"Sakit," lirih Arancia. "Ibu, tolong Ara, ayah," gumam Arancia. Setelah di siram oleh Kevan, tubuh Arancia semakin mengigil. Ia masih berada di dalam gudang yang gelap dan pengap. Entah sampai kapan Kevan akan membiarkannya di gudang. "Hikz, badanku sakit. Dingin." Sementara Kevan, ia tengah memakan makanannya. Di ruang makan yang mewah nan luas itu. Tidak lupa topeng masih menempel di wajah tampannya itu. Belum ada yang mengetahui bagaimana wajah asli Kevan. Setelah menyelesaikan makannya, Kevan pun beranjak dari kursinya. "Siapkan mobil, aku akan mengunjungi rumah mertuaku," ucap Kevan dingin. Sang bodyguard mengangguk. Kevan pun menunggu di beranda depan. Beberapa saat kemudian .... Mobil mewah itu melaju dengan anggunnya, membelah jalanan di hari itu. Kevan menatap jalanan yang kebetulan ramai. Ingatannya melayang ke kejadian hari pernikahannya, andai saja Zahra mau menikah dengannya.
"Ayah, Ibu." Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih kecil. Hidup di dalam kesederhanaan, namun penuh kasih sayang. Ibunya adalah seseorang yang bersikap lemah lembut, ia tidak pernah menuntut apapun pada sang ayah. Hingga suatu hari, usaha yang di geluti ayah Arancia maju dengan sangat pesat. Sejak saat itu, kehidupan damai Arancia berubah, apalagi setelah kedatangan Sekar. Arancia yang saat itu, baru saja pulang dari sekolahnya tiba-tiba saja mendapatkan kabar buruk jika ibunya meninggal. Arancia begitu terpuruk, hingga peran ibu di gantikan Sekar. Wanita itu selalu berperilaku lemah lembut, namun ketika sang ayah pergi. Sikapnya langsung berubah, hidup Arancia penuh dengan siksaan dan cacian, namun gadis itu selalu menyimpan lukanya sendirian. Sang ayah tidak tahu jika perilaku istrinya seperti itu. Suara pintu terbuka, membuyarkan lamunan Arancia. Wajah gadis itu sudah sangat pucat, menahan dingin serta lapar bersamaan. "Ke
"Untuk apa aku hidup, Tuhan," lirih Arancia. Lantas wanita cantik itu menatap Kevan yang tengah menatapnya juga. Arancia menghampiri lelaki itu, dan bersimpuh di bawah kakinya. "Tuan, tolong. Izinkan aku untuk melihat ayahku yang terakhir kalinya. Sebelum ia di makamkan, aku mohon tuan. Aku berjanji, jika setelah aku melihatnya ... aku akan menerima hukuman yang akan anda berikan. Apapun itu, tetapi tolong aku mohon ... izinkan aku untuk bertemu dengan beliau. Untuk yang terakhir kalinya," pinta Arancia lirih. Gadis cantik itu masih bersimpuh di bawah kaki Kevan. Lelaki tampan itu menunduk, menatap gadis yang tengah menangis. "Pergilah," ujar Kevan datar. "Tapi ... hanya sampai ayahmu di makamkan, setelah itu segera kembali. Sebab ... hukuman menunggumu," lanjut Kevan dingin. Arancia langsung berdiri, ia menatap lelaki yang tengah berhadapan dengannya. Arancia tersenyum lembut. "Aku tahu ... jika anda adalah orang baik. Terima
"Cepatlah pergi Arancia! Jika tidak aku akan melenyapkanmu," desis Sekar. Arancia terdiam kala mendengar ucapan Sekar. Ia tidak menyangka jika ibu tirinya akan berkata seperti itu. Namun, Arancia lupa jika ibunya pasti akan melakukan apapun demi mendapatkan semua keinginannya. Gadis itu bangkit dari duduknya dan menatap tajam pada sang ibu tiri. "Maksud ibu apa!?" Sekar maju, mendekati sang anak tiri. Lantas ia berbisik lirih tepat di telinga Arancia. "Kau tahu bagaimana aku bukan?! Sekarang, cepatlah pergi dari hadapanku. Sebelum aku membuat perhitungan denganmu," bisik Sekar kepada Arancia. Arancia menatap tidak percaya pada sang ibu, ia tidak menyangka jika Sekar begitu kejam padanya. Salahnya apa, sehingga ia dengan begitu tega berbuat hal seperti itu. "Ibu, salah Ara apa pada ibu. Mengapa ibu begitu kejam padaku, tolong katakan dimana letak kesalahanku. Sehingga ibu begitu jahat padaku?" lirih Arancia. "Padahal dulu
Kevan menunggu kedatangan Arancia, ia duduk di atas sofa di ruang keluarga. Begitu Arancia sampai di hadapan Kevan, lelaki tersebut hanya memandang Arancia dengan tatapan dingin dan datar. "Lama sekali! Bukankah aku sudah aku katakan jika kau hanya aku berikan waktu sebentar tetapi lihatlah ... jam segini kau baru sampai! Sungguh tidak tahu malu," sarkas Kevan. Arancia menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap lelaki yang tengah menatapnya dengan nyalang. Ia memilin-milin bajunya, sudah pasrah saja menghadapi hukuman yang akan di berikan oleh Kevan. Lelaki itu berdiri menghampiri Arancia. "Ikut aku," seru Kevan menarik tangan Arancia dengan sangat kasar. Gadis itu berjalan dengan sedikit terseok-seok, mengimbangi langkah kaki Kevan yang lebar. Kevan membawa Arancia ke taman belakang. "Ki-ta mau kemana, Tuan. Tolong jalannya pelan-pelan, aku tidak bisa mengimbangimu," lirih Arancia. Namun ucapan Arancia bagaikan angin lalu, Kevan sa
"Dia, Ya Tuhan," liriknya. "Tidak mungkin, aku yakin jika itu tidak mungkin dia. Oh Tuhan aku tidak percaya," batinnya bersenandika. Kevan menatap heran pada sahabatnya. Lelaki itu malah mematung, kala menatap Arancia terbaring di atas ranjang mewahnya. Kevan mendekati sang sahabat. Lalu menepuk bahunya. "Ada apa Arga, mengapa kau malah mematung di sini! Aku menyuruhmu datang kemari bukan untuk melamun," sarkas Kevan. Bukannya memeriksa Arancia. Lelaki yang di ketahui bernama Arga itu memicingkan matanya. Menatap Kevan dengan penuh selidik. "Siapa wanita itu?! Kenapa dia bisa berada di sini?" tanya Arga heran. "Bukan hakmu bertanya! Cepat periksalah, dan segera pergi dari sini!" tegas Kevan. Arga menggelengkan kepalanya. Batinnya bertanya-tanya, apa sahabatnya tidak mengingat siapa wanita yang tergolek lemah itu?. Seingat Arga, ia pernah bertemu dengan gadis itu. Hanya saja ... ia tidak yakin, jika memang
"Apa yang di maksud oleh Arga. Aku sungguh tidak mengerti, terkadang dia suka bermain teka teki." Kevan memilih kembali menuju kamarnya. Diluar hujan begitu deras, entah kenapa sepertinya langit malam ini tengah berduka. Sekilas ia masih memikirkan ucapan Arga. Sialnya lelaki itu enggan bercerita perihal yang terjadi. "Hah, malas sekali rasanya jika aku harus menyelidiki siapa perempuan itu. Aku harus membuatnya menderita karena pernikahan ini, Zahra di mana kau sebenarnya! Aku ingin sekali melenyapkanmu," desis Kevan. Di mata lelaki itu terlihat jika ia begitu membenci Zahra. Wanita yang begitu ia cintai semenjak beberapa tahun yang lalu. Angan Kevan melayang jauh, mengingat pertemuan pertama ia dengan Zahra. Kevan mengenal Zahra wanita yang baik serta lemah lembut, meskipun terkadang di beberapa waktu ia akan menunjukkan sifat dominannya. Kevan begitu memanjakan Zahra, apapun yang wanita itu inginkan selalu ia penuhi. Hanya sat
Arancia tampak menghela nafasnya, lelah iya namun ia sudah berjanji jika ia akan kuat. Dan juga dirinya akan ikhlas menerima pernikahan ini. Meskipun hanya kesakitan yang ia dapatkan. Dua bulan lebih ia menjalani pernikahan bersama Kevan. Tapi sikap lelaki itu sama sekali belum berubah. Yang ada tambah kejam. Arancia beranjak, ia lebih memilih untuk mengerjakan apa yang di perintah oleh suaminya itu. Namun langkahnya terhenti, kala Arga memanggilnya. "Hei, Nona. Sebaiknya kamu beristirahat. Tubuhmu masih belum fit, di tambah ini masih terlalu pagi. Jangan kamu dengarkan perintah Kevan, utamakan dulu kesehatanmu," tukas Arga. Arancia menatap Arga, mengapa ia harus perduli dengan keadaannya. Sedangkan suaminya sendiri pun sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Arancia tersenyum, "Saya tidak apa-apa. Tubuh saya juga sudah terbiasa bekerja di kala sakit. Jadi anda tidak perlu khawatir akan keadaan saya. Baiklah, saya permis