Share

CHAPTER 4. Rasaku, Tanggung Jawabku

Sementara itu, di tempat lain di desa yang sama. Kiya sedang membantu ibunya menyiapkan pesanan dadakan untuk makan siang dari salah satu pemilik homestay di sana. Ibu Kiya sendiri membuka usaha katering tersebut setelah kepergian suaminya, tepat tiga bulan setelah kepergian kakak perempuan Kiya.

Setelah kepergian suami tercinta, Ratna harus tetap memutar otak untuk membiayai kebutuhan sehari-hari mereka dan juga biaya sekolah Kiya yang saat itu masih duduk di bangku kelas  2 SMP.  Tawaran dari salah seorang tetangga menjadi awal mula usahanya. Merambat dari informasi mulut ke mulut, usaha katering Ratna semakin berkembang. Dia rutin menyiapkan pesanan untuk wisatawan yang datang setiap minggu di beberapa penginapan yang ada di sana.

Dari hasil katering itu, Ratna juga sudah mempersiapkan tabungan untuk biaya kuliah putri bungsunya. Namun, impian itu harus terkubur bersama dengan luka yang putrinya rasakan. Tidak putus asa, Ratna tetap berdoa. Semoga suatu saat Tuhan akan mendengarkan  doanya selama ini dan menunjukkan keajaiban untuk kesembuhan putrinya. Ia ingin Kiya tetap meraih cita-citanya untuk menjadi seorang dokter.

“Nanti biar Kiya yang antar pesanannya, Bu. Ibu istirahat saja,” ujar Kiya. Ia sedang memasukkan semua menu makan siang itu ke dalam kotak nasi.

Ratna menghentikan aktivitasnya yang sedang memotong mentimun. Ia menatap putrinya dengan ragu. “Kamu yakin?” tanyanya dan mendapat anggukan dari Kiya. “Tamunya laki-laki semua, Nak,” sambungnya.

Kiya menghela napas berat dan memejamkan mata sejenak. “Kiya baik-baik saja, Bu. Biar kiya  yang antar pesanannya, ya.” Wanita itu tersenyum pada sang ibu.

“Ya sudah.”

Kiya tahu, ibunya sedang resah. Bukan karena semua tamu itu laki-laki. Kiya sudah mulai terbiasa mengantar pesanan sang ibu pada para pengunjung wisata yang menginap di sekitar sana.  Awalnya memang sulit. Apalagi emosinya akan memuncak saat beberapa orang dari mereka ada yang dengan sengaja menggoda Kiya. Wanita itu bahkan pernah menampar salah satu tamu laki-laki  karena tamu tersebut menggodanya.

Ratna ragu karena pesanan itu harus diantar ke homestay yang  mana rumah pemilik tempat tersebut berhadapan dengan rumah pria yang selama ini selalu Kiya hindari. Pria itu sudah satu minggu berada di desa. Kiya tahu ibunya tidak ingin ia kembali mengingat rasa yang menyakitkan itu. Namun, Kiya sudah bertekad untuk membiasakan diri. Ia tidak bisa terus menerus menghindar dari siapa pun. Bagaimana jika suatu saat ia bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang sangat ingin ia bunuh?

Kiya memarkirkan motornya di halaman rumah sang pemilik homestay. Ekor matanya bisa menangkap sosok yang baru saja datang. Pria yang mengenakan koko putih dan sarung motif berwarna hitam tersebut berdiri mematung di pagar rumahnya. Kiya bisa menebak jika pria itu baru saja pulang dari musala setelah melaksanakan kewajibannya.

Kiya mengabaikan pria yang sedang menatapnya itu. Ia melangkan menuju rumah pemilik homestay dan mengantarkan pesanan tersebut.  Ia harus menunggu sebentar saat pemilik rumah harus mengambil uang bayaran pesanannya.

Setelah menerima uang itu, Kiya segera pamit. Wanita itu menunduk saat menyadari jika pria yang sedari tadi menatapnya, sekarang sudah berdiri di dekat motor miliknya. Kiya pikir pria itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Sebisa mungkin Kiya melawan keinginan untuk lari dari sana. Dengan sedikit gemetar, ia terus melangkah maju.

“Sampai kapan kamu akan menghindar terus dariku, Kiy? Apa kamu masih belum bisa memaafkan keluargaku?” Kiya cukup tersentak mendengar pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa menegakkan pandangannya. Apalagi menatap pria tersebut. “Aku rasa ini sudah terlalu lama. Sudah empat tahun berlalu. Aku tidak bisa lagi menahan rasa rindu yang menyiksa ini, Kiy.”

Seharusnya Kiya senang saat pria yang masih dicintainya sampai detik ini, tengah menggaungkan perasaanya. Namun, hatinya justru merasa nyeri dan sesak.

“Kenapa? Apa rasa itu sudah sirna di hatimu dan sudah berganti dengan kebencian?” tanya pria itu lagi saat melihat Kiya menggeleng.

“Aku tidak pantas mendapatkan perasan itu darimu, A,” balas Kiya masih terus menunduk. Bulir kristal bening menerobos tanggul pertahanannya. “Kamu pasti bisa membuang rasa itu.”

“Bagaimana denganmu? Apa kamu sudah berhasil melakukan itu? Kita tidak bisa memaksakan perasaan yang kita punya, Kiy.”

“Bukankah kamu bisa meminta pada-Nya agar Dia menghapus perasaan itu? Bukankah kamu yakin dengan semua doa-doa yang kamu panjatkan?”

Pria itu tersenyum getir. Ia benar-benar sudah kehilangan sosok wanita lembut yang taat beribadah dalam diri wanita yang sedang menundukkan pandangan di depannya.

“Ya. Karena itu aku tidak pernah meminta agar Dia menghapus nama wanita itu. Aku akan terus berdoa agar Dia melemahkan hati wanita yang namanya selalu kusebut dalam doa, dan kembali menerima semua. Aku ingin bersamanya agar bisa menemani dia menyembuhkan lukanya.”

“Lukaku akan sembuh jika aku bisa menemukan bajingan itu dan membunuhnya. Lukaku akan sembuh jika aku bisa mendapatkan keadilan untuk aku, kakakku, dan keluargaku!” sentak Kiya. Ia memberanikan diri menatap pria tampan berwajah teduh yang berdiri di depannya. “Kamu tidak tahu bagaimana beratnya aku melalui hari-hari yang menyakitkan ini, A.”

“Karena itu izinkan aku untuk menggenggam tanganmu, Kiy. Kita sembuhkan lukamu bersama-sama."

“Bagaimana dengan orang tuamu, A? Bukankah salah satu kunci kebahagiaan dalam sebuah bahtera adalah rida orang tua? Bagaimana kamu bisa membantuku untuk menyembuhkan luka ini, jika orang tua dan keluargamu saja masih menatap hina diriku? Jika kita bersama, kamu hanya akan sibuk mencari cara bagaimana menyatukan istrimu dengan kedua orang tuamu.” Napas Kiya memburu. “Cukup, A. Tolong buang rasamu untukku. Aku mohon!”

“Bagaimana dengan rasamu sendiri, Kiy?” tukas Pria itu. Ia masih belum menyerah.

“Hati dan perasaanku adalah tanggung jawabku. Jangan pikirkan itu. Semakin kamu berharap padaku, itu akan semakin menyakitkan untukku. Jika kamu benar-benar mencintaiku, tolong jangan sapa aku saat kita bertemu. Atau, sengaja menemuiku. Aku sedang berusaha,” pinta Kiya yang terdengar begitu lirih.

“Tapi, Ki—”

“Amar! Sedang apa kamu di situ? Masuk!”

Sebuah teriakan dari pria paruh baya memangkas ucapan Amar. Ia menoleh dan mendapati sang ayah sedang berdiri di ambang pintu rumah. Pria paruh baya tersebut menatapnya murka. “Masuk Amar!” ulangnya saat putranya masih bergeming di tempatnya.

“Aku pergi, A.” Kiya menaiki motornya dan meninggalkan Amar. Pria itu hanya bisa menatap Kiya yang sudah melajukan motornya.

“Apa kamu sudah gila, Amar? Ayah mengizinkan kamu pulang ke desa bukan untuk menemui wanita itu!” murka sang ayah saat Amar sudah masuk ke dalam rumah.

“Kenapa Ayah begitu egois?”

“Ini demi kebaikanmu! Apa kata keluarga besar kita jika kamu benar-benar menikah dengan wanita itu?”

“Apa salahnya, Yah? Apa yang terjadi dengan Kiya bukan atas keinginannya,” bela Amar. Ia tidak rela jika wanita yang ia cintai terus disudutkan.

 “Bukankah kita sudah mendengar keterangan beberapa saksi? Kejadian itu tidak akan pernah terjadi jika saja Kiya—”

“Cukup, Yah. Menjelekkan Kiya hanya akan menambah dosa saja. Aku sudah tahu apa yang akan Ayah katakan. Ayah sudah sering mengatakan itu,” pungkas Amar dan meninggalkan sang ayah masuk ke dalam kamar. Pria paruh baya itu hanya berdecak kesal.

*

Kiya harus menghentikan motornya secara tiba-tiba saat seorang pria menghadangnya di jalan dekat masjid yang ia lewati.

“Kamus udah gila!” bentaknya pada pria yang berdiri di depan motornya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status