"Saya terima nikah dan kawinnya, Arancia Alfatunisa dengan mas kawin tersebut tunai."
Kevan membaca ijab kabul dengan sekali tarikan nafas. Penghulu dan para saksi terdiam, mendengar suara tegas nan berwibawa milik Kevan.
Penghulu menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu para saksi pun mengangguk.
"Bagaimana, para saksi? Sah?"
"Sah."
Satu kalimat itu terdengar membahana, ketika para saksi berkata pernikahan Kevan dan Arancia sah. Arancia menunduk, memilin gaun pengantinnya.
"Baiklah, kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan sang suami boleh mencium kening sang istri. Dan sebaliknya sang istri mencium tangan suami dengan takdzim. Dan untuk buku nikah, maaf mungkin esok atau lusa baru bisa kalian tanda tangan. Sebab buku nikah yang berada di tangan saya atas nama Kevan dan Zahra. Jadi mohon di maklumi jika kalian berdua belum bisa langsung mendapatkannya."
Kevan terdiam. Kemarahan terlihat sekali di raut wajahnya. Meskipun wajahnya tertutup topeng, akan tetapi ekspresi lelaki tersebut tidak dapat di sembunyikan.
Begitu juga dengan Arancia. Jika bukan karena ancaman dari sang ibu, ia enggan menggantikan posisi saudara tirinya itu.
"Baiklah, silahkan bila mau mencium istri anda," ujar Penghulu untuk kedua kalinya.
Orang-orang yang kebetulan di undang oleh Sekar pun terdengar berbisik. Dan bisikan mereka, terdengar ke telinga Kevan. Membuat lelaki itu semakin marah.
"Kasihan sekali nasib si Arancia. Sudah di haruskan menggantikan posisi Zahra. Ia pun mendapatkan suami berwajah cacat itu. Kalau itu anakku, aku tidak akan memberikan restuku, meskipun kenyataannya ia kaya raya," bisik salah satu tamu.
Kevan mengepalkan kedua tangannya. Lantas ia berdiri, tanpa kata lelaki itu pergi begitu saja dari hadapan Arancia dan juga Penghulu.
Arancia pun ikut berdiri. Ia menatap nanar punggung nan lebar itu yang perlahan semakin menjauh. Lantas gadis cantik itu mengedarkan pandangannya, banyak orang yang menatap sinis kepadanya.
"Malang sekali nasibmu! Suamimu pergi meninggalkanmu sendiri!" Ucap Sekar sang ibu tiri.
Bukannya iba, ia malah dengan jelas mengolok-olok Arancia. Sekar pun tidak segan menertawakannya.
Salah satu anak buah Kevan pun mendekati Arancia. Ia menatap datar pada perempuan paruh baya yang masih asyik tertawa itu.
"Nona muda Aktamanov, silahkan ikut dengan saya. Saya akan mengantarkan anda ke kediaman tuan muda."
Arancia terdiam, ia mengedarkan pandangannya. Mencari lelaki yang merupakan cinta pertamanya itu.
"Baiklah, tetapi apa boleh bila saya menemui ayah saya terlebih dahulu. Hanya sekedar berpamitan," ucap Arancia pelan.
Lelaki itu pun mengangguk, "Silahkan, Nona. Saya akan menunggu anda di sini," ucapnya datar.
Arancia pun bergegas mencari keberadaan sang ayah. Ia mengangkat gaun pernikahannya supaya bisa berjalan lebih cepat.
Sementara, sepeninggal Kevan dari acara pernikahannya. Penghulu dan juga para tamu undangan satu persatu meninggalkan acara pernikahan.
Sekar tersenyum sinis, "Hmm, setidaknya pernikahan ini berjalan lancar. Meskipun Kevan pergi begitu saja setelah ijab kabul. Setidaknya rasa maluku sedikit berkurang," monolog Sekar sambil memperhatikan putri tirinya yang tengah mencari keberadaan ayahnya.
Arancia mengedarkan pandangannya. Ia bertanya perihal keberadaan sang ayah, yang ternyata ia berada di dalam kamarnya.
"Ayah," panggil Arancia lembut. "Ayah, Ara mencari-cari ayah sedari tadi, tidak tahunya ayah berada di sini," lanjut Arancia lalu ia berjongkok di hadapan sang ayah.
"Nak," ucap lelaki itu lemah. "Maafkan ayahmu yang bodoh ini, tidak bisa berbuat apapun. Menolongmu saja dari pernikahan ini, ayah tidak mampu," lirihnya.
Arancia menggeleng. Ia menggenggam tangan tua itu, tangan yang dulu selalu menggendongnya.
Selalu berada di garda terdepan bila ada orang yang berniat jahat padanya. Namun, lihatlah tangan kuat itu sekarang sudah keriput dan tua.
"Tidak, ini semua bukan salah ayah. Ara yakin jika ini adalah takdir yang Tuhan berikan untuk Ara. Dan Ara akan ikhlas menjalani biduk rumah tangga ini, ayah tetap do'akan Ara. Karena saat ini, itulah yang Ara butuhkan. Do'a dan juga dukungan ayah untuk Ara. Aku berjanji meskipun aku keluar dari rumah ini, ayah tenang saja aku akan selalu menengok ayah. Jaga diri ayah baik-baik. Jika ada apa-apa tolong kabari Ara."
Pria paruh baya yang bernama Wijaya Hadikusuma itu mengangguk lemah. Lalu Ara pun berpamitan, karena ia tidak bisa membuat orang lain menunggu. Tidak sopan.
Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia berharap jika pernikahannya akan berjalan mulus. Ara pun berharap, jika suaminya mau menerimanya.
"Sudah siap, Nona?" tanya lelaki muda itu.
Arancia pun mengangguk. Masih menggunakan pakaian pengantin, ia mengikuti langkah kaki lebar, lelaki yang katanya anak buah dari suaminya itu.
Di luar tampak Sekar tengah berdiri seraya kedua tangannya, bersedekap di dadanya. Ia menatap sinis sekaligus mengejek anak tirinya itu.
"Jangan lupa! Resepsi pernikahan kalian nanti malam," ujar Sekar yang membuat langkah kaki Arancia juga lelaki muda itu terhenti.
Lantas lelaki itu pun menatap datar pada wanita di hadapannya. Sekar berdiri dengan angkuhnya, tidak merasa bersalah karena telah membiarkan putrinya pergi begitu saja di hari sakral.
"Sayangnya, tuan memerintahkan saya untuk membatalkan segala macam hal yang bersangkutan dengan pernikahannya. Ia hanya menyuruh saya untuk membawa istrinya ke Mansion miliknya!"
Wajah Sekar seketika memerah kala mendengar ucapan lelaki yang tengah berdiri di hadapannya itu. Lalu ia pun kembali melanjutkan ucapannya.
"Kebetulan, Tuan saya sudah pergi ke luar negeri. Dan saya harap anda tidak mengharapkan apapun lagi dari tuan juga pernikahan ini."
Deg
Arancia mematung. Pergi ke luar negeri? . Hatinya terasa sakit, sebab ia merasa menjadi istri yang tidak di anggap olehnya.
"Ia dengan mudahnya pergi begitu saja. Tanpa memberikan satu alasan ataupun kata padaku," lirih Arancia di dalam hatinya.
Sementara itu, di tempat lain. Seorang lelaki yang masih lengkap berpakaian baju pengantin. Tampak menatap awan yang tengah ia lewati.
Lelaki itu memutuskan untuk pergi. Ia akan memberikan pelajaran baik pada Zahra maupun Arancia. Kedua wanita itu harus merasakan penderitaan dan juga kesengsaraan.
Ya, Kevan sudah memiliki rencana. Jika ia memiliki rencana untuk memberikan neraka di dalam pernikahannya.
"Tunggu pembalasanku, Zahra. Silahkan untuk saat ini kau hidup senang, tanpa beban. Tapi lihatlah nanti, aku akan membalaskan sakit hatiku akibat penghinaanmu dan juga ibumu. Serta saudaramu itu!"
****
"Silahkan masuk, Nona," ucap lelaki yang tadi mengantarnya menuju rumah mewah Kevan.
Hening dan sepi. Tidak ada satupun orang yang berada di sana.
Arancia mengedarkan pandanganya, namun ia tidak melihat siapapun. Laki-laki itu pun peka, jika nona mudanya mungkin khawatir karena di rumah itu tiada siapapun.
"Para pelayan akan masuk kembali kemari, ketika pagi Nona. Dan maaf untuk tuan muda dia ... langsung pergi ke luar negeri setelah ijab kabul tadi. Untuk sementara Nona tinggal sendiri di rumah ini. Esok saya akan memperkenalkan para pelayan. Dan bila ada apa-apa, Nona bisa langsung menghubungi saya. Mari saya antar Nona ke kamar anda."
Arancia tidak berkata apapun. Ia dengan patuh mengikuti langkah kaki pria di hadapannya. Arancia tersenyum kecut, malam pertama yang bagi siapa saja menjadi malam yang indah.
Namun itu semua tidak berlaku untuknya. Kesan pertama yang ia dapatkan hanya kesepian dan juga keheningan.
******
"Wajahmu terlihat lugu. Namun aku tidak akan kembali jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Cukup, wanita ular itu yang mengkhianati serta melukaiku, dengan wajah polosnya ia berhasil menjeratku. Kini, kaulah yang akan menggantikannya menjalani hukuman dariku. Selamat datang di neraka pernikahan!"
"Rumah sebesar ini, tetapi tidak ada penghuninya," lirih Arancia begitu masuk ke dalam kamarnya yang luas dan mewah. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. Menyapu setiap detail ruangan kamar itu. Dan Arancia akui, jika kamar yang ia tempati begitu besar dan juga indah. "Indah sekali, kamarnya lebih besar dari kamar punyaku," lirih Arancia tersenyum kecut. Bagaimana ia tidak membandingkan. Karena kenyataannya memang seperti itu, kamarnya begitu kecil berbeda dengan saudara tirinya. Luas dan nyaman. "Ya Tuhan, akan seperti apa pernikahan ini. Sedangkan di hari pertama aku menikah, lelaki itu sudah tidak ada di sini. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus bertahan atau memilih untuk menyerah?" Arancia duduk di tepi ranjang. Pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Air mata tampak menetes di ujung matanya. Mengapa nasibnya tidak pernah beruntung seperti orang lain? Dirinya yang selalu tersisihkan, bahkan di saat ketika
"Haruskah aku membersihkan tempat ini sendiri? Jika aku membersihkannya, pasti tidak akan cukup waktu satu hari. Ya Tuhan," lirih Arancia seraya meraup wajahnya kasar. Gadis itu tampak menghembuskan napasnya lelah. Tapi ia tidak bisa mengelak dari takdir. Arancia harus menghadapinya. Dan ia yakin, dirinya pasti bisa. "Bismillah. Semoga saja tidak sampai seharian aku membersihkan Mansion luas ini." Gadis itu mulai membersihkan ruangan yang bahkan luasnya bisa sampai tiga rumah di satukan. Arancia sesekali terlihat menghela napasnya lelah. Padahal baru separuh jalan ia membersihkan lantai bawah. Belum lantai atas, halaman depan dan belakang. Yang paling Arancia benci, ia harus membersihkan kolam renang yang berada tepat di halaman belakang Mansion itu. "Kenapa ia tidak membawaku ke rumah yang sederhana saja, aku lebih suka tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat mewah tetapi sendiri," lirih Arancia. Hampir tiga jam g
Arancia menatap sekeliling. Ruangan luas namun kosong dan dingin. Hanya ia yang tinggal di Mansion yang begitu besar nan luas. Gadis cantik itu tampak menghela nafasnya sedih, "Sampai kapan aku akan seperti ini? Aku tidak bisa bekerja, tidak bisa pula menengok ayah. Bagaimana kabarnya saat ini, apakah ia baik-baik saja? Ayah maafkan Ara, karena Ara belum bisa menengok ayah, Ara rindu," lirihnya. Tidak terasa air mata jatuh membasahi kedua pipi mulusnya. Ia terduduk di lantai yang dingin itu seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hidupnya terasa kosong, padahal baru beberapa hari ia menikah. Namun, Arancia tidak pernah bertemu kembali dengan pria yang menjadi suaminya. "Kamu dimana? Akan bagaimana nasib pernikahan ini? Sedangkan nahkoda kapalnya tidak ada." Sementara itu, di lain sisi Kevan melihat aktivitas Arancia di tablet yang tengah ia pegang. Rencananya beberapa hari ke depan ia akan melakukan operasi wajah
"Mari tuan, dan tolong maafkan saya karena harus menyentuh anda," ucap seorang dokter paruh baya pada Kevan. Ia sengaja meminta izin, karena tahu jika orang yang akan ia operasi tidak suka jika sembarangan orang menyentuhnya. Maka dirinya mencari aman, sebelum pria itu mengamuk. Kevan hanya menganggukkan kepalanya, tanpa mengeluarkan suaranya. Atmosfer ruang operasi begitu terasa tegang. "Lakukan," ucap Kevan dingin. Dokter paruh baya itu menyuntikkan obat supaya Kevan tertidur. Operasi ini harus berhasil karena jika tak berhasil, tidak hanya pekerjaan mereka yang akan menjadi jaminannya. Namun, nyawa mereka pun akan melayang jika sampai melakukan kesalahan. Kevan menginginkan wajahnya yang dulu kembali. Dia tidak mau sedikitpun ada yang berubah. Oleh karena itu, mereka para dokter berserta perawatnya begitu tegang. "Baiklah, kita mulai operasi ini. Dan kita berdoa supaya semuanya di lancarkan, relax dan fokus," ucapnya.
Satu bulan kemudian .... "Ini sudah satu bulan, tetapi lelaki itu belum juga datang. Ya Tuhan, kehidupan rumah tangga seperti apa yang tengah aku lalui ini?" lirih Arancia. Ya Arancia pikir, ketika ia pertama kali keluar dari Mansion ini tanpa izin dari suaminya. Arancia mengira suaminya akan langsung datang sebab ia pergi tanpa seizinnya. Namun, semua itu ternyata hanya harapan kosong belaka. Arancia terlalu mengharapkan pernikahan ini akan berjalan seperti yang lainnya. Meskipun ia hanyalah seorang pengantin pengganti. "Ayah, Ara rindu. Maafkan Ara belum bisa menemui ayah. Entah bagaimana kabar ayah," gumam Arancia. Saat ini, ia tengah berada di taman belakang sehingga ia tidak mengetahui kedatangan Kevan beserta para anak buahnya. Lelaki itu masih memakai topeng, sengaja ia tidak ingin memperlihatkan wajahnya. Kevan tampak turun dari dalam mobilnya, mata tajamnya menelisik keadaan Mansion yang sepi. Alisnya tampak terangk
"Aku mohon lepaskan aku, tolong," pinta Arancia mengiba pada Kevan. "Aku mohon jangan kurung aku di gudang, salahku apa padamu," lanjut Arancia lirih. Tubuh ringkihnya di tarik dengan kuat oleh para bodyguard Kevan. Tubuh ringkih Arancia mencoba berontak, namun semua itu percuma. Cekalan tangan para pria bertubuh besar itu begitu kuat. Tenaga Arancia kalah oleh tenaga mereka. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku hanya berpasrah padamu. Tolong tunjukkan kebesaranmu untukku, hamba-Mu yang begitu lemah," batin Arancia bersenandika. Brukk Tubuh ringkih Arancia di lempar dengan sangat kasar, di atas lantai dingin gudang milik Kevan. Air mata membasahi kedua pipi Arancia. Tubuhnya bergetar hebat, keadaan gudang begitu gelap. Tempat yang paling Arancia benci. "Hikz, ibu ... tolong aku. Di sini gelap," ucapnya begitu pelan. Arancia memeluk tubuhnya sendiri, menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tangisan begitu pilu terdengar
"Sakit," lirih Arancia. "Ibu, tolong Ara, ayah," gumam Arancia. Setelah di siram oleh Kevan, tubuh Arancia semakin mengigil. Ia masih berada di dalam gudang yang gelap dan pengap. Entah sampai kapan Kevan akan membiarkannya di gudang. "Hikz, badanku sakit. Dingin." Sementara Kevan, ia tengah memakan makanannya. Di ruang makan yang mewah nan luas itu. Tidak lupa topeng masih menempel di wajah tampannya itu. Belum ada yang mengetahui bagaimana wajah asli Kevan. Setelah menyelesaikan makannya, Kevan pun beranjak dari kursinya. "Siapkan mobil, aku akan mengunjungi rumah mertuaku," ucap Kevan dingin. Sang bodyguard mengangguk. Kevan pun menunggu di beranda depan. Beberapa saat kemudian .... Mobil mewah itu melaju dengan anggunnya, membelah jalanan di hari itu. Kevan menatap jalanan yang kebetulan ramai. Ingatannya melayang ke kejadian hari pernikahannya, andai saja Zahra mau menikah dengannya.
"Ayah, Ibu." Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih kecil. Hidup di dalam kesederhanaan, namun penuh kasih sayang. Ibunya adalah seseorang yang bersikap lemah lembut, ia tidak pernah menuntut apapun pada sang ayah. Hingga suatu hari, usaha yang di geluti ayah Arancia maju dengan sangat pesat. Sejak saat itu, kehidupan damai Arancia berubah, apalagi setelah kedatangan Sekar. Arancia yang saat itu, baru saja pulang dari sekolahnya tiba-tiba saja mendapatkan kabar buruk jika ibunya meninggal. Arancia begitu terpuruk, hingga peran ibu di gantikan Sekar. Wanita itu selalu berperilaku lemah lembut, namun ketika sang ayah pergi. Sikapnya langsung berubah, hidup Arancia penuh dengan siksaan dan cacian, namun gadis itu selalu menyimpan lukanya sendirian. Sang ayah tidak tahu jika perilaku istrinya seperti itu. Suara pintu terbuka, membuyarkan lamunan Arancia. Wajah gadis itu sudah sangat pucat, menahan dingin serta lapar bersamaan. "Ke