Kiy. Kita sembuhkan lukamu bersama-sama."
“Bagaimana dengan orang tuamu, A? Bukankah salah satu kunci kebahagiaan dalam sebuah bahtera adalah rida orang tua? Bagaimana kamu bisa membantuku untuk menyembuhkan luka ini, jika orang tua dan keluargamu saja masih menatap hina diriku? Jika kita bersama, kamu hanya akan sibuk mencari cara bagaimana menyatukan istrimu dengan kedua orang tuamu.” Napas Kiya memburu. “Cukup, A. Tolong buang rasamu untukku. Aku mohon!”
“Bagaimana dengan rasamu sendiri, Kiy?” tukas Pria itu. Ia masih belum menyerah.
“Hati dan perasaanku adalah tanggung jawabku. Jangan pikirkan itu. Semakin kamu berharap padaku, itu akan semakin menyakitkan untukku. Jika kamu benar-benar mencintaiku, tolong jangan sapa aku saat kita bertemu. Atau, sengaja menemuiku. Aku sedang berusaha,” pinta Kiya yang terdengar begitu lirih.
“Tapi, Ki—”
“Amar! Sedang apa kamu di situ? Masuk!”
Sebuah teriakan dari pria paruh baya memangkas ucapan Amar. Ia menoleh dan mendapati sang ayah sedang berdiri di ambang pintu rumah. Pria paruh baya tersebut menatapnya murka. “Masuk Amar!” ulangnya saat putranya masih bergeming di tempatnya.
“Aku pergi, A.” Kiya menaiki motornya dan meninggalkan Amar. Pria itu hanya bisa menatap Kiya yang sudah melajukan motornya.
“Apa kamu sudah gila, Amar? Ayah mengizinkan kamu pulang ke desa bukan untuk menemui wanita itu!” murka sang ayah saat Amar sudah masuk ke dalam rumah.
“Kenapa Ayah begitu egois?”
“Ini demi kebaikanmu! Apa kata keluarga besar kita jika kamu benar-benar menikah dengan wanita itu?”
“Apa salahnya, Yah? Apa yang terjadi dengan Kiya bukan atas keinginannya,” bela Amar. Ia tidak rela jika wanita yang ia cintai terus disudutkan.
“Bukankah kita sudah mendengar keterangan beberapa saksi? Kejadian itu tidak akan pernah terjadi jika saja Kiya—”
“Cukup, Yah. Menjelekkan Kiya hanya akan menambah dosa saja. Aku sudah tahu apa yang akan Ayah katakan. Ayah sudah sering mengatakan itu,” pungkas Amar dan meninggalkan sang ayah masuk ke dalam kamar. Pria paruh baya itu hanya berdecak kesal.
*
Kiya harus menghentikan motornya secara tiba-tiba saat seorang pria menghadangnya di jalan dekat masjid yang ia lewati.
“Kamus udah gila!” bentaknya pada pria yang berdiri di depan motornya.
“Sorry, sengaja,” balas pria itu tanpa dosa. Ia bahkan mengulas senyum yang begitu menyebalkan. “Aku mau mengembalikan ini,” sambungnya sambil menyodorkan uang pada Kiya.“Minggir!” teriak Kiya. Ia mengabaikan pria itu.“Temanmu bilang, bensin itu dibeli pakai uang milikmu. Aku tidak mau punya hutang. Jadi, ambil ini.” Pria itu masih belum menyerah.Kiya menatap marah pria di depannya. “Kembalikan saja pada temanku!”“Ck! Apa susahnya, sih, ambil saja,” decak pria itu.“Kenzie … lo ngapain di situ?” teriak teman Kenzie berhasil mengalihkan perhatian pria itu.“Sebentar,” balasnya sambil menoleh ke arah temannya.Kiya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menarik tuas gas motornya dan melajukan kendaraan roda dua tersebut.“Argh!” erang Kenzie saat stang motor Kiya menabrak lengannya. “Cewek si … astagfirullah al-adzim,” imbuhnya yang meralat kalimat yang belum ia lanjutkan. Ia tersenyum miring mantap motor milik Kiya yang menghilang di tikungan.Kiya yang sudah memarkirkan motornya
Ratna menatap wajah putrinya. Mata berhias bulu lentik itu masih terpejam. “Kiya.” Ratna segera menggenggam tangan putrinya saat melihat mata putrinya mengerjap. Dita menoleh menatap ibunya setelah mata itu terbuka lebar dan kesadarannya kembali sepenuhnya. “Kiya baik-baik saja, Bu. Kiya hanya kecapean,” imbuhnya berusaha meyakinkan sang ibu yang menatap khawatir padanya. Ratna hanya mengganggu bersamaan dengan air mata yang menetes. “Jangan buat ibu khawatir, Nak. Istirahatlah kalau kamu merasa badanmu sudah lelah.” Ratna mengusap kepala putrinya dan mendapat anggukan dai wanita itu. Ratna tahu jika putrinya sedang berdusta. Pun dengan Kiya yang tahu jika ibunya pasti tahu alasan sebenarnya kenapa dia bisa pingsan. Namun, keduanya memilih untuk tidak membahas apa pun. Ratna tidak ingin putrinya semakin sedih dan membuat Kiya kembali mengingat hal menyedihkan itu lagi. Karena itu dia memilih mengiyakan alasan putrinya dan menyimpannya dengan rapat. “Kamu istirahat saja, ya. Untuk b
Sebuah penginapan sudah dipesan oleh Hamish untuk mereka menginap beberapa hari di sana. Keduanya hanya istirahat sebentar karena mereka sudah ada janji dengan pemilik tanah yang akan mereka beli. Obrolan itu berlangsung cukup lama. Sampai kesepakatan tentang harga di dapat oleh kedua belah pihak.Hamish dan Kenzie kembali ke penginapan untuk beristirahat. Mereka juga mendapatkan informasi tentang tukang yang akan bertanggung jawab untuk pembangunan penginapan milik Kenzie. Dan yang membuat Hamish heran adalah, Kenzie ingin mengawasi sendiri pembangunan itu sampai selesai. Tentu saja hal itu semakin membuat pria super teliti itu merasa curiga. Kenzie biasa tidak akan turun tangan sendiri. Dia biasanya hanya akan terlibat di awal dan menerima laporan dari kantor saja. Tapi, kali ini berbeda. “Minta mereka untuk mengurus semuanya, Ham,” titah Kenzie pada asistennya dan mendapat anggukan dari pria itu. Ia menghampiri asistennya tersebut dan menepuk pundak Hamish. “Kau istirahat saja. A
Kenzie tidak menyerah begitu saja meskipun mendapat penolakan dari Kiya beberapa kali. Pria itu tetap menyapa Kiya. Dia akan menunggu wanita berparas ayu itu setiap hari saat mengantar makan siang ke tempatnya. “Bukankah kamu bisa membayar beberapa pekerja tambahan agar proyek pembangunan penginapan itu bisa selesai lebih cepat, Kenzie?” tanya sang papa lewat sambungan telepon. “Pekerja yang saat ini saja sudah cukup, Pa. Aku juga tidak ingin buru-buru.” Hanya jawaban itu yang Kenzie berikan pada sang papa. Bukan tanpa alasan Radit bertanya seperti itu pada putranya. Pasalnya Kenzie tidak bersikap seperti biasanya. Bertanya pada Hamish pun pria paruh baya itu tidak mendapat jawaban yang memuaskan. “Saya tidak menemukan bukti apa-apa yang bisa menjawab kecurigaan Anda, Tuan.” Hanya jawaban itu yang bisa Hamish berikan saat Radit meminta penjelasan kenapa putranya tidak ikut pulang bersamanya dan apakah ada yang hal lain yang sedang direncanakan oleh Kenzie tanpa sepengetahuannya
“Ah, Bapak bisa saja,” elak Kenzie.Pria paruh baya itu terkekeh pelan. “Jangan diambil hati kalau Kiya bersikap seperti itu, ya, Den. Kiya sebenarnya anak yang baik. Dia juga sangat ramah dan disayangi oleh orang-orang di desa ini. Terutama anak-anak. Dulu, Kiya sangat aktif di mushola dekat rumahnya. Dia selalu membantu mengajar ngaji di sana.”“Tapi kenapa sekarang saya tidak pernah lihat dia datang ke mushola, Pak? Padahal jarak mushola dan rumahnya sangat dekat,” tanya Kenzie. Kedua orang itu sedang duduk mengawasi para pekerja. Pak Min sendiri adalah pemborong yang Kenzie percaya untuk membangun penginapan tersebut. Pria paruh baya itu mulai bercerita sedikit tentang Kiya.Kenzie cukup terkejut mendengar cerita Pak Min. Ia tidak menyangka jika wanita dingin yang selama ini membuatnya penasaran itu memiliki sebuah masa lalu yang menyakitkan.“Apa sampai sekarang tidak ada yang tahu pelakunya, Pak?” tanya Kenzie setelah mendengar cerita Pak Min.“Tidak. Kami menemukan Kiya di pos
Kiya masuk ke dalam setelah Kenzie pergi dari rumahnya. Ia juga bahkan membiarkan satu pria lain salah paham dengan sikapnya. “Kenapa kamu bersikap seolah membenarkan dugaan Nak Amar, Nak?” Ibu mendekati putrinya dan mengusap tangan wanita itu. “Lebih baik seperti itu, Bu. Biar A Amar tidak berharap apa pun dari Kiya dan dia bisa mencari wanita lain.” Kiya mengusap sudut matanya yang sudah basah. “Kiya tidak mau dia berharap lagi sama Kiya, Bu.”“Tapi kamu akan membuat pria lain salah sangka dengan sikap kamu, Nak. Apalagi kalau sampai dia memiliki perasaan pada kamu, dia akan mengira kamu mempunyai perasaan yang sama.” Ibu menatap khawatir pada putrinya. Kiya tersenyum sembari menggeleng. “Nggak mungkin, Bu. Aku nggak kenal siapa dia dan aku sangat membencinya” sanggah Kiya dengan cepat. “Tapi kamu akan membuat Nak Amar semakin salah paham dan menilai buruk kamu, Nak.”“Lebih baik seperti itu, Bu. Kalau dengan membenciku bisa membuat dia cepat melupakan aku, biarkan saja. Itu ja
Kenzie menatap lurus ke depan, fokus mengemudi. Sedangkan pria yang duduk di sampingnya sudah terlelap. Rencana awal, Kenzie akan menyuruh Hamish untuk tidur dulu beberapa jam sebelum mereka kembali ke Jakarta. Namun, apa daya. Raditya sudah menelpon dan meminta mereka untuk cepat kembali ke Jakarta. Hamish bangun saat mobil yang dikendarai Kenzie berhenti di rest area untuk mengisi bahan bakar sekaligus beristirahat sebentar. Pria itu melipir ke sebuah minimarket untuk membeli minum. “Aku ingin ke toilet dulu,” imbuh Hamish setelah Kenzie kembali ke mobil. “Hem.” Kenzie menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil, mengatur posisi senyaman mungkin. Baru saja bersandar beberapa menit, ponsel miliknya berdering dan ia mendesah berat karena itu adalah panggilan dari sang papa. ‘Apa kalian sudah jalan pulang, Kenzie?’“Kami sedang istirahat sebentar di rest area, Pa.”‘Baiklah, kami akan menunggumu.’Radit mematikan sambungan teleponnya. Kening Kenzie mengernyit. “Kami? Papa sed
Kenzie sudah duduk bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga saat tamunya sudah pulang. “Kenapa Papa nggak bicarakan dulu sama Kenzie tentang Shanum yang akan menggantikan Sesil di kantor? Dia akan bekerja denganku, Pa.” Kenzie sedang melayangkan protes pada sang papa. “Bukankah kamu senang kalau Shanum yang akan menggantikan Sesil jadi sekretaris kamu?“ Radit memicing menatap putranya. “Nak, Shanum itu masih menyimpan perasaannya untukmu dari dulu. Bukankah selama ini kamu tidak mau terlibat hubungan dengan wanita lain karena kamu juga sedang menunggunya?” Amelia mengusap tangan putranya. “Awalnya Kenzie juga berpikir begitu, Ma. Tidak ada wanita yang bisa menggetarkan Kenzie selama ini dan Kenzie masih berharap bisa bertemu lagi dengan Shanum, tapi semuanya sudah berbeda sekarang.” “Apa ada wanita lain yang kamu sukai, Kenzie?” tanya sang papa. Sorot matanya berubah tegas saat menatap putranya. Kenzie mengangguk. “Tapi Kenzie masih ragu dengan perasaan Kenzie, Pa. Kenzie