"Tuan, persiapan sudah 95%, dan sekitar jam tujuh pagi kita akan berangkat ke rumah nona Zahra," ujar pria muda yang tak lain adalah asisten kepercayaan Kevan Aktamanov.
Lelaki yang tengah memandang ke luar jendela itu hanya menjawab dengan anggukan kepala.
"Baiklah, jika begitu saya permisi. Ah ya ponsel Anda tadi saya lihat berkedip. Sepertinya ada pesan masuk."
Lagi dan lagi Kevan hanya diam dan menjawab dengan anggukan kepalanya. Pria yang sudah memakai baju pengantinnya itu hanya menatap hamparan bunga-bunga yang tumbuh di halaman rumah belakangnya.
******
Kevan Aktamanov seorang pria tampan berusia 27 tahun itu, tampak gagah dengan pakaian pengantinnya. Pria yang berstatus seorang CEO di perusahaan Aktamanov Corp itu tampak memasang wajah dinginnya.
Semenjak kecelakaan yang menyebabkan wajahnya hampir 50 persen terbakar. Membuat sikap Kevan berubah 180° . Lelaki yang tadinya bersikap hangat kini begitu dingin tak tersentuh.
"Hari ini adalah hari pernikahan kita Zahra. Aku harap kamu tidak mengecewakanku," gumam Kevan entah kenapa ia merasakan hatinya gelisah.
Beberapa menit kemudian, Kevan dan iring-iringan pengantin berangkat menuju rumah Zahra. Ia tidak sempat membuka ponselnya. Mata Kevan yang tajam itu menatap lurus ke arah jalanan.
Hidup sebatang kara sedari kecil, membuat Kevan menjadi sosok yang keras dan tegas. Namun, dia akan menjadi sangat hangat ketika berhadapan dengan seseorang yang ia cintai. Contohnya Zahra.
"Tuan, sebentar lagi kita sampai," lapor sang anak buah.
Kevan mengangguk. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke samping jendela. Menatap hamparan bunga yang menyambut kedatangannya.
Halaman nan luas itu sudah di ubah sedemikian rupa. Berbagai bunga menjadi penghias sepanjang jalan menuju ke dalam rumah.
Kevan tampak turun dari dalam mobilnya. Ia memakai topengnya untuk menutupi wajahnya yang rusak.
"Mari tuan."
Kevan berjalan dengan begitu gagahnya. Salah seorang kepercayaan dari calon mertuanya, menyambutnya tepat di depan pintu. Dan kalungan melati tampak tergantung indah di leher Kevan.
"Silahkan tuan. Silahkan duduk di tempat yang berada tepat di hadapan Pak Penghulu."
Kevan menatap datar Penghulu yang ternyata sudah siap untuk membacakan ijab dan kabul. Kevan mengalihkan pandangan, menatap sekeliling mencari sang kekasih hati.
Alisnya terangkat sebelah, "Kemana dia? Tidak mungkin bukan jika ia belum selesai di dandani," monolog Kevan.
Sementara itu, di salah satu kamar tempat Arancia di dandani. Terjadi keributan, sebab Arancia tidak mau menjadi pengantin pengganti sang saudara.
Sekar menatap tajam pada putri tirinya. Tidak pernikahan harus tetap terjadi, jika tidak mau di taruh di mana wajahnya. Pastinya Sekar akan sangat malu, jika semuanya gagal.
Sekar tampak mencengkram lengan Arancia. Membuat gadis itu meringis kecil akibat cengkramannya begitu kuat.
"Dengar ini! Jika kau masih berontak. Jangan salahkan aku jika ayahmu akan berakhir di tanganku. Di depanmu, aku akan menyiksa ayahmu sampai ia mati."
Arancia terdiam menatap wajah sang ibu tiri. Perempuan yang sudah menikah dengan ayahnya selama dua belas tahun lamanya. Arancia di tinggalkan sang ibu ketika usianya sebelas tahun.
"Tolong jangan sakiti ayah, Ibu. Baik Arancia mau menggantikan posisi Zahra. Tapi dengan syarat, ibu jangan menyakiti ayahku. Ayahku segalanya bagiku."
Sekar tersenyum puas. Ternyata mudah sekali membuat Arancia bertekuk lutut di bawah kakinya. Hanya dengan mengancamnya menggunakan sang ayah.
"Baiklah! Cepat selesaikan dandannya. Sebab mempelai pria sudah datang."
Sementara itu, di ruang tempat ijab kabul berlangsung. Penghulu meminta jika pengantin wanita di bawa masuk.
"Baiklah, sudah bisa di mulai?" tanyanya.
Kevan diam, ia tidak menjawab pertanyaannya. Tapi mata lelaki itu, memindai ruangan. Ia merasa ada yang tidak beres.
"Sebentar, saya akan memanggilkan nona Arancia kemari."
Deg
"Arancia? Siapa Arancia? Bukankah calon istrinya itu bernama Zahra. Lantas kenapa berubah?" Batin Kevan bertanya-tanya.
Sekar tampak memasuki ruangan. Perempuan yang memakai kebaya berwarna gold itu tampak memandangi calon suami putrinya.
"Andai saja kau tidak cacat. Mungkin saat ini kau sudah menikah dengan putriku," monolog Sekar.
Setelah menunggu selama lima belas menit, akhirnya pengantin perempuan keluar dari kamarnya. Arancia begitu terlihat cantik dalam balutan baju pengantin berwarna gold itu.
Kevan berdiri dari duduknya ia menatap tajam pada Arancia yang berjalan di temani oleh Sekar. Tidak, bagaimana bisa pengantinnya berubah.
"Tunggu! Ada apa ini?" Tanya Kevan dingin. "Calon istriku bernama Zahra Putri, bukan Arancia. Siapa Arancia?" tanyanya pada Sekar.
Sekar tidak langsung menjawab ia mendudukkan Arancia terlebih dahulu. Lalu menatap sang calon menantu yang gagal.
"Zahra pergi. Ia tidak ingin menikah dengan lelaki cacat sepertimu. Tapi kau tenang saja Kevan karena saudara tirinya'lah yang akan menggantikan posisi putriku Zahra."
Kedua tangan Kevan mengepal kuat. Wajahnya terlihat memerah tanda jika ia begitu marah. Dirinya merasa di rendahkan oleh calon mertuanya.
Sekar tersenyum miring pada Kevan. "Sudahlah, sebaiknya kau tidak protes Kevan. Jika sampai pernikahan ini batal, maka aku yakin kamu pasti akan sangat malu. Dan bahkan mungkin media akan mengendus kegagalan pernikahanmu," ucap Sekar berbisik.
Arancia menunduk tidak berani mengangkat kepalanya. Ia memilin-milin gaunnya, kebiasaannya ketika ia merasa gugup dan gelisah.
Sementara itu, Kevan masih menatap tajam pada Sekar yang tengah tersenyum mengejeknya. Lalu Kevan mengalihkan pandangannya pada perempuan yang masih menundukkan kepalanya itu.
"Sial! Zahra sialan, aku tidak menyangka jika kau akan berbuat seperti ini. Kau tega mempermalukanku di hadapan banyak orang sementara kau, kau malah pergi dengan seenaknya," monolog Kevan.
Penghulu yang akan menikahkan keduanya pun menjadi bingung.
"Permisi, apa pernikahannya bisa di segerakan. Jika tidak saya harus ke tempat lain," ujarnya.
Sekar langsung menghampiri pengulu tersebut. Dan berbisik di telinganya. Bisik-bisik para tamu undangan mulai terdengar di telinga Kevan.
Kedua tangannya masih mengepal kuat. Hingga buku-bukunya terlihat memutih. Wajahnya memerah, amarah yang ia tahan seolah akan meledak begitu saja.
"Baiklah, Zahra Putri. Aku akan mengikuti permainan yang sudah kau ciptakan. Namun jangan salahkan aku, jika saudaramu yang akan menggantikan kau. Dia akan menerima semua kesalahan yang sudah kau lakukan padaku. Hingga di mana aku menemukan keberadaanmu, di situ aku akan menghukum dirimu. Lihat saja," batin Kevan bersenandika.
Kevan pun duduk tepat di samping Arancia. Ia sedikit melirik wanita di sampingnya. Kevan menatap benci pada Arancia.
"Aku yakin, kau pun pasti sudah bekerja sama dengan kedua perempuan ular itu. Ya aku yakin itu, dasar perempuan sialan!"
Kevan pun di berikan secarik kertas. Nama yang berubah terpaksa membuat Kevan harus kembali menghapal ijab kabulnya.
"Sialan! Ini bukan pernikahan impianku. Kau Zahra kau sudah menghancurkannya. Menghancurkan hatiku dan juga rasa cintaku. Kini yang aku punya untukmu hanya sebuah kebencian dan juga balas dendam."
"Saya terima nikah dan kawinnya, Arancia Alfatunisa dengan mas kawin tersebut tunai." Kevan membaca ijab kabul dengan sekali tarikan nafas. Penghulu dan para saksi terdiam, mendengar suara tegas nan berwibawa milik Kevan. Penghulu menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu para saksi pun mengangguk. "Bagaimana, para saksi? Sah?" "Sah." Satu kalimat itu terdengar membahana, ketika para saksi berkata pernikahan Kevan dan Arancia sah. Arancia menunduk, memilin gaun pengantinnya. "Baiklah, kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan sang suami boleh mencium kening sang istri. Dan sebaliknya sang istri mencium tangan suami dengan takdzim. Dan untuk buku nikah, maaf mungkin esok atau lusa baru bisa kalian tanda tangan. Sebab buku nikah yang berada di tangan saya atas nama Kevan dan Zahra. Jadi mohon di maklumi jika kalian berdua belum bisa langsung mendapatkannya." Kevan terdiam. Kemarahan terlihat sekali di raut wajahnya. Meskipu
"Rumah sebesar ini, tetapi tidak ada penghuninya," lirih Arancia begitu masuk ke dalam kamarnya yang luas dan mewah. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. Menyapu setiap detail ruangan kamar itu. Dan Arancia akui, jika kamar yang ia tempati begitu besar dan juga indah. "Indah sekali, kamarnya lebih besar dari kamar punyaku," lirih Arancia tersenyum kecut. Bagaimana ia tidak membandingkan. Karena kenyataannya memang seperti itu, kamarnya begitu kecil berbeda dengan saudara tirinya. Luas dan nyaman. "Ya Tuhan, akan seperti apa pernikahan ini. Sedangkan di hari pertama aku menikah, lelaki itu sudah tidak ada di sini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus bertahan atau memilih untuk menyerah?" Arancia duduk di tepi ranjang. Pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Air mata tampak menetes di ujung matanya. Mengapa nasibnya tidak pernah beruntung seperti orang lain? Dirinya yang selalu tersisihkan, bahkan di saat ketika
"Haruskah aku membersihkan tempat ini sendiri? Jika aku membersihkannya, pasti tidak akan cukup waktu satu hari. Ya Tuhan," lirih Arancia seraya meraup wajahnya kasar. Gadis itu tampak menghembuskan napasnya lelah. Tapi ia tidak bisa mengelak dari takdir. Arancia harus menghadapinya. Dan ia yakin, dirinya pasti bisa. "Bismillah. Semoga saja tidak sampai seharian aku membersihkan Mansion luas ini." Gadis itu mulai membersihkan ruangan yang bahkan luasnya bisa sampai tiga rumah di satukan. Arancia sesekali terlihat menghela napasnya lelah. Padahal baru separuh jalan ia membersihkan lantai bawah. Belum lantai atas, halaman depan dan belakang. Yang paling Arancia benci, ia harus membersihkan kolam renang yang berada tepat di halaman belakang Mansion itu. "Kenapa ia tidak membawaku ke rumah yang sederhana saja, aku lebih suka tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat mewah tetapi sendiri," lirih Arancia. Hampir tiga jam g
Arancia menatap sekeliling. Ruangan luas namun kosong dan dingin. Hanya ia yang tinggal di Mansion yang begitu besar nan luas. Gadis cantik itu tampak menghela nafasnya sedih, "Sampai kapan aku akan seperti ini? Aku tidak bisa bekerja, tidak bisa pula menengok ayah. Bagaimana kabarnya saat ini, apakah ia baik-baik saja? Ayah maafkan Ara, karena Ara belum bisa menengok ayah, Ara rindu," lirihnya. Tidak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipi mulusnya. Ia terduduk di lantai yang dingin itu seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hidupnya terasa kosong, padahal baru beberapa hari ia menikah. Namun, Arancia tidak pernah bertemu kembali dengan pria yang menjadi suaminya. "Kamu dimana? Akan bagaimana nasib pernikahan ini? Sedangkan nahkoda kapalnya tidak ada." Sementara itu, di lain sisi Kevan melihat aktivitas Arancia di tablet yang tengah ia pegang. Rencananya beberapa hari ke depan ia akan melakukan operasi wajah
"Mari tuan, dan tolong maafkan saya karena harus menyentuh anda," ucap seorang dokter paruh baya pada Kevan. Ia sengaja meminta izin, karena tahu jika orang yang akan ia operasi tidak suka jika sembarangan orang menyentuhnya. Maka dirinya mencari aman, sebelum pria itu mengamuk. Kevan hanya menganggukkan kepalanya, tanpa mengeluarkan suaranya. Atmosfer ruang operasi begitu terasa tegang. "Lakukan," ucap Kevan dingin. Dokter paruh baya itu menyuntikkan obat supaya Kevan tertidur. Operasi ini harus berhasil karena jika tak berhasil, tidak hanya pekerjaan mereka yang akan menjadi jaminannya. Namun, nyawa mereka pun akan melayang jika sampai melakukan kesalahan. Kevan menginginkan wajahnya yang dulu kembali. Dia tidak mau sedikitpun ada yang berubah. Oleh karena itu, mereka para dokter berserta perawatnya begitu tegang. "Baiklah, kita mulai operasi ini. Dan kita berdoa supaya semuanya di lancarkan, relax dan fokus," ucapnya.
Satu bulan kemudian .... "Ini sudah satu bulan, tetapi lelaki itu belum juga datang. Ya Tuhan, kehidupan rumah tangga seperti apa yang tengah aku lalui ini?" lirih Arancia. Ya Arancia pikir, ketika ia pertama kali keluar dari Mansion ini tanpa izin dari suaminya. Arancia mengira suaminya akan langsung datang sebab ia pergi tanpa seizinnya. Namun, semua itu ternyata hanya harapan kosong belaka. Arancia terlalu mengharapkan pernikahan ini akan berjalan seperti yang lainnya. Meskipun ia hanyalah seorang pengantin pengganti. "Ayah, Ara rindu. Maafkan Ara belum bisa menemui ayah. Entah bagaimana kabar ayah," gumam Arancia. Saat ini, ia tengah berada di taman belakang sehingga ia tidak mengetahui kedatangan Kevan beserta para anak buahnya. Lelaki itu masih memakai topeng, sengaja ia tidak ingin memperlihatkan wajahnya. Kevan tampak turun dari dalam mobilnya, mata tajamnya menelisik keadaan Mansion yang sepi. Alisnya tampak terangk
"Aku mohon lepaskan aku, tolong," pinta Arancia mengiba pada Kevan. "Aku mohon jangan kurung aku di gudang, salahku apa padamu," lanjut Arancia lirih. Tubuh ringkihnya di tarik dengan kuat oleh para bodyguard Kevan. Tubuh ringkih Arancia mencoba berontak, namun semua itu percuma. Cekalan tangan para pria bertubuh besar itu begitu kuat. Tenaga Arancia kalah oleh tenaga mereka. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku hanya berpasrah padamu. Tolong tunjukkan kebesaranmu untukku, hamba-Mu yang begitu lemah," batin Arancia bersenandika. Brukk Tubuh ringkih Arancia di lempar dengan sangat kasar, di atas lantai dingin gudang milik Kevan. Air mata membasahi kedua pipi Arancia. Tubuhnya bergetar hebat, keadaan gudang begitu gelap. Tempat yang paling Arancia benci. "Hikz, ibu ... tolong aku. Di sini gelap," ucapnya begitu pelan. Arancia memeluk tubuhnya sendiri, menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tangisan begitu pilu terdengar
"Sakit," lirih Arancia. "Ibu, tolong Ara, ayah," gumam Arancia. Setelah di siram oleh Kevan, tubuh Arancia semakin mengigil. Ia masih berada di dalam gudang yang gelap dan pengap. Entah sampai kapan Kevan akan membiarkannya di gudang. "Hikz, badanku sakit. Dingin." Sementara Kevan, ia tengah memakan makanannya. Di ruang makan yang mewah nan luas itu. Tidak lupa topeng masih menempel di wajah tampannya itu. Belum ada yang mengetahui bagaimana wajah asli Kevan. Setelah menyelesaikan makannya, Kevan pun beranjak dari kursinya. "Siapkan mobil, aku akan mengunjungi rumah mertuaku," ucap Kevan dingin. Sang bodyguard mengangguk. Kevan pun menunggu di beranda depan. Beberapa saat kemudian .... Mobil mewah itu melaju dengan anggunnya, membelah jalanan di hari itu. Kevan menatap jalanan yang kebetulan ramai. Ingatannya melayang ke kejadian hari pernikahannya, andai saja Zahra mau menikah dengannya.